Shalat itu boleh di langgar

Kalimat di atas tentu akan mengagetkan banyak orang karena dalam tradisi keberagamaan tidak mengenal istilah 'langgar'. Dalam ungkapan lisan memang ini cukup menarik karena terdengar tanpa beda antara 'di' yang dipisah dengan 'langgar' yang menunjukkan keterangan tempat dan 'di' yang digabung dengan kata 'langgar' yang menunjukkan kata kerja.

Di sebagian besar wilayah jawa khususnya jawa timur, langgar adalah sebutan untuk surau atau mushala kecil yang dibangun di setiap kelompok masyarakat selain masjid. Karena ukurannya kecil, langgar ini lazim digunakan untuk shalat lima waktu berjamaah bagi masyarakat di sekitarnya kecuali tentunya shalat jum'at yang hanya diselenggarakan di masjid raya.

Inisiatif pembangunan langgar karena ukurannya yang kecil, biasanya bersifat pribadi atau datang dari keluarga tertentu saja meskipun pada perjalanan pengelolaannya tentu melibatkan masyarakat di sekitar langgar tersebut.

Kalau kita pernah tinggal di jawa atau khususnya jawa timur, akan mengetahui betapa menjamurnya langgar ini. Hal ini dapat kita rasakan ketika suara adzan yang berkumandang di setiap waktu shalat akan terdengar bersahutan antara langgar satu dan lainnya.

Bahkan karena suara loudspeaker langgar satu dan lainnya sangat keras, oleh para sebagian orang khususnya orang tua, sulit dibedakan bahwa ini suara dari langgar yang mana.

Dibalik rasa bangga betapa masih ramainya syi'ar keagamaan, tentu ini ada sisi yang seharusnya menjadi perhatian kita semua terutama apabila suara yang bersahutan itu pas waktu shalat. Suara imam yang keras dengan berbagai gaya tilawah dan variasi panjang pendeknya mungkin akan mempengaruhi kekhusu'an jamaah ketika shalat.

Seperti yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu, di sebuah langgar di kampung saya, para jamaah mulai berdatangan di langgar untuk menunaikan shalat maghrib. Kebetulan jamaah wanitanya sebagian besar ibu-ibu yang sudah sepuh alias tua... lebih dari sekedar dewasa... (gak perlu banget ya tambahan penjelasannya :D)

Sesaat setelah iqamah dikumandangkan, jamaah segera meluruskan shaf dan imam segera memulai shalat dan tibalah pada bacaan surah al-fatihah. Sang imam melantunkan bacaan al-fatihah dengan khusyu'nya, namun pada bacaan pertengahan al-fatihah dan belum sampai pada akhir surah al-fatihah, sebagian jamaah wanita kompak bilang, "aamiiin"... sebagaimana biasanya ucapan ma'mum setelah selesai al-fatihah dibaca.

Meski merasakan ada yang ganjil, sang imam tetap melanjutkan bacaan al-fatihahnya dan ketika diakhir bacaan al-fatihah, terdengar semua jamaah melantunkan 'aamiin' bersama-sama.

Setelah shalat selesai, sang imam tanya kepada jamaah perihal terjadinya 'aamiin' dua kali tersebut. Ada jamaah yang mencoba menjelaskan, "itu karena suara imam di masjid raya (yang kebetulan jaraknya dekat) keras sekali dan setelah habis selesai membaca surah al-fatihah, para jamaah wanita yang sepuh malah mengucapkan 'aamiin'." Dikira yang baca al-fatihah adalah imam di langgar tersebut.

Ini tentu kejadian baru dalam shalat berjamaah yang ada bonus 'aamiin'-nya... hehe


4 komentar:

  1. di kampung saya (Palembang), mushola kecil juga disebut Langgar mas

    BalasHapus
  2. ohya, berarti sama ya... disana juga boleh di langgar :D

    BalasHapus
  3. ketika kata "di" dan kata "langgar" dipisah, pernyataanya menjadi benar, tapi jika kata "di" dan kata "langgar" disambung, segera laporkan ke polisi.

    BalasHapus
  4. Sekadar berbagi pengalaman, saya dulu juga susah membedakan nyambung atau tidak kata 'di' ini: terkadang nyambung, adakalanya tidak. Mudah-mudahan, tulisan saya sudah tidak banyak kesalahan seperti itu.

    BalasHapus