Abah

"Bah, mogok lagi?" Tanyaku agak kesal
Abah hanya mengangguk sambil meniupi busi seperti sedang meniup balon untuk ulang tahun.
"Bah, nanti telat nih." Aku cemberut sambil merajuk.
"Sabar ya." Abah mencoba menyalakan motor vespa tuanya sambil berpeluh keringat. Motor Vespa Abah itu bagaikan anjing dalmatian karena seluruh bodinya dipenuhi dempul putih. Kondisi itu dibiarkan bertahun-tahun tanpa pernah bisa dicat karena nggak ada biaya.
"Namanya juga motor antik." kata Abah suatu saat ketika kami anak-anaknya menanyakan kenapa motornya belum dicat juga.

Akhirnya motor bisa nyala. Aku dan tiga adikku langsung menempati posisi masing-masing. Dua anak paling kecil berdiri di belakang. Adikku langsung duduk di   tengah dan aku duduk paling belakang. Bayangkan kalau polisi menemukan kami berlima menaiki motor. Pasti kami akan menghabiskan waktu di kantor polisi.

Begitulah setiap hari Abah mengantarkan kami ke sekolah dengan motor Vespa Dalmatiannya. Biasanya tiga adik kecilku turun terlebih dahulu. Biasanya sih aku turun dari motor sambil celingak celinguk jangan sampai teman sekolahku melihatku datang ke sekolah bersama Abah.

Abah mengajar mata pelajaran Ilmu Pasti (Matematika, Fisika, Kimia) juga mengajar keterampilan elektro di sekolahku masa SMP. Saat itu perasaan malu selalu membebaniku ketika aku masuk sekolah maupun pulang sekolah. (Maaf ya bah).

Abah orang yang sangat peduli dengan minat baca anak-anaknya. Namun saat itu sepertinya tidak memungkinkan membeli buku buat kami. Gaji guru saat itu sangat minim dan tidak mengenal sertifikasi seperti saat ini. Dalam keterbatasan Abah selalu membeli koran buat anak-anaknya hanya agar anak-anaknya mau membaca.

Abah adalah orang yang sangat sederhana dan sepenuhnya mengabdi untuk dunia pendidikan. Sepanjang aku hidup bersama Abah, tak pernah sekalipun Abah mengeluh tentang kondisinya. Tak pernah pula aku mendengar Abah membicarakan kejelekan orang lain.

Aku merasakan bahwa Abah selalu bersyukur walaupun aku tahu bagaimana sulitnya saat itu membiayai kami empat orang anaknya. Kami sering bandel dan mungkin mengecewakan Abah. Ketika aku menonton film Laskar Pelangi, aku merasa penggambaran sosok abahnya Ikal yang dibintangi oleh Mathias Muchus  tepat menggambarkan Abah.

Abah selalu memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Sebenarnya dahulu Abah selalu menyediakan waktu untuk mengajariku Matematika dan Fisika. Namun aku selalu menolak dengan berbagai alasan. Sampai akhirnya ketika masuk SMA, kulihat Abah agak kecewa karena aku memilih jurusan Sosial dibanding IPA.

Ketika masuk ke bangku perguruan tinggi, aku baru sadar kalau seharusnya aku bangga punya Abah yang sangat perhatian kepada anak-anaknya. Mulai saatt itu aku selalu bergembira ketika Abah yang masih setia dengan Vespa Dalmatian mengantarkanku pergi ke kampus.

Satu hal yang juga menyebalkanku saat itu adalah ketika Abah selalu menyelinap tiap malam ke kamar anak-anaknya. Abah hanya ingin memastikan kalau tidak ada seekor nyamukpun yang menggigit anak-anaknya. Caranya menepuk nyamuk dengan kedua tangannya.
"Abaaah!!! Berisik." Aku selalu berteriak tapi Abah selalu mengulanginya lagi dan lagi setiap malam.
Sekali  lagi maaf ya bah.

Abah juga senang sekali melihat anak-anaknya makan enak. Kalau punya uang lebih, biasanya Abah memasak makanan istimewa buat kami atau membuatkan es kacang hijau, es tapi atau es yoghurt.. Makanan yang biasanya dimasak sendiri adalah pisang goreng dan sop kaki sapi. Masih terbayang kelezatan masakan Abah di lidah.

Buatku Abah mirip McGyver, tokoh hero di serial televisi yang tayang pada akhir tahun 80 an dan awal tahun 90 an. McGyver adalah hero yang bisa memperbaiki segala sesuatu untuk memudahkan orang lain. Di mataku  abahpun demikian. Mulai dari memperbaiki barang elektronik sampai sekedar menambal pakaian yang robek.

Jaman dahulu, kami hanya punya televisi hitam putih. Suatu ketika waktu kami sedang menonton televisi, gambarnya goyang-goyang padahal tidak ada gempa bumi. Kami tunggu, siapa tahu karena hembusan angin kencang. Ternyata tetap saja si gambar bergoyang-goyang. Saat itu kami menyimpulkan bahwa televisi ini rusak.

Dengan penuh percaya diri Abah membongkar televisi. Dengan gaya meyakinkan Abah bertindak sebagai tukang service. Seharian Abah menghabiskan waktu mengutak atik televisi. Kata Abah televisinya harus ditepuk-tepuk atasnya biar gambarnya bagus. Cuman, tepuk sih tepuk sampai kapalan tapi kan capek setiap sepuluh menit harus menepuk-nepuk televisi. Harusnya sih memang dilem biru bah...(dilempar beli baru)....

Banyak barang elektronik yang diperbaiki Abah. Cerita suksesnya hanya lima puluh persen. Sisanya nestapa hahaha.

(Diusahakan Bersambung)





2 komentar: