Menjemput Cinta (Bagian Pertama)

 “Jika cinta datang terlambat, jangan pernah ragu untuk menjemputnya”


“Mas, Aku minta maaf karena sering merepotkan kamu”.
“Ndak apa, Dek, Mas sangat senang kalau kamu masih mempercayai Mas menjaga Kinanti. Selagi Mas dikaruniai kesehatan, mas akan menjaganya disaat kamu pergi bekerja. Lagipula, disini juga tidak ada anak kecil. Ibu dan Ratih juga sayang dengan Kinanti, kata mereka, Kinanti sudah seperti cucu dan keponakan sendiri”.
Setelah mendapat penjelasan Bram yang menyejukan hatinya, Kinasih hendak pamit. Sebelum melangkah keluar dari halaman rumah yang disisi kanan dan kirinya ditumbuhi rumput serta tanaman bunga beraneka warna, Kinasih  mencium pipi dan kening Kinanti, puteri satu-satunya yang baru berusia dua tahun.
“Ibu pamit ya sayang, Kinanti ndak boleh cengeng apalagi nakal, kasian nanti om Bramnya jadi repot” tutur Kinasih kepada puterinya penuh kasih sayang sambil sesekali pandangannya menangkap wajah Bram.
"Aku pamit, Mas. Terimakasih atas kebaikan Mas selama ini. Tolong sampaikan salamku untuk Ibu dan Ratih", ucap Kinasih sambil berlalu pergi.
Bram yang sedang menggendong Kinanti menatap Kinasih, mengangguk dan memberikan senyumannya yang tulus.
Kinasih yang telah pamit segera melangkah keluar halaman. Tanpa disadari olehnya, pandangan mata Bram terus tertuju kepadanya, menatap Kinasih hingga sosoknya menghilang di ujung jalan.
Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Bram saat itu. Pemuda tampan tersebut terlihat seperti sedang memendam suatu rasa yang sulit untuk di ungkapkan.
***
Beberapa tahun sebelumnya.

Matahari baru saja naik dari peraduannya. Udara dingin menyelimuti desa yang lokasinya berada di kaki gunung. Kicauan burung yang indah turut meramaikan suasana. Pagi itu penduduk desa memulai melakukan aktifitasnya. Ada yang pergi ke sawah, berladang, sekolah atau kuliah, ke pasar, maupun sekedar membersihkan halaman rumah dan jalan dari daun kering yang jatuh dari pepohonan.
Disebuah rumah dengan pekarangan rumput hijau serta tanaman bunga yang beraneka warna, sejak sebelum adzan subuh berkumandang penghuni rumah tersebut sudah terbangun. Bram memulai hari dengan shalat subuh berjamaah di masjid yang lokasinya tidak jauh dari rumahnya. Ia tinggal bersama Ibu dan Ratih, adik satu-satunya. Sedangkan sang Ayah telah wafat ketika ia baru saja   lulus dari sebuah Perguruan Tinggi. Sejak saat itu, ia menjadi tulang punggung keluarga menggantikan peran sang Ayah. 
Bram adalah sosok lelaki idaman. Selain postur tubuhnya yang gagah serta wajahnya yang tampan, ia juga memiliki perilaku yang baik. Tidak heran jika Bram menjadi idola para gadis di Desanya. Tetangga dan teman-temannya memberikan julukan ‘pemuda tampan nan sholeh’  kepadanya. Ia juga merupakan sosok pemuda yang  tekun dalam menjalankan usaha dagang pakaian muslim dan muslimah di Pasar. Karena kegigihannya, usaha dagang yang dirintis sejak ia lulus Sekolah Menengah Kejuruan tersebut terus berkembang hingga ia bisa membangun sebuah toko pakaian yang cukup besar dan lengkap, serta memberdayakan karyawan sebanyak empat orang. Dari usahanya itulah ia mampu menafkahi Ibu dan adiknya.
“Bu, Bram pamit, mohon do’a Ibu” ucap bram sambil mencium tangan Ibunya.
“Hati-hati di jalan, Bram. Oh iya, adikmu bilang dia ada latihan menari sama kawan-kawannya siang nanti di Sekolah, mungkin sampai sore latihannya. Nanti tolong sekalian kamu jemput Ratih ya, Bram” kata ibu mengingatkan.
“Iya Bu, nanti Bram jemput" jawab Bram. 
"Dek, ayo kita berangkat! Dandannya jangan lama-lama, nanti terlambat loh!” teriak Bram memanggil Ratih yang masih berdiri di depan cermin.
“Iya sebentar lagi, Mas” jawab ratih setengah teriak dari dalam kamarnya.
Beberap detik kemudian Ratih keluar, mengambil sepatu, memakainya lalu pamit.
“Ratih berangkat ya Bu, do’ain Ratih biar ulangan pagi ini bisa dikerjakan dengan mudah”.
“Amiin, yang penting gak boleh nyontek ya, Dek!” ujar Bram meledek sambil masuk kedalam mobil untuk memanaskan mesin kendaraan.
“huuuh, mana mungkin adik Mas yang cantik ini berbuat tidak jujur” jawab ratih membela diri.
“Sudah-sudah, cepat jalan, nanti kamu terlambat sampai sekolah” ucap Ibu menengahi sambil tertawa.
“Assalamu’alaykum…” Bram dan Ratih kompak mengucapkan salam.
         Sang Ibu Menjawab ucapan salam sambil tersenyum, menatap kedua buah hatinya dengan penuh rasa syukur.  
Beberapa detik kemudian mobil yang dikendarai Bram keluar halaman dan menghilang di ujung jalan.

(Bersambung)

6 komentar:

  1. hehehe menarik gun, ditunggu lanjutannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap, dalam proses Pak, terimakasih sdh berkunjung :)

      Hapus
  2. Wokeh kisah nya, menunggu lanjutannya ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atensinya, lanjutannya sdg dlm proses :)

      Hapus
  3. Luar biasa bakat yg dimiliki mas Gun, selan jago nyanyi, pandai juga menulis. Ceritanya sangat menarik. Ditunggu kelanjutan ceritanya mas Gun. ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillaah...terimakasih banyak, jangan lewatkan juga Bagian Kedua yg sdh di posting disini :)

      Hapus