Ki Dalang Lurah

Marni memandangi wajah suaminya yang berpeluh. Marni memegang dahi suaminya. Hati Marni berdegup kencang karena suhu badan suaminya panas, tapi sedingin es ketika Marni memegang telapak kaki suaminya.
Marni bingung karena hari sudah sangat larut. Hanya bunyi jangkrik yang terdengar. Bunyi jangkrik yang bagi Marni terasa sedang berpesta pora membuat Marni kesal karena dia menganggap jangkrik itu sedang menertawakan ketidakberdayaannya .
Tak seorangpun yang bisa dimintai tolong oleh Marni malam itu. Kedua anaknya sudah tidur sejak sore tadi. Anaknya masih berumur sembilan dan lima tahun, belum bisa membantu Marni. Marni juga tak mau mengganggu tetangganya yang sepertinya sudah terlelap dalam tidur karena kelelahan bekerja sepanjang hari. Saat itu, Marni merasa jadi orang yang paling sengsara di muka bumi. Akhirnya Marni hanya bisa mengompres dahi suaminya. Diulanginya terus sampai ayam berkokok di kala pagi.

***
“Bu… Bapak kenapa, sakit?” tanya Banu anak Marni yang pertama. Marni mengangguk.
“Kamu siap-siap ke sekolah ya, nak. Sebelum sekolah antar dulu adikmu ke rumah Simbah, ya! Ibu harus jaga Bapak,” pinta Marni kepada Banu. Ibu Marni tinggal tak jauh dari rumah Marni. Biasanya kalau Marni berjualan barang kelontong ke pasar pagi sampai siang hari, Ayu, anak kedua Marni dititipkan di rumah ibunya.Siang hari baru dijemput.
“Dibawa ke Puskesmas aja, Bu. Ada Bu Dokter baru, kata temenku Bu Dokter itu baik,” ujar Banu kepada Marni.
Marni teringat cerita Mbak Atikah, tetangganya beberapa hari yang lalu. Mbak Atikah bercerita, waktu sakit, dibawa ke Dalang Bandi, dalang yang terkenal di desa Bojongsari, tempat tinggal Marni. Katanya tak lama setelah meminum air yang diberi doa Ki Dalang, tak lama kemudian anak Mbak Atikah sembuh. Masih kata Mbak Atikah lagi, Ki Dalang melarang sering menasehati warga Bojongsari untuk tidak datang  ke Puskesmas karena menurutnya Dokter di Puskesmas belum berpengalaman mengobati orang sakit. Selain itu datang ke Puskesmas repot karena sering ditanya soal kartu asuransi.
Cerita Mbak Atikah membuat Marni ragu membawa suaminya ke Puskesmas. Marni tak punya kartu seperti yang dibilang Mbak Atikah.
“Iya, nak.Nanti Ibu bawa Bapakmu ke orang yang bisa ngobatin,” jawab Marni kepada Banu.
“Puskesmas ya, Bu!” ujar Banu mengingatkan Marni.
“Iya. Sekarang kamu siap-siap sekolah, ya. Bawa adikmu!”Banu berlalu dari kamar Ibunya. Setelah mengambil tas sekolahnya, Banu menggendong adiknya. Banu mendudukkan Ayu di jok belakang sepedanya. Dengan hati-hati Banu mengayh sepedanya.

***
Pagi hari Bandi sudah bangkit dari tempat tidurnya. Kepalanya terasa sakit karena semalam Bandi mendalang di pesta perkawinan seorang warganya. Bandi terkenal dengan sebutan Ki Dalang Lurah, karena selain menjadi Dalang, beberapa bulan yang lalu Bandi terpilih menjadi Lurah di desa Bojongsari dengan suara mutlak, mengalahkan tetangga seberang rumahnya.
Bandi berjalan menuju ruang tamu. Dengan perutnya yang besar,  Bandi berjalan perlahan-lahan. Dia duduk di sofa ruang tamu seperti kebiasaannya setiap pagi. Rambut panjangnya yang sebagian besar sudah memutih diikatnya dengan karet gelang.
Di meja tamu sudah tersedia segelas kopi hitam dan setoples roti kering kesukaannya. Tak ketinggalan sebungkus rokok di samping gelas kopi menemaninya menikmati pagi .Setiap pagi istrinya selalu sigap menyediakan semua keperluan Bandi tanpa mengeluh.
Bandi menyalakan rokoknya. Asap rokok mengepul dari mulutnya dan memenuhi ruangan tamu rumahnya. Dituangkannya kopi kedalam piring kecil agar kopinya cepat dingin. Piring kecil diangkatnya. Mulutnya menghembuskan udara untuk meniup kopi yang masih panas. “Assalamualaikum,” terdengar suara orang dari balik pintu rumahnya.
“Bu, ada tamu. Buka pintunya!” teriak Bandi kepada istrinya. Dengan tergopoh-gopoh istrinya berlari dari dapur membukakan pintu rumahnya. Bandi masih duduk di kursinya sambil menyeruput kopi dari piring kecilnya.
Seorang wanita yang menggandeng lelaki dengan wajah pucat berpeluh muncul didepan pintu. Istri Bandi mempersilahkan keduanya duduk di kursi yang berada depan Bandi. Kemudian kembali ke dapur. Bandi tak bergerak dari tempat duduknya. Dia mengambil rokok yang masih menyala dari asbak dan mengisap dalam-dalam.
“Ada apa kalian datang kemari?” Bandi bertanya dengan suara berat agar terdengar berwibawa dan meyakinkan lawan bicaranya. Bandi memang mahir menirukan segala jenis suara sejak dirinya terjun ke dunia perdalangan.
“Nganu Ki Dalang Lurah, suami saya sakit. Badannya panas.Sudah dua hari belum turun juga suhu badannya,” ujar perempuan itu dengan nada khawatir.
“Siapa nama suamimu?” tanya Bandi.
“Kardiman, Ki Dalang Lurah.” Kardiman menjawab sambil mengatupkan kedua tangannya di dada karena menggigil kedinginan. Berbanding terbalik dengan peluh yang bercucuran di dahinya.
“Nama sampeyan sendiri siapa?” tanya Bandi kepadaperempuan yang datang bersama Kardiman.
“Marni, Ki Dalang,”jawab perempuan itu.
“Ki Dalang Lurah!” suara Bandi agak meninggi mengingatkan Marni.
Nggih, Ki Dalang Lurah,” suara Marni tergagap.
“Susah lho jadi Lurah. Perjuangannya berat, biaya juga sudah keluar banyak.Tahu ndak?”
Marni hanya menunduk mendengar penjelasan Bandi.
“Jadi, maksudmu datang kesini mau ngobatin suamimu?” tanya Bandi. Marni mengangguk perlahan. Rasa khawatir mulai memasuki hatinya.
“Sebentar,” Bandi bangkit dari duduknya dan berjalan menuju lemari kaca. Di lemari kaca itu terdapat beberapa buah keris yang dipajang. Bandi mengambil salah satunya. Marni melirik suaminya yang sepertinya hanya bisa pasrah menunggu apa yang akan dilakukan Ki Dalang Lurah kepadanya.
Istri Bandi muncul dari dapur dan membawa semangkuk bunga mawar berwarna merah dan putih serta baskom yang berisi air. Bandi menuangkan bunga mawar kedalam baskom. Dicelupnya keris yang dipegangnya kedalam baskom yang berisi air dan telah ditaburi bunga mawar. Marni menahan nafas menunggu kejadian selanjutnya.
Bandi menuang air dari baskom kedalam gelas.Diserahkannya gelas itu kepada Kardiman.
“Minum air cucian keris ini untuk mencuci nasib sial dari badanmu. Besok siang segala sial akan hilang. Badanmu demam karena ada orang yang ndak suka sama kamu. Orang itu sedang mengirimkan penyakit di tubuhmu. Nanti kubawakan sisa airnya di botol. Minum tiga kali sehari saja!” Kardiman meminum air dari gelas yang disodorkan Bandi. Dahi Kardiman berkerut saat meminum air itu, tapi saat ituKardiman hanya bisa pasrah saja.
“Agar kedepan terhindar dari sial, kalian harus menebus sisa air cucian keris ini!” sambung Bandi.
“Berapa ongkos tebusannya Ki Dalang Lurah?” tanya Marni ketika suaminya selesai minum air itu.
“Aku ndak pernah ngasih harga. Seikhlasnya saja.Yang penting cukup buat beli rokok  satu pak,” Marni terkejut mendengar perkataan Bandi. Satu pak rokok itu kan banyak juga. Marni membuka dompet dan menyerahkan dua lembar uang berwarna merah kepada Bandi.
“Satu lagi,” pinta Bandi sambil melirik ke arah dompet Marni. Marni hanya bisa pasrah dan menyerahkan selembar uang berwarna merah kepada Bandi. Padahal uang itu adalah tabungan Marni untuk membelikan Ayu sepatu.
***

“Dokter, tolong suami saya. Badannya panas tinggi dan belum turun juga,”
“Sudah berapa lama badan suami Ibu panas?” tanya Dokter Sita.
“Sudah empat hari, Bu Dokter,” jawab Marni panik.
“Sudah dikasih obat apa?” tanya Dokter Sita kembali.
Marni menggelengkan kepala. Tak mungkin Marni berterus terang bahwa suaminya sudah meminum ramuan dari Ki Dalang.
Dokter Sita memeriksa badan Kardiman. Sesekali ditekannya perut Kardiman dengan ujung jarinya.
“Sepertinya Pak Kardiman terkena demam berdarah, Bu. Tapi perlu cek darah untuk memastikannya. Mudah-mudahan saya salah,” ujar Dokter Sita.
Marni terdiam dan merasa bersalah kepada suaminya.
“Apabila hasil cek laboratorium positif demam berdarah, Pak Kardiman harus segera dirawat di rumah sakit,” lanjut Dokter Sita.
Marni tertunduk lesu. Mirna bingung darimana ia dapat uang untuk membayar rumah sakit.
“Ibu mendaftar saja untuk mendapatkan asuransi kesehatan untuk membiayai pengobatan Bapak.  Kalau Ibu bingung nanti petugas Puskesmas akan membantu Ibu,”
“Terima kasih, Dokter,” ujar Marni lega.
Marni keluar dari ruangan Dokter Sita sambil menggandeng suaminya.
“Bapak Bandi!” terdengar suara Suster memanggil pasien berikutnya.
Terlihat oleh Marni seorang laki-laki setengah baya dengan wajah pucat berjalan tertatih-tatih menuju ruang periksa Dokter Sita. Wajahnya pucat dan tampak tanpa daya. Pandangan matanya kosong dan nanar. Sesekali terdengar suara batuk laki-laki itu. Lutut Marni langsung lemas dihantui perasaan malu dan bersalah kepada suaminya.
Ki Dalang Lurah tak berdaya menghadapi penyakitnya sendiri.
Jakarta, 6 Juni 2017



5 komentar:

  1. Mungkin terbentur kode etik, kan dokter juga enggak boleh mengobati diri dan keluarganya sendiri. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe....intinya dukun juga kalo sakit berobatnya pake medis, nggak pergi ke dukun yang lain....

      Hapus
    2. Terima kasih ya udah mampir...

      Hapus
  2. ceritanya mengalir, saya suka, dan ada pelajaran yang bisa di petik!

    BalasHapus