Menjemput Cinta (Bagian Kelima)

"Dalam menjalani kehidupan, kadang kita dihadapkan oleh dua pilihan, bahkan lebih".

Malam kembali menyelimuti desa. Gerimis yang turun sejak sore, menambah dingin suhu udara. Sebagian penduduk lebih memilih berada di dalam rumah. Sebagiannya lagi, yang didominasi kaum lelaki baru saja keluar dari masjid setelah selesai melaksanakan shalat maghrib berjamaah.  Bram terlihat masih berada di dalam masjid, rupanya ia masih khusyuk berdo'a. Setelah selesai berdo'a, ia bangkit dan bergegas keluar melalui pintu utama Masjid, di ambilnya payung yang ia letakkan di pojok halaman,  kemudian berjalan pulang.

Sesampainya di rumah, biasanya Bram langsung menuju ruang makan untuk bergabung dengan ibu dan adiknya menyantap makan malam. Namun malam itu ia izin kepada Ibunya untuk langsung masuk ke kamar. Di dalam kamar, Bram melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur, sejenak kemudian ia memejamkan mata. Bram sebetulnya tidak tidur, hati dan pikirannya terjaga. Ya, Bram sedang memikirkan rencananya untuk menyampaikan isi hatinya kepada Kinasih. Namun sebelumnya ia akan meminta nasehat ibunya terlebih dahulu.

Bram bangkit dari tempat tidur kemudian berjalan ke arah meja yang berada di sudut ruangan. Ia mengambil Alqur'an dan membaca beberapa ayat. Selesai tilawah, diletakkannya Alqur'an ketempatnya semula, kemudian Bram berjalan keluar kamar menuju ruang makan. Didapatinya Ibu dan Ratih baru selesai makan.

"Bu, Ratih, ada yang ingin Bram Sampaikan", tersenyum menatap dua sosok perempuan yang paling ia sayangi. "Sebelumnya Bram minta maaf karena baru malam ini bercerita, beberapa hari yang lalu Bram sudah berkenalan dengan Kinasih. Ibu dan Ratih masih ingat kan?". Bram melanjutkan ceritanya tentang bagaimana ia bisa berkenalan dengan Kinasih. Ibu dan Ratih menyimak dengan seksama hingga ketika sampai pada kabar tentang Kinasih yang telah dilamar, Ratih menutup mulutnya denga kedua tangan karena terkejut dan merasa iba kepada kakak kesayangannya.

Tidak demikian dengan Ibu, ia menyimak cerita Bram dengan penuh ketenangan. Setelah Bram selesai bercerita, Ibu memegang tangan Bram bermaksud memberikan semangat kepada putera kesayangannya.

"Bram, rezeki kita sudah di atur dan di jamin oleh Gusti Allah, tinggal bagaimana cara kita menjemput rezeki tersebut, apakah dengan cara yang halal atau sebaliknya. Tentu saja sebagai seorang muslim yang taat kita memilih cara yang halal, karena itu adalah yang terbaik. Demikian pula dengan jodoh, Bram. Jodohmu sudah Allah siapkan, hanya saja masih menjadi misteri. Sama seperti rezeki, jodohpun harus dijemput dengan cara yang baik. Menjaga kehormatan itu lebih baik daripada memperturutkan hawa nafsu. Ibu tahu kamu mencintai Kinasih, dan Ibu merasa kalau Kinasih pun demikian, tapi cinta tidak harus memiliki, Bram. Maka dari itu, menurut Ibu, sebaiknya kamu urungkan niatanmu menyampaikan isi hatimu kepadanya. Kinasih sudah dilamar, artinya, saat ini dia sudah terikat janji dengan pria lain yang akan menjadi suaminya. Kamu ndak boleh menghalangi kebahagiaan orang lain, Bram. Berhati-hatilah dengan dosa yang bisa menjerumuskan kamu. Jika kamu bersabar, Insya Allah nanti Gusti Allah yang akan mempertemukanmu dengan pasangam hidup yang terbaik menurut DIA", ditatapnya putera tercintanya dengan penuh kelembutan.

Bram menganggukan kepala dalam diam, tanda setuju atas nasehat Ibunya. Ada rasa tenang yang merasuk di hatinya. Kemudian Bram memeluk Ibu dengan erat serta mencium keningnya. Ratih yang duduk disamping ibu hanya tersenyum memberikan semangat kepada kakaknya.

Waktu terus berjalan. Meski sosok Kinasih masih terus menghantui perasaannya, Bram berusaha menghalaunya. Iapun mencari kesibukan ekstra selepas rutinitas berdagangnya.

Pagi itu kegiatan di toko berjalan normal seperti biasa, satu dua pelanggan berkunjung membeli barang. Mas Yuda dan pegawai lain sibuk merapihkan barang. Bram pun terlihat sedang melayani pelanggan. Tanpa ia sadari, masuk seorang pelanggan yang tidak lain adalah Kinasih. Demi melihat sosok Kinasih, Mas Yuda segera menghampiri Bram kemudian memberitahukannya. Mengetahui kehadiran Kinasih, Bram merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, ia segera menarik napas untuk menenangkan diri. Segera ia meminta Mas Yuda menggantikan posisinya. Kemudian ia menghampiri Kinasih, mengajaknya ke sudut ruangan.

Kinasih mengikuti langkah Bram. Sebuah benda mirip kartu undangan  dipegangnya dengan erat. Kinasih merasakan lidahnya kelu. Ia pun menarik napas dalam-dalam. Setelah dipersilahkan duduk, ia mulai berbicara.

"Aku minta maaf karena telah mengganggu kesibukan Mas Bram" matanya menatap sendu wajah Bram.  "Maksud kedatanganku kesini..." terhenti sejenak "mau menyampaikan ini" menyodorkan kartu undangan dengan kedua tangannya, sedangkan wajahnya tertunduk menyembunyikan kesedihannya.

Bram menerima kartu undangan, lalu menatap Kinasih sekilas. Kemudian ia membuka plastik yang membungkus kartu undangan, mengeluarkan isinya kemudian perlahan membacanya. Selesai membaca, dilipatnya kembali kartu undangan dan memasukannya kedalam plastik seperti semula. Kembali ia menarik napas dalam-dalam.

"Terima kasih atas undangannya, Insya Allah, jika tidak ada halangan aku akan hadir bersama Ibu dan Ratih" menatap Kinasih penuh makna. "Semoga Allah mudahkan semua prosesnya" ucap Bram kemudian.

"Amiin, Insya Allah, terimakasih atas do'anya, Mas" jawab Kinasih. "Aku tidak bisa berlama-lama, karena masih ada undangan yang harus aku antar".

Kinasih bangkit dari duduknya. Sebelum pamit, ia menemui Mas Yuda untuk menyapa. Undangan untuk Mas Yuda sudah dititipkan kepada isterinya, Ajeng.

"Kinasih... ada yang ingin aku sampaikan". Kinasih menatap Bram. "Aku hanya ingin mengucapkan selamat. Aku berharap, semoga tali silaturahmi tetap terjalin. Dan... jika kamu membutuhkan bantuanku, jangan sungkan untuk menghubungiku", Bram mengambil kartu nama dari dalam dompet kemudian menyerahkannya kepada Kinasih. "Oh ya... ada satu lagi yang ingin kusampaikan". Kinasih menatap Bram penuh tanda tanya. "Izinkan aku memanggilmu dengan panggilan Dek..... hanya itu", ucap Bram sambil tersenyum berusaha menyembunyikan perasaan sedihnya.


Mendengar permintaan Bram, Kinasih menganggukan kepala. Perasaan sedih menyeruak di hatinya, namun ditahannya sekuat tenaga. "Terimakasih atas kebaikan Mas Bram. Aku bersyukur karena bisa bertemu dan berkenalan dengan Mas, semoga tali silaturahmi tetap terjalin".

Kinasih melangkah keluar toko. Bram hanya bisa menatap Kinasih hingga sosoknya menghilang dari pandangannya. Berat terasa oleh Bram perasaannya saat itu. orang yang ia cintai dalam waktu dekat akan menjadi milik orang lain. Namun ia teringat akan nasehat Ibunya. Dalam hati ia membenarkan apa yang telah disampaikan oleh Ibu. Ia tidak boleh egois hanya karena ingin memperturutkan hawa nafsunya. Kebahagiaan Kinasih lebih utama, dan ia tidak ingin menjadi penghalang rencana pernikahan Kinasih. Biarlah ia pendam rasa cintanya.

Satu hari menjelang pernikahan, Kinasih lebih banyak berdiam diri di dalam kamar. Ia terlihat sedang duduk di depan cermin, menatap bayangan dirinya yang terpantul di cermin meja rias. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tiba-tiba ia mengambil sebuah kartu nama dari dalam kotak perhiasan. Ditatapnya lekat-lekat nama yang tertulis di kartu tersebut. Jari jemarinya mengusap tulisan nama seseorang yang berwarna keemasan, "Bram Putera Pratama". Air matapun mengalir dari pipinya. Dengan segera ia ambil tissue, dan mengusap air matanya.

Terdengar pintu kamar di ketuk, Kinasih mempersilahkan masuk. Perlahan daun pintu terbuka, nampak Ajeng berdiri di balik pintu. Keduanya pun berpelukan. Kinasih mempersilahkan Ajeng untuk duduk.

"Menjelang hari bahagia, kok wajahmu terlihat sedih?ndak baik loh kalau sampai terlihat orang" ucap Ajeng membuka percakapan.

"Betul apa yang mba bilang, saat ini aku seharusnya merasakan kebahagiaan layaknya calon pengantin yang sebentar lagi akan naik ke pelaminan. Seharusnya aku bahagia karena statusku akan berubah menjadi seorang isteri. Dan... seharusnya aku berbahagia atas keputusanku menerima lamaran Mas Toni. Tapi sejak aku berjumpa dengan Mas Bram, entah kenapa dalam sekejap rasa cintaku padanya menghujam kedasar hatiku, Mba. Aku bahkan tidak punya kesempatan bahkan kekuatan untuk menepis perasaan itu. Aku merasa sangat berdosa karena tidak mampu menjaga hati. Bahkan aku juga merasa berdosa karena telah mengkhianati Mas Toni" tangis Kinasih pun pecah. Ajeng memeluk erat Kinasih.

"Besok adalah hari bersejarah untuk kalian berdua, Mba paham atas apa yang kamu rasakan saat ini. Berdo'a-lah kepada Allah agar DIA menghilangkan perasaan itu. Karena Allah-lah Sang Maha Pembolak Balikan Hati. Mba yakin, suatu hari nanti Mas Bram pun akan menemukan jodohnya. Dan kalian, bisa tetap menjalin tali silaturahmi. Persiapkan dirimu sebaik mungkin" ucap Ajeng memberikan semangat kepada sahabatnya.

Keesokan harinya, sejak matahari mulai muncul di ufuk timur, kerabat dan tamu undangan memenuhi halaman rumah yang telah terpasang tenda ungu untuk menyaksikan prosesi Ijab Qabul. Berbagai macam hiasan mempercantik tenda yg berukuran cukup luas. Meja dan kursi untuk acara Ijab Qabul sudah tertata dengan rapih, serta pelaminan yang berhiaskan bunga-bunga cantik beraneka warna. Calon pengantin mempelai pria beserta keluarga besarnya telah pula disambut kehadirannya. Toni selaku calon mempelai pria, ayah Kinasih, dua orang saksi, serta Penghulu telah duduk di kursinya masing-masing bersiap untuk memulai rangkaian acara. Sedangkan Kinasih, ia berada di dalam kamarnya ditemani oleh Ibu dan beberapa kerabat, termasuk Ajeng.

Acara Ijab Qabul berjalan dengan khidmat dan penuh rasa haru. Apalagi ketika Kinasih meminta izin kepada ayah dan Ibunya untuk menikah dengan pria yang menjadi pilihannya. Kinasih menangis. Ketika kedua saksi menjawab 'Sah', maka resmilah Kinasih menjadi isteri Toni. Semua yang hadir bergembira serta memanjatkan do'a. Kinasih keluar dari kamar pengantin didampingi oleh Ibu dan Ajeng, kemudian ia duduk bersanding dengan Toni yang sudah sah menjadi suaminya.

Banyak yang tidak menyadari kehadiran Bram ketika prosesi Ijab Qabul sedang berlangsung, Bram beserta Ibu dan adiknya memilih tempat duduk paling belakang. Bram menyaksikan detik-detik dimana Toni mengucapkan janji suci, menerima Kinasih menjadi isterinya dengan mas kawin seperangkat alat shalat serta perhiasan seberat sepuluh gram tunai. Andai pada saat itu tidak ada Ibu dan Ratih yang mendampinginya, mungkin ia akan segera keluar dari keramaian. Dikuatkannya dirinya untuk menerima takdir bahwa perempuan yang dicintainya telah resmi menjadi isteri orang lain.

Selesai acara Ijab Qabul, kerabat dan tamu undangan sudah membentuk antrian untuk menyampaikan ucapan selamat. Demikian pula dengan Bram, Ibu dan Ratih, mereka terlihat berada ditengah-tengah antrian. Setibanya di panggung pelaminan, mereka bersalaman dengan kedua orang tua Kinasih, kemudian mengucapkan selamat kepada Kinasih dan suaminya. Mengetahui kehadiran Bram, Kinasih tidak dapat membendung air matanya. Toni yang berada disamping Kinasih terlihat bingung dengan reaksi isterinya, namun hal itu tidak berlangsung lama karena ia segera sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu.

(Bersambung)

***

Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya?ikuti terus cerpen/cerbung Menjemput Cinta bagian ke-enam yang akan menjadi akhir dari kisah cinta antara Bram dan Kinasih.

2 komentar: