Berebut “Benar”

Tidak ada satu individu pun yang dapat terlepas dari sebuah relasi di masyarakat. Sependiam apapun individu tersebut, sekutu buku apapun dia, pasti akan memiliki sebuah relasi. Ntah itu dalam sebuah komunitas kecil maupun besar. Bentuk relasi ini pun semakin berkembang seiring kemajuan teknologi informasi yang menghadirkan relasi dunia maya. Bahkan relasi dunia maya lebih mendominasi, karena tidak perlu saling bertatap muka atau mengenal, relasi ini terlihat seperti tanpa beban. Orang lebih berani dan responsif dalam bereaksi. 
 Secara alamiah, sebuah relasi selalu berhadapan dengan interaksi yang akan memunculkan sebuah pilihan harus berpihak pada siapa atau justru bertahan pada keberpihakan terhadap diri sendiri. Dan, ukuran memilih posisi sebelah mana sangat bergantung pada “anggapan’ kebenaran yang dimiliki masing-masing individu. Pada tahap inilah biasanya, konflik akan mulai muncul. Dari yang paling sederhana, yaitu perbedaan pandangan akan sebuah kebenaran, hingga berakibat pada permusuhan. Bukan karena pertarungan benar-salah, lebih sering karena mempertahankan kebenaran masing-masing.
Lalu pertanyaannya, apa mungkin kebenaran itu bersifat jamak bukan tunggal? Ilustrasi Amartya Sen, peraih nobel, berikut mungkin bisa membantu menjelaskan fenomena ini. Sen dengan sangat sederhana menggambarkan bagaimana kebenaran tersebut bersifat plural, bukan monolistik. Bagaimana konflik bisa terjadi, meski sama-sama benar. Sen bercerita tentang Anne, Bob dan Carla yang bersahabat baik dan saling memahami kondisi masing-masing. Ketiga anak ini mulai menghadapi konflik saat menemukan sebuah seruling. Dan, mereka berdebat siapa yang paling berhak memiliki seruling tersebut berdasarkan kebenaran yang dipahami masing-masing.
Anne berpendapat dialah yang berhak memiliki benda tersebut. Dasar pemikiran Anne adalah karena hanya dia satu-satunya orang yang dapat memainkan seruling. Sehingga seruling tersebut akan lebih bermanfaat daripada diberikan pada Bob atau Carla yang tidak tahu cara menggunakannya.
Sementara Bob adalah anak termiskin diantara mereka bertiga dan tidak memiliki satu pun mainan. Sehingga, Bob berkeras bahwa dialah yang seharusnya mendapatkan seruling tersebut. Bob membangun argumentasi bahwa tanpa seruling tersebut, Anne dan Carla tetap dapat menikmati mainan lain yang banyak mereka miliki. 
Sedangkan Carla merasa paling berhak terhadap seruling tersebut karena dia telah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk membuat seruling tersebut. Dengan demikian, kebenaran akan wujud jika dia yang memiliki seruling tersebut.
Tergambar bahwa ketiga anak memiliki basis argumentasi dan justifikasi yang benar. Anne menggunakan pendekatan utilitarian (sesuatu dilihat dari kebermanfaatannya), Bob, menyorot dari sisi keadilan/egalitarian dan Carla berpegang teguh pada paham libertarian. Yang pasti, ketiga paham tersebut ada dan benar secara keilmuan. Ilustrasi Sen ini menjelaskan bahwa munculnya konflik tidak terbatas pada benar-salah saja, bahkan mungkin lebih karena pertarungan kebenaran antar individu.
Pertanyaan lanjutan yang muncul adalah bagaimana menyikapinya agar terhindar dari konflik? Pemikiran filsuf Jalaluddin Rumi mungkin dapat jadi rujukan. Rumi bilang bahwa kebenaran hakiki itu ibarat sebuah cermin besar dari Tuhan. Lalu jatuh berkeping-keping ke bumi, dan setiap kita mengambil kepingan tersebut, kemudian berteriak bahwa kitalah pemilik kebenaran.

Jadi, setiap individu memang berhak dan harus menyuarakan kebenaran. Namun, kita harus sadar bahwa kebenaran tidak hanya milik kita sendiri. Dan, konflik dapat dihindari dengan tidak berfikir bahwa kitalah yang paling benar. Atau bahkan lebih buruk, bersikukuh menyuarakan pembenaran.   

3 komentar:

  1. Dalam situasi tertentu, konflik justru diperlukan untuk membangunkan otak yang berpikir selalu benar. Menghindari konflik yang dilakukan berulang-ulang akan berakhir pada sikap apatis; "terserah apa yang menurut lo bener aja bro"

    BalasHapus
  2. Belum lagi kalo nafsu ingin mendominasi dan menguasai ikut bermain..

    Makanya, hukum positif sebagai ekspresi kontrak sosial (ala Rousseau) menjadi alternatif acuan untuk menengahi

    BalasHapus
  3. mantaaaafff....asyik banget diskusinya. Makasih bros atas komentarnya yang memperkaya & mencerahkan...

    BalasHapus