Penggunaan Motor di Ibukota: Solusi atau Penyebab Kemacetankah?


Kondisi kemacetan di Ibukota yang kian hari semakin parah membuat masyarakat semakin gerah. Boleh dibilang banyak wacana yang dikeluarkan sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan yang semakin parah ini. Tentu saja solusi yang diberikan juga mengandung pro dan kontra dikalangan masyarakat sendiri. Salah satu wacana yang sedang hangat-hangatnya dan tentu saja sarat pro dan kontra adalah larangan bagi sepeda motor untuk tidak melintas di sepanjang Jalan Sudirman dan Rasuna Said pada hari Senin s.d Jumat antara pukul 6 pagi s.d 11 malam.

Wacana ini tentu mengandung pro dan kontra dan dapat ditebak mana masyarakat yang kontra dengan aturan tersebut dan mana yang pro dengan aturan tersebut. Masyarakat yang kontra dengan aturan baru tersebut dapat dipastikan hampir 100% adalah pengguna motor di Ibukota. Terlebih lagi alasan munculnya pengaturan ini adalah dengan mengatakan motor adalah penyebab kemacetan di Ibukota. Lagi-lagi masyarakat pengguna motor memprotes dengan mengatakan hal yang sebaliknya. 1001 argumen muncul dari mulai kemampuan motor yang dapat menembus kemacetan dengan lincah sampai argument bahwa ukuran dimensi 1 mobil setara dengan 4 motor dimana 4 motor minimal membawa 4 orang sedangkan 1 mobil hanya membawa minimal 1 orang. Saya menggunakan ukuran minimal karena daya tampung maksimal 4 motor dan 1 mobil bisa merupakan ranah perdebatan yang tak kunjung usai.

Tapi benarkah bahwa motor merupakan penyebab kemacetan di jalan-jalan Ibukota? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut mari kita lihat secara lebih fair dari sudut pandang pengguna jalan yang lain baik itu sesama kendaraan bermotor maupun pejalan kaki. Sudah hal yang umum untuk melihat pemotor naik ke pedestrian ketika jalanan macet. Dengan kata lain hanya untuk menghindari kemacetan maka hak pejalan kaki harus dirampas demi kepentingan pengguna motor. Merupakan hal yang lazim pula melihat pengguna motor masuk ke jalur busway dan menghambat busway yang sudah melaju dimana busway tersebut membawa ratusan penumpang yang harus terhambat ketempat tujuan demi kepentingan para pengguna motor. Sudah hal yang lazim pula melihat pengguna motor yang berjalan di jalur yang berlawanan karena jalur yang searah sedang macet, sehingga pengguna jalan yang lain diwajibkan mengalah seolah hak mereka lebih inferior dibandingkan pengguna motor. Bahkan dalam kemacetan pun banyak sekali motor yang menggunakan celah antar kendaraan roda 4 atau lebih untuk melintas tanpa mempedulikan sisi sebelah mana dan sebesar apa celah tersebut.

Mungkin dalam pikiran para pengguna motor bahwa inilah kelincahan motor, padahal menurut saya inilah kezaliman para pengguna motor yang dengan egoisnya seolah ingin mengatakan bahwa “kepentingan ku lebih penting dari diri mu, jadi minggirlah”. Para pengguna motor banyak atau mungkin nyaris semua tidak paham bahwa perilaku mereka inilah yang menyebabkan pengguna kendaraan yang lain tidak dapat optimal menggunakan ruang gerak mereka karena terganggu oleh motor. Bagaimana mungkin pejalan kaki menyeberang jika zebra cross diisi motor dimana ketika lampu lalin hijau dan motor-motor dapat melaju dengan cepatnya dan tiba-tiba pejalan kaki gantian menyeberang mengganggu mobil sampai lampu lalin merah kembali. Bahkan untuk kejadian melawan arus, para pengguna motor akan beramai-ramai untuk melawan arus sampai akhirnya pengguna jalan yang berada di jalur yang benar harus berjalan pelan dan menyebabkan kemacetan di jalur tersebut sehingga munculah kemacetan yang diakibatkan para pengguna motor tersebut.

Jadi apabila ada argument bahwa motor adalah penyebab macet di jalanan ibukota, maka berdasarkan fakta tersebut, jawabannya adalah YA.

Bagaimana dengan argument bahwa justru motor merupakan solusi untuk kemacetan parah di jalan ibukota? Sekilas memang inilah jawabannya, terutama bagi mereka yang kesehariannya menggunakan motor. Tetapi sebelum pertanyaan ini dijawab maka biarlah para pemotor yang menganggap bahwa motor adalah solusi kemacetan menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu.

1.      Apakah anda pernah memacu motor di pedestrian?

2.       Apakah anda pernah memacu motor di jalur busway?

3.      Apakah anda pernah memacu motor dengan melawan arus?

4.      Apakah anda pernah memacu motor sambil memotong jalan kendaraan lain?

5.      Apakah anda pernah memacu motor di antara celah antar kendaraan pada saat terjadi kemacetan?

6.      Untuk pertanyaan dengan jawaban “Ya”, apakah anda akan mengulangi perbuatan ini lagi?

Saya yakin apabila pertanyaan ini dijadikan survey kepada para pengguna motor, maka lebih dari 90% akan menjawab “Ya” minimal salah satu dari pertanyaan nomor 1 s.d 5. Bahkan untuk pertanyaan ke 6 pun saya yakin sebagian besar dari mereka yang menjawab “Ya” pada pertanyaan sebelumnya juga akan menjawab “Ya” untuk pertanyaan ini, sedangkan sisanya akan menjawab “Tidak dengan catatan” yang bagi saya adalah justifikasi mereka untuk kembali melakukannya lagi. Bahkan untuk pertanyaan nomer 1 s.d 5 pun banyak yang akan menjawab "Tidak" tapi dengan catatan yang notabene adalah merupakan pembenaran mereka untuk menjawab "Ya".  Oleh karena itu adalah suatu fakta, bahwa yang mereka anggap sebagai solusi memang merupakan solusi bagi mereka tapi kezaliman bagi pengguna jalan yang lain yaitu pejalan kaki dan kendaraan bermotor roda 4 atau lebih.

Seandainya saja para pengguna motor yang dapat menjawab pertanyaan 1 s.d 5 dengan kata “Tidak” yang unconditional berjumlah 90% dari para pengguna motor yang ada di Ibukota, maka saya yakin bahwa para pengguna motor tidak akan menganggap motor sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan. Hal ini karena baik motor maupun kendaraan lain yang menggunakan jalanan Ibukota memiliki kontribusi yang sama dalam menyebabkan kemacetan di jalanan Jakarta.

Saya pun termasuk pengguna motor, walaupun tidak punya motor karena hanya sebagai pengguna jasa ojek online. Saya termasuk yang tidak setuju dengan aturan pelarangan motor tersebut, tapi saya lebih tidak setuju lagi dengan argument yang digunakan para pemotor tersebut. Dimana argument mereka pada dasarnya adalah pembenaran untuk perbuatan zalim mereka kepada pengguna jalan yang lain. Bahkan tidak jarang dalam menggunakan jasa ojek online saya selalu melakukan permintaan khusus yaitu “Mas, santai saja, yang penting nyampe dan gak usah ngelangar rambu” baru deh abang ojeknya mau disiplin. Tapi masa iya saya harus mengucapkan kalimat itu terus menerus.

7 komentar:

  1. Setuju Mas, motor baru bisa dikatakan jadi solusi mengatasi kemacetan kalau bisa menempuh jarak yang sama dengan lebih cepat dan tetap mematuhi peraturan lalu lintas

    BalasHapus
  2. Ingin sedikit berkomentar, karena sepertinya ini terkait tulisan saya sebelumnya (dari judulnya sih, semoga ga kegeer an, hehe..)

    Pertama saya tertarik dengan 6 pertanyaan terkait "dosa" pemotor di atas. Saya ingin membandingkan, apakah "dosa" itu hanya dilakukan oleh pemotor.

    Pertanyaan 1: Memacu di pedestrian. Mungkin iya, hanya pemotor yang bisa, kalau mobil kan ga mungkin jalan di trotoar kegedean. Tapi kalau konteksnya mengganggu jalur pejalan kaki, belum pernahkah melihat mobil-mobil yang diparkir di trotoar karena di jalan ada rambu dilarang parkir?

    Pertanyaan 2: motor di jalur busway. Singkat saja, setahu saya mobil juga banyak yang kaya gini

    Pertanyaan 3: motor melawan arus. Kalau untuk ini secara jumlah pasti pemotor lebih banyak yang melawan arus, lagi-lagi karena ukuran mobil kegedean kalau mau melawan arus. Itupun bukan berarti mobil melawan arus ga ada. Coba ke samping kantor kalau pengen tahu.

    Pertanyaan 4: motor memotong jalan kendaraan lain. Singkat saja, mobil juga sering.

    Pertanyaan 5: motor memacu di antara celah kendaraan. Loh, bukannya emang motor jalurnya di celah antara barisan mobil? Oh, maksudnya mungkin di depan mobil gitu ya. Ya kan kalau motor di depan mobil yang lagi berhenti karena macet, ga ngaruh apa-apa kan? lha wong emang semua lagi berhenti

    Pertanyaan 6: ini kembali ke masing-masing individu.

    Jadi kalau pakai teori di tulisan di atas, dengan mengungkit dosa pemotor, ternyata dosa yang sama dilakukan juga oleh mobil. Dan ini ranahnya penegakan aturan lalu lintas bukan ranah pembatasan jumlah kendaraan. Jadi menurut saya, jangan gunakan alasan dosa sebagai dasar pembatasan kendaraan. Dosa ini tugasnya pihak yang berwenang menegakkan aturan lalu lintas.

    Oh iya, bukan saya tidak setuju dengan pembatasan motor. Saya setuju. Tapi ya harus setara. Kalau mobil pembatasannya ganjil genap ya motor juga dong. Toh kalau pakai teori di atas, dosa pemotor juga dilakukan oleh pemobil

    Kalau kita punya anak kecil di rumah, dan perilakunya bikin rumah berantakan, apakah serta merta kita mengusir anak kita dari rumah?

    BalasHapus
  3. Komen mu koq bikin aq prihatin ndu.

    Saya emang ngomentari tulisan km, tapi sepertinya km gak jeli baca tulisan saya. Kan ada statement baik motor maupun mobil sama2 menyumbang kemacetan dengan proporsi yang sama. Nah, km sendiri tahu kan kalo pelanggaran banyak dimana-mana. kalo dibuat persentase mungkin pelangar mobil dan motor punya persentase yg sama (kalau mau lebih fair harus diteliti walau saya tidak heran apabila hasilnya motor lebih besar persentasenya daripada mobil, tapi untuk sementara anggap aja sama ya). Tapi berhubung populasi banyakan motor dan setau saya populasi motor 3 (atau sudah 4) kali lipatnya mobil di jabodetabek ya jelas secara kuantitas pelanggar motor lebih banyak daripada mobil. Dan yang lebih banyak pasti lebih keliatan kelakuan jeleknya daripada yang lebih sedikit.

    Saya cuma berharap kamu gak menganggap para pelanggar ini role model yang patut ditiru apalagi dijadikan justifikasi untuk ikut melanggar. Kalo iya, yowes tak cuma bisa prihatin aja ndu hahahaha.

    Untuk komen mu di pertanyaan 5. Dulu waktu bikin SIM C gak nembak kan? Masa celah sempit dianggap jalur motor, piye toh ndro. Tapi kalo gak ada dipertanyaan ujian SIM berarti yang salah ya yg ngasi ujian.

    Kalo soal anak, ya anak2 kalo maunya main didalam dan berantakan ya di usir aja supaya mau main diluar, bapaknya juga ikut keluar main ama anak2nya. Lagian kan lebih sehat main di luar rumah daripada di dalam kan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. siap mas... intinya saya cuma mau menunjukkan fakta bahwa dosa di jalanan bukan hanya dilakukan oleh pemotor... dan yang pasti insyaAllah saya ga seperti itu mas...justru saya anti dengan perilaku oengendara yg seperti itu.. saya coba mulai dari diri sendiri untuk jadi pengendara yang patuh.. hehe..

      Hapus
    2. Sip, aq hanya ingin menekankan bahwa pendapat motor sebagai solusi kemacetan itu keliru karena baik motor maupun mobil merupakan penyebab kemacetan. Di tambah lagi dengan jumlah populasi motor yang jauh lebih banyak dari mobil sehingga tambahan masalah dari motor semakin besar.
      Nah, coba dinget lagi pas ujian teori SIM C, disitu harusnya ada pertanyaan dimana motor seharusnya jalan dan opsi celah antara mobil itu merupakan jawaban yang salah. Ironisnya justru di lapangan hal yang salah ini yang selalu dianggap benar walau emang bisa dimaklumi jg mengingat kondisi jalan yg gak manusiawi. Tapi dengan membiarkan kesalahan itu sebagai solusi ya bahaya juga. Masa iya kondisi yg gak manusiawi mau di pertahankan.
      Dan terus terang kebijakan publik penuh trial n eror juga, km kalo ambil diklat tentang kebijakan publik pasti ngerti maksud q apa. Dan yang sekarang memang lagi di coba motor yang dikorbankan, nanti juga yang bikin kebijakan sadar kalau itu keliru. Tinggal masalah kapan hehehehe

      Hapus
  4. hehehhehe...ramai ya isu motor ini. Jadi pengen ikut berkomentar, tapi bukan masalah konten artikel Mas Pandu yang ditindaklanjuti oleh artikel Mas Arie ini. Komen saya lebih kepada sharing kepada Mas Pandu bahwa kita tidak bisa bahkan tidak tepat mengomentari komentar orang lain terhadap artikel kita. Mengapa? Karena bagi seorang penulis, jika sudah berani mempublikasi tulisannya maka tulisan tersebut menjadi milik pembacanya. Bukan lagi milik penulisnya (dalam arti pilihan sikap terhadap tulisan tsb). Apa yang dilakukan Mas Arie sangat tepat, perbedaan pandangan atau sisi lain yang ingin diungkapkan dilakukan dengan menulis artikel tersendiri. Nah, jika Mas Pandu memiliki pandangan lain terhadap tulisan Mas Arie, ya Mas Pandu menulis lagi artikel lainnya sebagai counter atau menyikapi perbedaan tsb. Karena dengan cara seperti itulah ilmu pengetahuan berkembang...semangat Mas Pandu, tulisan Mas bagus dan menunjukkan bakat Mas yang tinggi dalam menuangkan ide dan gagasan yang ada di kepala.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap pak... wah senang sekali dapat ilmu baru.. alhamdulillah bisa nambah pengetahuan dan perbaikan diri... terima kasih pak

      Hapus