Bis Jemputan dan Perilaku Ekonomi

Kalau ilmuwan menggunakan laboratorium untuk melakukan pengamatan, percobaan dan pengambilan kesimpulan, ekonom ala-ala macam saya yang malas melakukan observasi ke daerah pedalaman Indonesia, cukup menjadikan populasi rombongan kereta (roker), sopir bajaj, dan sopir jemputan di stasiun Tanah Abang sebagai objek pengamatan, membandingkan dengan teori ekonomi yang samar-samar masih teringat, dan menarik kesimpulan ‘nyerempet’ motivasi ekonomi gitu. Supaya kelihatan ilmiah, saya membatasi lingkup populasi dengan roker PNS Kementerian yang berkantor di Lapangan Banteng Timur.

Ketertarikan saya untuk mengamati dimulai dari fonomena euphoria roker yang menuntut unit mereka bekerja menyediakan jemputan stasiun-kantor di pagi hari, dan sebaliknya di sore hari. Tercatat 5 eselon 1 yang pada mulanya mengadakan jemputan. Kadang, rekan se-Bajaj saya di luar eselon 1 tersebut berceletuk, “Sayang Setjen ga ada jemputan”, atau, “Andai saja DJA juga ada jemputan”. Pada akhirnya, jemputan 2 eselon 1 bubar, sementara saya kerap mendapat tawaran dari anggota 3 jemputan eselon 1 lainnya untuk ikut bergabung jadi peserta jemputan. Kalau saya jawab, “Ah, nanti saya menggusur hak pegawainya sendiri.” Jawabannya biasanya sama,”Ga juga, kok. Siapa aja yang datang duluan.”

Sebenarnya, perlu ga sih jemputan itu? Kenapa pada akhirnya jemputan ini mengalami kemunduran?

Konon, keputusan ekonomi  diambil berdasarkan motivasi para pelakunya, setelah mempertimbangkan manfaat dan biaya memperoleh manfaat tersebut. Masih ingat kan semboyan, dengan biaya seminimal mungkin memperoleh manfaat sebesar-besarnya? Manfaat maksimal setelah memperhitungkan biaya, kita sebut saja pay-off, yaitu tingkat kepuasan bagi seorang pelaku ekonomi.

Pay-off idaman bagi setiap roker adalah tiba di kantor paling lambat jam 7.30 dengan biaya minim, paling tinggi sebesar tarif jemputan, Rp5.000,00. Apalagi, ada yang benar-benar gratis. Sementara, pay-off bagi penjemput: penumpangnya penuh, mengantar tepat waktu, lebih maksimal lagi kalau ada tambahan uang saku paling tidak untuk membayar jatah preman di tempat tunggu stasiun tanah abang. Dengan kondisi seperti ini, terjadi kesepakatan -ekuilibrium, istilah kerennya- bis akan berangkat paling lambat pukul 7.10 dari stasiun tanah abang, dengan biaya Rp5.000,00 untuk 3 eselon 1. Sementara, 2 lainnya gratis dengan jadwal keberangkatan sama.

Kiranya, ekuilibrium ini tidak sustain, karena masih ada pay-off yang lebih tinggi bagi masing-masing peserta jemputan. Seperti misalnya, karena sering terjebak ‘bekerja nyaris jam pulang kantor’, sehingga pulang malam, atau aktivitas rumahan ibu-ibu yang padat sebelum berangkat kerja, jadi lebih memilih jadwal kereta yang lebih telat di pagi hari. Awalnya ada toleransi menunggu penumpang lain yang agak siang supaya fasilitas ini tetap dimanfaatkan secara optimal. Namun, perubahan komitmen ini, mengundang peserta lain untuk melakukan ‘penyimpangan’ juga demi mendapat pay-off maksimalnya. Menunggu late comer membuat mereka pulang lebih sore dengan ongkos lebih mahal dan terlambat bertemu keluarga. Mereka kemudian merubah tingkat kepuasannya kepada: sampai kantor maksimal jam 7.30, dengan biaya setidaknya Rp8.000,00 s.d Rp9.000,00 menggunakan bajaj bertiga dengan roker lainnya. Karena penumpang mempunyai tujuan sendiri-sendiri, jemputan jadi tidak optimal kan? Apalagi, sopir penjemput ada tugas lain yang menyebabkan kadang jemputan ada, kadang tidak.

Mau membahas arah sebaliknya, kantor-stasiun?? Dengan maraknya rapat dalam kantor yang mengharuskan pulang lewat waktu Isya, ST luar kantor, atau ‘tiba-tiba’ ada pekerjaan menjelang jam pulang, pemandangan apa yang bisa dibayangkan dari bis-bis jemputan ini? Malas saya kumat untuk menganalisis dengan hitung-hitungan pay-off. Hehe… Bis yang bertahan lama meski sebagian besar penumpangnya lowong, bisa jadi, hanya karena sang sopir memiliki kepuasan immateri berupa dedikasi atas pekerjaannya: mengantar pegawai-pegawai ini ke tujuan, berarti menjalanksn tugas dengan baik.

Di setiap kesepakatan, perlu konsistensi dari semua pihak yang terlibat untuk tidak menyimpang dari kesepakatan itu. Iming-iming ‘pay-off’ yang lebih menggiurkan untuk setiap roker, membuat ‘kebaikan hati’ instansi memfasilitasi pegawainya sampai kantor tepat waktu dengan ongkos seminim mungkin -secara mengejutkan- tidak menjadi pilihan pertama bagi pegawainya sendiri, gratis sekalipun. Padahal, menurut pengamatan ‘ala-ala’ saya, jemputan itu semacam ‘campur tangan’ pemerintah menekan laju permintaan akan jasa bajaj yang kalau begitu banyaknya, ditangkap sopir bajaj sebagai kesempatan menaikkan harga. Yang lebih prihatin lagi, operasional jemputan ini kan pakai uang negara, menyia-nyiakan fasilitas ini berarti menyiakan keringat pembayar pajak. Hallaahhh, berlebihan ya? Namanya juga ala-ala … 🌾


2 komentar:

  1. Setuju mbak, seharusnya memang ada komitmen dan kesadaran dari pengguna jasa jemputan sehingga tercapai titik keseimbangan yang diinginkan. Secara pribadi saya tidak terlalu setuju dengan adanya fasilitas antar-jemput stasiun-kantor ini, dengan alasan antara lain itu tadi; dalam kurun waktu tertentu akan terjadi pemborosan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

    BalasHapus
  2. Terima kasih, pendapatnya, pak. Lega ternyata ada yg sependapat. :) Pak In emang konsisten ya kalo udah menyangkut efisiensi. Jempol dahh.

    BalasHapus