Di Mana Tuhan?

Tetiba saya disergap pertanyaan itu oleh seseorang menjelang masuk elevator menuju ruang kerja. Kami hanya bertiga waktu itu, tapi pertanyaan tiba-tiba itu cukup membuat saya sangat kikuk dan kaget. Ehh … serius atau bercanda nih? Berseloroh hal mendasar di lift?

Untuk meyakinkan, saya beri ‘umpan’, “Wahh buat apa bertanya begitu, Pak? Maqom saya belum sampe, kayaknya,” tidak lupa menebar senyum.”Lho … bukan soal maqom-maqoman, mbak. Supaya ibadah kita lebih khusyuk kalau kita tahu di mana Tuhan.” Nampaknya serius, tapi perjalanan lift kan tidak lebih cepat dari (sekitar) 5 kedipan mata.

Saya tidak bisa bermain voli, tapi saat itu saya merasa menjadi seorang tosser dadakan, melempar pertanyaan kepada muslimah anggun berhijab di sebelahnya, “Mungkin mbak Anggun bisa jawab, Pak … hehehe.” Si bapak menatap mbak Anggun sambil tetap melibatkan saya dan berujar, ”Pakai jilbab kan biasanya sudah punya ilmunya.” Ehmm… rasanya seperti kena smash. “Wah, jadi kita mau bicara di level apa nih? Syariat, tarikat, atau makrifat?” Saya berseloroh sok ‘punya ilmu’nya.

“Kita bicara di level PNS aja, lah yaa. Kita kan PNS.” Dan, saya merasa terselamatkan ketika pintu lift terbuka, bapak & mbak Anggun keluar di lantai yang berbeda dengan saya. Itu saja, dan saya lega.

Saya baru terfikir kira-kira jawab apa, justru saat pulang kantor, ‘terjebak’ menunggu hujan berhenti di musala Bxchange dari waktu maghrib sampai isya, sesekali melirik kedai ‘Marugame Udon’, berharap antrian mengularnya jadi pendek supaya saya bisa duduk di salah satu kursinya sembari menyesap ocha panasss. Alhamdulillah … enaknya jadi ibu bekerja kekinian, bisa menunggu hujan reda tanpa meninggalkan sholat, sambil cuci mata di mal. Eh...he...he...he.

Tapi saya kan bukan sufi, lagian, bacaan tentang tauhid sulit menarik minat saya (haddeuuhh… sambil tertunduk lemas).

Berkali-kali order ojek on line dengan gonta ganti provider gagal, membuat memori saya belasan tahun yang lalu tentang pertanyaan “di mana Tuhan” datang lagi lamat-lamat. Tepatnya, 2 minggu sebelum pernikahan saya. Mantan calon suami datang selepas pulang kerja mengantar kelengkapan dokumen nikah, diantar mas-mas yang katanya teman baiknya.

Mungkin supaya cair, si mas ‘teman baik’ mulai berbincang masalah agama. Karena saya berjilbab, kali yeee. Eh, ujungnya dia tanya,”Mbak tahu ga di mana Allah?” Pertanyaan macam apa itu? Saya membatin. “Wah, terus terang saya tidak pernah berfikir begitu.”

“Lho … gimana sih? Ini penting, menyangkut tauhid! Buat apa sholat kalau di mana Allah ga tahu?”

Ehm, jiwa muda saya terpancing. Siape elu menyepelekan sholat gue, “Saya sholat untuk ingat Allah, supaya saya tenang.”

“Emang ga belajar tauhid?” mantan calon suami saya diam, tidak berusaha menjawab sekedar membantu saya. Gue dites nih?? “Di atas langit, kalo berdasar al Baqarah 255. Toh, kita berdoa juga menengadahkan tangan ke atas.” Ahh…jangan tanya saya tentang dalil yang saya kutip. “Jauh amat. Padahal Allah jawab di ayat berikutnya,’Jika hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka jawablah Aku dekat’. Jadi, di mana Allah?” It was getting me frustrated, tapi belum menemukan cara yang sopan untuk mengusir.

“Berarti di bawah? Kata Rasulullah, saat terdekat seorang hamba dengan Rabb-nya kan saat sujud,” saya masih berusaha sopan.

“Itu lah kalo pemahaman masih tingkatan syariat. Allah itu sesungguhnya dekaaat, lebih dekat dari urat leher sendiri. Lihat surat Qaf ayat 16. Itu pemahaman kalau orang sudah mencapai tingkatan makrifat. Keberadaan Allah itu dekat sekali, bahkan menyatu dengan kita. Kalau sudah makrifat, orang ga perlu lagi amalan-amalan syariat seperti sholat.”

“Lho? Jadi engga sholat? Rasulullah saja yang begitu dicintai Allah tetap sholat!” Intonasi saya mulai naik. Alamak, sudah ngantuk nih jangan pula diajak diskusi berat.

“Rasulullah itu teladan, dia tidak bisa melakukan sesuatu yang bisa-bisa ditiru umatnya. Tidak sembarang orang ada di tingkatan makrifat,” kilah si mas.

“Tapi Rasulullah tidak pernah menyampaikan juga bahwa kalau sudah sampai tingkatan tertentu, orang boleh tidak sholat.”

“Ada buktinya. Tahu konsep mukjizat, karomah, maunah?” Entahlah, ilmu saya kali ya, yang belum sampai. Selebihnya, saya jadi ikutan diam dan mengangguk sesekali sekedar menghormati. Menjelang tengah malam, saya semakin shock, penat, dan merasa indoktrinasi ini tak berujung, saya tegas menyela,”Maaf mas-mas. Saya mau istirahat!” Mereka pulang meninggalkan saya yang panik. Kenapa gue baru tahu temennya sekarang ya? Dia juga ikut faham itu? Siapa imam gue kalo dia sudah merasa di tingkatan makrifat?

Keesokan harinya, sekejap dari salam terakhir sholat shubuh, saya marah-marah di telepon,”Mas menganut faham seperti itu? Kenapa teman dekat mas seperti ingin mendoktrin aku?” Berkali-kali mantan calon saya itu bilang, dia tidak terafiliasi dengan faham fanatik apa pun. Sholat tetap kewajiban buatnya, sampai maut menjemput!!! Dia hanya hendak mengenalkan lingkungan macam apa yang ada di dekatnya, supaya saya tidak kaget. Maklum, masih asing dengan plularisme (nahh kan.. menuliskannya saja salah). Sampai berkali-kali meyakinkan saya dengan sumpah, akhirnya jadi juga dia suami saya.

Setelah memutuskan menarik sauh untuk berlayar, mengarungi samudera kehidupan bersama suami, saya lalai lagi dengan esensi mencari di mana Tuhan? Buat saya, hidup itu macam menembus gelombang tinggi menuju badai, dari satu ke yang lainnya. Saya disibukkan dengan bagaimana mempertahankan bahtera agar tidak tenggelam saat ombak menghempas. Panik menjaga supaya tidak oleng meski digoyang riak-riak kecil. Yahhh … sering juga sih perjalanan seindah laut yang tenang di malam hari berhias gemintang.

Tapi, coba bayangkan! Pekerjaan beres, anak keluar masuk rumah sakit. Keluarga sehat, ekonomi terasa jauh dari pas-pasan. Keuangan mulai stabil, keluarga dekat minta perhatian. Pekerjaan dan keluarga terkendali, eh… mantan minta balikan (ha ha ha … bohong banget nihhh).

Saya benar-benar tidak ingat pentingnya mencari di mana Allah. Kalaupun kemudian saya sering-sering memanggil nama-Nya, hanya karena saya benar-benar perlu meyakinkan diri bahwa Dia bersama saya melewati gelombang dahsyat kehidupan. Kalau saya lantas banyak-banyak memohon ampun, hanya semata supaya Dia memaafkan khilaf saya saat salah bermanuver melintasi badai cobaan. Lalu, kalau pun harus bersujud dalam-dalam, lebih karena memohon bimbingan-Nya supaya saya tidak sesat mengambil haluan. Tapi, kalau ditanya di mana Allah, di mana Tuhan, saya menyerah menjawab.

Ahhh … kok jadi panjang ya? Biarlah saya tayangkan saja ke BnD. Setidaknya, saya bisa memohon, jangan tanya saya lagi, ya, di mana Tuhan. Kalau mau memberitahu dengan dalil yang mencerahkan, saya tidak menolak, malah belajar. Karena kalau saya diminta jawab, lagi-lagi hanya akan mengingatkan kejadian traumatis yang nyaris membuat saya gagal kawin. Mudah-mudahan, mbak Anggun sudah memberi jawaban yang memuaskan. 🌾

12 komentar:

  1. Bagus mbak, kaya lagunya Bimbo gitu ya, "engkau jauh Aku jauh, engkau dekat Aku dekat"...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Allah selalu dekat, kita yang sering menjauh. Kayaknya seperti itu, bu Di. Terima kasih ibuu :)

      Hapus
  2. Baca tulisan Mbak Puji saya jadi ingat cerita Pak Hikmat Hardono, Ketua Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar.

    Bersampul merah lusuh dengan kertas coklat buram, adalah salah satu buku bacaan masa kecilnya. Isinya kumpulan kisah 25 nabi. Salah satu kisah yang paling membuatnya terkesan adalah kisah Nabi Ibrahim. Dalam kisah itu diceritakan betapa Ibrahim bertualang menemukan Tuhan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam kegelisahan hidupnya. Dalam komik bergambar yang juga dibacanya, ilustrasinya malah lebih terang benderang. Ibrahim digambarkan sedang memandang alam dan ada balon-balon pikiran tentang Tuhan.

    Sejak itu ia percaya setiap orang (selalu) bisa menemukan Tuhan dalam petualangan hidupnya sendiri. Setiap benda, debu dan partikel adalah peluang-peluang untuk bertanya, mencari, dan menemukan perjalanan spiritualnya sendiri. Lalu sampai ia meyakini–atau tidak meyakini–dengan sepenuh hati tentang Yang Maha Pengasih itu.

    Karena itu pula dalam seleksi asisten Ketua Yayasan GIM selalu ada tulisan esai tentang Tuhan. Esai wajib ini memang sengaja dinyatakan dengan judul provokatif. Asistennya saat ini, sewaktu seleksi menulis esai “Manfaat Tuhan bagi Orang Miskin”. Asisten sebelumnya menulis “Mengapa Tuhan Harus Ada”.

    BalasHapus
  3. Terima kasih, komentar mas Rahmat justru menyentuh sekali. Mungkin karena Tuhan ingin dikenal secara intim dan personal oleh hamba-Nya, membuat cara menemukan Dia tidak cukup hanya membaca kitab, buku atau malah debat kusir. Melainkan lewat perjalanan batin, jatuh bangun dalam kehidupan ^_^

    BalasHapus
  4. Saya pernah juga mengalami fase dimana saya mempertanyakan "dimana Allah..?". Pertanyaan itu keluar begitu saja dalam alam pikir saya, dulu... sekitar tahun 2003-an sewaktu saya masih bertugas di Surabaya.

    Saya merenung dan mencoba menjawab pertanyaan itu dengan segala keterbatasan pengetahuan yang ada. Seingat saya, dua minggu lamanya saya mencoba itu, selepas Isya saya merenung dan mencoba mengkaji sekali lagi dengan segala keterbatasan pengetahuan saya.

    Saya beranjak dari asmaul husna "Al Kabiir" dan "Al Awwal". Lalu surah Qaff 16, Al Baqarah 115, dan Al Ikhlas 1. Saya sampai pada jawaban terhadap pertayaan "Dimana Allah?" yang saya pikir untuk saya pribadi. Mungkin untuk anak dan istri kalau mereka mau dan sependapat.

    Tapi ada hal menarik yang kemudian saya dapati dan sadari... Mempertanyakan "Dimana Allah" itu (menurut saya pribadi) adalah kurang tepat.. Yang lebih tepat pertanyaannya adalah "Dimana kita?". Manakah yang sesungguhnya lebih "nyata ada"? kita atau Allah?

    Kalau kita menjawab "kita lebih nyata ada daripada Allah" (karena bisa dilihat dan diraba) barulah pantas berkutat dengan pertanyaan "Dimana Allah?". Tapi kalau ada sebagian kita yang menjawab bahwa "Allah lebih nyata ada daripada kita dan alam semesta ini" maka pertanyaan "Dimana kita?" itu lebih tepat untuk dibahas, karena pantaskah sesuatu yang tidak lebih nyata mempertanyakan Zat yang lebih nyata?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Woww filosofis sekali, ya. Terima kasih, mas Iqbal. Saya sendiri belum berhasil menyimpulkan. Hanya berusaha merasakan dan meyakinkan diri, bahwa Allah selalu ada saat senang, apalagi susah :)

      Hapus
  5. Tulisan mba Puji ingin menggugah saya ingin menulis kembali soal ujian Allah pada hamba Nya. Rahmat dan Iqbal telah memberikan secercah warna tentang keberadaan Allah dan diri kita sebagai manusia yang tidak lain adalah hamba Nya. Nyata kah ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, pak Ruly. Berbahagia sekali orang yg setiap ujian menimpa justru semakin membuatnya merasa perlu mendekat kepada Tuhan :)

      Hapus
  6. pertanyaan "dimana Allah" berarti menganggap Allah tersubordinasi oleh "tempat", Allah lebih kecil dari "tempat", dan karenanya menganggap Allah sebagai "sesuatu" yang terbatas... Padahal, Allah itu maha besar, tak terbatas.. Allah "Ada" melampaui "waktu" dan "tempat"..Allah itu al awwal sekaligus al akhir...

    lalu "dimana Allah" ??
    kalo yang bertanya adalah anak kecil, sy akan menjawab Allah itu di surga..karena kebahagiaan terbesar orang yang masuk surga itu adalah "melihat Allah"..jadi, di sanalah Allah..dan untuk bisa menemui-Nya, tidak lain dan tidak bukan adalah selalu berbuat baik, berakhlaq baik, dan berpikir yang baik-baik (jadi kalo udah dewasa tidak lagi berpikir nakal bertanya "dimana Allah" hahahaha):D

    salam...


    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, mas Sufthi. Hmmm ... jadi nakal yaaaa? :D

      Hapus