Angin. Hujan. Salju


Angin. Hujan. Salju.

Itulah tiga hal yang bisa membuat semua orang menghentikan kegiatannya tanpa kehadiran rasa bersalah.

Seperti saat ini ketika Missy melihat seorang ibu berjuang mempertahankan payungnya yang bengkok tertiup angin kencang. Missy sendiri juga sedang berjuang mempertahankan pijakan kakinya yang doyong terombang-ambing hembusan udara dari delapan penjuru. Kedua tangannya penuh menggenggam kantong plastik seberat 3 kilogram berisi telur, beras, susu, dan sayuran. Dipasrahkannya payungnya untuk mengapit di ketiak kirinya ... sementara ia berpikir bila harus melepaskan salah satunya, manakah yang harus terbang lebih dahulu: payung, jaket ... atau sayuran, telur dan susu? Saat inipun ia juga bingung mencari cara untuk merogoh kantong mantelnya yang berisi dompet dan kunci elektronik. Tanpa kunci ia tidak dapat membuka pintu untuk masuk dan menghangatkan badannya di dalam. Kedua tangannya sudah penuh dengan payung dan kantung belanja berisi bahan makanan. Bila dilepaskannya barang-barang itu untuk terbawa angin, ia bisa saja membuka kunci gedung ini .... tapi apa gunanya berada di dalam rumah dengan kebasahan dan kelaparan.

Musim gugur tersohor dengan merah dan jingganya daun maple berguguran, atau ... ranggasan pohon dengan ranting-ranting menjulang bak jari-jemari lentik yang menggapai langit lembayung yang merona. Tidak banyak yang memperingatkan tentang seringnya kejadian hujan mendadak diiringi angin kencang ... atau pemandangan orang-orang dan sepeda tergelincir di jalan berbatuan.

Tentu saja ketika Jake dan Nicholas bertanya apakah ia betul-betul kerasan belajar di tempat ini, Little Missy hanya bisa terheran-heran dengan skeptisisme mereka, "Kok bisa?" Sebab baginya semua terasa indah-indah saja. Sambil berjalan Jake menadahkan tangannya ke tetesan hujan di udara sementara Nicholas berkomentar sarkastik, "Like this weather? Weeeaaather? Wet! See!?" Missy hanya bisa tertawa karena ia tahu di belahan dunia lainnya ada kota dengan 10 juta penduduk yang kenyang dengan banjir tahunan. 

Perlukah ia menceritakan kepada mereka tentang orang berselancar dan mengayun perahu karet di jalanan Jakarta? Atau bagaimana kalau ia bercerita tentang Jaguar yang mogok di "kolam" banjir di Bunderan HI? Ia tahu kalau Ella dan Christine tidak tertarik kisah-kisah semacam ini, karena bagi mereka Jakarta tidak sefamiliar Paris dan London tempat liburan rutin di musim panas. Untuk kedua gadis ini, Little Missy hanyalah satu lagi orang kere dari dunia ketiga yang "beruntung" untuk bisa hadir di tengah ruang kelas mereka. Meski banyak teman-temannya memandangnya dengan kasih-sayang ... sejujurnya ia merasa lebih banyak porsi kasihan daripada sayang.

Tapi Missy tidak menceritakan kepada siapapun tentang kesukaannya pergi ke luar ruangan ketika salju mulai menebal. Ia senang melihat jejak sepatu boots nya terbenam di hamparan “permadani” putih. Kebiasaan konyol yang lahir setelah kejadian di suatu petang ketika ia menyiapkan makan malam di dapur. Tak seperti biasanya, suasana di luar jendela terasa senyap. Padahal biasanya ia mendengar gemerisik pohon-pohon dan hembusan angin menyertai rintik hujan. Kali ini ia tidak mendengar apapun .... dan kesenyapan inilah yang memaksanya untuk beranjak ke jendela. Dan ia nyaris tidak melihat apa-apa. Kecuali warna putih dan abu-abu.  

Dibukanya slot kunci jendela untuk melihat ke jalanan di bawah. Dari ketinggian delapan lantai, hampir semua tertutup warna putih ... kecuali satu atau dua mobil yang melintas perlahan. Sepertinya hanya benda-benda bergerak saja yang tidak tertutupi dengan warna putih. Dan ketika ia memberanikan diri untuk merogohkan tangannya ke luar jendela ... ia melihat butiran-butiran putih berkilauan jatuh di jemarinya lalu menghilang sekejap mata. 

Butir-butir salju hanya menetap di tempat yang dingin dan beku. Di tubuh manusia, seperti telapak tangan Missy ... ia akan berganti wujud menjadi butiran air. Missy melihat telapak tangannya mulai basah karena lelehan salju. Sesaat ia merasa sedih karena menyaksikan keindahan yang hilang begitu saja tanpa bekas. Dirogohnya kembali tangannya ke dalam kantung piyama. Di dalam sini terasa lebih hangat. Dan kering. Namun pikirannya tak bisa lepas dari fananya kristal-kristal salju tadi. 

Untuk mengobati kesedihannya, Missy berfilsafat sendiri, 

"Apakah mungkin ini artinya tidak semua keindahan di dunia ini harus dimiliki? Apakah kita hanya perlu untuk mengetahui saja? 

Apakah usaha kita untuk mempertahankan hal-hal yang dicintai bisa menjadi awal dari kemusnahannya sendiri?"

Setelah capek berfilsafat di dapur, Missy mengalihkan pandangannya dari jalan di bawah ke kompleks gedung di seberang sana. Beberapa jendela juga terbuka seperti jendelanya. Ia melihat satu sosok tinggi yang sedang berdiri di dekat kaca jendela sambil menengadahkan kepala mencari arah muasal turunnya kristal-kristal putih itu. Dan ketika kepala itu tegak kembali ... ia tersentak melihat Missy, lalu beranjak kembali ke dalam.

2 komentar: