Toga Ke-Empat

Pagi itu, Depok dianugerahi gerimis. Saya sebut anugerah, karena gerimis selalu berhasil menghadirkan suasana hati yang seimbang dalam proporsi yang sempurna. Gerimis pagi itu terjadi pada Sabtu, Dua Februari 2019. Gerimis yang menjadi saksi penyematan toga ke-empat yang berhasil disematkan di kepala. Seperti ketiga toga sebelumnya, toga kali ini pun diperoleh dengan segala perjuangan dan pengorbanan: moril, materil, emosi dan waktu. Selalu ada kisah naik-turun yang menyertainya. Tidak hanya cerita tawa, tapi juga  keterpurukan karena ketiadaan data, jenuh dengan berbagai jenis literatur, bahkan amarah saat lalai menyimpan hasil olah data dan jaringan listrik padam.
Toga ini menjadi penyempurna dari segala pergulatan akademis di berbagai levelnya. Toga ke-empat ini seperti hidangan penutup, yang menyempurnakan sajian menu makan malam romantis bersama kekasih hati.  
Senang…, pasti!!!
Bangga…, apalagi!!!
          Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Euforia tersebut berhenti di hari ketiga. Setelah pertanyaan jahil muncul di kepala “Setelah Doktor, trus napa?”
       Sebagai manusia yang dilengkapi syahwat berupa eksistensi diri dan pengakuan lingkungan, saya juga tidak luput dari kepemilikan ekspektasi yang kadang melampaui kursi langit. Ada arogansi “merasa berhak” atas sesuatu yang mulai menggoda diri. Ekspektasi dan arogansi yang terus tumbuh hampir tanpa kendali. Hingga…, kitab Adam Smith yang ditulis pada tahun 1776 berhasil menghancurkan semua pondasi negatif yang sudah mulai mengeras. Membaca kembali kitab suci para ekonom ini, menarik kembali pada kesadaran bahwa akan selalu ada “kekuatan tak terlihat” yang dapat merubah sesuatu.
Jika, Eyang Smith menyatakan bahwa terdapat “invisible hands” yang akan menyeimbangkan pasar. Saya mengadopsinya bahwa selalu ada “invisible constraints” yang dapat menggagalkan keinginan. Ya…keinginan, bukan tujuan apalagi cita-cita. Karena keinginan adalah sebuah subjektivitas, sedangkan tujuan atau cita-cita merupakan objektivitas. Perbedaannya terletak pada rasionalitas ukuran yang digunakan. Subjektivitas tidak dapat dilihat relevansi logisnya, it’s all about  individual's preference.
Kesadaran ini sangat berharga karena dapat mengendalikan ekpektasi dan membunuh arogansi yang tidak perlu. Kesadaran ini pun perlu dibagi, bahwa sekolah itu untuk membentuk cara berfikir kritis sehingga meningkatkan kinerja. Sekolah itu untuk menuntut ilmu, dan….
Ilmu dipelajari, (bukan) untuk promosi;
Ilmu dipelajari, (bukan) untuk kaya;
Ilmu dipelajari, (bukan) untuk menangan;
Ilmu dipelajari, (bukan) untuk populer;
.
.
. 
Ilmu dipelajari, untuk diamalkan…        

2 komentar: