Andai Mereka Tahu...


“Aku harus bayar kos, pak. Setahun langsung!” dengan wajah ketus dan suara tegas Tika menyodorkan pesan di ponselnya kepadaku.
“Berapa?” aku bertanya sambil menahan batuk. Seminggu ini aku terserang batuk yang agak mengganggu aktivitasku. Mungkin karena sering sekali aku terpapar angin malam.
“Empat juta.”
Mendengar jumlah yang disebutkan Tika,  peluh membasahi sekujur tubuhku. Jumlah yang sangat banyak untukku. Agar bisa  mendapatkan uang sebanyak itu aku harus narik ojek selama empat puluh hari nonstop. Saat ini, belakangan ini order ojek yang masuk ke ponselku  minim karena aku agak sulit bersaing dengan para pengemudi ojek online yang masih muda dan lebih lincah. Aku juga sering terserang penyakit kalau kelamaan narik.
Di sisi lain, rasanya tak mungkinlah aku  menolak keinginan anakku sendiri. Akulah yang meminta Tika untuk meneruskan kuliah. Aku tak ingin anak-anakku bernasib sepertiku yang tak pernah memegang uang lebih karena sebagian besar penghasilan kukirim ke kampung untuk membiayai keperluan sehari-hari istri dan anak-anakku. Belum lagi aku juga harus menyisihkan sebagian penghasilan untuk membayar sewa kamar dan keperluanku sehari-hari.
“Pak, kok diem aja? Kalo nggak sanggup membiayaiku kuliah, buat apa sih kemarin maksa-maksa aku kuliah?” Aku tak sanggup menatap mata Tika yang  marah  kepadaku.
“Bapakmu itu memang nggak becus nyari duit. Utang ke kakekmu aja sampai sekarang belum dibayar,” tiba-tiba lewat didepanku dan menimpali obrolanku dengan Tika.
Jiwaku meronta mendengar ucapan istriku. Ingin rasanya aku balik memarahinya, tapi aku tak berdaya. Aku memang laki-laki lemah yang gagal melaksanakan tugas sebagai suami dan bapak yang baik bagi istri dan anak-anakku. Saat ini, hanya diam membisu yang bisa kulakukan.
“Pokoknya aku nggak mau tau, uang kos Tika harus dibayar secepatnya.”
Tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab, istriku memintaku membayar uang kos Tika dan langsung berlalu dari hadapanku.
“Udah untung aku dapet beasiswa, pak. Jadi bapak nggak harus bayar uang kuliahnya. Bapak cuma kuminta bayar uang kos aja. Bahkan uang bulanan aja, bapak hanya ngasih sedikit tiap bulannya. Seringnya nggak cukup.”
 Semakin lama cara Tika meminta kepadaku semakin mirip dengan ibunya. Aku memang bersalah karena tak setiap hari aku berada diantara mereka karena aku harus mencari uang buat mereka di ibukota, sedang pengasuhan anak-anak kuserahkan sepenuhnya kepada istriku di kampung.
“Iya bapak tahu, kamu anak yang pintar. Bapak berterima kasih karena kamu bisa dapat beasiswa. Itu meringankan beban bapak. Bapak bangga padamu, nduk.”
Tika memalingkan wajahnya mendengar ucapanku. Mungkin apa yang kukatakan padanya sama sekali tak berpengaruh atas apa yang terjadi saat ini. Aku tetaplah bapak yang tak berdaya dihadapannya.
“Terus kapan bapak harus bayar uang kos?”
Tanpa sedikitpun menoleh, Tika menjawab, “Secepatnya, Pak.”
“Bapak carikan dulu ya. Kasih bapak waktu. Kalau bisa sih, kamu tanya dulu ke yang punya rumah, bisa nggak uang empat juta itu dicicil beberapa bulan. Terus terang bapak nggak sanggup kalau harus bayar sekaligus,” ujarku sambil bingung sumber dari mana yang bisa menghasilkan empat juta dalam waktu yang singkat.
Kulihat Tika hanya duduk diam dengan badan setengah berbalik  dari arahku. Seperti biasa, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Tika. Aku sudah terbiasa menghadapi sikap dingin istri dan anak-anakku. Aku berusaha menerima sikap mereka walau terkadang ada rasa tersinggung di hatiku menerima perlakuan mereka.
Semua itu karena aku kalah dalam pemilihan caleg daerah. Padahal dana yang sudah dikeluarkan sangat besar. Bahkan sampai sekarang, aku masih harus menyicil sisa utangku, termasuk utang kepada mertuaku yang terus diungkit oleh istriku setiap aku pulang ke rumah istriku.
“Aku ngantuk, Pak!”
“Baik, nduk. Bapak pulang dulu ya. Doakan bapak dapat rejeki banyak buat bayar uang kos Tika,” aku berdiri dari kursi.
Tak ada lambaian tangan apalagi kalimat indah perpisahan yang kuterima dari anak dan istriku. Aku keluar rumah dengan tekad bahwa aku tak boleh menyerah dengan keadaan. Anak-anak harus terus bersekolah tinggi agar kelak nasib mereka tidak sepertiku.
*****
Sore itu bis antar provisi Pekalongan-Jakarta cukup ramai. Aku mengambil tempat duduk di barisan tengah, di pinggir jendela agar aku bisa melihat pemandangan di luar. Kulihat sepasang laki-laki dan perempuan dengan dua anak kecil duduk di bangku yang hanya cukup untuk tiga orang. Dengan penuh manja, salah satu anak kecil itu duduk di pangkuan bapaknya. Sesekali anak itu merajuk manja dan tertawa terbahak-bahak mendengar gurauan yang sang bapak. Anak satunya memegang tangan sang bapak, seolah tak ingin dilepaskan.
Kuusap mataku yang sedikit berair. Ada perasaan sedih dalam hati. Sudah lama sekali aku tak merasakan kehangatan dari istri dan anak-anakku. Aku rindu berkomunikasi dengan mereka layaknya seperti sebuah keluarga. Sudah lama sekali pembicaraan yang terjadi diantara kami hanyalah pembahasan tentang masalah materi saja.
Aku tak menyalahkan istriku atas kondisi yang terjadi saat ini. Semua sudah berlalu, tak ada yang perlu kusesali. Memang sudah menjadi kewajibanku sebagai kepala keluarga untuk membiayai kehidupan keluarga. Masih untung istriku masih memberiku kesempatan untuk bertemu dengan anak-anakku. Aku masih beruntung mereka masih membutuhkan kehadiranku walau bukan kehadiran fisik yang diperlukan tapi sejumlah uang untuk menghidupi mereka. Aku masih bermanfaat buat kelangsungan hidup mereka, sudah membuatku merasa senang.
Rasa kantuk menyerangku, tapi pikiranku masih tertuju pada anak-anakku. Andai mereka tahu betapa aku bangga atas capaian akademik mereka yang cukup bagus sehingga salah satu anakku bisa dapat beasiswa di perguruan tinggi negeri. Andai saja mereka tahu, betapa aku sangat menyayangi mereka. Aku rela kerja dari pagi hingga larut malam demi memenuhi kebutuhan mereka. Aku juga rela tiap malam tidur berdempetan dengan pejuang keluarga lainnya di kamar kos yang sempit. Dalam setiap bait doa yang kupanjatkan, selalu nama mereka yang pertama kusebut daripada namaku sendiri. Aku rela melakukan semua demi kebahagiaan anak-anakku. Andai mereka tahu...
******
Suara bising knalpot dan ramainya kendaraan yang lalu lalang di jalanan ibukota adalah hal biasa yang sering kuhadapi. Aku sudah beradaptasi dengannya selama puluhan tahun yang lalu. Dari mulai aku masih menyimpan banyak energi sampai sekarang di usiaku yang sudah lima puluh tahun dengan tenaga yang tersisa, aku sudah bergelut dengan jalanan. Begitu juga dengan kekuatan sepeda motorku yang semakin menurun. Aku lebih memilih untuk mengirimkan uang ke kampung daripada untuk servis motor. Kebutuhan sekolah anak-anakku kutempatkan di atas keselamatanku sendiri.
“Selamat pagi, Pak Usman,” perasaanku begitu bahagia mendengarkan suara orang yang setiap pagi kutunggu panggilannya.
“Selamat pagi, Bu Saras. Saya segera meluncur ke rumah ibu,” semangatku bergelora mendengar suara Bu Saras.
Bu Saras adalah seorang wanita karir yang setiap hari kuantar jemput dari rumah ke kantornya. Sudah bertahun-tahun ia menjadi langganan ojekku. Aku dibayar bulanan olehnya. Dari bayaran tetap kirimanku ke kampung tak pernah terlambat.
“Maaf , Pak Usman. Mulai hari ini bapak tak perlu menjemput saya lagi. Soalnya saya sudah mendapatkan mobil dinas dari kantor....,” selanjutnya aku nggak sanggup lagi mendengar kalimat-kalimat dari Bu Saras. Kepalaku langsung pusing, tangan gemetar. Seakan dunia runtuh saat itu.
Aku terduduk di jok sepeda motorku. Saat itu aku sedang mangkal didepan mal yang biasa kupakai sebagai tempat menunggu panggilan dari Bu Saras. Lokasi mal itu memang dekat dengan rumah Bu Saras.
Pikiranku langsung kacau, bagaimana mungkin disaat aku masih memerlukan penghasilan tetap untuk biaya kos anakku, Bu Saras memutuskan tak akan memakai jasaku lagi. Mataku nanar memandangi para pengemudi ojek yang sedang mengecek ponsel masing-masing.
“Bang, jangan ngelamun dong. Motornya agak maju, saya mau lewat nih,” seorang pengemudi ojek berteriak kepadaku.  Tanpa ada keinginan untuk membalas ucapannya, aku majukan motor kedepan. Aku masih bingung bagaimana caranya aku bersaing dengan mereka yang masih muda. Terbayang suara ketus Tika andai aku tak berhasil memberinya uang untuk bayar kos.
Kuambil ponsel dan kutatap layarnya yang kusam terkena debu jalanan. Siapa tahu ada orang yang ingin kuantar pergi ke suatu tempat. Benar saja, tak berapa lama masuk pesan ke ponselku. Dengan penuh harapan aku akan mendapat rejeki hari ini, kuambil pesanan itu dan bergegas meninggalkan tempat mangkalku.

Dalam kemacetan jalan Jakarta, 17 Juni 2019

2 komentar: