Cerita Daun dan Cinta (cuma fiksi)

Gayung berwarna hijau menyala itu masih tergenggam erat olehku, saat tiba-tiba tubuh ini mematung memandang beberapa sentimeter di depan sana. Dedaunan yang sebelum berangkat kerja kemarin masih tampak malu-malu, kini sudah gagah membentangkan lembaran hijaunya. Mungkin saat itu orang-orang yang sedang lewat bisa melihat betapa mulutku menganga tak berdaya. Kulihat ada seekor semut yang ikut merayakan dengan berlari-lari kegirangan di atas permukaan daun-daun yang menjuntai.

Aku memang baru pertama kali menanam pohon dari usia dini. Bibitnya pun diperoleh dari hasil kondangan salah satu rekan kantor istri. Aku benar-benar takjub melihat sebuah tumbuhan yang dari dulu kuanggap makhluk hidup paling tidak lucu, pagi ini membuktikan bahwa mereka benar-benar hidup. Mereka menampilkan suguhan pagi tentang cerita dedaunan dari kecil hingga benar-benar berbentuk daun. Air yang kusiramkan ke tanah tadi benar-benar jadi minuman segar untuk menopang pertumbuhan mereka. Ah, tak terasa kudengar hati ini berbisik, "benar-benar norak saya".

Bisa kurasakan sesaat kemudian pipiku tertarik beriringan dengan suara gelak tawa pelan. Aku yang masih berdiri membeku malah melanglang ke dalam sebuah lamunan. Pikirku, daun-daun yang tumbuh ini mirip sekali dengan cinta. Dua-duanya sama-sama tumbuh perlahan dari tidak ada hingga tampak nyata. Daun yang menghijau itu menunjukkan pohon jambunya masih hidup. Begitu pula dengan cinta yang menjadi tanda seorang manusia masih bernafas. Belum lagi saat hujan turun, daun-daun ini hanya bisa pasrah dibasahi air hujan. Identik sekali dengan cinta saat turun hujan, hanya bisa pasrah dibasahi oleh derasnya kenangan.

Saat masih larut dalam belaian dedaunan cinta, tiba-tiba tercium wangi bawang yang sedang ditumis. Tak lama kemudian aroma telur yang digoreng menambah semerbak hingga ke halaman. Bebauan itu seketika membuatku kembali dari lamunan menjemput kenyataan. Sepertinya sang cinta memanggilku dengan caranya. Aku tahu hidangannya belum tentu nikmat, tapi yang pasti cintanya akan ikut tertelan dan melekat di relung hati yang bersekat.

"Baik cinta, aku segera datang!" teriakku setengah lantang menyambut panggilan sedapnya bawang dan wanginya telor dadar.

"Ih, siapa yang panggil om!" tak dinyana anak kecil sebelah rumah yang bernama Cinta sudah ada di belakangku. Entah sudah berapa lama dia berdiri di situ. Aku sama sekali tak menyadari keberadaannya. Maklum kami tinggal di rumah kontrakan yang jarak dengan rumah tetangga seperti amplop dan perangko. Jadi bukan hal yang mengherankan jika orang tiba-tiba sekelebat muncul, bahkan kadang makhluk tidak menempel tanah juga sesekali nimbrung.

Sontak aku tersenyum bingung dan sambil menggaruk kepala mencoba menjelaskan kepadanya, "Eh iya, bukan, om sedang bicara sama tante di dapur."

"Dari tadi aku gak denger ada suara tante manggil," balasnya polos, "lagian sejak kapan tante Lilis ganti nama jd Cinta om?"

Otakku yang sudah terbuai campuran daun cinta dan telor dadar seolah tak mampu lagi mencari jawaban yang tepat untuk Cinta. "Hmm, ngga jadi kok sekarang namanya uda jadi tante Lilis lagi," jawabku sekenanya.

"Om, om, pagi-pagi uda ga jelas aja, pantes pake baju aja masih kebalik," selorohnya sambil menunjuk kaos singletku yang bagian dalamnya kukenakan di luar.

Dari tadi malam aku memang sudah sadar kaos singletku terbalik, tapi karena menjelang tidur jadi kubiarkan saja. Tak kusangka gara-gara itu, pagi ini aku di-bully anak kelas dua SD. "Ini memang sengaja dipakai kebalik, supaya bagian dalamnya ga kotor," kucoba memberikan argumen yang sedikit ilmiah.

"Ngeles aja om, kaya babang gojek," jawab Cinta sambil melengos pergi. Tak lupa dia kibas-kibaskan uang dua ribu yang dia bawa untuk jajan sebagai tanda perpisahan.

"Urusan telor dadar kenapa jadi ribet banget gini," sungutku dalam hati, "apes bener dah."

- berlanjut insya Allah -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar