Lauik Sati (Potongan Ke-2)

Astaghfirullah! Izzam! Aaah! Sial!
Tunggang langgang Izzam turun dari kasurnya. Mentari sudah sedari tadi meninggi. Memaksa masuk cahaya di celah-celah ventilasi. Digapainya handuk yang tergantung di jeruji. Terpeleset, untung tak jatuh. Lemari plastik yang bersebelahan dengan kamar mandi pasai diacaknya. Mencari sesuatu, dapat! Pukul8.50 pagi.
Buru-buru sekali Ia mandi. Mandi kerbau, begitu sebutan di Minangkabau untuk orang yang mandi asal-asalan. Pemuda 22 tahun itu keluar dari kamar mandi dengan nafas menderu. Digapainya telepon pintar di atas lemari. Mati. Sial! Ia lupa men-cas semalam. Cepat-cepat Ia beralih pada jam yang tadi sempat dikeluarkan. Pukul 8.55.
Aaaah!
Handuk biru yang biasa Ia pakai mandi dilemparkan begitu saja di atas galon. Dompet, name tag, kunci motor, dan kacamata sudah dalam genggamannya. Disambarnya helm KYT merah yang Ia beli sewaktu meninggalkan Jogja. Tas hitam lusuh yang menemani perjalanan kuliahnya 4 tahun lalu sudah di punggung. Sempat Ia bercermin, ternyata masih terdapat bekas sabun di kelopak telinganya.
“Bodoh amat!”, kesalnya.
Sekonyong-konyong Ia usapkan lengan baju ke telinga kanannya. Case closed. Tak lagi ada bekas sabun. Ia bergegas. Bersiap mengunci kamar. Sejurus kemudian baru menyadari, pantofelnya masih di lemari. Jam menunjukan pukul 8.57 pagi.
Ditungganginya Beat hitam keluaran 2010 menuju gerbang kos. Berbelok ke kiri, menyusuri jalan beton di sepanjang Kali Baru. Hiruk pikuk pedagang di Pasar Nangka sudah tak lagi asing di telinganya. Bemo dan becak bermotor memenuhi bahu jalan, menunggu kedatangan Ibu-Ibu dengan plastik belanja.
Jam menunjukan pukul 9.03, Izzam terhenti di seberang rel kereta Stasiun Kemayoran, menunggu palang rel diangkat. Sepertinya akan lama.Ditatapnya sekeliling. Satu persatu motor dan mobil berdatangan, ambil bagian dalam antrian. Sesekali terlihat pengendara nekat menerobos rel. Suatu fenomena yang tak lagi asing, bahkan lazim. Semua orang di kota ini selalu tergesa-gesa. Rasanya 24 jam sehari kurang bagi mereka.
Sirine di penyeberangan rel berhenti, tanda waktunya pengendara melintas. Klakson bersahut-sahutan. Parade yang begitu bising.
“Hey, palang nya baru saja diangkat, sabar!”, protesnya dalam hati.
Mentari mulai membakar. Tak terlihat satupun awan menggantung di atas sana. Polusi sudah sedari tadi pekat terasa. Debu, asap knalpot bus kopaja mengepul hitam, pengendara yang tidak sabaran. Yah begitu lah Ibu Kota, tempat Izzam akan mengabdikan diri untuk 30 tahun kedepan. Ia seberangi gundukan rel dengan hati-hati. Khawatir ban motornya bocor. Tak terhitung lagi sudah berapa banyak tambalan di ban dalam motor Izzam. Entahlah, Ia pun bingung, padahal ban itu baru saja diganti.
Sesekali Izzam mengeluarkan smartphone yang dipasang power bank dari kantong jaketnya, memastikan jalur yang Ia lalui benar. Adanya larangan menggunakan GPS di jalanan baru-baru ini cukup menyulitkan Izzam selaku anak baru. Ia harus memastikan tidak ada polisi di bahu jalan. Akan sangat merepotkan jika harus berurusan dengan surat tilang.
Pernah suatu waktu Ia melihat polisi menilang bapak-bapak di pertigaan Jalan Wahidin. Tampak gurat khawatir di balik kaca helm si Bapak, menolak menerima kertas berwarna biru tersebut. Sejurus kemudian terlihat si Bapak menyodorkan selembar uang seratus ribuan kepada petugas. Namun ditolak. Mungkin karena polisinya memang berintegritas. Pikirnya.
Di lain waktu, Izzam tak sengaja menguping pembicaraan Ibu-Ibu di kantornya. Si Ibu bercerita baru saja Ia ditilang karena melawan arus jalan satu arah. Karena khawatir dipanggil ke pengadilan, Si Ibu menawarkan damai dengan petugas. Dua ratus ribu raib. Padahal jika ke pengadilan pun, dendanya paling tak sampai 50 ribu. Dulu. Tak tahu kalau sekarang.
Motor terus melaju, Izzam yakin Ia sudah berada di jalan yang benar, sebelum akhirnya tertegun. Diamatinya layar gawai pintarnya. Reroute. Benar, pemuda kelahiran Maret yang kini sedang berpacu dengan waktu untuk OJT pertamanya itu baru saja nyasar.
Izzam menepi, melihat sekeliling. Belokan yang harusnya Ia lalui sudah terlampau 15 meter. Haruskan Ia berbalik menghadang pengendara lain di jalan satu arah tersebut? Hatinya kalud dan mencoba menawar.
“Mungkin sesekali melanggar tidak masalah”, pikirnya.
“Jangan! Kalau bukan dirimu yang membuat orang celaka, maka orang yang akan membuat mu celaka, dua-duanya sama-sama rugi”, bantah hatinya.
“Tapi kamu udah telat Zam, lagi pula kelewatnya cuma 15 meter, siapapun akan mengerti, bahkan Ibu Menteri sekalipun”, tawarnya.
Dua puluh menit berlalu hingga akhirnya Ia kembali ke jalan yang seharusnya. Kesalahan 15 meter dibayar 20 menit jalan memutar. Ia menolak melawan arus jalan. Tentu saja, ASN macam apa yang membahayakan orang lain demi kepentingannya sendiri?
Panas kian terik. Bulir keringat satu per satu membasahi dahi dan punggung Izzam. Kacamatanya berembun karena hembusan nafas yang tertahan masker hijau diskonan yang Ia beli 2 hari lalu. Di kejauhan terlihat Gereja Katedral Jakarta di sebelah kanan pertigaan Lapangan Banteng. Berdiri anggun dengan 3 menara putihnya. Memikat setiap mata yang melewati. Satu dua lelaki berbadan besar terlihat berlari kecil mengelilingi lapangan. Mungkin mereka atltet? Entahlah. Bukan urusannya juga. Gumam Izzam sembari berlalu.
Gedung parkiran motor di samping Masjid Al Amin sudah penuh sesak. Laintai demi lantai dilalui, mencari celah. Kalau kata orang Minang, dilayangkan pandangan nan jauah, ditukiakan pandangan nan dakek. Sama sekali tidak ada celah, begitu rapat. Ia terus naik, naik, dan terus naik. Hingga akhirnya Ia temukan hamparan parkir yang cukup lengang. Ia berhenti di dekat tiang bangunan, bertuliskan “7F”.
Izzam berlari kecil. Matanya masih melotot pada layar hp nya. Wajar masih anak baru, bahkan untuk mencari gedung Sutikno Slamet saja masih harus bergantung pada GPS.
Pintu bergeser otomatis begitu Izzam melangkah memasuki gedung. Nafasnya tersengal. Diliriknya kiri dan kanan. Tampak bingung. Semua orang berpakaian sama seperti dirinya, hanya saja sebagian besar sudah tua.
“Apakah CPNS angkatan saya memang tua-tua seperti ini?”, tanyanya dalam hati.
Lift berbunyi. Perlahan pintu terbuka. Orang-orang bergantian keluar dan masuk box dengan kapasitas 15 orang tersebut. Satu per satu menekan lantai tujuan mereka. Tak terkecuali Izzam. Lantai 11. Susah payah Ia mengatur napasnya. Tisu yang Ia sediakan di kantong kemeja sudah habis digunakan untuk mengelap keringatnya. Lift kembali berbunyi, menunjukan angka 11.
Diketuknya pelan pintu ruangan utama di lantai tersebut, sambil mengintip di celah pintu. Tak kurang dari 15 orang sudah berada di ruangan sembari berdiskusi.
“Assalamualaikum, Maaf Pak, saya Izzam, CPNS S1, mohon izin bergabung”, pamitnya.
Izzam duduk di kursi yang masih tersisa. Diamatinya sekeliling. Melempar senyum. Bersalaman dengan teman-teman baru yang bisa digapai tangannya. Berbasa-basi. Sudah Pukul 9.35.
“Cukup buruk untuk hari pertama, Zam?”, tanya Mas Salim yang masih satu almamater dengannya.
“Yah begitulah Mas”, jawabnya sembari tersenyum.