Pejuang Kehidupan

Apakah yang kamu cari hai para pejuang kehidupan?
Berangkat ketika sang Surya masih terlelap,
Pulang ketika bintang-bintang bersenda gurau dengan sang bulan.
Apakah yang kamu cari hai para pahlawan keluarga?
Bertaruh nyawa menyeberangi lautan,
Demi sang buah hati dan bundanya terkasih ujarmu.
Apakah yang kamu cari hai pembela kekasih hati?
Meninggalkan sang terkasih di kala sang surya bersinar tuk sesaat berjumpa di peraduan.
Berbulan terpisah samudra tuk sepekan melepas rindu.
Sepiring nasi dan segenggam berlian kah yang kau cari?
Adakah suka kau jumpai dalam kilau gemerlap intan permata di telapak tanganmu?

-satu jam menuju rumah di kala hujan-
222617012019

Catatan Kecil 2019

I. Alam dan Waktu

Senja
Tidak seperti pagi yg datang dengan riang untuk kemudian menghamburkan terang lalu ditinggalkan orang, senja pergi menghilang dengan muram, berlalu menyisakan remang untuk kemudian dirindukan.

Jumat
Ketika senin sampai kamis seperti mengajak berlari, jumat menjadi semacam pertanda bahwa rest area sudah di depan mata. Mereka yg seperti itu, banyak mengucap terima kasih hari ini.

Menunggunya
Bagaimana pagi mengerti tentang malam sedang ia lahir dari benderang? Ah.. Biar senja saja nanti yg menjawabnya.

Malam
Gelap yg datang melucuti keramaian, menyusupkan sepi ke dahan-dahan dan jalan. Anehnya ketika sepi lalu mulai tumbuh dan merambat dimana-dimana, suara-suara lebih mudah menunjukkan dirinya. Sepi yg dibawanya hanya menjadi panggung dari keramaian yg semula hendak dilucutinya.

Sabtu
Kegembiraan akan kehadirannya ditelikung oleh jumat sore dan ketika ia berlalu rindu padanya tertutup oleh Minggu.

Sunset
Di kejauhan. Dalam remang namun indah dipandang. Sebentar di mata, lama di kenangan.

Nama Lain
Ketika bumi menggulirkan bagian wajahnya dari matahari, gelap perlahan merambat. Orang-orang menyebutnya sebagai malam tetapi bulan dan bintang lebih suka menamakannya panggung pertunjukan.

Mendung.
Suhu mulai turun. Angin dingin menggoyang daun-daun. Bunyi rintik kecil di atap garasi memberi kabar bahwa ia akan segera tiba. Kontras dengan wajah langit yg tampak murung, wajah anak-anak terlihat gembira menantikannya. Hujan adalah kegembiraan. Wajah mendung yg murung menjadi seperti sampul buku yg berbeda dg isinya.

Latar Belakang
Ketika pelangi terjadi, orang-orang memandang indahnya dan memuji. Tidak banyak yang membicarakan tentang hujan dan matahari.

Moment
Di sebuah galeri, terpajang kata-kata : 'Ketidaksempurnaan yg menyempurnakan.'Aku melewatinya lalu ada waktu yg membeku.

Eksistensi
Matahari tak perlu berkata, 'Aku menerangi, Aku menerangi!', untuk menarik perhatian. Yang perlu ia lakukan hanya bersinar.


II. Manusia dan Kenyataan

Sisi Lain
Apa yg terus berulang akan membuat bosan. Bila tidak, yg berulang itu bisa jadi adalah sejenis candu. Bosan adalah semacam alarm keseimbangan sedang candu tak memiliki itu.

Beruntung
Orang-orang yg diberkati adalah mereka yg meski ketika menengok ke belakang yg terhampar hanyalah duka namun saat menatap ke depan yg dilihatnya adalah harapan.

Kuasa Gelap
Kala kegelapan dipuja, para pemilik lentera diawasi dengan seksama. Siapa berani menyalakan harus siap menahan serangan panas api kebencian.

Dua Sisi
Bukan perkara mudah mengatakan yg benar itu benar jika kebenaran itu datang dari orang yg dibenci. Dan adalah sulit mengatakan yg salah itu salah pada orang yg dicinta. Logika dan rasa ada di kamus yg berbeda.

Posisi
Seperti juga jujur, curang bisa dilakukan oleh siapa saja, entah yg lemah atau pun yg kuat. Bedanya, yg lemah cenderung melakukan kecurangan dengan diam-diam sementara yg kuat tak terlalu masalah bila terang-terangan.

Hari Pendidikan
Seperti matahari, mereka yg terdidik semestinya menerangi. Mereka adalah para pembawa cahaya yg menunjukkan jalan pada orang-orang yg masih dalam kegelapan. Tetapi kenyataannya tidak selalu demikian. Tidak sedikit yg menggunakan cahaya itu hanya untuk mengambil keuntungan dari gelapnya keadaan. Itulah mungkin sebabnya tiap tahun kita perlu peringatan.

Akurasi Ekspektasi
Jangan harapkan kejujuran dari mereka yg tak mau melihat kekurangan dirinya. Jangan titipkan keadilan pada mereka yg hanya memperjuangkan kepentingannya saja.

Modifikasi Rumi
Di balik tokoh-tokoh berbeda yg kita puja, ada taman nilai-nilai yg menjadi rujukan bersama. Kita bertemu di sana.

Jatuh Cinta
Orang yg tinggi hati susah untuk jatuh cinta karena jatuh membuat dirinya terlihat rendah. Sedang cinta adalah tentang kebersamaan dan melayani, bukan menempatkan diri lebih tinggi.

Kesadaran
Kesadaran bisa muncul diawal, tengah atau belakangan. Masing-masing, sesuai kemunculannya punya nama panggilan yg berbeda.

Janji
Mereka yg mampu menepati janji pada orang lain adalah orang-orang yg disenangi. Sedang orang-orang yg bisa menepati janji pada dirinya sendiri adalah mereka yg diberkati.

Ukuran
Orang-orang yg saling percaya tak memerlukan janji sedangkan orang-orang yg saling curiga menuntutnya dengan paksa.Karena bukan janji yg membuat orang percaya. Karena mudah berjanji malah membuat orang curiga.

Rahasia Hati
Salah satu anugerah terindah adalah mampu merasakan keindahan. Seringkali ia menjadi kebahagiaan tersembunyi bagi mereka yg memilikinya.

Guru Sejati
Di antara kunang-kunang engkau adalah lampu yg bersinar terang. Bukan gelap yg membuatmu terlihat berkilau tapi kegelapanlah yg engkau halau.

Keseimbangan
Yang unik dari menyatakan cinta pada seseorang lalu orang itu menerimanya adalah perasaan senang yg datang darinya. Bagaimana ia merasa senang memberikan miliknya yg amat berharga pada orang lain? Sebenarnya kesenangan itu datang dari karena memberi atau berseminya harapan akan mendapatkan hal yg sama? Orang jatuh cinta adalah orang yg butuh dicintai.


III. Kondisi dan Keadaan

Tulisan
Kertas putih dan tinta hitam. Banyak hal lebih mudah dijelaskan karena adanya perbedaan. Ketika kertas menerima kehadiran tinta, saat tinta percaya kertas tak akan membuatnya sirna.

Sehat
Sesuatu yg kehadirannya dianggap biasa namun kepergiannya menghadirkan kerinduan. Kehadirannya kembali akan sangat dihargai.Dan kerinduan yg sangat padanya dibanyak kejadian adalah bentuk penyesalan. Maka, jadikan ia kekasih, yg ketika pergi pasti kembali. Bukan sekedar teman biasa, yg jika pergi mudah lupa.

Koki
Watak kekuasaan adalah mengambil, jiwa keadilan itu memberi. Pemimpin yg baik mampu menyandingkan keduanya. Mengambil dan memberi sesuai dengan ukuran dan irama yang membawa pada kebaikan.

Fanatisme
Bagaimana bisa dua subyek yg bersenyawa mengomentari secara obyektif satu sama lainnya. Mereka harus terlebih dahulu memisahkan diri agar dapat berganti peran menjadi subyek dan obyek.

Kosong
Tanpa kenangan, hari ini seperti baru sama sekali.

Keterbukaan
Jika dibalik pintu ada misteri maka transparansi adalah kunci sedangkan intimidasi hanyalah menambahinya jeruji.

Anekdotkrasi
Di suatu negeri berlaku aturan, siapa saja boleh tidak sepakat tentang keahlian masing-masing orang tetapi semua harus sepakat bahwa setiap orang ahli dalam memilih pemimpin.

Semestinya
Jujur itu mestinya itikad dari dalam namun kadang harus diminta. Adil itu bagusnya diberikan namun seringkali justru harus diperjuangkan. Dan damai, bagaimana akan tumbuh jika tanpa ada keduanya.

Bukti
Pernyataan itu sandingannya kenyataan, bukan sorakan atau pujian.

Indikasi
Di balik keadilan ada penjelasan-penjelasan yg bisa diterima. Di belakang ketidakadilan ada alasan-alasan yg dipaksakan. Karena adil adalah jalan lurus yg mudah dilihat dan jelas arahnya sedang ketidakadilan adalah jalan berliku yg sembunyikan tuju.

Titik Temu
Individu ingin kebebasan. Masyarakat butuh ketertiban. Bukan hal yg mudah mempertemukan keduanya pada titik yg seimbang dalam aturan tanpa saling menihilkan.

Anti Demokrasi
Vocal Grup itu tidak demokratis. Karena mereka hanya menginginkan suara yg bagus-bagus saja sementara yg fals dan sumbang disingkirkan.

Diskriminasi
Cinta dan benci adalah perasaan yg alami. Ekspresi dari keduanya adalah hal yg manusiawi. Sudah berlaku sejak dahulu dan dahulunya lagi. Mengapa sekarang ujaran kebencian bisa jadi pidana sedangkan ujaran cinta tidak? Padahal ujaran benci seringkali lebih jujur dari ujaran cinta yg kerap penuh tipu daya.

Istimewa
Istimewa adalah sesuatu yg sebentar diindera namun lama membekas di jiwa.

Tunggu pembalasan gue ya pak boss ...

Salimah & Halimah





Salimah, seorang wanita berusia lima puluh sedang mengaduk nasi yang baru tanak. Setiap mencuci beras dilantunkannya shalawat berharap berkah pada makanan untuk keluarganya. Sebelumnya, ia telah menyapu halaman bakda subuh, yang disusul dengan memasukkan air yang telah masak ke dalam termos.  Ia kini membuka tutup panci dan mulai mengupas telur ayam kampung yang telah direbusnya. Setelah telur terkupas tuntas, ia menumis sawi dan tahu. Dikerjakan semua dengan telaten dan ringan hati. Sampai sebuah suara dari ruang tamu menjeda kegiatannya.
Kupi mana kupii...”
“Iye Beh.. bentar ye” sahutnya Salimah.
“Lama amat, dah sepet mulut!”
Segera disiapkannya kopi untuk Babeh Rali, suaminya.
Pintu ruang tamu terbuka tiba-tiba.
Tanpa salam, Halimah datang sambil merengut. “Kenape muke kusut bener?” Tanya babeh kepadanya.
“Mahal Beh apa-apa sekarang” , ujarnya sambil diletakkannya plastik berisi belanjaan ke meja. Halimah, wanita kedua di rumah itu terlihat cemberut.
Ah, Salime kaga pernah ngomong ape-ape”, babeh melirik Salimah yang baru saja menyuguhinya pisang goreng sebagai teman kopi paginya.
Salimah tersenyum, tertawa kecil memperlihatkan kerut mata sayunya.“Iya beh, emang banyak barang pade naek si”
Tambahin apa Beh, duit bulanan”, rengut Halimah.
Tar.. gue jual tanah dulu. Pan lu tau bisnis bengkel gue segitu aje duitnye. Kebon juga segitu bae”
“Ah, payah Babeh mah...” Halimah menutup pintu kamar dengan agak dibanting.
“Bujug... galak amat bini. Puyeng !" babeh segera beranjak dari kursi dan menuju teras mencari udara segar.
Salimah mengekor dari belakang. Babeh memandangnya dengan tatapan serius.
Meh, gue tar malem kaga pulang. Mao ke Banten”
“Ngapain Beh?”
“Ketemu temen trus mancing bareng dah. Sedep banget tuh”
"Jauh bener Beh... Sendirian dari sini?"
"Maonya mah ngajak Halimeh. Ah die ngambegan. Ogah dah!"
“yaudah ati2 Beh”
Lu bae bae ye jaga rumah. Jan kangen ma gua...hahaha..eh iyak, urusin dah tu Halimeh. Reseh dia”
Iya Beh. Tar saya ajak ngobrol dah”
Babeh segera bersiap pergi. Tak lupa membawa alat pancing kesayangannya.
Salimah mengetuk pintu kamar Halimah. “Meh, ada pisang goreng nih. Lu pan belon nyarap Neng.”
Lama tak ada jawaban
Meh, gue kemaren beliin lu jilbab baru”
Tak lama pintu dibuka
Halimah yang cantik dan jauh lebih muda tersenyum kecil. “Makasih Mpok. Mane jilbab ma pisangnye?”
Salimah tersenyum memperlihatkan gigi depannya yang telah tanggal satu.
-----------
Malam ini Salimah tidak enak hati. Rasanya menyebalkan sekali karena bolak balik ia bangun.
Dilihatnya Halimah tertidur pulas di sampingnya. Si babeh ngga pulang malam ini.
Akhirnya diputuskan untuk solat dan ngaji saja. Jam masih menunjukkan pukul dua pagi. Sampai ketukan keras di pintu mengangetkannya setengah jam kemudian.
Bu Halimah... maaf Bu..itu.. ada ambulan katanya Babeh Bu..Babeh...”
“Babeh kenape?”
“Babeh gaa adaa Buu.....” Bang Irfan tetangga depan gang rumah mengabarkan berita sembari menangis.
"Pegimane sih Bang maksudnye?"
"Babeh dipanggil ilahiii...."
“Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun”
-------------------
Halimah menangis keras-keras di hadapan tubuh tak bernyawa babeh. “Halimeh, ikhlasin aja Meh,” Salimah merangkul pundak madunya itu. Halimah memeluk Salimah erat-erat. “Imeh belon minta maap ama Babeh, Mpok.. nyesel banget dah rasanya..huhuhu...”
Salimah sekilas mendengar bisik-bisik tetangga di belakangnya. “Babeh kenapa yak tiba-tiba ga ada?” “Au, angin duduk kayaknya dah! Orang kemarin aje masih ngopi” “Bahaya juga ya angin duduk kaya serangan jantung” “Au ah, hii ngeri emang”.
“Maap Mpok, ini kapan dimandiin. Dah siang..” Teh Jani mencolek bahu Salimah. “eh iya, karang aja dah..”
Jasad diangkut ke samping rumah yang telah disiapkan keranda pemandian dan sebuah gentong besar yang tercelup selang di dalamnya. Salimah memandikan suaminya sekaligus memegang badannya tuk terakhir kalinya. Rasanya tangis hampir pecah karena menahan rasa. Istigfarlah yang bisa dilakukannya. Terkenanglah ia akan senyum babeh saat menyeruput kopi buatannya.
Diusap badan si babeh dengan lembut, dikucurinya dengan air melalui selang, disabuninya badan tak bergerak itu. Dikecupnya kening dan pipi babeh, dicium punggung tangan dan kaki babeh.
Halimah kaga mandiin Mpok?”, Teh Jani bertanya pada Salimah.
“Kaga, takut ga kuat die. Jarin aja, sian..”
Entah mengapa bayangan rekaman hidup mereka datang dalam benak Salimah, memaksa air mata tanpa suara mengalir tak kuasa ditahannya lagi.
 ----------
“Semoga Allah maapin semua kesalahan babe..hik..hik” Halimah berkata sembari terisak. Salimah mengaminkan dan mengajak Halimah ikut menyolatkan Babeh. “Ayok neng..kite solatin Babeh..”
Namun Halimah pingsan melihat babeh sudah dipocong kain kafan. Babeh pun disholatkan tanpa Halimah, kemudian dikuburkan di pemakaman keluarga Babeh di kampung sebelah.
Yang tertinggal bersama Babeh di sana adalah tikar buat alas Babeh di keranda. Salimah dan Halimah tentu tak membersamai. Malem ini Babeh sendirian di sana.      
 ----Tak terasa, satu bulan telah berlalu... --
Sejak Babeh pergi, jarang ngomong si Eneng..” Salimah berujar sembari mengiris bawang merah.
"Iye Mpok..banyakan nyeselnye Aye soal Babeh."
Salimah melihat Halimah sekilas, "minta ampun ama Allah, doain babeh..insyaAllah dah.."
Lempeng amat Mpok.. kaga sedih Babe pergi?”
“Ya.. ada sedihnye.. tapi ini takdir Meh.. mau bilang ape kite..”
“Pasrah bae yak si mpok”
“Au dah...” ujar Salimah sambil mengelap air mata yang mengalir dengan bajunya
“Ngapa Mpok..terharu yak inget babeh?”
“Bukan, pedes bet ni bawang yak...” Salimah menjawab sembari tertawa ringan.




Rindu

Aku didiami rindu, rinduku...dia baru saja hadir, tetapi sudah sedemikian sombongnya berdiri dengan sedikit mengangkangkan kaki, melipat tangannya di dada seperti centeng di pasar pagi, modal gertak.

kusiram air tak hanyut,
kuberi api tak terbakar,
kulumuri ikan asin biar dibawa kucing jalanan, kucing sial itu lebih tertarik bermain sapu ijuk, padahal kurus kering badannya

akhirnya kuajak dia bicara baik-baik
kubilang "kau terlarang", dia bergeming tersenyum sebelah bibirnya tertarik sedikit
"terus kau mau apa?" katanya dengan suara berat dan mata setengah tertutup, sepertinya habis mabuk
"aku mau kau pergi!" kataku keras, dihantamnya aku dengan belakang tangannya, aku langsung pingsan, yang kuingat terakhir ada beberapa batu akik besar di tangan kanannya, tapi sepertinya tadi tangan kiri...

Kemarin


kemarin itu....
mengapa tidak kita berbicara mata ke mata
sehingga bahasa hati tidak tersamarkan

atau adakah yg engkau sembunyikan sehingga aku tak (boleh) tahu?

jika tidak ada yg disembunyikan
tidak bisakah aku mendapat kehormatan untuk melihat matamu ketika berbicara

CaLisTung (Yang Tersisa Dari Pendidikan Kita)

“Pendidikan itu (seharusnya) memanusiakan manusia” – Tan Malaka
Kemacetan lalu lintas sudah sangat akrab bagi sebagian besar orang-orang yang tinggal di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Pertukaran arus manusia terjadi setiap hari, dari mulai pagi buta sampai dengan tengah malam. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurai masalah kemacetan ini tapi sepertinya belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Sebagai seorang pekerja yang tinggal di pinggiran Jakarta, saya pun terbiasa dengan situasi ini. Waktu tempuh 1 - 1.5 sampai dengan 2 jam untuk  jarak 25 km menjadi ukuran normal untuk mengatakan “lumayan lancar”. Lalu lintas macet adalah ketika waktu tempuh menjadi lebih dari 2 jam, lucu bukan?. Untuk menghindari kemacetan, saya lebih memilih untuk bersepeda (meskipun tidak setiap hari) ke kantor daripada menggunakan angkutan umum. Buat saya, menggunakan angkutan umum adalah tidak ekonomis dan mengharuskan saya untuk berangkat lebih pagi. Lokasi rumah yang lumayan jauh dari stasiun kereta api juga membuat saya tidak menggunakan moda kereta api sebagai pilihan alat transportasi.
Kembali ke soal kemacetan. Saat terjebak macet, saya berusaha untuk selalu berfikir positif dan tidak ‘terpancing’ dengan kondisi yang ada. Salah satu ‘kegiatan’ yang saya lakukan adalah mengamati perilaku pengemudi kendaraan bermotor, baik motor ataupun mobil. Seringkali saya menemukan bahwa kemacetan lebih banyak disebabkan oleh tidak disiplinnya pengemudi selain memang debit kendaraan yang melebihi daya tampung jalan raya.
Sudah bukan pemandangan aneh apabila ada motor/mobil yang menyerobot lampu/rambu lalu lintas, mengemudi melawan arus, berhenti/parkir di tempat yang dilarang, menyalip dari kiri, berjalan pelan di jalur paling kanan, dan yang lebih mengerikan lagi belakangan ini adalah sering terlihat pengemudi motor yang menggunakan handphone pada saat mengemudi.
Ada suatu ungkapan yang menyatakan bahwa perilaku berlalu lintas di suatu negara mencerminkan tingkat pendidikan di negara tersebut. Apabila merujuk ke ungkapan tersebut maka akan timbul pertanyaan: “apakah tingkat pendidikan di Jabodetabek sedemikian rendah sehingga kondisi dan perilaku berlalu lintas sangat semrawut?”
Walaupun belum melakukan survei, tapi saya berani bertaruh bahwa sebagian besar pengemudi kendaraan bermotor adalah orang-orang berpendidikan, minimal berlatar belakang pendidikan menengah. Data dari Korps Lalu Lintas juga menunjukkan bahwa 57% korban kecelakaan lalu lintas berlatar belakang pendidikan SLA. Lalu apakah tertib lalu lintas tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah? Bukankah sejak TK anak-anak sudah diajak field-trip ke taman lalu lintas? Kegiatan-kegiatan polisi cilik juga sudah banyak. Meskipun tertib lalu lintas tidak masuk secara resmi dalam kurikulum, tapi selalu ada muatan untuk menghargai hak orang lain, patuh pada peraturan dan saling menghormati sesama manusia.
Lalu mengapa semua muatan, nilai-nilai dan kegiatan-kegiatan tersebut tidak “berbekas” di jalan raya? Semua menjadi boleh sepanjang tidak menabrak atau ditabrak. Semua bebas asal tidak tertangkap petugas. Jangankan peduli keselamatan orang, keselamatan diri pribadi pun diabaikan. Alih-alih memikirkan emisi karbon, membuang tiket tol di tempat sampah saja tidak pernah dilakukan.
Sesuai dengan aliran Behaviorisme, seluruh perilaku manusia selain insting merupakan hasil belajar (Syam, M.Noor dkk. 2003. Pengantar Dasar-dasar Pendidikan). Teori Belajar atau Behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilaku manusia dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan (Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi).
Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa secara sadar atau tidak sadar, formal maupun informal, perilaku manusia merupakan hasil belajar dan pengaruh lingkungan yang membentuk sikap dan cara pandang yang berbeda terhadap sesuatu.
Lalu darimana para pengemudi tersebut belajar? Dari sekolah? Dari lingkungan? Bukankah lingkungan mereka juga terpelajar? Pertanyaan yang sangat sulit terjawab, namun perlu kita lihat kembali seluruh sistem pendidikan dan lingkungan belajar kita. Tentunya kita tidak ingin pendidikan hanya menyisakan kemampuan baca-tulis-hitung (Ca-Lis-Tung) dalam arti harfiah; membaca tapi tidak paham apa yang dibaca; menulis tapi tidak tahu apa yang ditulis; berhitung tapi tidak mengerti apa yang dihitung. Pendidikan (seharusnya) memanusiakan manusia, bukan malah menciptakan 'monster pembunuh' di jalan raya.

Nak, saat itu ... [Puisi Kenangan 3]

Ketika Kau Mengerang Sebelum Mati [Puisi Kenangan 2]

Ratap Pongah di Ujung Usia [Puisi Kenangan 1]

Tangga

Hai tangga, apa kabarmu?
Kemarin kita bersua hari ini pun juga.
Hai tangga, sepertinya, kita akan banyak berjumpa.
Aku akan sering mengunjungimu di masa depan.
Hai tangga, maafkan aku.
Jika aku menyalahgunakanmu untuk sejenak, melepas penat pekerjaan.
Hai tangga, temani aku.
Menghisap satu-dua batang rokok, melemaskan otot-otot yang kaku.
Hai tangga, terima kasih.
Kamu telah setia menjalankan tugasmu, sebagai perlintasan antar lantai.
Tempat kami para pencari nafkah bercengkrama melepas lelah dari jenuhnya ruang kerja yang dingin.

Kirlian


Energi tidak dapat diciptakan. Energi tidak dapat dimusnahkan. 
(First Law of Thermodynamics) 

Hukum Kekekalan Energi membawaku ke sini. Kuletakkan telapak tanganku di pelat metal berbentuk jemari manusia itu. Dingin. Sesungguhnya aku merasa sedang duduk di kursi listrik seperti di film-film misteri. Apabila saat itu aku tahu bahwa pelat di kedua telapak tanganku ini terhubung dengan kabel voltase tinggi, tentu aku akan ciut mengundurkan diri dari sesi foto ini. Tapi dorongan untuk mengetahui lebih tinggi daripada kecemasanku.  

“What color is my aura?” That is the question. 

Beberapa bulan yang lalu aku sudah “mengetahui” jawabannya dari sebuah sesi quiz online. 

Tapi jelas ada bedanya antara bukti empiris dengan data intepretatif. Quiz tersebut menafsirkan warna aura dari beberapa pilihan yang kita ambil dari serangkaian pertanyaan mengenai preferensi pribadi di dalam beberapa simulasi situasi. 

Foto aura tidak banyak bertanya. Ia hanya memberikan hasil. Hanya kita sendiri yang mengambil kesimpulan dari serangkaian pantulan gelombang warna yang tercetak pada kertas film itu. Dalam 10 detik, semua hal tentang diriku akan tercetak di selembar kertas berukuran 8 x 10 cm. 

Pelat metal berfungsi menghantarkan listrik dari tangan melalui kabel ke arah kamera Kirlian di hadapanku ini. Sejenak petugas bergeming melihatku seperti orang bingung setelah mengecek kameranya. 

“Tolong bersandar ke dinding, ” katanya. Aku baru mengerti bahwa grounding atau melekatkan anggota tubuh ke dinding atau lantai membantu kualitas gelombang warna yang dihasilkan oleh tubuh kita. 

Aura. Bagi yang skeptis, fenomena ini hanya isapan jempol belaka. Bak fenomena paranormal seperti rasi bintang, bola kristal, fengshui dan lain-lain, untuk beberapa orang aura hanyalah satu topik pengisi waktu luang sambil minum kopi atau mengusir kejenuhan. 

Tapi, seperti orang lain, aku pernah belajar fisika, dan sedikit banyak mengetahui mengenai sifat-sifat dasar dari energi, cahaya, optik, dan spektrum warna. Satu topik saja yaitu “energi” dapat dibagi lagi ke dalam beberapa sub topik misalnya energi cahaya, energi bunyi, energi listrik, energi panas, energi terbarukan, energi tak terbarukan, dan banyak lagi. Apapun bentuk energi, satu hal sudah jelas, yaitu energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Energi hanya berubah bentuk. Setidaknya begitulah Hukum Kekekalan Energi yang sering kita pelajari di sekolah-sekolah dasar dan menengah. 

Aura hanyalah salahsatu bentuk energi dihasilkan manusia. Seorang manusia dapat menghasilkan energi suara, energi gerak, energi listrik, energi panas, energi cahaya, dan banyak lagi. Seperti halnya panas tubuh manusia dapat dengan mudah terdeteksi dengan kamera inframerah di tempat yang tergelap sekalipun, begitu juga aura semua makhluk (hidup dan mati) dapat terdeteksi dengan kamera Kirlian. Satu koin uang Rp500 mempunyai aura. Satu lembar daun di pohon mempunyai aura. Bahkan untuk beberapa mata yang terlatih, aura dapat terlihat tanpa bantuan kamera. Seorang kenalan pernah bercerita bahwa ia menikmati lalu-lalang manusia di tempat keramaian karena ia dapat melihat indahnya warna-warni aura seiring pergerakan mereka. 

Warna-warna aura tercipta karena adanya karakteristik dasar dari “cahaya”. Dahulu, terdapat anggapan bahwa cahaya merupakan gelombang yang dapat diukur frekuensi dan kecepatannya. Cahaya mempunyai kecepatan yang sangat tinggi, yaitu 299.792.458 m/detik. Begitu tingginya kecepatan cahaya sehingga jarak objek antariksa seringkali diukur bukan lagi dengan satuan kilometer melainkan tahun cahaya, 9.4605284e15 m atau hampir mencapai 10 triliun kilometer. Warna yang terlihat merupakan gelombang cahaya yang dipantulkan oleh permukaan benda yang sedang kita amati. Dengan kata lain, sebuah apel berwarna merah bukan karena ia berwarna merah tapi karena permukaan apel telah memantulkan gelombang cahaya berwarna merah. 

Belakangan, juga diketahui bahwa cahaya merupakan partikel bermuatan energi yang dinamakan “photon”, dimana sifatnya sangat unik yaitu tidak mempunyai massa (berat) namun mempunyai energi. Photon pada setiap warna berbeda-beda, sehingga energi satu warna akan berbeda juga dengan energi pada warna lainnya. Apabila cahaya dapat didefiniskan sebagai gelombang sekaligus juga sebagai partikel … bayangkan seberapa banyak informasi yang dapat diperoleh dari satu lembar foto. Kita dapat mengetahui energi yang ada pada saat itu. Kita juga dapat mengetahui frekuensi yang terjadi pada saat itu. 

Dengan pengetahuan dasar mengenai warna, cahaya, optik, listrik, dan energi inilah kemudian kita dapat memahami fenomena aura.

Seperti hati, antri ...

Ini Judulnya Lupa


Tak banyak yang kukenang,
Itupun remang-remang,
Tak lengkap, sepotong-sepotong,
Aku lupa apa dulu kamu bilang iya,
Tak ingat pula apa aku pernah meminta,
Hanya sentuhan biasa,
Lalu terbakar birahi membara,
Lalu lagi,
Terus lagi,
Terkadang mau akhiri, tapi ingin lagi,
Tak bisa berhenti.
Ingat tapi tak lengkap,
Kutemukan sepotong tercecer sepotong,
Kurangkai ingatan, buyar terjaga,
Aku cuma ingat memberimu mantera,
Jangan minum dari cangkir yang sama,
Nanti kamu tak bisa lupa,
Kamu tak percaya,
Lalu kuberi lagi mantera,
Jangan cium aku pakai rasa,
Nanti namaku tak bisa hilang dari darah,
Kamu cuma tertawa,
Aku lupa ada berapa mantera,
Seingatku tiga,
Kamu bilang lima,
Ingin kutarik, tak ingat caranya,
Salahku tak menuliskannya,
Salahmu juga tak mengingatkannya,
Jadilah kita melayang-layang,
Terjebak kenangan dimana-mana,
Ingin lupa tapi tak bisa,
Ingin ingat tapi harus lupa,
Sebentar kucoba,
Siapa tau ada mantera tersisa,
Kututup mata, merapal mantera,
Satu....dua....tiga,
LUPA LUPA LUPA LUPA LUPA,
Wussss….
Ajaib,
Bayangmu ada dimana-mana,
Kulihat lagi apa yang salah,
Owalah, harus kebalikannya,
Baiklah,
Kupejam lagi mata, satu... dua... tiga,
INGAT INGAT INGAT INGAT INGAT,
Wusssss…
"Loh, kok masih ada?"
"Astagaaaa..!!", aku salah,
Harusnya baca APUL APUL APUL APUL APUL,
Mana mantera sekali baca,
Ya sudahlah,
Silahkan ada dimana-mana,
Asalkan bisa saling menjaga,
Tanpa harus selalu bersama.

Jakarta, 14012020

"Jangan Mencuri, Nanti Kamu Terbiasa..!"


Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu tak mudah. Kebutuhan hidup sama dengan profesi lainnya, tapi kekayaan tidak boleh sama. “Kalau mau kaya jangan jadi PNS!”, ujar seorang Menteri di Republik ini dahulu kala. Aku mungkin masih terlalu muda saat memutuskan untuk bersekolah di sekolah kedinasan yang menjadikanku berstatus PNS . Terlalu muda juga untuk memahami bahwa hidup ini butuh banyak biaya sedangkan PNS tak boleh kaya.
Aku bukan berasal dari keluarga berada, meski ayahku seorang pedagang besar dulunya. Saat aku lahir sebagai bungsu dari dua belas bersaudara, ayahku mulai kehilangan masa kejayaannya. Tapi beliau yakin dan percaya bahwa banyak anak banyak rejeki, patah tumbuh hilang berganti. Kewajiban membiayai hidup pun beralih ke anak-anaknya.
Tak banyak yang kuingat di masa kecil. Biasa saja, cukup makan cukup pakaian. Ketika mulai sekolah, hanya satu pesan ayah: dapat negeri atau tidak sekolah sama sekali. Aku merasa tidak ada masalah, tidak merasa kekurangan walau sering menahan keinginan. Uang sekolah lancar, buku pelajaran lengkap tersedia, juara kelas dapat hadiah. Tak pernah ada beban, meski lambat laun aku sadar bahwa aku menanggung harapan yang besar. Aku adalah si bungsu yang disayang, dimanja dan diharapkan jadi permata keluarga. Ketika SMA nilaiku turun, jangankan jadi juara, masuk lima besarpun tak pernah. Kakakku marah karena aku memilih ilmu sosial daripada eksakta. Meskipun akhirnya aku bisa juara, tapi kekecewaan itu tetap terasa.
Kuputuskan meninggalkan tanah tumpah darah, menuju ibukota. Cukup setahun pertama, lalu aku akan terbiasa. Tapi aku tetap si bungsu, tak akan lepas dari keluarga, mereka tetap menjaga walaupun harapan telah berubah.
“Pergilah, baik-baik di tempat kerja, jangan sampai tak makan karena uang tak bersisa, berhutang dulu tak apa, tapi jangan mencuri karena nanti kau jadi terbiasa”. Itulah pesan orang tua dan sanak saudara ketika aku pamit ke penempatan pertama, Kantor Perwakilan di pelosok nusantara. Setahun tidak terasa. Makan minum tidak masalah, tapi ada hati yang mulai mendua. Tak mungkin menikah tanpa biaya, apalagi masih ada cita-cita. Akal sehat mulai terjaga, amplop dari mitra pun mulai diterima.
Kembali ke ibukota, mengejar cita-cita. Hidup mulai berubah, PNS semakin jaya walau tetap tak boleh kaya. Ibu tiada, hanya isak tersisa karena tidak sempat membuatnya bahagia. Hanya ayah yang ada, namun beliau tetap tidak minta aku untuk jadi kaya. “Carilah istri orang Jawa”, hanya itu pintanya. Akupun menikah dengan kondisi apa adanya. Mertua bisa terima. Tak perlu kaya, jujur saja, semua rejeki dari Allah.
Jadi PNS itu susah, saat ingin berbeda, berbagai godaan datang menerpa. Honor, jalan dinas, fasilitas dan berbagai harta benda sangat menggoda. “Jangan mencuri, nanti kau jadi terbiasa”, terngiang lagi nasehat lama. “Kamu kan menerima, tidak meminta, sekali dua kali boleh saja”, setan jahat mulai menyapa. Nasehat orang tua benar adanya, aku pun mulai terbiasa. Tetap tidak meminta, tapi tak menolak untuk menerima dan mulai berharap adanya.
PNS tidak boleh kaya tapi hidup kan butuh banyak biaya. Saat rakus mulai meraja, mata hati mulai terjaga. Tetap menerima tapi tidak mengharap adanya. Apa setan lalu berdiam saja?. “Bukan curian itu yang kamu terima!”, demikian bisiknya. “Anakmu mulai sekolah, istrimu perlu belanja, sedang gajimu tidak seberapa!”, demikianlah lanjutnya. Nafsu mulai bicara. Sedikit saja takkan dipenjara. Dilema.
PNS ternyata ada yang kaya, meski lebih banyak yang tidak kaya. Apa yang kaya selalu menerima dan meminta? Apakah yang tidak kaya, tidak pernah menerima, tidak pernah meminta? Aku kembali terjebak dalam dilema. Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa harusnya menjadi mantera. Alhamdulillah doa diijabah, kerja berpindah, tak mungkin meminta dan jarang sekali menerima meskipun sah. Mudah-mudahan jadi terbiasa.
Jadi PNS memang susah, tapi semua hanya masalah terbiasa atau tak terbiasa. Kaya bukan yang utama, tapi hidup jujur lebih berkah. Saat hidup banyak asa, berserah diri kepada Allah sambil membaca mantera: “Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa!”.

Jakarta, 14012020
*Tulisan ini pernah dimuat dalam buku "kerDJA, 46 kisah inspiratif membangun negeri", DJA@2017


Manah yang mendua ...

“Kamu tau kenapa hati kita ada dua?,” tanyamu saat itu.
Aku menggeleng.

Lelah Adalah Inspirasiku

Aku terkurung dalam bangunan yang penuh dengan selasar

Segelintir orang berteriak depresi

Terkurung dalam ketidakpastian ruang dan waktu

Segelintir lainnya menangis meratapi kenyerian hebat melanda

Raungan dan teriakan berbaur tanpa bisa dikendalikan

Orang dengan baju putih mencoretkan pena sambil berbicara dengan orang-orang yang sedang gundah

Petugas lainnya hilir mudik mengusahakan yang terbaik dalam lelah berkelanjutan

Aku, yang harus lebih sabar dari semua orang, berdiri di samping ‘gravitasi hidupku'

‘Sang Gravitasi' sedang terkulai menunggu jawaban atas ketidakpastian ruang dan waktu

Kuperhatikan orang-orang yang lalu lalang, kemudian kuciptakan kaveling di otak dan pikiranku

Kucatat, suatu saat akan kutuangkan dalam kisah mendalam tentang perasaan mereka berada dalam kecemasan

Tiga ratus enam puluh menit terkurung dalam ruangan itu, aku memahami betapa cemasnya orang menunggu kepastian apa yang akan terjadi selanjutnya pada hidupnya atau hidup orang yang dicintainya atau 'pusat kehidupan' keluarganya

Selama itu pula aku memahami betapa lelah dan tertekannya para petugas yang dituntut tetap ramah kepada orang-orang yang sedang depresi

Yang kulakukan saat itu adalah menumpahkan pikiran dalam tulisan sederhana dan tentu saja tak seindah garis pena para pujangga

Satu hal yang kurasa adalah menanti itu merupakan proses yang sangat melelahkan

Berjuanglah wahai jiwa-jiwa yang lelah, keluarkan segala gundahmu
Bertahanlah, lakukan yang terbaik yang kau sanggup

Kuberikan juga bunga mawar merah untukmu para petugas yang masih sabar memberikan harapan atas hidup orang lain

Di akhir bait, pertanyaan yang ingin kusampaikan adalah mampukah aku bertahan jika aku adalah orang yang berbaju putih

Somewhere, 14 Januari 2020

Cinta Tak Pernah..


Cinta tak pernah menjanjikan akhir bahagia,

Pun kecewa, Tak pernah.

Sejatinya bahagia dan kecewa hanya berganti-ganti masa,

Mencintai dan dicintai adalah kodrat,

Mencintai yang tak mencintai adalah suratan,

Dicintai yang tak dicintai juga tulisan takdir,

Berbahagia untuk keduanya adalah keniscayaan,

Memendam kecewa karenanya juga hal biasa,

Apapun pilihannya, cinta tak pernah menjanjikan apa-apa,

Jatuh cinta bukanlah keputusan dengan logika,

Apa yang tampak di mata tak selalu sama dirasa,

Apa yang dirasa di dada, tak melulu tertuang dalam aksara,

Sesungguhnya, manusia bukanlah pemilik hati,

Tak ada hak kecewa karena pilihan yang salah,

Hati manusia sudah dipertautkan, berpasang-pasangan,

Takkan luput dari pena-NYA, tinggal jalani saja.

Cinta tak pernah menjanjikan apa-apa,

Tapi DIA menjanjikan kekekalan jannah bagi yang mencinta karena-NYA


Jakarta, 13012020

#saatwarasberkarya

STOP COMPARING

"Hidup ini baik-baik saja, sampai kita mulai membanding-bandingkan" 
-unknown-




"Kak, nanti kalo ada pertanyaan: kamu punya saudara nggak yang pernah sekolah disini?, adik jawab apa?" tanya sang adik kepada sang kakak. Sang adik saat itu sedang persiapan tes masuk sekolah menengah pertama, sedangkan sang kakak adalah alumni sekolah tersebut, lulusan terbaik tahun kemarin. "Ya jawab aja punya" aku memotong jawab mendahului sang kakak yang masih bingung. "Adik takut nanti mereka expect me like kakak" lanjut sang adik. Sejenak aku terdiam. "Ya nggaklah dik, kan beda adik sama kakak" aku mencoba menenangkan. "ish adik mah...!!" sang kakak teriak. "nilai adik kan jelas-jelas lebih bagus dari kakak". Lalu mulailah perdebatan seru sang kakak dengan sang adik. Sang kakak merasa adiknya lebih pintar, sang adik bilang kakaknya yang terbaik. Dengan berbagai argumen kekanakan mereka. "girls...please" aku memotong. "still it cannot be compared. you have a different age, different grade and different school". "Adik pinter, kakak juga pinter. Papa-Mama kan nggak pernah minta kalian jadi juara 1?" lanjutku. "We accepted all of your results, as long as you got it fairly". Meskipun masih menggerutu, perdebatan itu sejenak terhenti. Tiba-tiba sang adik nyeletuk "soalnya di sekolah adik ada tuh Pa yang begitu. Bu guru selalu bilang kakak kamu dulu nggak bandel loh" Sang adik lalu menceritakan tentang Nayla, salah satu teman sekelasnya yang dulu juga mempunyai kakak alumni sekolah tersebut. "Ya nanti kalo  ada guru yang bilang begitu nanti Papa datengin  ke sekolah" Aku mencoba menenangkan lagi.

***
Perbincangan tadi terus terang mengesalkanku. Betapa tidak?. Di usia yang masih sangat belia, anak-anak sudah harus dihadapkan dengan rumitnya kehidupan orang dewasa. Investasiku menyekolahkan mereka ke sekolah dengan embel-embel agama rasanya sia-sia. Bukan karena mereka tidak bisa sholat atau mengaji, tapi karena mereka masih disuguhi pola laku yang sama sekali tidak sesuai ajaran agama. Mirisnya hal tersebut dilakukan oleh sang pendidik.

***
Persoalan ini bukan monopoli persoalanku sendiri. Secara umum banyak sekali keluhan serupa dari para orang tua jaman now terhadap pola pendidikan dan pergaulan di sekolah-sekolah. Aku sepakat bahwa pendidikan terbaik tetaplah dari keluarga, orang tua dan orang-orang terdekat di rumah. Tapi tidak salah juga jika mengharapkan adanya nilai tambah dari pendidikan di sekolah. Keprihatinan ini bahkan sudah sering kusampaikan langsung ke guru-guru bersangkutan, namun hanya jawaban normatif yang kuperoleh. Akhirnya ya menunggu anak sampai lulus saja kemudian cari lagi sekolah yang lebih nyaman pola pengajaran dan pendidikannya buat anak-anak.

***
Sudah banyak tulisan tentang hal ini, tapi tetap saja tidak terimplementasi dengan baik. Semua orang tahu bahwa Matematika atau IPA bukan segalanya, tapi tetap saja anak yang pintar Matematika/IPA lebih disayang. Semua orang tahu kesuksesan hidup tidak ditentukan oleh juara tidaknya semasa sekolah, tapi tetap saja selalu ada peringkat dan predikat di sekolah-sekolah. Anak secara sadar ataupun tidak sadar diajarkan dengan nilai kompetisi yang tidak sehat: menganggap orang lain adalah saingan. Padahal yang harus ditanamkan adalah bagaimana menjadi versi terbaik dirinya sendiri. Hidup bukanlah zero sum game. Kita tidak menjadi baik karena orang lain buruk. Kita tidak menjadi kaya karena orang lain miskin. Kita tidak menjadi pintar karena orang lain bodoh.

***
Manusia memang tidak selalu dalam kondisi terbaiknya. Kadar keimanan pun naik turun. Hati pun sangat mudah dibolak balik. Dalam kondisi seperti itu, menjadi depresi karena tidak mampu apa-apa, tidak punya apa-apa, seringkali terjadi. Membandingkan pencapaian pribadi dengan orang lain sangatlah melelahkan. 

***
Kembali ke kegalauan sang adik. Aku pribadi berharap ketakutannya tidak terbukti; baik akibat harapan guru-gurunya kelak ataupun dari alam bawah sadarnya. Bagaimanapun sang kakak dan sang adik tetap dua orang yang berbeda, meskipun dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. Tidak ada satu mengungguli yang lain, tidak ada persaingan karena senyatanya mereka tidak pernah diperbandingkan.


Jakarta, 13012020

Purnama Terakhir


“Tya, kamu lagi di mana?”
“Udah makan belum? Jangan sampai telat makan, nanti kamu sakit. Ayah juga kan yang repot.”
“Kalau keluar malam, jangan lupa pakai jaket!”
Selalu dan selalu Ayah menelepon atau video call aku. Belum sempat aku berpindah dari kegiatan yang satu ke kegiatan yang lain di kampus, Ayah kembali menelepon. Biasanya ia akan bertanya dan bicara hal-hal yang menurutku tak penting bahkan bisa jadi itu nasihat yang diulang-ulang terus.
Entah apa yang ada di pikiran Ayah, kenapa ia begitu protektif.  Sepertinya Ayah tidak mempercayaiku. Padahal aku selalu berusaha membanggakan Ayah. Aku selalu menjadi yang terbaik dari mulai duduk di bangku sekolah dasar sampai kuliah di universitas terbaik di negeri ini.
Aku tinggal berdua saja dengan Ayah karena Ibu sudah meninggalkan kami berdua ketika aku masih berusia lima tahun. Ibu pergi entah ke mana. Sejak itu ayahlah yang mengurusi sampai saat ini.
Tak pernah terpikir di benakku untuk mencari Ibu. Aku merasa sudah cukup mendapat kasih sayang dari Ayah yang bertindak juga sebagai ibu bagiku.
Tuut … tuut
Ayah calling …
Ayah ngapain lagi sih. Tadi pagi ia sudah meneleponku.  Ayah hanya bertanya nanti malam mau dimasakin apa.
“Ayah, Tya kan udah bilang kalau Ayah nggak perlu masak. Capek kan pulang kerja. Nanti Ayah sakit. Tya juga yang repot.” Aku bicara menirukan kata-kata Ayah kalau menasihatiku.
“Bukan itu, Tya,” ujar Ayah.
“Apa Yah?”
“Mau dibawain makanan apa? Sekalian Ayah pulang kantor, lewat Food Court nanti.”
“Ya ampun, Ayah. Nggak usahlah, Tya beli aja di kampus,” jawabku.
“Kok gitu?” tanya Ayah.
“Tya pulang agak malam. Ada tugas yang harus diselesaikan besok pagi.
“Jadi Ayah sendiri dong di rumah,” ujar Ayah merajuk.
“Ah Ayah, kayak anak kecil aja.” Agak kesal juga aku menghadapi tingkah Ayah. Ini dilakukannya setiap hari.
“Ya udah, ya. Tya mau masuk kelas dulu.”
“Lha kan masih ada lima belas menit lagi.” Sulit memang membuat Ayah menyerah. Ayah tahu pasti kapan saja aku berkegiatan. Tak ada satupun yang terlewat dari catatannya.
“Ah Ayah. Tya kan mau baca-baca dulu materinya sebelum dosen masuk. Udah ya, Ayah.  Nanti malam kalau ngantuk tidur duluan aja. Ayah nggak usah nunggu Tya,” ujarku.
“Oke, Nak.”
Kututup handphone. Aku tahu Ayah tidak akan pernah atau menutup handphone-nya sebelum aku menutup terlebih dahulu.
Aku berjalan menuju kelas. Mata kuliah pertama akan segera dimulai. Rugi rasanya kalau aku terlambat.
                             ***
Hari telah malam ketika aku meninggalkan kampus. Aku berlari mengejar kereta terakhir yang akan membawaku pulang.
Ketika turun dari motor yang mengantarku sampai di depan pagar rumah, rasa kantuk mulai menyerang. Secepatnya aku masuk ke dalam pekarangan.
Aku membuka pintu perlahan. Dengan mengendap-ngendap aku masuk ke dalam rumah yang sebagiannya sudah gelap.
“Baru pulang, Tya?”
Aku kaget. Rupanya Ayah masih berjaga menungguku. Ayah bangkit dari duduknya dan menghampiriku.
“Ya ampun, Ayah. Kenapa sih harus nunggu Tya. Kan udah malam, Yah.”
“Ayah hanya memastikan saja kamu pulang selamat, Nak,” ujarnya.
“Ayah, Tya Aman kok. Malam ini di luar terang sekali. Tya pulang ditemani bulan purnama.”
Ayah menepuk pundakku.  Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Betapa Ayah sangat protektif.
“Oya, ibumu meninggalkanmu dan Ayah saat bulan purnama juga,” ujar Ayah dari pintu kamar. Setelah itu ia masuk ke dalam.
Aku terdiam sejenak. Ayah takut kehilangan diriku. Menurutku Ayah sangat berlebihan. Aku berjalan menuju kamarku yang letaknya bersebelahan dengan kamar Ayah. Aku harus istirahat karena besok aku harus bangun pagi supaya tak kesiangan sampai kampus.
                             ***
“Bangun, Nak!”
Rasanya enggan sekali mata ini terbuka. Aku masih belum mau bangun. Masih ingin menikmati hangatnya tempat tidur.
“Tya, sarapan dulu. Ayah mau berangkat kerja nih,” ajak Ayah sambil menepuk kakiku.
“Ayah, Tya masih ngantuk. Lima belas menit lagi, ya?”
“Jangan ditunda-tunda, Nak. Ayo bangun, Ayah tungguin. Kita sholat Subuh berjamaah. Abis itu kita  sarapan bareng. Udah dibikinin nasi goreng kunyit.”
“Aduh Ayah, sarapannya kok pagi banget sih,” ujarku kesal.
“Ayah harus sampai kantor pagi. Ada yang harus diselesaikan,” jawab Ayah sambil tersenyum.
Akhirnya aku bangkit dari tempat tidur. Kurentangkan tangan ke atas. Rasanya nikmat sekali. Itu sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil ketika bangun tidur.
Setelah mandi, aku menghampiri Ayah di kamarnya  untuk sholat berjamaah. Setelah itu kami berdua sarapan bersama. Sejak Ibu pergi, Ayahlah yang setiap hari memasak untukku.
                           ***
Hari sudah gelap ketika semua aktivitas di kampus berakhir. Bulan yang bulat dan bundar menghiasi langit yang semakin bercahaya. Aku memesan ojek online di sekitar kampus. Beberapa saat kemudian si pengemudi ojek mengirimkan pesan kepadaku.
Pengemudi ojek: Saya sudah di lokasi
Aku: Tunggu sebentar
Aku berjalan menuju tempat yang kupilih untuk penjemputan. Aku melihat motor dengan nomor yang sama dengan ojek yang kupesan. Aku mendekat ke arah motor itu. Langkahku terhenti melihat pengemudi ojek yang kupesan  sedang berkomunikasi dengan seseorang. Aku tak ingin mengganggu. Kutunggu di samping motornya.
“Tunggu, ya Sayang. Sebentar lagi Bapak pulang,” ujarnya.
Sekilas kuintip dari balik punggung si pengemudi ojek, seorang anak perempuan dengan wajah mungil sedang berbinar-binar di layar handphone si pengemudi ojek yang kutahu namanya Pak Kasim. Aku merasa seperti Ayah yang sedang video call denganku. Ada rasa hangat menjalari hatiku.
“Eh, maaf Mbak. Sudah lama nunggu ya?” Pak Kasim. Sepertinya ia baru menyadari keberadaanku.
“Belum kok, Pak,” jawabku
“Maaf, ya Mbak,” ujar Pak Kasim  sambil memberikan helm kepadaku. Setelah memasang helm di kepala, aku menaiki motor.
“Tadi anaknya, Pak?” tanyaku diantara deru suara kendaraan di jalan raya.
“Iya, Mbak. Umurnya masih lima tahun. Dia nggak mau belajar kalau yang nyuruh ibunya. Harus saya yang turun tangan. Sekali lagi maaf, ya Mbak,” ujar Pak Kasim.
“Nggak apa-apa kok, Pak. Saya juga punya bapak yang setiap saat nelpon. Sampai kadang saya suka kesal.”
“Kok kesal, Mbak?” tanyanya.
“Soalnya bapak saya sering banget nelpon saya. Sering nggak kenal tempat waktu. Padahal tiap pagi saya selalu kasih tahu apa kegiatan saya seharian,” jawabku dengan suara meninggi. Aku heran juga kenapa aku harus meninggikan suara.
“Maaf, ya. Kalau anak saya nggak suka saya telepon, aduh nggak kebayang deh. Saya pasti sedih banget. Satu-satunya alasan kenapa saya bersemangat nyari uang, ya anak saya itu.”
“Iya sih, Pak. Saya paham, bapak saya itu sayang banget sama saya tapi ya nggak berlebihan seperti sekarang ini,” balasku.
“Sekali lagi maaf, apa Mbak masih punya ibu?”
Aku terdiam mendengar pertanyaan . Aku paling benci kalau ada orang yang bertanya tentang ibuku. Tak ada bahan yang bisa kuceritakan tentang ibu.
“Ibu sudah nggak ada, Pak. Ia pergi meninggalkan saya dan Ayah,” jawabku pelan.
“Itulah kenapa bapak Mbak sering menelepon. Ia kesepian, Mbak.
Mendengar perkataan Abang Ojek, aku tersentak. Betapa selama ini aku tak pernah memperhatikan Ayah. Sepertinya benar yang diucapkan Pak Kasim kalau Ayah kesepian, makanya Ayah sering sekali menghubungiku. Ayah butuh teman untuk berbagi.
“Pak, turunin saya di depan gang aja,” pintaku kepada Pak Kasim.
“Lha kan rumah Mbak masih agak jauh,” ujar Pak Kasim sambil menghentikan laju motornya.
“Nggak apa-apa, saya pengen olah raga, Pak. Menikmati cahaya bulan purnama,” jawabku. Malam ini bulan terlihat bundar sempurna dan indah di mataku.
“Jangan lupa bintang lima ya, Mbak!” pinta Pak Kasim ketika aku berjalan menjauhinya.
“Nggak ada yang bintangnya delapan?” candaku sambil mengacungkan jempolku. Pak Kasim hanya tersenyum membalas candanku.
Aku berjalan menyusuri gang yang menuju ke rumahku. Sengaja aku minta berhenti agak jauh dari rumah agar suara motor tak mengagetkan Ayah. Biasanya kalau sudah malam begini, Ayah menungguku pulang di ruangan depan. Ayah akan membuka pintu jika mendengar suara motor.
Aku berjalan dengan perasaan riang. Sesekali kepalaku menengadah ke langit menikmati bulan purnama yang sangat terang. Malam ini aku ingin menikmati bulan purnama berdua saja dengan Ayah. Malam ini aku akan memasak untuk makan berdua. Ah, tak pernah kusadari kalau cintaku kepada Ayah begitu besar.
                                               ***
“Ayah … Ayah,” aku memanggil Ayah. Malam ini tidak seperti biasanya, Ayah tidak menungguku di ruang depan.
“Ayah … Ayah.”
Aku mencari Ayah ke seluruh ruangan. Dari mulai kamar, dapur, kamar mandi, ruang belakang tak kutemukan Ayah. Aku mulai panik. Sesaat kesadaranku muncul, biasanya kalau malam purnama begini Ayah sering duduk di ruang kecil yang berada di atas rumah. Tempat itu  biasanya kupakai untuk menjemur pakaian.
Aku berlari menaiki tangga yang terbuat dari papan  satu per satu. Tak sabar hati ini ingin sekali bertemu dengan Ayah untuk meminta maaf. Aku akan berjanji untuk selalu menjaganya.
“Ayah … Ayah …,” lidahku seakan kelu melihat tubuh Ayah tergeletak di lantai. Wajahnya tampak pucat. Tubuh Ayah tak bergerak sama sekali.
Kudekati tubuh Ayah. Kupanggil namanya, Ayah tak bergeming. Kugoncangkan badannya, ternyata sudah kaku.
“Ayah, buka mata Ayah!” ujarku sambil menepuk-nepuk pipinya. Tetap tak ada jawaban.
“Ayah ….”
Tetap tak ada jawaban. Kesadaranku hilang. Aku berharap ini hanya mimpi belaka. Sayangnya aku terbangun ketika rumahku telah dipenuhi orang yang ingin menyampaikan duka citanya. Aku seperti masuk ke dalam lorong gelap yang dingin dan sunyi. Entah bagaimana aku akan menjalani hidupku ke depan tanpa sosok Ayah.  Aku sungguh tak tahu. Semuanya gelap dan sunyi..
                                               ***
*Cerpen ini dibukukan dalam Antologi Cerpen: The Moon on The Darkest Night, Penerbit: Ellunar 

Dua Puntung Rokok

"orang kaya, mendaftar kerja"


.
Badan besar,
Hatinya  dekil,
Wajah  sangar
Mentalnya  kecil

Harta yang dipunya
Dipikir segalanya
Semua temannya
Ingin dikontrolnya

Dalam diskusi
Tegak berdiri
Dalam posisi
Menang sendiri

Serius, bercanda
Dia punya jadwal
Yang asal tertawa
Membuatnya kesal

Dia ngomong ngelantur
bilangnya  bercanda
Yang lain bertutur
Dia lempar kena dada

Banyak orang
Menjadi korban
Watak pemberang
Kepada teman

Biarpun pernah satu sekolah
Umurnya  tua  atau sebaya
Hampir selalu pernah masalah
Jika berdekat dengan dirinya

Dari rumah mungkin awalnya,
Tumbuh besar laksana raja
Semua tunduk pada titahnya
Apapun mau, bilanglah saja

dia pikir  kekayaan besar
Bekal selalu hidup gemerlap
dirinya selalu merasa benar
Emoh belajar meminta maap

dipeliharanya seekor kucing
teman berbincang kalau di rumah
Memahami teman merasa asing
Teman tak paham dikira marah

Semua hukum di dalam rumah
Ingin adopsi di semua tempat
Berharap dimaklumi jika tak ramah
Merasa diri orang terhormat

punya tabiat begitu nyeleneh
maunya  untuk dimengerti saja
membuat orang  merasa aneh,
Orang kaya maksain kerja

Ini  pantun cerita rekaan,
Pengisi waktu di akhir pekan
Sekiranya  tidak  berkenan,
Bermohon maap saya haturkan

Biarpun badan sedikit lelah,
Menyunting karya Haruslah cermat
Kita berbeda adalah fitrah
Penting kiranya saling menghormat

(ujung harapan, 11 jan 2020)