Tampilkan postingan dengan label Ahmad Irsan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ahmad Irsan. Tampilkan semua postingan

Benarkah kita butuh 20% setiap tahun untuk Anggaran Pendidikan?

 Menarik membaca artikel yang diposting melalui tautan www.bukannotadinas.com/2017/08/peningkatan-anggaran-pendidikan-dan.html. Namun, saya tergelitik dengan closing statement  yang ditegaskan oleh penulis bahwa “Anggaran Pendidikan sebesar 20% tetap harus dipertahankan, tetapi perlu ditingkatkan porsinya untuk pendidikan yang sifatnya formal.       
            Setidaknya ada dua pertanyaan kritis yang ingin disampaikan. Pertama, apa benar kebutuhan pendidikan Indonesia adalah sebesar 20% dari APBN? Ini artinya bahwa kebutuhan memajukan dunia pendidikan di Indonesia bersifat statis, tidak dinamis. Pertanyaan kedua adalah apakah kebutuhan pembangunan dunia pendidikan di Indonesia merata antar daerah, sehingga membutuhkan anggaran dengan porsi yang sama setiap tahunnya?   
      Sebelum membahas kedua pertanyaan tersebut, tulisan ini akan melihat APBN secara keseluruhan dalam kerangka pembangunan nasional yang terintegrasi antar berbagai sektor yang ada. Terdapat tema diskusi yang sama setiap tahunnya dalam menyusun besaran APBN, yaitu belanja wajib masih mendominasi pengeluaran pemerintah. Kondisi ini selalu menjadi kritikan terhadap RAPBN yang disusun pemerintah, meski APBN naik setiap tahunnya.
            Adapun fokus diskusi adalah terkait keterbatasan ruang fiskal yang dimiliki pemerintah. Hal ini disebabkan oleh semakin besarnya belanja wajib yang harus dialokasikan setiap tahunnya. Belanja wajib (obligatory spending) dimaksud berupa belanja non diskresioner/terikat seperti belanja pegawai, pembayaran pokok dan bunga hutang, subsidi, dan pengeluaran yang dialokasikan untuk daerah.
           Pada perkembangannya belanja wajib ini semakin luas dengan keluarnya kebijakan pematokan anggaran sebagai penerapan amanat Amandemen UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 yang kemudian diturunkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 49 ayat 1 UU tersebut mewajibkan pemerintah mengalokasikan minimal 20% dari APBN untuk melaksanakan fungsi pendidikan.
Pengkavlingan anggaran ini terus berlanjut dengan keluarnya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana  Pasal 171 ayat 1 UU ini mewajibkan pemerintah untuk mengalokasikan anggarannya minimal 5% dari APBN untuk fungsi Kesehatan. Bahkan yang paling baru keluarnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang ini juga berdampak pada fleksibilitas fiskal pemerintah karena memunculkan kavling anggaran baru.
Jadi siapa pun yang akan memimpin pemerintahan di Indonesia akan menghadapi tantangan yang sama. Bagaimana dengan ruang gerak fiskal yang sangat terbatas dapat mewujudkan pembangunan ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintahan baru tidak hanya dihadapkan pada keharusan mengalokasikan belanja wajib (obligatory spending), tapi juga harus memperhitungkan penyediaan alokasi pengkavlingan anggaran (mandatory spending) setiap tahunnya sebagai pelaksanaan undang-undang.
Hal ini memiliki konsekuensi bahwa ruang gerak Pemerintah Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan belanja negara semakin terbatas jumlahnya.  Ketersediaan ruang fiskal pemerintah semakin kecil untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang dapat menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga mampu mendorong pertumbuhan melalui pembangunan proyek-proyek infrastruktur, penciptaan lapangan kerja produktif dan pengentasan kemiskinan. Sehingga tidak heran jika saat ini pemerintah harus melakukan berbagai inovasi kebijakan fiskal dalam upaya membiayai pembangunan. Dan, publik pun terhentak dan menimbulkan berbagai rekasi pro-kontra ketika pemerintah ingin mendorong pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam kompetisi global. Dari mekanisme pembiayaan non anggaran pemerintah, skema investasi PPP baik dari dalam maupun luar negeri dan penerbitan surat utang pemerintah baik konvensional maupun yang bersifat syariah. Bahkan yang terakhir wacana penggunaan dana haji sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan
Sulit bagi pemerintahan mana pun untuk mewujudkan program-program kerja jika memiliki fleksibilitas fiskal yang sangat terbatas. Pengkavlingan anggaran menggiring pemerintah memiliki program kerja yang flat dan monoton setiap tahunnya. Alokasi anggaran sudah di kavling-kavling untuk pengeluaran tertentu. Pemerintah memiliki ruang sangat terbatas untuk melakukan terobosan-terobosan dalam program pembangunannya.
Kembali pada dua pertanyaan kritis di atas. Perlu dipahami bahwa kebijakan pematokan anggaran membawa konsekuensi bahwa kebutuhan pembangunan Indonesia adalah sama setiap tahunnya. Bahwa masalah yang dihadapi bangsa Indonesia tidak berubah dari tahun ke tahun. Padahal perekonomian suatu negara dipengaruhi oleh kondisi global dan dinamika internal yang terjadi. Dan perubahan tersebut sangat cepat dan besar pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia.
Mungkin saat ini Indonesia membutuhkan pembangunan dunia pendidikan dan kesehatan, tapi apakah hal tersebut akan terus menjadi prioritas pembangunan di Indonesia? Lalu bagaimana pemerintahan baru dapat mewujudkan program-program kerja saat kampanye jika alokasi anggaran yang tersedia sudah dipatok untuk pengeluaran tertentu? Kita akan kesulitan melihat perubahan atau perbedaan kebijakan pembangunan antar rejim. Janji kampanye hanya akan menjadi catatan sejarah saja, tanpa adanya dukungan sistem fiskal yang mendukung untuk diwujudkan. Dan, saat suatu rejim melakukan inovasi atau improvisasi maka akan menuai kontroversi di masyarakat, yang pada akhirnya setiap rejim akan terus sibuk mengelola riak sosial yang ada.
 Berikutnya, kavling anggaran ini berkesimpulan bahwa setiap daerah memiliki kebutuhan pembangunan yang sama karena pematokan anggaran tidak hanya di APBN tetapi diwajibkan juga pada APBD. Padahal prioritas pembangunan suatu daerah harus disesuaikan dengan kondisi daerah dan masyarakat setempat. Tentunya kebutuhan pembangunan di Jakarta berbeda dengan di Raja Ampat. Itu berarti prioritas pembangunannya pun berbeda, dan tentunya alokasi anggaran pun akan mengikuti prioritasnya.
Mengapa besaran ruang fiskal yang dimiliki suatu pemerintah menjadi penting? Hal ini berkaitan dengan penggunaan ruang fiskal tersebut yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, meningkatkan fleksibilitas pemerintah dalam mengelola keuangan negara, menjaga kesinambungan fiskal, memelihara stabilitas ekonomi dan dalam rangka mencapai target SDGs.
 Untuk itu Indonesia perlu melakukan review terhadap pengelolaan belanja negara. Baik yang bersifat obligatory spending maupun mandatory spending. Dari sisi belanja obligatory spending pemerintah dapat menata ulang kebijakan alokasi anggaran yang berkaitan dengan pembayaran pokok dan bunga hutang serta kebijakan subsidi.
Mekanisme swap dapat ditempuh jika pemerintah mampu memainkan diplomasi kuatnya posisi tawar Indonesia di dunia. Utang pemerintah dapat dialihkan pada pembiayaan program-program pelestarian hutan kita sebagai paru-paru dunia dalam rangka mengatasi pemanasan global. Penguatan demokrasi dan kerukunan hidup beragama di Indonesia juga dapat dijadikan kompensasi pelunasan hutang, mengingat Indonesia memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas regional.
Pencabutan atau pengurangan subsidi selalu menjadi tema diskusi para pelaku ekonomi dan politisi. Pada prinsipnya tidak ada pemerintah yang ingin mencabut subsidi karena akan berdampak pada kenaikan harga barang yang menyangkut kebutuhan masyarakat luas.
Kebijakan tersebut tidak populis dan akan berdampak negatif terhadap dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Namun, bila keterbatasan fiskal untuk intervensi harga semakin menguat dan pemerintah harus melakukan penyesuaian harga, maka yang perlu dilihat adalah apakah kebijakan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan ekonomi atau pertimbangan politik?
Perlu mendapat penekanan adalah terdapat jaminan bahwa akumulasi dana dari subsidi yang ditarik (yang trilyunan rupiah tersebut) direalokasikan dengan pertimbangan ekonomi, yaitu untuk pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan antar daerah. Kegiatan pengentasan kemiskinan tersebut berupa kegiatan yang berpihak pada kelompok mayoritas yang ada dimana kegiatan tersebut dapat membuka akses yang sebesar-besarnya bagi masyarakat miskin dan hampir miskin kepada akses-akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Sering terjadi adalah pencabutan subsidi dilakukan dengan pendekatan ekonomi namun realokasi anggaran subsidi dilakukan dengan pendekatan politik. Inkonsistensi penggunaan pendekatan tersebut harus dihindarkan agar kebijakan mencabut subsidi menjadi efektif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dan ini dapat dilakukan jika pemerintah dipimpin oleh rejim yang kuat secara politik di DPR.
Sementara itu, kebijakan pematokan anggaran juga harus mendapat peninjauan ulang. Fakta di masyarakat menunjukkan bahwa kavling anggaran untuk pendidikan yang besar, begitu juga kesehatan tidak menjadikan biaya pendidikan dan kesehatan di Indonesia menjadi murah dan berkualitas.  Bahkan sebaliknya, dunia pendidikan dan kesehatan menjadi industri dengan produk yang mahal dan susah dijangkau oleh masyarakat.
Dibutuhkan kearifan untuk merumuskan struktur belanja anggaran pendidikan dan kesehatan. Agar anggaran tersebut benar-benar berdampak positif terhadap kualitas pendidikan dan kesehatan rakyat Indonesia, bukan tergerus oleh biaya birokrasi dan administrasi.
Permasalahan pendidikan dan kesehatan di Indonesia juga harus dapat dikaji lebih baik, sebagai contoh jumlah guru dan tenaga medis yang kurang atau distribusinya yang tidak merata. Sangat mudah menemukan praktek dokter spesialis di kota-kota besar, namun masyarakat pedesaan sangat sulit untuk mendapat pengobatan seorang dokter umum sekali pun. Sedangkan pembangunan dunia pendidikan harus mampu menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja, baik domestik maupun regional. Mengingat AFTA yang sudah berlangsung, maka dunia pendidikan harus diarahkan untuk mampu mengisi peluang-peluang pekerjaan dan profesi di kawasan sehingga Indonesia tidak menjadi surga bagi masyarakat global dalam mendapatkan pekerjaan, tapi juga mampu bersaing pada posisi-posisi strategis di pasar tenaga kerja. Dan, untuk itu pendidikan formal bukanlah satu-satunya yang harus menjadi prioritas. Dalam pasar tenaga kerja yang dibutuhkan adalah skill labor, dimana hal ini dapat dihasilkan secara cepat dan tepat oleh pendidikan vokasi, pelatihan dan workshop serta jalur pendidikan informal lainnya.

Memang tidak mudah menata kembali kavling-kavling anggaran yang ada. Kebijakan tersebut diatur dengan undang-undang, bahkan untuk pendidikan diamanatkan dalam UUD. Pergulatan politik dan partainya tentu menjadi tantangan tersendiri. Namun, jika semua sepakat bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia serta kemajuan bangsa Indonesia merupakan tujuan bersama. Seperti janji mereka saat kampanye baik saat pemilu legislatif maupun pemilihan presiden, maka tidak ada yang tidak mungkin. Hanya kitab suci yang tidak dapat diubah.

Berebut “Benar”

Tidak ada satu individu pun yang dapat terlepas dari sebuah relasi di masyarakat. Sependiam apapun individu tersebut, sekutu buku apapun dia, pasti akan memiliki sebuah relasi. Ntah itu dalam sebuah komunitas kecil maupun besar. Bentuk relasi ini pun semakin berkembang seiring kemajuan teknologi informasi yang menghadirkan relasi dunia maya. Bahkan relasi dunia maya lebih mendominasi, karena tidak perlu saling bertatap muka atau mengenal, relasi ini terlihat seperti tanpa beban. Orang lebih berani dan responsif dalam bereaksi. 
 Secara alamiah, sebuah relasi selalu berhadapan dengan interaksi yang akan memunculkan sebuah pilihan harus berpihak pada siapa atau justru bertahan pada keberpihakan terhadap diri sendiri. Dan, ukuran memilih posisi sebelah mana sangat bergantung pada “anggapan’ kebenaran yang dimiliki masing-masing individu. Pada tahap inilah biasanya, konflik akan mulai muncul. Dari yang paling sederhana, yaitu perbedaan pandangan akan sebuah kebenaran, hingga berakibat pada permusuhan. Bukan karena pertarungan benar-salah, lebih sering karena mempertahankan kebenaran masing-masing.
Lalu pertanyaannya, apa mungkin kebenaran itu bersifat jamak bukan tunggal? Ilustrasi Amartya Sen, peraih nobel, berikut mungkin bisa membantu menjelaskan fenomena ini. Sen dengan sangat sederhana menggambarkan bagaimana kebenaran tersebut bersifat plural, bukan monolistik. Bagaimana konflik bisa terjadi, meski sama-sama benar. Sen bercerita tentang Anne, Bob dan Carla yang bersahabat baik dan saling memahami kondisi masing-masing. Ketiga anak ini mulai menghadapi konflik saat menemukan sebuah seruling. Dan, mereka berdebat siapa yang paling berhak memiliki seruling tersebut berdasarkan kebenaran yang dipahami masing-masing.
Anne berpendapat dialah yang berhak memiliki benda tersebut. Dasar pemikiran Anne adalah karena hanya dia satu-satunya orang yang dapat memainkan seruling. Sehingga seruling tersebut akan lebih bermanfaat daripada diberikan pada Bob atau Carla yang tidak tahu cara menggunakannya.
Sementara Bob adalah anak termiskin diantara mereka bertiga dan tidak memiliki satu pun mainan. Sehingga, Bob berkeras bahwa dialah yang seharusnya mendapatkan seruling tersebut. Bob membangun argumentasi bahwa tanpa seruling tersebut, Anne dan Carla tetap dapat menikmati mainan lain yang banyak mereka miliki. 
Sedangkan Carla merasa paling berhak terhadap seruling tersebut karena dia telah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk membuat seruling tersebut. Dengan demikian, kebenaran akan wujud jika dia yang memiliki seruling tersebut.
Tergambar bahwa ketiga anak memiliki basis argumentasi dan justifikasi yang benar. Anne menggunakan pendekatan utilitarian (sesuatu dilihat dari kebermanfaatannya), Bob, menyorot dari sisi keadilan/egalitarian dan Carla berpegang teguh pada paham libertarian. Yang pasti, ketiga paham tersebut ada dan benar secara keilmuan. Ilustrasi Sen ini menjelaskan bahwa munculnya konflik tidak terbatas pada benar-salah saja, bahkan mungkin lebih karena pertarungan kebenaran antar individu.
Pertanyaan lanjutan yang muncul adalah bagaimana menyikapinya agar terhindar dari konflik? Pemikiran filsuf Jalaluddin Rumi mungkin dapat jadi rujukan. Rumi bilang bahwa kebenaran hakiki itu ibarat sebuah cermin besar dari Tuhan. Lalu jatuh berkeping-keping ke bumi, dan setiap kita mengambil kepingan tersebut, kemudian berteriak bahwa kitalah pemilik kebenaran.

Jadi, setiap individu memang berhak dan harus menyuarakan kebenaran. Namun, kita harus sadar bahwa kebenaran tidak hanya milik kita sendiri. Dan, konflik dapat dihindari dengan tidak berfikir bahwa kitalah yang paling benar. Atau bahkan lebih buruk, bersikukuh menyuarakan pembenaran.   

Konflik Pengelolaan Transfer Daerah : Principal-Agent Approach

Bicara tentang principal-agent problem akan terbayang hubungan yang terjadi di sektor swasta seperti relasi antara majikan dan pekerja atau pemilik perusahaan dengan para profesional pengelola perusahaan. Dimana pemilik perusahaan bertindak sebagai principal, sedangkan manajer sebagai agent. Pemilik mempercayakan kepada manajer untuk menjalankan usahanya. Pemilik menggaji sang manajer dengan layak untuk satu tujuan, yakni memaksimalkan laba perusahaan. Masalahnya pemilik tidak dapat memonitor prilaku atau tindakan sang manajer sehari-hari. Dia mengukur kinerja manajer hanya berdasarkan laba yang diperoleh perusahaan. Padahal perolehan laba tidak serta merta terjadi karena kinerja dari manajer. Bisa saja hal tersebut disebabkan oleh faktor lain seperti kondisi pasar atau perekonomian yang memang mendukung sehingga tanpa upaya maksimal sang manajer, perusahaan tetap akan untung (Grossmann dan  Hart, 1983).

Penerapan pendekatan ini dalam sektor publik dilakukan untuk melihat pengaruh faktor non-ekonomi dari federal grants pada prilaku pemerintahan lokal (Chubb, 1985). Studi Chubb bertujuan untuk menunjukkan bahwa berbagai outcomes berbeda yang dihasilkan oleh sistem federal dapat dispesifikasikan dan dianalisis secara kuantitatif. Dengan menggunakan ekonometrika sebagai alat uji dengan menganalisis kinerja dua program utama federal grants pada 50 negara bagian di Amerika selama kurun waktu 1965-1979.  Chubb menganggap Kongres dan Presiden sebagai principal yang menyediakan alokasi kepada negara bagian dan pemerintah lokal untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu.

Sementara bertindak sebagai agent adalah federal grants agencies yang bertanggungjawab dalam distribusi anggaran, menyusun regulasi dan aturan terkait penggunaan dana tersebut. Permasalahan disini adalah birokrasi yang ditunjuk sebagai agen memiliki kepentingan yang berbeda dengan para anggota senat dan presiden. Agen berkepentingan untuk memberikan pelayanan maksimal kepada mitra kerjanya, dalam hal ini negara bagian dan pemerintah lokal. Sementara para politisi berkepentingan untuk menjaga tingkat keterpilihannya di daerah.

Di sisi lain, kinerja dari agen juga sulit diukur karena sangat bergantung kepada prilaku daerah penerima alokasi anggaran. Dan sering terjadi birokrasi lebih mengenal daerah daripada anggota kongres dan presiden. Sehingga jika tidak dilakukan monitoring dan pengawasan yang efektif maka meningkatkan potensi penggunaan anggaran yang salah sasaran. Bahkan cenderung berdasarkan keinginan masing-masing negara bagian atau pemerintah lokal. Namun, kendalanya untuk melakukan monitoring dan pengawasan dibutuhkan biaya yang sangat besar. Hal ini karena luasnya wilayah dan banyaknya jumlah daerah yang harus dikunjungi.

Penelitian lain dalam penerapan principal-agent problem sektor publik dilakukan untuk menganalisis desentralisasi fiskal dan dana perimbangan pada multiregional model of endogenous growth ( Ogawa dan Yakita, 2009). Studi diarahkan untuk melihat karakteristik dari hubungan antara pertumbuhan dan desentralisasi fiskal. Kemudian menunjukkan secara teori tingkat optimal dari desentralisasi fiskal bagi maksimisasi pertumbuhan.

Model yang dibangun memiliki asumsi bahwa terdapat dua tingkatan pemerintahan dengan tujuan yang berbeda. Pemerintah lokal ingin memaksimalkan utilitas dari penduduk di wilayahnya. Sementara pemerintah pusat menerapkan perimbangan keuangan untuk menutup celah kapasitas fiskal antar daerah dan pada tingkat pertumbuhan.

Ogawa dan Yakita menyimpulkan bahwa preferensi tarif pajak yang dipilih oleh pemerintah daerah secara positif berdampak pada besaran desentralisasi fiskal, yaitu mendorong pemerintah lokal untuk menaikkan tarif pajak pendapatan. Dengan sudut pandang berbeda, hal ini memberi makna bahwa dana perimbangan yang besar membuat daerah tidak berkeinginan untuk meningkatkan  sumber pendapatan asli daerahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa transfer daerah menciptakan disinsentif efek.

Selain itu, Ogawa dan Yakita juga menemukan bahwa perimbangan fiskal yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak memberi pengaruh terhadap percepatan konvergensi pertumbuhan antar daerah. Hasil ini terlihat kontra-intuisi , karena peneliti berfikir bahwa transfer dari pemerintah pusat akan menjadi stimulus bagi pengentasan disparitas antar daerah. Lebih lanjut kedua peneliti ini berpendapat bahwa tingkat desentralisasi fiskal yang optimal diarahkan untuk mencapai tujuan pemerintah pusat. Namun, pilihan yang diambil pemerintah pusat justru berlebihan dari ekspektasi daerah.

Lalu bagaimana dengan sistem perimbangan keuangan pusat-daerah di Indonesia? Apakah konsep desentralisasi fiskal yang berlangsung saat ini identik dengan konsep fiscal federalism yang diterapkan negara-negara maju? Sebelum sampai pada analisa komparasi tersebut, perbandingan filosofis dari kedua konsep ini, dibutuhkan pemahaman perbedaan filosofis kedua konsep tersebut serta kondisi antar daerah yang ada secara utuh . Agar para perumus kebijakan tidak terjebak pada tren copy-paste atau sekedar melakukan adopsi tanpa memperhatikan perbedaan mendasar dari masing-masing konsep dimaksud. Penting untuk dipahami bahwa terdapat tiga tingkatan pemerintahan, pusat, propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dengan jumlah yang sangat banyak dan sangat bervariasi kondisinya. Hingga 2013 terdapat 33 Propinsi dengan 497 Kabupaten/Kota (BPS, 2013). Pemerintahan tersebut tersebar dalam rentang geografi yang begitu luas dengan kekayaan dan keunikan budaya masing-masing.

Sistem desentralisasi fiskal di Indonesia berbeda dengan konsep fiscal federalism negara-negara lain. Dengan bentuk negara kesatuan, maka otonomi daerah di Indonesia dilakukan untuk mempercepat pemerataan pembangunan di daerah. Sementara pada negara-negara maju penganut fiscal federalism kondisi antar negara bagian dan pemerintah lokal lebih bersifat simetris, sehingga tujuan yang ingin dicapai bukan lagi pemerataan pembangunan tapi lebih kepada harmonisasi fiskal dan minimalisir dampak dari fiscal competition antar daerah.

Dengan demikian fiscal federalism diartikan sebagai pembagian kewenangan dalam memperoleh pendapatan dan tanggungjawab pengeluaran diantara berbagai tingkat pemerintahan. Sedangkan desentralisasi fiskal Indonesia, diarahkan sebagai perimbangan keuangan yang diartikan sebagai sebuah sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentraliasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah.

Lebih jauh, pola kepemimpinan di daerah juga sangat bervariasi dan sangat bergantung pada asal partai politik pemimpinnya dan suara mayoritas partai yang ada di DPRD. Sehingga tidaklah mudah membuat program yang standar dan berlaku sama untuk setiap daerah. Hal ini menjadi potensi konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah. Bagaimana merumuskan sebuah desain transfer daerah (perimbangan keuangan) yang dapat optimal bagi kedua belah pihak.

Jika melihat fenomena ketokohan pemimpin daerah di beberapa tempat seperti Jakarta, Bogor, Banyuwangi dan Surabaya. Secara nyata berhasil merubah kondisi pelayanan publik di daerahnya menjadi lebih baik, transparan dan mendekati ekspektasi masyarakat. Maka dapat diduga faktor prilaku pemimpin daerah memiliki pengaruh penting dalam pemanfaatan transfer daerah bagi peningkatan pelayanan sektor publik di daerah.

Dengan demikian, prilaku pemimpin daerah dan relasi politik pusat-daerah memiliki peran penting dalam keberhasilan tujuan desentralisasi fiskal. Kedua variabel ini perlu mendapat perhatian pemerintah dalam membangun kebijakan transfer daerah, sehingga tidak hanya fokus pada faktor ekonomi, namun juga memperhitungkan faktor non-ekonomi dalam melakukan evaluasi dan pengukuran keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia.

Kombinasi pendekatan ekonomi dan non-ekonomi ini diarahkan mampu menjadi solusi optimal desain dana perimbangan pusat ke daerah. Sehingga diperoleh titik optimum antara kepentingan pemerintah pusat melalui konsep desentralisasi fiskal dan kepentingan daerah dalam mengelola dana perimbangan yang diterima.