Tampilkan postingan dengan label Cerbung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerbung. Tampilkan semua postingan

LELAKI YANG MALANG (2)

 

Setelah sebulan aku dan suamiku sembuh dari penyakit sejuta umat, kami berdua akhirnya memiliki kesempatan untuk mengunjungi Usman di kampung. Damar, suamiku, ingin memastikan kondisi Usman.

Aku hanya berdiri di depan pintu rumah sederhana milik ibunya Usman. Rupanya setelah keluar dari rumah sakit, Usman dibawa ke rumah ibunya yang tinggal sendiri. Ia seolah sudah tak punya lagi mempunyai keluarga setelah bercerai dengan isterinya beberapa tahun yang lalu.

Tercium olehku bau pesing dari dalam rumah itu. Kudengar juga dari saudaranya bahwa Usman sering membuka pampers-nya dan buang air kecil di atas kasur. Mungkin Usman juga tak sadar apa yang dilakukannya.

Usman duduk di atas kasur yang digelar di lantai. Tenggorokanku tercekat melihat kondisi Usman. Mukanya pucat bak mayat. Matanya cekung dan pandangannya kosong. Ia tak memiliki daya untuk sekedar menopang tubuhnya yang kurus kering. Berbeda dengan Usman yang kulihat beberapa bulan sebelumnya.

Kulihat Bulek Tansah, ibunya Usman, tertatih-tatih menyambut kami. Tak bisa kubayangkan bagaimana repotnya seorang ibu yang sudah renta harus mengurusi anaknya yang sakit. Penyakit Bulek Tansah pun sebenarnya tergolong berat tapi ia tetap bersemangat merawat anaknya. Untungnya saudara-saudara kandung Usman tinggal berdekatan dengannya, sehingga mereka bisa bergiliran menjaga Usman.

“Man, apa kabar?”

Damar duduk di depan pintu. Badannya membelakangi Usman. Sepertinya ia tak tega melihat kondisi Usman yang mengenaskan.

“Ya aku begini, Mas. Aku bingung sakit apa. Aku nggak bisa nelen makanan. Setiap mau makan aku selalu muntah. Makanku hanya susu kambing dan air tajin saja ….”

Kudengar suara Usman parau. Rupanya sakit juga merubah suaranya.

“Ya harus makan, Man. Satu-satunya cara untuk sembuh ya makan,”ujar Damar.

Kudengar Usman membalas dengan penjelasan panjang dan lebar. Rupanya kecerewetannya tidak berkurang walaupun ia sakit. Itu yang patut disyukuri. Satu kebiasaannya yang berkurang adalah tertawa. Usman selalu tertawa setiap kali menyelesaikan kalimatnya. Aku sangat tidak menyukai bunyi tertawanya. Aku sempat berpikir bahwa ada syaraf tertawa di otaknya yang bocor sehingga Usman tidak bisa menahan untuk tidak tertawa di setiap kalimat yang diucapkannya.

“Ini mending, Mas. Udah bisa duduk. Tadinya nggak bisa. Udah bisa ngobrol juga. Tadinya sering bengong dan berhalusinasi. Segala hal yang tidak mungkin diucapkannya. Sering bicara nggak jelas juga. Mending ini nyambung diajak ngobrol,” terang Ima, adik perempuan Usman.

Aku kembali mendengar kembali keluhan Usman tentang kondisinya. Sepertinya memorinya pun terganggu karena Usman bercerita hal yang sama berulang-ulang.

“Dia sering memanggil nama anaknya yang bungsu, tapi tak pernah datang menjenguk bapaknya. Anak sulungnya sih sesekali datang menjenguk, itu pun nggak lama. Usman ini sepertinya juga depresi menahan rindu kepada anak-anaknya. Dokter juga meresepkan obat penenang,”sambung Ima.

Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Entahlah apa kesalahan Usman sehingga ia harus menjalani hidup di masa senjanya seperti ini. Tak memiliki apa pun selain penyakit dan kesulitan. Aku juga tak tahu apa yang terjadi selama sepuluh hari Usman terkurung sendiri di kamar kost-nya tanpa makan dan tak ada seorang pun yang bisa diajak berbicara  untuk sekedar mengeluhkan sakitnya.

 

Akhirnya kami pamit. Kutitipkan sedikit uang kepada Ima untuk membeli makanan yang layak untuk Usman.

“Untuk saat ini kamu harus fokus dulu buat sembuh, Man. Setelah itu, kita pikirkan nanti saja,”pinta Damar.

“Iya, Mas.” Air mata sepertinya menggenang di mata Usman. Matanya menerawang  jauh. Mungkin ada hal yang sedang dipikirkannya.

 Kami berdua berjalan menjauhi rumah Bulek Tansah dalam hening. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku. Satu hal yang kuharapkan adalah Usman tidak putus asa dan tetap berusaha untuk pulih secara fisik dan mental. Semoga.

(Masih) Bersambung

Demi Masa (3), Pegawai Baru

Pukul 22.00

Tina membaca ulang pekerjaannya. Matanya terasa berat karena dari sore ia fokus mengerjakan tugas yang dititipkan oleh Ponco kepadanya. Dibawanya kertas kerja yang telah diselesaikannya ke cubicle Adnan.
Setelah dipersilakan, Tina duduk menghadapi Adnan. Kertas yang dipegangnya beralih ke tangan Adnan.
“Pak, boleh saya bicara dulu?” tanya Tina.
“Boleh-boleh aja sih, cuma kan ini udah larut, kamu nggak pengen pulang?”
“Ah, Bapak. Biasanya juga nggak peduli kok saya pulang malam  atau bahkan pagi,” sindir Tina
“Hehehe, ya nggak gitu juga kali,” Adnan tertawa kecil.
“Oke…oke, apa yang mau dibicarakan?” sambung Adnan.
“Masalah sensitif sih pak. Bapak jangan marah ya…..,” Tina agak ragu melanjutkan bicara.
“Kamu hamil?” mata Adnan melotot ke arah Tina.
“Makanya jangan bergaul bebas gitu, Tin. Nanti jadi aib semuanya. Kan saya juga…..,” belum sempat Adnan melanjutkan omongannya Tina memotong perkataan Adnan.
“Ya Allah, Pak. Tega ya Bapak nuduh sembarangan. Amit-amit jabang bayi,” tangan Tina mengetuk-ngetuk meja.
“Gini-gini rumah saya deket mushola, Pak.”
“Lha apa hubungannya?” jidat Adnan yang udah penuh kerutan alami semakin berkerut.
“Bapak sih. Fokus pak ke masalah. Ini udah malam juga,” Tina menarik nafas sejenak.
Suasana hening karena semua pegawai sudah meninggalkan kantor, menyisakan mereka berdua. Adnan memandang Tina, menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulut Tina.
“Gini Pak, akhir-akhir ini kan sering banget nih saya pulang malam, padahal kan saya juga punya kehidupan lain selain kantor. Saya juga pengen bersosialisasi dengan keluarga dan juga pacar saya, tapi kok ya sekarang ini kerjaannya jadi dobel gitu. Saya kewalahan, Pak.”
Tina terdiam sesaat. Tangannya mempermainkan pulpen yang dipegangnya. Adnan masih diam, menunggu kalimat selanjutnya.
“Di sisi lain, Mas Ponco kok enak bener ya. Sering ijin dan nggak pernah selesai kalau dikasih tugas, tapi penilaian kinerjanya selalu bagus. Parahnya lagi, dia mendapatkan bonus atas pekerjaan yang tidak dikerjakannya. Bukan soal bonusnya sih Pak, tapi kejadian tadi pagi bikin saya sedikit terganggu,” terang Tina.
Tina merasa lepas dari beban yang dirasakannya sejak pagi saat Ponco memamerkan jumlah bonus yang didapatnya. Tina mengharapkan Ponco bisa berlaku tegas terhadap Ponco.
“Gini ya, Tin. Mungkin karena kamu belum menikah jadi kamu nggak paham,” ujar Adnan.
Raut wajah Tina berubah dari plong menjadi bingung kemana arah pembicaraan Adnan. Ia merasa tak hubungannya antara status pernikahannya dengan kondisi yang terjadi di ruang kerjanya saat ini.
“Kenapa Ponco tetap mendapatkan haknya penuh walau dia nggak perfom akhir-akhir ini?”
“Ya mana saya tahu….,” suara Tina meninggi.
“Kamu nih emang tukang ngebut ya, sukanya ngegas kalo bicara. Sabar.”
“Langsung aja ke pokok masalah, Pak,” wajah Tina cemberut.
“Ponco itu punya istri dan anaknya banyak. Bayangin kalau dia nggak dapet bonus? Ya mereka nggak bisa dapet tambaha. Siapa tahu dia perlu buat bayar sekolah atau bayar utang atau juga dia pengen sesekali nyenengin istrinya.”
Tina melongo mendengar perkataan Adnan. Ia heran dengan pola pikir atasannya itu.
“Terus Bapak nggak kasihan sama saya?” tanya Tina.
“Kamu kan belum punya tanggungan apa-apa, Tin. Toh kamu dapat juga kan?”
“Pak, mohon maaf banget bukan saya lancang. Tapi tolong Bapak resapi, apakah orang yang sehari-harinya tidak bekerja tapi dia selalu dapat keuntungan, apakah bisa dikatakan kantor ini sehat?”
“Sudahlah Tin, berbaik sangka aja. Bekerja ikhlas aja ya. Udah malam ini. Pulanglah, langsung tidur biar pikiranmu jadi tenang,” ujar Adnan.
“Bukan soal ikhlas atau tidak ikhlas, juga bukan soal saya iri dengan bonus yang didapat Mas Ponco, saya ingin kantor ini jadi tempat kerja yang nyaman buat semua pegawai, Pak.” Tina berdiri dari kursi.
“Saya pamit ya, Pak.”
“Oya, Tin kayaknya besok bakalan datang pegawai baru. Lumayan lah walau jumlahnya nggak sesuai yang kita minta, minimal bisa bantu kamu, biar kamu nggak stress. Oya kamu jadi mentornya ya, sampai dia bisa kerja,” senyum Adnan diujung kalimat bikin Tina tambah sebal.
“Kenapa bukan Ponco sih, Pak?”
“Nggak bakalan bener dan nggak ada discuss ya.”
“Hmm,” Tina keluar cubicle Adnan dengan perasaan kesal.
“Sampai jumpa besok, Tin. Take care,” teriak Adnan ketika Tina sudah mengambil tasnya. Tina tidak menyahut salam Adnan, hanya mengangkat tangan kanannya dari belakang diatas punggungnya. Ia berjalan keluar ruangan meninggalkan Adnan sendirian.
“Anak itu terlalu idealis, tapi apa yang diomongin bener juga sih. Gue juga nggak puas dengan  si Ponco. Cuma kalo ngotak ngatik si Ponco alamat bos besar marah nanti,” Adnan bergumam dengan perasaan tak menentu.
*****
Keesokan Harinya, Pukul 08.00

“Selamat pagi, Bu.”
Tina kaget ketika ada seorang perempuan muda yang keluar dari cubicle Adnan.
“Pagi, kamu siapa?” tanya Tina sambil menghampiri perempuan itu.
“Sebelumnya mohon maaf lahir dan batin, perkenalkan nama saya Priscilla Adinata, biasa dipanggil Cilla. Saya pegawai baru yang ditugaskan di divisi ini untuk membantu Bu Tina,” ujar Cilla dengan logat Jawa yang masih medok.
Tina meneliti Cilla dengan seksama. Cilla berperawakan mungil. Lumayan rapi penampilannya. Hijabnya senada dengan pakaian yang dikenakannya. Sikapnya antara malu atau takut berhadapan dengan Tina yang kelihatan sangar pagi itu.
“Kamu nggak usah takut gitu lihat saya. Saya nggak galak kok. Kamu lulusan dari mana?” tanya Tina.
“Sebelumnya mohon maaf lahir batin, bolehkah saya duduk. Dari pagi saya belum sarapan, minumpun tak sempat sehingga saya agak lemas pagi ini.”
Cilla berkata dengan pelan dan lambat membuat Tina melongo. “Mudah-mudahan anak ini cuma ngomongnya aja yang lambat bukan kerjanya,” doa Tina dalam hati.
“Duduk deh, kamu duduk didepanku aja. Lain kali sebelum kerja, perutmu harus udah full, jangan kerja dalam kondisi lemes, nanti nggak konsentrasi. Oya, panggil aku mbak Tina aja nggak usah formal-formalan manggil Ibu, oke?” Cilla duduk di kursi yang ditunjukkan Tina.
“Bu, eh Mbak, apa saya boleh menyimpan tas diatas meja?”
“Ya simpan aja, itu kan mejamu. Selama kamu bekerja di sini, mejamu itu wilayah kekuasaanmu. Kalau mau minum minta gelas ke Mamang Jajang, OB di sini. Nah galon di sebelah sana,” Tina menunjukkan tempat menyimpan galon.
“Terima kasih banyak, Mbak Tina. Mohon maaf lahir batin kalau saya merepotkan.”
“Ngapain sih kamu minta maaf melulu sama aku. Kan kita baru ketemu, dosamu belum banyak ke aku.” Cilla tersenyum dan meletakkan tasnya diatas meja.
Tina memberikan beberapa bahan untuk dipelajari Cilla. Ia mulai mengajari Cilla bagaimana membuat surat penawaran sederhana kepada klien perusahaan mereka.
Sampai akhirnya Tina membiarkan Cilla bekerja sendiri. Tugasnya sendiri harus segera diselesaikan dalam waktu dekat. Tina berusaha konsentrasi sambil menunggu hasil kerja pertama dari Cilla.
Tak terasa sudah dua jam waktu berlalu dan Cilla belum juga menyerahkan hasil pekerjaannya. Tina berdiri menengok ke arah Cilla.
“Mohon maaf lahir batin Mbak Tina, belum saya kerjakan. Ada tulisan yang ndak terbaca. Saya takut sekali mengganggu Mbak Tina yang sedang kerja,” suara Cilla pelan dan terdengar ketakutan.
“Masya Allah, cobaan apa lagi ini?” Tina berteriak ke arah Cilla.

(Bersambung)
*Tokoh dan Peristiwa Hanya Fiktif

Petualangan Damar – Flashback

Perjalanan jauh yang ditempuh dengan kecepatan tinggi dengan motor hingga menuju tepi pantai di perbatasan kota, telah membuat Damar sadar bahwa segala sesuatunya tidak bisa dilakukan dengan emosi sesaat. Hal ini dilakukan Damar setelah bertengkar hebat dengan sahabat, pasangan hidup, rekan kerja, mantan pacar dan idolanya, Tiara. Hal sepele yang dipertentangkan dalam pertengkaran itu. Damar sekarang cenderung lebih memperhatikan motor tuanya, Vespa 125 (VNA2) diproduksi tahun 1958 dibandingkan dengan dirinya. Terkadang Tiara merasa menjadi seorang diri ketika Damar sedang sibuk dengan si Vespa. Bahkan saat vespanya sedang sakit dan butuh perawatan, Damar rela meluangkan waktunya untuk si vespa, sehingga Tiara pergi sendiri dengan kendaraan keluarga yang dimiliki oleh Damar. Pernikahan Damar dan Tiara telah berjalan kurang lebih 12 tahun lamanya. Mereka dikarunia 2 orang anak. Anak lelaki pertama bernama Pujangga Anak Damara dan sudah duduk di kelas 7 SMP. Anak perempuan kedua bernama Anggria Anak Damara dan masih duduk di kelas 5 SD.

                Jauh sebelum menikah dengan Tiara, Damar adalah seorang anak muda yang penuh dengan petualangan dan berani mengambil tantangan. Latar belakang akademis Damar juga tidak kalah mumpuni. Dia dianugerahi kemampuan otak kanan dan kiri yang seimbang, sehingga Damar tumbuh dan besar dengan banyak teman dan supel serta memiliki kemampuan akademis yang diatas rata-rata. Damar juga hidup dengan serba berkecukupan tanpa kekurangan sedikit pun. Orang tua Damar juga termasuk tokoh yang cukup disegani di kampung sekitar daerah Subang, Jawa Barat. Ayahnya adalah seorang lurah yang baik dan jujur dalam menjalankan amanah sebagai pejabat desa. Ibunya Damar tidak bekerja dan hanya membantu tugas sang suami dalam bekerja sebagai lurah. Orang tua ibunya Damar termasuk keluarga yang cukup kaya dengan hamparan perkebunan teh terhampar luas sekitar daerah Subang.

                Damar tumbuh menjadi seorang pemuda yang berani menerima tantangan dan suka menolong. Sejak kecil hingga sekolah menengah atas, Damar besar di daerah Subang dan berkuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Perjalanan hidup Damar termasuk yang tidak banyak likunya. Damar juga gemar membantu warga sekitar kampungnya yang sedang dalam kesulitan. Damar sangat kenal dengan wilayah di sekitar kampungnya. Damar pun pandai berenang dan senang bermain sepakbola. Jika bermain sepakbola, Damar bermain sebagai posisi winger yang memberikan assist kepada striker. Setelah lulus dari sekolah menengah atas, Damar pergi ke Jakarta dan mendaftar di perguruan tinggi negeri. Damar mengambil jurusan arsitektur dan disinilah dia berkenalan dengan calon partner dan istrinya di kemudian hari, Tiara. Saat kuliah, Damar dan Tiara merupakan sosok yang dikenal baik dan ramah serta menjadi idola diantara teman seangkatannya. Tiara yang tinggi bak peragawati meskipun bukan tapi keramahan dan kecerdasannya telah meluluhkan hati Damar yang tidak mudah jatuh hati kepada wanita.

                Perjalanan Damar dan Tiara berlanjut hingga ke lingkungan pekerjaan. Damar bekerja sebagai arsitek yang menekuni bidang perumahan dan menjadi andalan di salah satu perusahaan di tempatnya bekerja. Tiara juga bekerja di bidang yang sama namun beda perusahaan. Hubungan mereka berlanjut ketika kedua perusahaan melakukan kerjasama atas sebuah project dan disanalah mereka di pertemukan kembali. Damar sebagai head project  di perusahaannya dan sementara Tiara hanya sebagai second assistant atas project perusahaannya. Rasa cinta yang telah ditanam sejak masa kuliah terus tumbuh ketika mereka dipertemukan kembali dalam project yang sama. Akhirnya mereka memutuskan untuk menikah dan memiliki rumah dengan disain yang dikembangkan oleh berdua di wilayah Sentul, Jawa Barat. Pernikahan mereka berdua dikaruniai anak laki-laki dan perempuan. Secara duniawi, kebutuhan mereka sudah lebih dari cukup dan tidak kekurangan sedikitpun. Dari sisi religious, mereka termasuk keluarga yang mengerti batasan-batasan dalam Islam.

                Setelah beberapa tahun menikah, Damar mulai menyukai segala sesuatu yang berbau vintage,  antik dan kuno. Karena falsafah yang ada di benaknya, antik dan kuno itu keren dan gak ketinggalan jaman, masih up to date. Pilihannya jatuh kepada vespa dan motor jenis Norton dan BMW yang model klasik. Diantara beberapa kendaraan yang antik itu, hanya Vespa yang dapat menarik perhatian Damar. Sementara istrinya, berusaha menjadi istri yang baik sambil mencoba bekerja di rumah. Perusahaan Tiara, memperbolehkan pegawainya bekerja di rumah khusus yang perempuan. Karena toleransi ini, perusahaannya memperoleh sertifikasi ramah kepada gender perempuan. Makanya Tiara belum berkeinginan untuk keluar dari perusahaannya.  

***

Kisah ini dapat dilihat di laman : https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/2017/06/petualangan-damar-flashback.html

Menjemput Cinta (Bagian Keempat)


"Ada hikmah dibalik setiap musibah"

Musibah yang menimpa Kinasih adalah sebuah takdir yang memberikan jalan kepada Bram untuk berkenalan dengannya.

***

Bram membuka pintu mobil, kemudian mempersilahkan Kinasih masuk. Setelah memastikan Kinasih duduk dengan nyaman, ia berputar ke arah samping kanan, masuk ke mobil lalu menyalakan mesin.

Beberapa saat kemudian mobil yang dikendarai Bram meluncur menuju rumah Kinasih.

Kinasih terdiam. Masih terlihat jelas rasa sedih di wajahnya akibat musibah yang baru  saja ia alami. Bram yang menyadari keadan tersebut, mencoba untuk membuka percakapan.

"Hhmm... Aku punya cokelat, kamu mau? Bram mengambil sebungkus cokelat yang tersimpan di dashboard mobil dan menyodorkannya ke Kinasih.

"Terimakasih, Mas, aku belum kepingin" tolak Kinasih.

"Baiklah... hhmm... padahal cokelatnya enak loh!" berusaha membujuk Kinasih. "konon kabarnya, cokelat bisa membuat orang yang memakannya merasa bahagia"

Kinasih menatap Bram sambil tersenyum. sejenak kemudian ia menerima tawaran Bram dan mengambil bungkusan cokelat.

"Alhamdulillaah... akhirnya" ujar Bram. "Eh... tapi jangan dihabiskan ya, itu cokelat kesukaan aku!" canda Bram kemudian yang disusul oleh tawa kecil Kinasih. Kini rona sedih diwajah cantiknya perlahan memudar.

Sebenarnya pada saat itu Bram merasa amat malu, namun demi mencairkan suasana agar tidak kaku selama perjalanan sekaligus menghibur Kinasih, ia mencoba melawannya.

"Terimakasih atas kebaikan Mas". ujar Kinasih disertai dengan senyuman.

"Sama-sama, sudah menjadi kewajiban saya untuk saling menolong" Bram sejenak menatap Kinasih. "Oh ya... namaku Bram Putra Pratama, panggil saja aku Bram. Kata Ibuku, Bram itu artinya gagah perkasa, sedangkan putra pratama mungkin karena aku anak lelaki pertamanya", jelas Bram sambil tersenyum.

Mendengar penuturan Bram, Kinasih tersenyum.

"Aku Sekar Kinasih, panggil saja Kinasih"

Bram sebenarnya telah mengetahui nama Kinasih dari Mas Yuda. Namun ia tidak ingin hal tersebut diketahui oleh Kinasih. Bram khawatir Kinasih akan berprasangka yang bukan-bukan kepadanya.

Mobil yang membawa Bram dan Kinasih terus melaju menyusuri jalan raya. Kinasih yang semula lebih banyak diam, lambat laun mulai merasakan kenyamanan berbicara dengan Bram. Demikian pula dengan Bram, ia merasa bahagia bisa mengantar Kinasih bahkan akhirnya berkenalan dengannya. Akhirnya mereka tiba di tempat tujuan.

Rumah dengan halaman rumput hijau itu terasa sejuk dipandang mata. Selain ditumbuhi oleh pepohonan yang rindang, beberapa tanaman bunga aneka warna menghiasi halaman.

Bram mematikan mesin mobil, kemudian keluar terlebih dahulu untuk membukakan pintu untuk Kinasih. Ia mempersilahkan Kinasih keluar. Kemudian iapun pamit untuk kembali ke toko. Namun tanpa ia duga, Kinasih memintanya untuk masuk kedalam rumah dan berkenalan dengan kedua orangtuanya. Bram yang sedikit canggung akhirnya menerima permintaan Kinasih. Keduanyapun berjalan menuju teras rumah.

Tanpa mereka sadari, sejak kendaraan yang membawa mereka memasuki halaman, kedua orang tua Kinasih yang sedang berada di ruang tamu memperhatikan dari balik jendela.

Sesampainya di depan pintu, Kinasih mengucapkan salam dan mempersilahkan Bram masuk, lalu ia memperkenalkan Bram kepada kedua orangtuanya. Bram kemudian menyapa kedua orangtua Kinasih dengan ramah. Beberapa saat kemudian ia dipersilahkan untuk duduk.

Kinasih menceritakan musibah yang baru saja ia alami hingga Bram menawarkan bantuan untuk mengantarnya pulang. Mendengar cerita Kinasih, kedua orangtuanya terkejut, namun mereka bersyukur karena Kinasih pulang dalam keadaan sehat, serta berterimakasih kepada Bram atas pertolongan yang telah diberikan kepada puteri mereka.

Bram sedikit canggung mendapat ucapan terimakasih dari kedua orang tua Kinasih, namun ia segera memahaminya. Bagi Bram, kedua orang tua Kinasih adalah orang tua yang sangat baik. Berbicara dengan mereka layaknya berbicara dengan Ibu dan almarhum ayahnya. Bram merasakan kenyamanan mengobrol dengan kedua orang tua Kinasih.

beberapa waktu kemudian Bram pamit, ia akan kembali ke toko. Selesai mengucapkan salam, iapun masuk kedalam mobil lalu perlahan keluar dari halaman rumah Kinasih dan menghilang di persimpangan jalan.

Sekar Kinasih merupakan anak tunggal. Ibunya hanya seorang Ibu rumah tangga biasa, sedangkan sang ayah merupakan pensiunan guru sekolah dasar. Sebagai anak perempuan satu-satunya, ia sangat disayang oleh kedua orang tuanya. Selesai kuliah, ia mengikuti jejak ayahnya, mengajar. Ia mengajar disebuah Taman Kanak-Kanak. Alasannya sederhana, karena ia tidak mempunyai adik, maka dengan mengajar anak-anak TK ia bisa merasakan dirinya menjadi seorang kakak.

Berita tentang dilamarnya Kinasih oleh seorang pria yang berprofesi sebagai guru sebetulnya hanya diketahui oleh beberapa orang yang telah kenal dekat dengannya, salah satunya adalah Mas Yuda yang merupakan suami dari kawan Kinasih yang juga mengajar di TK yang sama tempat Kinasih mengajar.

Suatu pagi ketika jam istirahat, Kinasih bercerita kepada Ajeng ~ Isteri Mas Yuda ~ tentang musibah yang ia alami. Kemudian iapun bercerita tentang Bram yang telah baik hati mengantarnya pulang. Kemudian, Kinasihpun bercerita tentang perasaannya akhir-akhir ini, sejak Bram mengantarnya pulang, bayangan wajah Bram sering muncul di benaknya. Semakin hari sosok Bram semakin mengusik perasaan Kinasih. Iapun berusaha menepisnya, namun selalu gagal.

Mendengar cerita Kinasih, Ajeng yang semula merasa prihatin, balik menggoda Kinasih. Ajeng sebetulnya telah mengetahui musibah yang dialami Kinasih dari suaminya, kemudian Ajeng bercerita tentang sosok Bram yang ia ketahui.  Demi mendengar penuturan Ajeng tentang Bram, kekaguman Kinasih kepada Bram semakin membuncah di dadanya. Sejenak kemudian Kinasih terdiam, butiran air mata jatuh dipipinya. Kinasih tidak bisa membohongi hatinya jika ia sudah jatuh hati kepada Bram.

Melihat Kinasih menitikan air mata, seketika Ajeng memeluknya dengan erat layaknya seorang kakak yang berusaha menenangkan adiknya yang sedang dirundung duka. Ajeng sangat paham apa yang sebetulnya sedang terjadi di diri Kinasih. Ia pun telah pula mendapat kabar dari suaminya tentang ketertarikan Bram kepada Kinasih. Bak gayung bersambut, kini Kinasihpun telah jatuh hati kepada Bram. Namun hal itu menjadi dilema, karena ia tidak mungkin menyakiti orang lain yang telah melamarnya.

Beberapa saat kemudian ajeng melepaskan pelukannya, lalu ia menyeka air mata Kinasih.

***

Apa yang akan terjadi selanjutnya? simak kisah cinta Bram dan Kinasih pada cerpen/cerbung Menjemput Cinta bagian kelima.

Menjemput Cinta (Bagian Ketiga)

Senja menyapa dengan sentuhan warnanya yang menarik pandangan siapapun yang menatapnya. Udara semakin dingin menyelimuti desa, seiring perlahan menghilangnya sang surya menuju peraduannya.

Pulang dari shalat Maghrib berjamaah di masjid, Bram bergabung dengan Ibu dan adiknya di ruang makan. Ia memimpin doa, lalu mempersilahkan Ibu untuk menyendok nasi dan lauk pauk terlebih dahulu. Disela-sela makan malam, Bram membuka percakapan. Ia menceritakan tentang pertemuannya dengan Kinasih di toko hingga ada perasaan aneh yang terus mengusiknya akhir-akhir ini.

Bagi Bram, Ibu dan Ratih adalah dua makhluk Tuhan yang paling ia sayangi dan ia percayai untuk mencurahkan isi hati. Oleh karena itu, apapun yang Bram alami dan rasakan, ia tidak segan untuk bercerita dan meminta pendapat mereka.

Ibu dan Ratih menyimak cerita Bram dengan seksama. Selesai bercerita, Bram meminta pendapat sang Ibu terlebih dahulu. Ibu yang sejak awal menyimak, mengetahui apa yang putera kesayangannya rasakan saat ini.

"Apa kamu sudah mengenalnya, Bram?".

"Belum, Bu, Bram belum berkenalan. Tapi Bram sudah mengetahui namanya dari Mas Yuda ~ pegawai senior Bram" jawab Bram.

"Siapa nama perempuan itu, Bram"

"Kinasih, Bu" dengan raut wajah malu.

"Kalau sudah yakin perempuan itu sesuai dengan kriteria yang kamu inginkan, ada baiknya kamu mulai memperkenalkan diri, lalu mencari tahu tentang dirinya termasuk keluarganya, Bram".

"Baik, Bu, Insya Allah besok Bram akan bertanya kepada Mas Yuda"

Adzan Isya terdengar dari kejauhan, Bram segera pamit kepada Ibu dan Ratih.

Bram adalah sosok pemuda yang pemalu. Wajah tampan yang Tuhan anugerahkan kepadanya tidak lantas membuat dirinya sombong. Ia sering menjadi bahan perbincangan para gadis di desanya. Entah sudah berapa banyak orang tua para gadis di desanya tersebut yang berusaha menjodohkan anaknya dengan Bram.

Keesokan harinya, seperti biasa pagi itu Bram mengantar Ratih ke sekolah lalu meluncur ke toko. Sebuah rencana sudah ia susun. Bram akan mencari informasi tentang sosok Kinasih kepada Mas Yuda. Tiba di toko, sebagian pegawainya terlihat sibuk merapihkan barang dagangan. Demi melihat mas Yuda yang sedang membersihkan lemari kaca, Bram pun menghampirinya. Kemudian setelah menyapa, Bram mengajak Mas Yuda ke ruang kecil yang digunakan untuk istirahat para pegawainya. Di ruang itulah beberapa pertanyaan tentang sosok Kinasih pun terlontar dari mulutnya. Termasuk keinginannya untuk berkenalan dengan Kinasih.

Mendengar pertanyaan dan keinginan yang disampaikan oleh Bram, Mas Yuda yang pada saat itu sebetulnya telah mengetahui perihal tentang Kinasih, menyampaikan informasi yang ia ketahui. 

Bram yang dilanda asmara, menerima kabar bahwa Kinasih telah dilamar oleh seorang pria yang berprofesi sebagai guru.

Mendengar kabar demikian, seketika Bram tertunduk, bibirnya tertutup, dan pandangan matanya sayup. Terlihat rona kesedihan di wajahnya. Ibarat mendung yang datang tiba-tiba, seperti itulah perumpamaan suasana hati Bram saat itu.

Demi melihat perubahan raut wajah Bram, timbul rasa empati di hati Mas Yuda, iapun memberi saran kepada Bram untuk melanjutkan niat berkenalan dengan Kinasih.

Beberapa saat Bram terdiam, mempertimbangkan saran yang disampaikan Mas Yuda. Sebelum ia menetapkan keputusannya, tiba-tiba datang salah satu pegawainya yang lain memberitahu bahwa ada seorang perempuan bernama Kinasih datang mencari Mas Yuda. Seketika itu Bram dan Mas Yuda saling berpandangan. Tanpa membuang waktu, keduanya keluar dan berjalan mengikuti si pegawai.

Kinasih duduk di kursi plastik yang disediakan pegawai toko. Kedua tangannya memegang segelas air putih kemasan yang isinya masih tersisa setengahnya. Melihat Mas Yuda datang , ia berdiri lalu mengucap kan salam. Bram yang berdiri disamping Mas Yuda turut membalas salam Kinasih, lalu pamit dengan alasan membantu pegawainya melayani pelanggan. Namun sebelum Bram melangkah, Mas Yuda memintanya untuk tetap berdiri disampingnya. Bram terlihat gugup, tapi karena ia melihat Kinasih yang tiba-tiba menitikan air mata, Bram menuruti permintaan Mas Yuda dan langsung bertanya kepada Kinasih apa yang sedang terjadi.

Kinasih menceritakan tentang musibah yang baru saja ia alami. Seorang pencopet berhasil merampas dan membawa kabur tasnya. Di dalam tas tersimpan dompet dan handphone. Meski kinasih berteriak, namun karena sedikit orang yang berada di lokasi, si pencopet kabur dengan leluasa. Ditengah rasa syok dan panik, ia teringat Mas Yuda. Oleh karena itu ia berkunjung ke toko bermaksud minta pertolongan. Kinasih hendak meminjam uang untuk ongkos pulang.

Mendengar penuturan Kinasih, Bram dan Mas Yuda terkejut dan merasa iba. Setelah menyampaikan keprihatinannya, tanpa  berpikir panjang Bram menawarkan bantuan. Ia menawarkan diri untuk mengantar Kinasih pulang. Kinasih dan Mas Yuda saling berpandangan. Lalu mas Yuda menganggukan kepala sebagai tanda agar Kinasih menerima tawaran Bram. Kinasihpun menerima tawaran Bram. Sejak saat itulah perkenalan dan kedekatan Bram dan Kinasih bermula.

(Bersambung)



Menjemput Cinta (Bagian Kedua)


Pagi itu suasana sekolah berlantai tiga yang berada dipinggir jalan raya terlihat ramai. Beberapa murid yang baru tiba segera masuk melalui gerbang utama. Disamping kanan terdapat sebuah lapangan olahraga yang cukup luas. Sekelompok murid terlihat sedang duduk santai di bawah pohon yang berada dipinggir lapangan sambil bercengkerama.
Mobil yang dikendarai Bram berhenti didepan gerbang utama sekolah. Beberapa detik kemudian Ratih membuka pintu mobil lalu pamit kepada kakaknya. Setelah memastikan adiknya masuk, Bram melanjutkan perjalanan menuju toko.
‘Toko Pakaian - Barokah, menyediakan Pakaian Muslim/Muslimah dan perlengkapan shalat’, demikian isi tulisan yang menempel pada sebuah Papan Nama di atas pintu toko. Pagi itu pelanggan mulai ramai berkunjung. Beberapa dari mereka membeli perlengkapan shalat maupun busana muslim. Bram turut melayani, sesekali ia yang mengambil barang permintaan pelanggan. Ditengah kesibukannya, tanpa ia sadari seorang wanita membuka pintu toko kemudian menyapa Bram.
Dialah Kinasih, seorang wanita berparas cantik dengan balutan busana muslimah yang terlihat fashionable. Kecantikannya membuat siapapun yang memandangnya merasakan keteduhan.
“Assalamu’alaykum, permisi mas, saya mau mencari jilbab dengan model seperti ini” tanya Kinasih sambil memperlihatkan gambar contoh jilbab yang sedang dicari.
“Wa’alaykumsalam, oh… ada Mba, mohon ditunggu” jawab Bram kemudian berjalan menuju lemari kaca disudut ruangan toko.
Ketika Bram sedang mengambil barang, salah satu pegawainya menyapa Kinasih. Rupanya ia sudah sangat mengenalnya. 
Beberapa saat kemudian…
“Ini koleksi jilbabnya, Mba, silahkan dipilih warna atau corak yang Mba inginkan?” ucap Bram kemudian sambil menyodorkan koleksi jilbab yang masih terbungkus rapih di dalam kantong plastik bening.
Setelah melihat satu persatu, Kinasih menetapkan pilihannya.
“Saya pilih yang ini saja, berapa harganya?” tanya Kinasih kemudian.
“tujuh puluh ribu, Mba” jawab Bram dengan senyum yang terlihat agak canggung.
“Baik, saya ambil tiga” ujar Kinasih sambil tersenyum.
Bram segera membungkus jilbab pilihan Kinasih lalu menyerahkannya.
Setelah memberikan sejumlah uang kepada Bram, Kinasih pamit.
“Terimakasih sudah bersedia berkunjung ke toko kami. Semoga pelayanan kami tidak mengecewakan” ucap Bram yang berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.
Mendengar ucapan Bram, Kinasih tersenyum kemudian segera balik badan menuju pintu. Bram yang sedari awal terlihat canggung hanya terdiam ditempat dimana dia berdiri, dan baru tersadar setelah salah satu  pegawai memanggilnya.
 Kehadiran Kinasih rupanya mengusik hati Bram. Entah kenapa jantungnya terasa berdebar. Bahkan hingga menjelang sore, pikirannya selalu tertuju pada sosok Kinasih. Bram berusaha mengusir perasaan itu, namun rasa itu terlalu kuat menancap di hatinya.
Menjelang sore, Bram pamit pada para pegawai untuk menjemput adiknya. Beberapa saat kemudian mobil yang dikendarai Bram meluncur menuju sekolah. Sesampainya di depan gerbang utama, Ratih sudah menunggu. Kemudian keduanya meluncur pulang.
Malam hari setelah shalat Isya berjama’ah di masjid, Bram pulang lalu pamit kepada Ibunya untuk masuk kamar. Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil menatap langit kamar. Sesekali ia terlihat tersenyum seperti ada sesuatu yang menggodanya. Beberapa menit kemudian ia mematikan lampur, berdoa lalu tertidur hingga waktu subuh menyapa.
Sejak Kinasih berkunjung ke toko beberapa hari yang lalu, kini Bram sering terlihat termenung. Sesekali tatapannya menuju ke arah pintu toko seperti sedang menantikan kehadiran seseorang. Tanpa ia sadari, salah satu pegawainya yang senior perlahan mengamati perubahan perilaku Bram. Kemudian si pegawai memberanikan diri untuk bertanya.
“Pak Bram, mohon maaf sebelumnya, boleh saya izin bertanya sesuatu?”
“Oh… silahkan, Mas” jawab bram sedikit terkejut.
“Akhir-akhir ini, Pak Bram saya perhatikan sering termenung. Apakah ada sesuatu yang menggangu pikiran Pak Bram?”
“Oh… Alhamdulillaah ndak, Mas,  semua berjalan normal seperti biasa” jawab Bram sambil tersenyum meyakinkan karyawannya.
“Syukurlah, saya hanya khawatir kalau Pak Bram sedang dalam masalah”
“Terimakasih atas perhatiannya, kamu memang karyawan saya yang baik” ujar Bram memuji.
“Kalau gitu, saya izin melanjutkan pekerjaan Pak!”
“Ya… ya… silahkan, saya juga mau keluar toko sebentar, mau menanyakan pesanan gamis di toko Bahagia”  kata Bram sambil berjalan menuju pintu toko.
Namun, ketika Bram hendak membuka pintu toko, tanpa ia sadari Kinasih sudah berdiri dibalik pintu sehingga Bram hampir menubruknya.
“Astaghfirullaah, maaf Mba, maaf… saya ndak melihat ada mba dibalik pintu” ucap Bram penuh penyesalan.
“Ndak apa, Mas, saya yang salah, harusnya saya menunggu Mas keluar dahulu” jawab Kinasih sambil tersenyum menahan tawa.
“Silahkan masuk, Mba. Ada pegawai saya yang akan melayani. Saya keluar dulu mengambil barang pesanan” ucap Bram dengan rasa malu yang disembunyikan.
“Terimakasih, Mas, silahkan” jawab Kinasih kemudian.
Kunjungan Kinasih di toko untuk yang kedua kali membuat Bram semakin salah tingkah. Jantungnya kembali berdebar, bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Jika saat itu ada orang yang memperhatikan wajah Bram, maka ia akan menemukan adanya perubahan warna kulit di wajahnya yang putih bersih.
Apakah Bram sedang jatuh cinta pada pandangan kedua?

***