Tampilkan postingan dengan label Ekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekonomi. Tampilkan semua postingan

Konvensional Bin Syariah: Perbankan di UK


Konvensional Bin Syariah: Perbankan di UK

Judul tulisannya sedikit provokatif, namun memang inilah yang saya alami saat ini pada saat kuliah di UK. Sebenarnya waktu dulu kuliah di Jepang, saya menggunakan akun bank lokal yang sama sistemnya dengan di UK yaitu konvensional bin syariah.

Kenapa saya sebut konvensional bin syariah?

Sebelum menjawab pertanyaan ini mari kita lihat dulu system perbankan di Indonesia terutama yang konvensional dan terus terang saya hanya punya akun bank yang bukan syariah. Di akun ini terdapat biaya administrasi bulanan untuk rekening dan administrasi kartu yang kalau di jumlah totalnya Rp13.000. Terdapat buku tabungan yang kalau kita ganti buku kena biaya Rp10.000. Terdapat biaya transfer antar bank sejumlah Rp6.500. Kalau mau menggunakan layanan SMS banking kena charge sebesar biaya SMS antar operator (biasanya Rp500) per SMS. Ngambil uang sendiri di ATM yang berbeda banknya kena biaya. Kalau mau layanan e-banking, kita selaku nasabah kudu daftar dulu di KCP terdekat. Kalau ingin print rekening koran harus ke KCP itupun untuk transaksi 3 bulan terakhir, lewat dari itu sudah tidak bisa atau bisa tapi ada biaya tambahan. Mau transaksi sama ritel pake mesin EDC kena fee, walau sudah makin banyak yang gratis, itu juga gak semua kartu debit bank bisa dan mayoritas ada S&K supaya gratis.

Sekilas terlihat bahwa biaya-biaya ini adalah biaya yang dikeluarkan oleh bank untuk memberi layanan maksimum kepada nasabah. Tentu saja beberapa nasabah ada yang menganggap biaya segitu ya wajar dan gak seberapa walaupun ada juga mungkin yang ngegerutu tapi suka gak suka ya kudu nerimo.

Selain biaya tersebut, rekening konvensional juga mendapat tambahan bunga dan tentu saja bunga tersebut terkena pajak 20%. Walaupun banyak orang berpendapat bahwa menerima bunga itu riba (dan saya juga setuju), cuma kalau dipikir-pikir kalau tidak ada bunga ya sebagai nasabah saya cuma nyawer doank dong ke bank, lha tiap bulan minimal kena Rp13.000. Kalau gaji diatas Rp10 juta sih masih OK karena bunga minus pajak masih menutupi biaya admin bulanan, lha kalau gaji cuma UMR lebih dikit ya bisa BEP aja sukur, gimana yang cuma UMR, paling cuma bisa ngelus dada doank.

Bagaimana dengan akun bank syariah?

Berhubung saya bukan nasabah bank syariah, saya cuma bisa dapat informasi dari ibu saya yang kebetulan nasabah bank syariah. Dan memang bank syariah menggunakan system bagi hasil untuk rekening kita. Walaupun namanya bukan bunga tapi bau-bau ribanya masih bisa kecium karena logikanya apabila ada investasi bank yang merugi maka si nasabah ikut nanggung juga kerugiannya yang berakibat pada rekeningnya yang dipotong. Tapi pada prakteknya saya belum pernah dengar ibu saya mengeluh rekeningnya di potong atau mungkin juga bank gak pernah rugi dalam berinvestasi?? Tentu saja terdapat biaya administrasi dan kawan-kawannya. Dalam hal ini 11/12 lah sama akun bank konvensional.

Bank syariah juga mengenal akun yang gak dapat imbal hasil alias gak akan ‘berbunga’ dan tentu saja tidak kepotong biaya juga. Nah, ini baru fair, namanya nasabah nyimpen uang di bank ya cukup uangnya aman tersimpan saja, gak usah ada embel-embel nambah atau kena biaya admin. Tapi tentu saja biaya ‘persaudaraan’ masih ada seperti biaya terbit buku (rekening koran), biaya transfer antar ATM, biaya mobile bankingnya, biaya ngambil duit di ATM yang bukan banknya serta biaya transaksi pakai mesin EDC (walau tidak semua).

Bagaimana dengan di UK?

Sebenarnya hampir sama dengan akun bank saya waktu kuliah di Jepang yaitu sama-sama akun bank konvensional, sama-sama tidak berbunga, sama-sama tidak ada biaya admin dan tentu saja sama-sama tidak ada biaya ‘persaudaraan’. Weleh ternyata akun bank konvensional di negeri yang penduduknya mayoritas gak kenal Tuhan malah lebih syariah daripada akun bank yang syariah di kampung halaman yang hanya manusia aneh lah yang gak ber Tuhan.

Tentu saja untuk kasus di UK, akun bank yang berbunga juga ada, tapi disebutnya business account dan setiap orang bebas memilih untuk memiliki business account atau hanya personal account seperti yang saya punya.  Ngambil duit di ATM masih ada yang kena biaya tapi so far susah saya nyari ATM yang masih mungut biaya karena hampir semua free walaupun bukan ATM bank saya. Setiap buka rekening, nasabah otomatis mendapat kartu debit (dan berlogo visa) yang bisa dipakai untuk transaksi online kapan saja, dimana saja tanpa biaya kartu dan dapat bonus berupa card reader.
Terus koq bisa begitu?

Hanya 1 kesimpulan saya, yaitu perbankan di UK jauh lebih efisien daripada perbankan di Indonesia. Gimana gak efisien, saya gak punya buku tabungan, kalau butuh rekening koran ya silakan print sendiri pakai akun e-banking saya.

Bagaimana daftar e-banking nya?

Ya namanya e-banking ya cukup modal komputer sama akses internet. Gak perlu datang ke KCP, malah datang kesana disuruh ngerjain sendiri dan di kasih tau bahwa buatnya sangat mudah dan memang sangat mudah. Bahkan untuk mobile banking, tinggal pakai apps nya saja yang bisa di unduh di playstore dan dengan apps ini saya bisa cek rekening sekaligus transfer ke rekening mana saja, gratis..tis..tis..

Bagaimana dengan system keamanan?

Di sini system perbankannya sudah sangat efisien, sebagai contoh untuk transaksi seperti rental mobil atau nginep di hotel dimana kita butuh deposit, maka dengan kartu debit bank kita bisa langsung ditahan sejumlah uang dalam rekening sebagai deposit. Dan jika seandainya deposit kita berkurang dan terjadi perselisihan antara kita dengan si vendor, maka bank akan ada dipihak kita dengan mengembalikan uang deposit tersebut karena tergolong sebagai 'unauthorised transaction'. Bahkan apabila kita salah melakukan transfer saja, apabila masih dalam hari yang sama bisa kita anulir, tentu saja prosedur agak ribet untuk kasus ini.

Dalam hal ini nasabah sebagai customer benar-benar di perlakukan seperti raja.

Tentu saja untuk kasus-kasus luar biasa seperti kena hipnotis atau kartu di tuker sama copet di ATM, yaah ini sih walahualam ya. Kalau disini semua bentuk kejahatan urusannya ya dengan polisi bukan sama bank lagi. Tapi kembali lagi bank ada di pihak kita bukan malah balik nyalahin customer kalau kejahatan terjadi sama mereka, karena jika kita curcol sama petugas 'CS' nya biasanya dia akan kasi solusi ke nasabah

Tentu saja efek dari efisiensi ini berujung kepada hal lain, yaitu penutupan KCP dan mungkin pengurangan jumlah pegawai. Saya baru saja dapat surat pemberitahuan kalau KCP bank yang di kampus akan tutup pertengahan tahun depan. Tentu saja dengan kemudahan dalam melakukan transaksi perbankan, saya juga tidak terlalu ambil pusing dengan penutupan tersebut. Dengan penutupan ini pun maka bank juga telah melakukan efisiensi dengan berkurangnya biaya sewa tempat dan tentu saja biaya gaji pegawai (dengan asumsi adanya pengurangan jumlah pegawai).

Menjadi pertanyaan buat saya. Mungkinkah model perbankan seperti ini di tiru di Indonesia? Sehingga tidak perlu ada lagi dikotomi syariah ataupun konvensional karena toh sistemnya sudah tidak mengandung riba dan kawan-kawannya. Sehingga nasabah bebas memilih mau buka akun yang berbunga atau tidak di semua bank dan bebas biaya ‘persaudaraan’ juga.

Tentu saja jika ada pertanyaan ‘bagaimana dengan munculnya pengangguran sebagai akibat efisiensi tersebut?’ Ya sama dengan jawaban saya apabila ada kejahatan terjadi terhadap rekening nasabah dimana kejahatan adalah urusan polisi bukan bank, sama seperti munculnya pengangguran ya.. itu urusannya pemerintah, bukan urusan bank.

 

Sekedar intermezzo, teller di sini tidak menghitung uang kertas gepokan dengan menggunakan jari jemari atau alat penghitung melainkan pakai timbangan dan akurat. Kira-kira mata uang rupiah bisa gak ya pakai timbangan untuk dihitung?

Industrialisasi Garam sebagai solusi krisis garam, Mungkinkah?

Baru-baru ini kita mendapati harga garam yang semakin melambung yang berimbas pada keluhan semua pihak yang merupakan konsumen garam, dari mulai kalangan industri sampai ibu-ibu rumah tangga. Sebenarnya permasalahan garam ini merupakan merupakan masalah klasik karena selalu terjadi dan pasti akan terus terjadi. Akhirnya banyak pihak yang mengeluh bagaimana mungkin negara maritime yang 2/3 wilayahnya lautan tapi mengalami krisis garam.

Pemerintah pun menangani masalah ini dengan metode business as usual yaitu menggenjot produksi garam dalam negeri yang menurut saya sudah berada di tingkat jenuh. Usaha ini pun pada akhirnya kembali lagi pada masalah klasik yaitu tehnik produksi yang masih tradisional, kondisi cuaca yang terlalu basah dan luas lahan yang tidak pernah bertambah (bahkan berkurang).

Memang benar teknologi yang digunakan untuk memproduksi garam adalah dengan menggeringkan air laut didalam tambak garam. Teknologi ini merupakan hal yang lumrah dilakukan di negara-negara yang memiliki wilayah laut yang luas sekaligus juga memiliki kelemahan sebagaimana disebut sebelumnya.

Selain dengan tehnik pengeringan laut di tambak garam, ada metode lagi yang digunakan untuk memproduksi garam yaitu dengan cara menambangnya di dalam bumi. Tetapi hal ini hanya bisa dilakukan oleh negara-negara yang wilayahnya merupakan wilayah yang dahulunya adalah lautan purba. Sehingga endapan garam yang terakumulasi di perut bumi merupakan endapan sisa-sisa dari lautan purba tersebut. Indonesia tidak memiliki berkah ini sehingga tidak mungkin untuk melakukan penambangan garam di Indonesia seperti yang dilakukan di Australia, Canada, USA dan beberapa negara Eropa Tengah dan Asia Barat.

Tapi ada satu teknologi yang dapat digunakan dan belum pernah dicoba untuk industri garam walaupun teknologi ini sudah lumrah digunakan untuk industri yang lain. Untuk menggunakan tenologi ini dibutuhkan industrialisasi dua komoditas yaitu air bersih dan garam. Teknologi ini disebut Vacuum Evaporation.

Teknologi vacuum evaporation ini menggunakan metode pemanasan air di dalam ruang hampa. Sesuai dengan hukum termodinamika maka titik didih air akan turun berbanding lurus dengan tekanan didalam ruangan. Teknologi ini memiliki beberapa kelebihan yaitu

1)        Tidak tergantung cuaca karena proses dilakukan di dalam tabung vakum yang tertutup rapat. Dalam proses vakum ini semakin rendah tekanan yang diberikan, semakin rendah titik didih air. Bahkan air dapat menguap pada suhu 00 celcius tergantung tekanan di ruang vacuumnya. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan produksi karena produk jadi dapat dipanen setiap hari bahkan setiap jam.

2)        Teknologi ini tidak memerlukan lahan yang luas bahkan dapat menggunakan lahan yang sudah ada. Hal ini karena air laut di olah di dalam tabung tertutup berukuran 1 M3. Sebagai ilustrasi lihat saja toren air yang berukuran 1000 liter. Luas lahan yang digunakan untuk membuat tower toren tersebut itulah kira-kira luas lahan yang diperlukan untuk 1 unit evaporator berkapasitas 1000 liter.

Bagaimana dengan jumlah produksi garamnya? Hal ini tergantung dengan tingkat salinitas air laut. Salinitas air laut di Indonesia adalah sekitar 3,3% per 1000. Artinya setiap 1 liter air laut terdapat kandungan garam 33 gram. Jadi kalau 1 unit evaporator berkapasitas 1000 liter diisi penuh dengan air laut, berarti ada kandungan garam seberat 33 Kg disitu. Jika di asumsikan 1 unit evaporator dapat menguapkan air sampai habis dalam waktu 1 jam, maka dalam 12 jam terdapat 396 kg garam. Dengan asumsi bahwa produksi berjalan setiap hari, maka dalam setahun 1 unit evaporator akan menghasilkan 142,6 ton garam. Jika sebuah pabrik memiliki 1000 unit evaporator produksi akan mencapai 142.560 ton per tahun.

Sekedar informasi, produksi PT Garam tahun 2015 adalah 340.000 ton itu pun dengan lahan 5.340 hektar. Dengan asumsi 1 evaporator memakan lahan seluas 2,25 M2, maka 1000 evaporator hanya butuh lahan seluas 22.500 M2 atau 0,225 Hektar. Bayangkan hanya dengan lahan 1 hektar saja bisa memproduksi sampai 1/3 dari produksi PT Garam tahun 2015.

Tetapi teknologi ini memiliki kekurangan yaitu membutuhkan energy listrik yang tinggi. Untuk mengolah 1 M3 air laut diperlukan daya sampai 170 KWh. Hal ini tentu saja ditentukan oleh tehnik vakum yang digunakan sehingga konsumsi listriknya berada di kisaran 50 - 170 KWh/M3. Sehingga jika diasumsikan harga listrik adalah USD10 cent/KWh dan nilai tukar yang digunakan adalah Rp13.400/USD, maka 1 unit evaporator akan menelan biaya operasional dari listrik saja sekitar Rp984 juta/tahun.

Hal ini menyebabkan industri garam saja menjadi tidak kompetitif jika menggunakan teknologi vakum ini. Karena jika kita menggunakan harga garam normal Rp1000/kg, maka revenue dari penjualan garam dari 1 unit evaporator hanya Rp142,5 juta/tahun. Ya jelas gak ada yang mau pakai teknologi ini buat industri garam.

Oleh karena itu, industri garam harus digabungkan dengan industri air bersih, karena memang teknologi vakum banyak digunakan untuk pengolahan air bersih di luar negeri seperti desalinasi maupun pengolahan air limbah. Nah, jika dengan menggunakan teknologi yang dipakai saat ini dalam produksi garam, air laut dibiarkan menguap di alam bebas. Sedangkan dengan teknologi vakum, air yang menguap dapat dikondensasikan dan menjadi air bersih yang bisa langsung diminum atau dengan kata lain air dari hasil distilasi. Jika diasumsikan harga airnya adalah Rp200/liter maka nilai yang didapat dari penjualan air tersebut per unit evaporator adalah Rp864 milyar/tahun. Sehingga jika diasumsikan sebuah pabrik memiliki 1000 unit evaporator dan menjual produk utama berupa garam dan air bersih dimana garam dijual seharga Rp1000/kg dan air Rp200/liter serta mengeluarkan biaya lain-lain berupa gaji pegawai dan overhead sekitar Rp10 milyar/tahun. Maka profit dari industri ini bisa mencapai Rp12,6 milyar/tahun dengan lahan tidak sampai 1 hektar.

Ide ini memang sangat radikal karena terus terang saya belum pernah dengar ada industri garam yang menggunakan teknologi vakum. Tetapi industri lain yang menggunakan teknologi vakum sudah ada seperti industri gula, industri pengolahan limbah cair dan industri pengolahan air bersih di luar negeri ya. Kalau di Indonesia satupun belum ada. Teknologi ini selain mengunakan lahan yang tidak banyak, juga low maintenance dan low labor cost dalam artian padat modal bukan padat karya. Industri yang menggunakan teknologi ini juga akan menimbulkan dampak bagi industri yang sudah existing yaitu industri garam yang pengolahannya oleh petani garam dan industri AMDK (air minum dalam kemasan). Dengan kata lain, jika industri ini muncul maka akan menimbulkan efek disruptif kepada industri lain yang sudah besar dan mapan.

Terkait dengan efek disruptive, saya tidak kawatir dengan industri garam karena petani garam dapat menggunakan tambak mereka untuk melakukan budidaya udang atau ikan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi dari garam. Bahkan mereka dapat lebih fokus untuk di usaha tersebut tanpa pusing mikirin cuaca. Sedangkan PT Garam malah bisa menggunakan lahannya untuk industri lain berbasis maritime yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi seperti budidaya udang, rumput laut dan lain-lain.

Industri AMDK lah yang akan benar-benar terdampak oleh industri baru ini karena dengan adanya pabrik yang memiliki 1000 evaporator maka produksi air bersihnya dapat mencapai 4.300 M3 atau 4,3 milyar liter air bersih per tahun. Jika dibandingkan dengan produksi total AMDK tahun 2015 sebesar 21 milyar liter, maka industri baru ini akan menjadi musuh baru bagi industri AMDK lain yang sudah mapan. Apalagi jika industri baru ini malah menjadi pemasok air minum langsung ke konsumen melalui pipa sehingga bisa langsung minum air dari keran. Di sisi lain, kita juga bisa lihat tempat dimana air minum tersebut diperoleh, daerahnya menjadi kekurangan air, penduduk setempat kesulitan mengakses air bersih bahkan daerah yang dulu banyak lahan pertanian malah jadi alih fungsi karena banyak mata air yang hilang. Sehingga apabila industri baru ini menyebabkan beberapa pabrik AMDK gulung tikar setidaknya akan berdampak positif terhadap penduduk yang lingkungannya di rusak oleh industri AMDK.  

Satu lagi yang akan terimbas adalah para importir garam, karena jika ada 40.000 unit evaporator maka produksi garam kita menjadi 5,7 juta ton/tahun, cukup untuk memenuhi kebutuhan domestic bahkan surplus karena kebutuhan domestik kita adalah 4,2 juta ton/tahun dan hanya butuh 40 hektar lahan dan berkurangnya eksploitasi air tanah. Tetapi, sekali lagi adanya 40.000 unit evaporator justru akan menciptakan 17,2 miliar liter air minum sehingga dapat dipastikan pasar AMDK akan semakin terdistorsi oleh air hasil distilasi. Sehingga dampak lain yang muncul akibat dihajarnya industri begal garam (baca: importir) dan AMDK yang kemungkinan ada yang akan gulung tikar, adalah munculnya penganguran, tapi akan dibahas di tulisan yang lain. Hitungan-hitungan yang saya buat pun merupakan hitungan kasar terutama dari besaran lahan. Walaupun saya yakin 40 ribu unit evaporator tidak akan memakan lahan sampai ribuan hektar, mungkin bisa mencapai 100 hektar mengingat diperlukannya lahan untuk storage dan lain-lain. Tapi yang pasti investasi yang saya bicarakan untuk industri ini adalah milyaran dan semoga saja tidak mencapai trilyun.

So, tertarik untuk mencoba usulan saya?  

Tulisan ini juga tayang di http://www.kompasiana.com/aycorn/59833bdba71c8359d822b872/industrialisasi-garam-sebagai-solusi-krisis-garam-mungkinkah
lengkap dengan referensinya

“Now, how do you think, Mr. Prime Minister”?


Matanya memandang lekat pada papan yang telah penuh dengan 2 jam penjelasan deskriptif dan mendetail dari si pembicara di muka ruangan, sesekali dia menarik nafas panjang dan melemparkan pandang ke sekeliling ruangan yang dipenuhi oleh nama-nama yang memiliki posisi penting di negara baru tersebut dan dia menyadari bahwa mereka melakukan hal serupa, hingga pada satu titik dimana si pembicara menyelesaikan penjelasannya dengan melemparkan satu pertanyaan pamungkas kepadanya :

“Now, how do you think, Mr. Prime Minister”?

Di satu pagi yang mendung September 1965, laki-laki yang bernama Lee Kwan Yew itu mengumpulkan jajaran pemerintahannya segera setelah pergelutan panjang yang melelahkan untuk menjadikan Singapura sebagai negara berdaulat. Lee paham betul bahwa mereka tidak punya waktu untuk perayaan, tidak kala kondisi negara itu masih dalam ketidakpastian baik secara politik maupun ekonomi dan harus ditangani secara bersamaan secara hati-hati. Salah langkah, maka negara baru ini bisa kembali dengan mudah dianeksasi dan semua usaha akan menjadi sia-sia.

Hari itu dia sedang mencurahkan perhatiannya untuk keselamatan ekonomi Singapura.

Dr. Albert Winsemnius, nama orang Belanda yang sedari awal hari telah berbicara di depan ruangan yang dihadiri hampir seluruh jajaran pemerintahan bidang ekonomi Singapura. Dia menjabarkan proposal setebal lebih dari 120 halaman yang jika setujui oleh Lee, akan menjadi panduan pengembangan ekonomi Singapura dalam jangka 20 tahun mendatang. Dia mengutarakan bahwa Singapura harus melanjutkan sebagai pusat industri hanya untuk menstabilkan kondisi ekonomi dan harus segara beranjak menjadi pusat investasi dan perdagangan dunia (World’s trade and investment hub) dalam beberapa dekade mendatang.

Pendapat Wimsemnius mendapatkan tentangan keras. Tak tanggung-tanggung, Tan Yusoff bin Ishaq sang Presiden bersama beberapa Ekonom Singapura yang hadir dan menyatakan bahwa akan terlalu riskan jika Singapura meninggalkan sumber devisa utamanya untuk sesuatu yang belum terbukti dan jika gagal akan membahayakan. Di tengah suasana tegang (ditambah suasana mencekam terkait gesekan antar ras yang saat itu tengah memanas), Lee selaku PM mengajak rekannya tersebut untuk meninggalkan ruangan untuk berdiskusi empat mata membahas perbedaan pandangan tersebut. Pertemuan empat mata yang terjadi di ruangan terpisah itu mungkin 30 menit terlama yang pernah dilalui oleh masing-masing dari mereka. 

Entah apa yang dikatakan oleh Lee, hingga akhirnya mereka berdua sebagai Perdana Menteri dan Presiden sepakat memutuskan untuk mengambil resiko itu. Sebuah resiko yang sepadan dengan bukti sejarah tingkat kemajuan fenomenal di bidang perekonomian yang ditunjukkan oleh Singapura hingga beberapa dekade mendatang.

Fragmen di atas lekat dalam sejarah perekonomian Singapura. Karena jelas keputusan 30 menit tersebut mengubah wajah Singapura secara revolusioner dan membawa mereka dari negara dunia ketiga menjadi salah satu negara termakmur di Dunia dan dipandang sebagai macan ekonomi Asia.

Ada beberapa hal lain sebenarnya yang bisa diambil dari potongan kisah tersebut.
Namun, agar bisa menjadi bahan diskusi, saya mengajak kawan-kawan kontributor untuk menyampaikan pendapatnya mengenai pelajaran apa saja yang bisa diambil dari kisah tersebut di kolom komentar, lebih baik lagi jika dituangkan dalam postingan baru J .


Referensi :
1.       Van der Heijden, Kees (2005). The Art of Strategic Conversations, 2nd Ed. John Wiley and Sons Ltd.
2.       Neo, Boon Siong & Chen, Geraldine (2016). Dynamic Governance, World Scientific.


Disclaimer :
Kisah di atas mengalami proses penyuntingan seperlunya