Tampilkan postingan dengan label Essay. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Essay. Tampilkan semua postingan

Marstrand: 1 Pulau 3 Negara


Aku menemukan keindahan di dalam ambiguitas. Ketika semua tergoda menjadi monokrom hitam dan putih, adalah kelegaan untuk menemukan ruang yang menunggu untuk diberi nama dan makna. Bagiku, Marstrand adalah fenomena yang dapat mewakili perasaan tersebut. Masa perang dan waktu damai, dunia maju dengan kondisi ndeso, zaman resesi dan kemakmuran bangsa. Apalah arti semua bualan manusia bila harus berhadapan dengan fananya kehidupan?

Norwegia. Denmark. Swedia. Ketiga negara ini pernah memiliki Marstrand. Memiliki. Pada masanya masing-masing, tentunya. Hal ini tergantung kepada batas ketiga negara tersebut, yaitu sewaktu garis batas negara-negara tersebut di atas peta sedang bergeser ke sebelah yang mana.


Pulau ini kecil saja. Tidak bombastis penuh atraksi, namun kaya dari berbagai segi. Wisata kuliner, keindahan alam, atau khasanah budayaadalah sebagian dari banyak rahasia yang bisa kita temukan di Marstrand. Alamnya asri, pantainya tenang, dan banyak bangunan bersejarah yang bisa menginspirasi imanjinasi kita. Di penjuru pulau ini, tersebar beberapa penjual makanan, kedai kopi, pedagang buah segar, dan tenda es krim untuk melepas dahaga di bawah terik mentari musim panas. Bila beruntung, mudah sekali untuk memdapatkan buah dan sayuran segar dengan harga murah dari petani. Kota tua yang apik dengan deretan bangunan bersejarah ini akan membawa angan dan hati para pengembara. Bagiku, Marstrand memberikan lebih dari yang kita harapkan.   

Kuno dan modern, ataukah klasik dan kontemporer, semuanya terpadu harmonis menjadi sesuatu yang indah. Seseorang bercerita kepadaku bahwa sebagian besar penduduk Marstrand adalah kaya raya, namun anehnya sulit sekali menemukan kendaraaan roda empat di sepanjang jalannyaSebab, memang hampir tidak ada jalan raya di sini, kecuali jalan setapak lebar dari susunan bebatuan alami. Untuk melestarikan pulau warisan sejarah ini, mobil dilarang beroperasi di Marstrand. Jika sesekali melihat ada mobil melintas (dan biasanya mobil klasik), percayalah bahwa mobil tersebut telah membayar pajak yang tinggi untuk bisa berkeliling di sini.

Perang dan perdamaian, transaksi politik dan transaksi bisnis, atau sekadar titik singgah, Marstrand telah mengalami itu semua. Salah satu tempat bersejarahnya, Benteng Carlstentelah menjadi saksi yang tabah atas pertempuran dan perselisihan berabad-abad antara leluhur bangsa Swedia, Norwegia, dan Denmark. Benteng ini tidak hanya menjadi saksi drama antar negara, namun juga drama manusia. Konon, seorang tahanan seumur hidup, Lars Larsson berhasil lolos dari penjara setelah menyamar menjadi koki wanita bernama Lasse-Maja di benteng ini.

Bagaimanakah Marstrand berubah dari masa ke masa?

Semula, pulau ini merupakan tempat favorit untuk kaum berada pergi berlibur atau sekadar istirahat. Mereka hendak menjauh sejenak dari polusi udara dan polusi air pada Era Industri di awal abad ke-19, beserta hingar-bingar kehidupan di pusat kota. Namun, hari ini kami sedang beruntung. Tidak banyak orang berlalu-lalang. Hanya ada sekelompok burung camar yang tampaknya juga suka bersantai di sekitar kami. Beberapa di antaranya berani mendekat, ikut menemani, dan mencoba mengambil potongan makan siang yang kami bahwa ke pantai. Lelah berbagi makanan dengan burung camar, kami yang masih lapar pun singgah sebentar di Bergs Konditori, suatu kafe antik  yang ternyata memiliki resep rahasia räksmörgås (sandwich udang) terlezat … dan sangat terjangkau sampai kami makan dua kali dalam satu hari. Jangankan sandwich udang, sehari-hari burger pun biasanya tak terbeli.

Melanjutkan perjalanan kaki, kami menemukan sebuah gereja berusia 900 tahun, Mastrand Kyrka, yang telah direnovasi setelah kebakaran besar pada Abad ke-17. Bangunannya berkapur putih, berdiri ditengah komunitas penduduk lokal, dikelilingi oleh rumah-rumah mungil yang cantik, jajaran taman bunga, dan trotoar dari batu sepanjang jalan naik dan turun.

Berjalan lebih jauh ke dalam pusat komunitas, kami menemukan bangunan sunyi di atas bukit, yang ternyata adalah museum yang terbuka dan gratis untuk umumAku memberanikan diri untuk masuk, dan disambut oleh seorang Ibu yang ramah dan sangat tenang. Ia bercerita tentang kisah-kisah yang menarik selama aku menyimak rangkaian foto tua hitam dan putih yang terpasang di dinding kayu. Kisah tentang Marstrand di masa lalu, sebelum ada jalan raya, sebelum ada jembatan. Terlihat di foto tua, ada pelabuhan kecil yang menghubungkan Pulau Marstrand dengan Kota Gothenburg. Berjajar barisan mobil Volvo tua dengan tangki bensin raksasa sebesar drum mirip toren air hujan, mengantri selama berjam-jam untuk dapat naik ke kapal ferry menyeberangi sungai dari pinggir kota ke Pulau Marstrand. 

Di foto, beberapa wanita bergaun hitam berkumpul di dekat dok kapal, dan sebagian ada juga yang bergaun putih. Semuanya mengenakan syal atau kerudung sederhana. Pemandu bercerita, gaun putih mencerminkan status sosial kelas atas, karena dibutuhkan biaya dan pekerja yang tidak sedikit untuk menjaga kebersihannyaSetelah itu aku pun beranjak ke ruang depan,  lalu menemukan peti harta karun tua yang kuncinya telah rusak. Sayang, isinya akan tetap menjadi misteri selamanya untuk siapapun yang datang ke museum ini. Namun, di ruang depan selalu tersedia kartu pos dan suvenir untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.

Sampai di penghujung hari, kami kembali ke peradaban kota industri dengan menggunakan kapal ferry dan tram,. Seharian penuh kami berjalan kaki mengelilingi Marstrand, termasuk jalan setapak "lubang jarum", celah sempit di tengah bukit granit yang dipangkas oleh ledakan dinamit pada abad ke-19Syukurlah tidak ada manusia yang tersangkut di dalamnya. Ketika malam pun tiba dan bersiap tidur, baru terasa badanku lelah sekali. Namun, hari ini sangat membahagiakan.

 

Location             : Marstrandsön

Tram stop          : Marstrands färjeläge, Kungälvs

Entrance Fee    : 20 SEK (for ferry crossing the river, but already included in the bus ticket)

Website              : http://www.vastsverige.com/en/Marstrand/

 

Kirlian


Energi tidak dapat diciptakan. Energi tidak dapat dimusnahkan. 
(First Law of Thermodynamics) 

Hukum Kekekalan Energi membawaku ke sini. Kuletakkan telapak tanganku di pelat metal berbentuk jemari manusia itu. Dingin. Sesungguhnya aku merasa sedang duduk di kursi listrik seperti di film-film misteri. Apabila saat itu aku tahu bahwa pelat di kedua telapak tanganku ini terhubung dengan kabel voltase tinggi, tentu aku akan ciut mengundurkan diri dari sesi foto ini. Tapi dorongan untuk mengetahui lebih tinggi daripada kecemasanku.  

“What color is my aura?” That is the question. 

Beberapa bulan yang lalu aku sudah “mengetahui” jawabannya dari sebuah sesi quiz online. 

Tapi jelas ada bedanya antara bukti empiris dengan data intepretatif. Quiz tersebut menafsirkan warna aura dari beberapa pilihan yang kita ambil dari serangkaian pertanyaan mengenai preferensi pribadi di dalam beberapa simulasi situasi. 

Foto aura tidak banyak bertanya. Ia hanya memberikan hasil. Hanya kita sendiri yang mengambil kesimpulan dari serangkaian pantulan gelombang warna yang tercetak pada kertas film itu. Dalam 10 detik, semua hal tentang diriku akan tercetak di selembar kertas berukuran 8 x 10 cm. 

Pelat metal berfungsi menghantarkan listrik dari tangan melalui kabel ke arah kamera Kirlian di hadapanku ini. Sejenak petugas bergeming melihatku seperti orang bingung setelah mengecek kameranya. 

“Tolong bersandar ke dinding, ” katanya. Aku baru mengerti bahwa grounding atau melekatkan anggota tubuh ke dinding atau lantai membantu kualitas gelombang warna yang dihasilkan oleh tubuh kita. 

Aura. Bagi yang skeptis, fenomena ini hanya isapan jempol belaka. Bak fenomena paranormal seperti rasi bintang, bola kristal, fengshui dan lain-lain, untuk beberapa orang aura hanyalah satu topik pengisi waktu luang sambil minum kopi atau mengusir kejenuhan. 

Tapi, seperti orang lain, aku pernah belajar fisika, dan sedikit banyak mengetahui mengenai sifat-sifat dasar dari energi, cahaya, optik, dan spektrum warna. Satu topik saja yaitu “energi” dapat dibagi lagi ke dalam beberapa sub topik misalnya energi cahaya, energi bunyi, energi listrik, energi panas, energi terbarukan, energi tak terbarukan, dan banyak lagi. Apapun bentuk energi, satu hal sudah jelas, yaitu energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Energi hanya berubah bentuk. Setidaknya begitulah Hukum Kekekalan Energi yang sering kita pelajari di sekolah-sekolah dasar dan menengah. 

Aura hanyalah salahsatu bentuk energi dihasilkan manusia. Seorang manusia dapat menghasilkan energi suara, energi gerak, energi listrik, energi panas, energi cahaya, dan banyak lagi. Seperti halnya panas tubuh manusia dapat dengan mudah terdeteksi dengan kamera inframerah di tempat yang tergelap sekalipun, begitu juga aura semua makhluk (hidup dan mati) dapat terdeteksi dengan kamera Kirlian. Satu koin uang Rp500 mempunyai aura. Satu lembar daun di pohon mempunyai aura. Bahkan untuk beberapa mata yang terlatih, aura dapat terlihat tanpa bantuan kamera. Seorang kenalan pernah bercerita bahwa ia menikmati lalu-lalang manusia di tempat keramaian karena ia dapat melihat indahnya warna-warni aura seiring pergerakan mereka. 

Warna-warna aura tercipta karena adanya karakteristik dasar dari “cahaya”. Dahulu, terdapat anggapan bahwa cahaya merupakan gelombang yang dapat diukur frekuensi dan kecepatannya. Cahaya mempunyai kecepatan yang sangat tinggi, yaitu 299.792.458 m/detik. Begitu tingginya kecepatan cahaya sehingga jarak objek antariksa seringkali diukur bukan lagi dengan satuan kilometer melainkan tahun cahaya, 9.4605284e15 m atau hampir mencapai 10 triliun kilometer. Warna yang terlihat merupakan gelombang cahaya yang dipantulkan oleh permukaan benda yang sedang kita amati. Dengan kata lain, sebuah apel berwarna merah bukan karena ia berwarna merah tapi karena permukaan apel telah memantulkan gelombang cahaya berwarna merah. 

Belakangan, juga diketahui bahwa cahaya merupakan partikel bermuatan energi yang dinamakan “photon”, dimana sifatnya sangat unik yaitu tidak mempunyai massa (berat) namun mempunyai energi. Photon pada setiap warna berbeda-beda, sehingga energi satu warna akan berbeda juga dengan energi pada warna lainnya. Apabila cahaya dapat didefiniskan sebagai gelombang sekaligus juga sebagai partikel … bayangkan seberapa banyak informasi yang dapat diperoleh dari satu lembar foto. Kita dapat mengetahui energi yang ada pada saat itu. Kita juga dapat mengetahui frekuensi yang terjadi pada saat itu. 

Dengan pengetahuan dasar mengenai warna, cahaya, optik, listrik, dan energi inilah kemudian kita dapat memahami fenomena aura.

Pohon Pinus




Pinus tak bosan dengan pertanyaan klise, seperti
"mengapa daunnya tidak seperti daun?" atau
"mengapa pohonnya tidak menghasilkan bunga dan buah?" atau
"mengapa dahannya tidak bisa dipanjat?" atau
"mengapa bentuknya aneh tidak bisa untuk berteduh?"

Pohon pinus tahu ia tidak perlu
menghiraukan pertanyaan-pertanyaan itu
sebab takdirnya memang bukan begitu
Sebab masanya bukan di situ

Ketika tiba masanya di musim dingin
Ketika semua berubah putih dan membeku
Pohon pinus hadir memberikan arah
dengan warna gelap yang kontras, postur bagai safety cone
tinggi menjulang ia jadi penanda jalan

Dahan pinus tak membentang seperti beringin
yang mampu menahan derasnya hujan
Namun ia adalah seumpama benteng
Menahan beku dan bisingnya angin dari utara

Sejak lama pohon pinus memahami takdirnya
untuk dapat dicintai dan dimengerti
tak perlu ia berubah lembut dan ceria seperti pohon ceri
atau dramatis dan atraktif seperti pohon maple

Sejak semula, pohon pinus memahami
untuk dapat dicintai dan dimengerti
Ia hanya menjadi dirinya sendiri

Pohon Maple




Semula ku tak tahu namanya
Ku hanya tahu, ia cantik dan misterius
Daun-daunnya seperti nyala api
merah, kuning, dan jingga

Ia temanku ketika berjalan pulang
setapak berbatuan di musim gugur,
kala surya mulai enggan beranjak keluar
jendela rumah-rumah berhias temaram cahaya lilin


Hidupnya menarik, tidurnya nya pun demikian
Pohon kayu berdahan kuat menjulang hitam,
tempat burung gagak bertengger dan bersarang
di bawah kelabu langit, berlapis awan tebal ...
dedaunan merah itu terbang menari di angkasa
bagai sayap laron yang patah di musim hujan

Semula ku tak tahu namanya
Getahnya emas transparan dan beraroma harum
tersaji di olesan roti dan pancake hangat,
lebih ringan dan lebih lembut dari tetesan madu
 


Bisakah aku sepertinya, pohon maple
selalu kuat dan dan tenang
meski diterpa badai dan
hujan angin kencang

Bisakah aku sepertinya, pohon maple
selalu indah dan berfaedah
di tengah lelah dan ketidakpastian

Pohon Cherry




Pink dan Putih
seperti pipi anak kecil
bunga-bunga di pohon cherry
bermekaran

Wanginya lembut dan samar bedak bayi
Pertanda musim semi menjelang
Hiburan untuk yang masuk angin meriang
kala rintik hujan dan serbuk sari beterbangan

Bunga, daun, dan buah cherry
simbol harapan dan segala kemungkinan

Pohon cherry, almond, dan sakura
Ku tak bisa bedakan,
meski hidup beda benua
buahnya pun juga tak sama

Pohon cherry, almond, dan sakura
Bagaikan kita, umat manusia
Dari luarnya terlihat serupa
Meski sebenarnya hidup berbeda

Fort de Kock 1938





Apabila kami bertemu, tidak pernah sebentar. Bermula dari ide 1 aktivitas, diakhiri dengan banyak aktivitas sepanjang hari. Aku dan sepupuku. Kami terhubung bukan hanya karena kerabat, namun juga karena 'nyambung' ketika membicarakan topik-topik anti mainstream. 

"Kamu seperti nenek. Sudah pernah ada yang bilang?" Tanyanya sambil memeluk kantong belanja IKEA yang penuh dengan piring, bantal, dan pernik-pernik kantor.

"Benarkah?" Tanyaku balik. Hampir tak percaya.

Sepanjang hidup, aku sudah kenyang dicela atau sekali-sekali dipuji. Tapi tidak untuk yang satu ini. Diumpamakan seperti nenek adalah idealisme yang tak terbayangkan. Meski aku hanya sempat bertemu dengannya 1 tahun di awal hidupku.

Saat itu, dari sepotong foto lusuh terlihat nenek menyalakan sebatang lilin mungil di atas semangkuk puding buatannya dan aku tanpa gigi tertawa tergelak-gelak kesenangan melihat hadiah ulang tahun dari nenek tersayang. Ia adalah seseorang yang selalu mengingat tanggal ulang tahun semua anak, mantu dan cucu-cucunya. Catatan kecil tersimpan rapi di mejanya, dan bila jarak terlalu jauh memisahkan, nenek akan selalu mengirimkan surat kepada yang berulang tahun ... sekadar mengingatkan bahwa ia tak lupa dengan hari istimewa mereka.

Ia yang kukagumi bukan hanya karena lemah lembut, tapi juga berani. Ketika serdadu Belanda datang untuk menggeledah rumah dan memburu kakek yang sudah bersembunyi di hutan belantara, nenek dengan tenang menerima dan berbicara dengan serombongan laki-laki berbayonet* itu. Niat semula untuk meluluh lantakkan rumah berubah seketika saat mereka mendengar nenek bicara dalam bahasa Belanda mengatakan perbuatan ini hanya akan sia-sia belaka, sebab apa gunanya mengirimkan pasukan untuk menyerang seorang ibu rumahtangga dan anak-anak kecil? Satu tentara memberanikan diri untuk berpamitan dengan nenek sambil menyembunyikan pedangnya di sabuk belakang. Bahkan seorang penjajah pun mempunyai rasa hormat.

Di zaman internet ini, tentukah mudah menelusuri masa lalu dan masa depan apabila kita bisa menemukan sumber yang tepat. Trend teknologi, proyeksi perekenomian regional dan global, sampai dengan perkembangan geopolitik dapat kita telusuri. Demikian juga halnya dengan masa lalu kita sendiri. Masa lalu yang tidak ingin aku tanyakan kepada siapa-siapa, kecuali dari riset mandiri.

Aku punya kebiasaan buruk. Apabila ingin mengenal seseorang, aku tidak bertanya. Tapi aku meng-google. Hampir semua orang di kantor sudah pernah aku google. Dan kini waktunya aku meng-google nenekku. Dengan sedikit perasaan pesimis tentunya. Sebab apa yang akan google katakan tentang seorang ibu rumah tangga di tahun 1940-an? 

Ternyata banyak.

Google mengatakan bahwa salahsatu dari seabrek kegiatan nenek dan kakek adalah menulis di sebuah surat kabar lokal yang beredar sejak sebelum zaman kemerdekaan Indonesia. Di surat kabar itu, tertulis banyak hal-hal menarik mengenai kondisi masyarakat sehari-hari. Ketika jumlah penduduk belum sebanyak saat ini, adalah hal biasa untuk menulis di surat kabar bukan hanya tentang opini organisasi pemuda, laporan keuangan pemerintah lokal, puisi, cerpen, alamat orang kampung di Jakarta, bahkan sampai dengan kabar siapa yang baru lahir, siapa yang baru meninggal, siapa menikah dengan siapa, dan siapa yang ditangkap Belanda tapi diantarkan beramai-ramai oleh penduduk satu desa karena simpati dengan perjuangannya. 

Semakin aku meng-google, semakin aku merasa berkecamuk di dalam dada ... sebab di balik sikap sabar, tenang, dan anggun dengan baju kurung dan selendangnya, nenek menyimpan banyak pengalaman hidup dan rahasia ... yang mungkin aku tak sanggup menanggungnya.

*Bayonet : pucuk senapan berujung pisau








"Touch Disease"


So my cellphone is "sick". 

Google calls it "touch disease". The risk factor is a thin and wide metal casing. The screen wont respond due to loosened grip on the casing; possibly because of falling on hard surfaces, physical stress on the body, being bent inside tight pockets, or expanded by heat and humidity. There are a number of cures available. The first and the simplest form is "physiotherapy": straighten the bent edges with hand palms. 

The second method is by opening the case, tightening loose ends using power glue, and firmly put the casing on again. The third way is tightening the screws on the edges, using pentalobe screwdriver 0.8 millimeter in diamater. The screws are located near the bottom, beside the lightning power cable jack. I have a pack of 31 small screwdrivers often used by my family to fix eye glasses, but none of them happens to be 0.8 pentalobe. I think I need to find one at ACE Hardware. However, the safest way is to bring the phone to official after sales service ... especially during the one-year guarantee period. 

Lesson from this event is that I see a complex system is more fragile than a simple system. Older version of cellphones are more durable than newer smartphones. Of course the numbers of things they can do is limited. Please expect no internet, no MMS, no QR codes, no PDF reader, no social media etc. However, rarely these "classic" phones complain nor demand attention. They just work and done. They are also famous with patience, which is indicated by battery life. 

On the other hand, newer versions of smartphones can do many things, and always upgrade their intelligence by updating operational systems. However, once you break their heart (or brain, or casing, or integrated circuit ... whichever suits your metaphor in this matter) they will stop working and leave you dumb and desperate. Don't believe me? Well you can try to leave your smartphones at home for a day just to see. 😋 Good luck.

Pecahan-pecahan Kebaikan yang Tak Akan Terlupakan

"Fid... iso teko ngumpul-ngumpul ga bengi iki ?", begitu isi sms yang selalu datang beberapa hari setelah lebaran pertama. Tak ada tanda-tanda bosan mengirimkan sms seperti ini meski jawabanku tidak selalu bilang bisa. Pengirimnya bisa dipastikan bahwa teman alumni SMA-nya dan bahkan teman seangkatannya tak ada yang tak mengenalnya.
Acara kumpul-kumpul pra-reuni yang diperkirakan efektif mulai 2009 ini, seperti buah dari proses yang penuh dengan keringat dan usaha yang tak pernah mengenal lelah dan bosan.
Bagaikan mengumpulkan tulang-tulang berserakan, hanya yang bermental persaudaraan yang tinggi yang mampu melaksanakan, sementara media komunikasi belum secanggih seperti sekarang.
Tercatat, terbentuk group milist dengan kurang lebih 37 members (media komunikasi yang nge-hits waktu itu) pada April 2005, meski baru mulai rame postingan pada Januari 2006. Mungkin karena ada pilihan media komunikasi yang lebih menarik, denyut nadi 'kehidupan' terus mengalami penurunan sampai pada postingan terakhir pada April 2012.
Alhamdulillah, saya termasuk yang masuk dalam radar target misi yang tak terbantahkan kemuliaannya : menyambung silaturahim kembali.
Dari situ, beberapa kali ikut kumpul-kumpul super tipis di alun-alun dan di beberapa tempat lain yang nyaris tak terdokumentasikan. Tapi pahala untuk upaya ini insya Allah tidak akan terlewatkan sedikitpun.
Pemantik kecil yang tak pernah bosan, buahnya adalah bola salju yang tak berkesudahan putarannya. Semakin membesar, seperti yang kita rasakan sekarang ini.

Djaliteng !

Iya, tidak salah lagi, Djaliteng tak mungkin bisa dipisahkan dari upaya-upaya ini, meski tentu bukan hanya dia yang ada dalam barisan ini. Kerja kerasnya selalu kita rasakan sepanjang tahun, sampai tiba kabar yang sayup-sayup seperti susah untuk dipercaya. Tapi keyakinan bahwa semua akan berhenti pada taqdir yang sudah ditentukan Allah SWT atas hamba-Nya, memastikan bahwa kabar itu memang benar adanya. Kabar yang mengagetkan itu tentu menghilangkan gelak tawa, tergantikan oleh kesedihan yang menyelimuti bermacam-macam perasaan.

Beruntung, punya kesempatan untuk mengantarkanmu diperistirahatan terakhir sahabatku. Pagi itu seperti ikut menyampaikan kesedihannya, prosesi yang sangat emosional itu diiringi oleh rintik-rintik hujan. Ini semakin menambah rasa kehilangan seorang sahabat yang tak pernah lelah dan bosan menyambung-nyambung tali saliturahim yang tercerai-berai.

Selamat jalan sahabat, seperti yang pernah aku ucapkan di hari ketentuanmu, dan kini aku ulangi lagi di sini, semoga selalu dalam naungan rahmat-Nya, mendapat balasan yang lebih baik dari kebaikan-kebaikan yang pernah kamu lakukan. Aamiin Ya Rabbal 'Alaamiin.

Semoga kita bisa melanjutkan upaya mulia ini : tetap bersemangat mengumpulkan, semakin mempererat tali silaturahim. Tentu ini tak mudah, karena kerikil-kerikil kecil akan selalu ada. Kedewasaan dan kerendahhatian membuat semuanya menjadi mudah insya Allah.


GIVE WAY

Give Way atau memberi jalan adalah istilah yang baru gue kenal ketika akan nyetir di Australia. Akibat tuntutan keadaan, saat disana gue harus beli mobil dan nyetir sendiri. Secara teknis tidak ada kendala karena mobil-mobil disana sama seperti disini, posisi setir di kanan. Kelengkapan dokumen juga tidak masalah, karena ada ketentuan bahwa Surat Ijin Mengemudi (SIM) dari Indonesia cukup diterjemahkan oleh penterjemah tersumpah untuk dapat dipakai sebagai SIM lokal di Australia. Paling gue harus memperhatikan batas kecepatan kendaraan yang berbeda-beda di tiap ruas jalan, tapi ini pun tidak masalah karena ada menu peringatan speed camera di GPS.

"eh belajar give way dulu lu!" kata temen gue yang udah lama disana. "Main nyetir aje, kena denda langsung melarat lo!" lanjutnya lagi. "hah? give way? apaan tuh?" balas gue gak ngerti. Akhirnya temen gue ngejelasin kalo di Australia itu aturan untuk mendapatkan lisensi mengemudi itu tidak mudah. Harus ada tahapan-tahapan yang harus dilalui sebelum seseorang dinyatakan cakap untuk mengemudikan kendaraan di jalan raya. "Oh...ujian SIM" jawab gue sambil garuk-garuk kepala. Maklum, seumur-umur punya SIM gue belum pernah sekalipun ikut ujian SIM, jadi sebenarnya gue tidak tahu kecakapan yang bagaimana yang harus dimiliki seorang pengemudi kendaraan bermotor he he he.

"Indonesia banget lu..!" bentak temen gue dengan kesal. "Lu itu kalo bawa kendaraan di jalan raya tanpa kecakapan mengemudi itu sama aja dengan pembunuh yang berkeliaran" lanjut temen gue. Oops, kaget juga gue ngedengernya. "So, gue harus ambil SIM sini gitu? kan cukup SIM Indonesia gue terjemahin?" balas gue. "Ya harusnya sih begitu, tapi berhubung lu gak lama disini, paling nggak lu paham aturan-aturan lalu lintas disini" jelas temen gue. Akhirnya gue dikasih laman  https://www.raa.com.au/motoring-and-road-safety/learning-to-drive/give-way-questions untuk belajar give way.

Akhirnya gue bukalah laman tersebut buat belajar. www.raa.com.au adalah sebuah laman yang memberikan jasa bantuan terhadap segala kebutuhan kendaraan bermotor. Disana ada segmen online learner's test yang terdiri dari 3 bagian yaitu give way questions, multiple choices, dan hazard perception test. Sebenarnya untuk kualifikasi L atau status belajar, kita harus mengerjakan semua bagian tes tersebut, tapi karena gue hanya butuh untuk belajar 'adab' berkendara yang 'manusiawi' maka gue cuma fokus pada give way test.

Give way test ini ternyata adalah suatu tes yang menggambarkan simulasi keadaan yang pasti akan kita temui di jalan raya, baik kita sebagai pengemudi maupun pejalan kaki. Terdiri dari 8 soal yang wajib dijawab dengan benar semuanya. Kalau ada satu jawaban yang salah, kita harus mengulang kembali.

salah satu simulasi keadaan di jalan raya.


Pertanyaan dalam give way test ditampilkan dalam bentuk animasi gambar. Dari animasi gambar tersebut kita diberi 2 pilihan jawaban. Begitu kita klik jawaban yang kita pilih, maka animasi tersebut akan bergerak dan kita akan tahu akibat dari pilihan jawaban kita tersebut. Gue sangat takjub pada saat melakukan tes tersebut lalu mengerti pernyataan temen gue tentang "pembunuh berkeliaran" tadi. Dalam tes ini, kalau kita tidak memahami dengan baik siapa yang harus memberi jalan terlebih dahulu, maka kita akan diberi tahu akibat terburuk yang akan terjadi, yaitu kecelakaan. Disini saya tersadar mengapa tingkat pendidikan suatu negara tercermin dari kondisi lalu lintasnya. Bukankah orang yang berpendidikan itu akan sangat menghargai hak asasi manusia yang paling dasar yaitu hak untuk hidup. Hak untuk hidup tersebut dapat dengan sia-sia terenggut oleh orang-orang yang tidak mengerti etika memberi jalan di jalan raya.

Beberapa waktu lalu kakak gue membanggakan diri bahwa dia berhasil lulus ujian SIM di Polres setempat. Teringat dengan pengalaman di Australia, gue lalu bertanya tentang give way test ini. "Oh ada dong!" jawab kakak gue. Karena penasaran akhirnya gue googling "sistem ujian SIM online" dan ternyata memang benar, ada semacam give way test namun dengan format yang berbeda. Dalam laman korlantas.polri.go.id terdapat segmen latihan ujian SIM online, baik untuk SIM A maupun SIM C. Format pertanyaan adalah benar salah dan dilengkapi dengan animasi gambar. Jumlah soal latihan tersebut adalah 30 soal dan harus dikerjakan dalam waktu maksimal 16 menit. Tidak ada notifikasi apakah jawaban kita tersebut benar atau salah, tidak ada pula animasi yang menunjukkan akibat dari jawaban benar atau salah tersebut. Yang ada hanya notifikasi waktu pengerjaan ujian yang tersisa.

Secara konsep, apa yang terdapat dalam laman korlantas.polri.go.id tersebut sama dengan laman raa.com.au, yaitu mencoba menggambarkan kondisi riil yang dihadapi pengemudi di jalan raya. Yang berbeda adalah dampak yang ditimbulkan apabila kita memilih jawaban yang salah. Betul bahwa dampak tersebut bisa jadi berbeda dalam prakteknya, karena ada unsur kesigapan pengemudi dalam mengendalikan keadaan yang tiba-tiba dihadapi. Namun asumsi ini tidak dimasukkan dalam pertimbangan dalam membuat etika tersebut. Sekali lagi, ini berkaitan dengan nyawa manusia dan kerugian materil lainnya, tidak boleh ada asumsi disana. Adanya dampak yang ditimbulkan ketika kita menyalahi etika give way akan benar-benar membekas dalam ingatan ketika kita menjalankan kendaraan ataupun menjadi pengguna jalan lainnya di jalan raya. Give way juga akan meringankan atau memberatkan posisi kita ketika terjadi kecelakaan di jalan raya.

Di Indonesia, khususnya di Jakarta, terlihat sekali bahwa konsep give way ini tidak dipahami oleh sebagian besar pengguna jalan. Pokoknya, siapa yang duluan itu yang menang, siapa yang paling ngotot di jalan maka dia yang akan cepat sampai. Hal demikian dapat dipahami mengingat orang-orang seperti gue ini (punya SIM tanpa ujian) masih sangat banyak. Pengetahuan berlalu lintas di Indonesia lebih banyak didapat secara otodidak dan 'sekenanya'. Pokoknya kalo gak ditilang Pak Polisi berarti aman.

Rome was not built in a day. Membangun suatu sistem, peraturan ataupun budaya berlalu lintas tidak dapat dilakukan dalam sekejap, semudah menggosok-gosok ceret ajaib  lalu terkabul. Butuh waktu dan proses. Aturan legal formal yang telah ada pun tidak akan berarti apa-apa jika implementasinya tidak dilakukan dengan tepat. Dengan segala infrastruktur yang sudah tersedia, seharusnya pemerintah hanya perlu strategi implementasi yang baik. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah 'mempersulit' masyarakat untuk mendapatkan SIM, baik SIM pertama ataupun perpanjangan. Memahami peraturan lalu lintas serta cara berkendara dengan baik, aman dan sesuai peraturan yang dibuktikan dengan lulus ujian SIM adalah syarat wajib untuk mendapatkan/memperpanjang SIM. Akan lebih bagus jika metode ujian SIM tersebut dapat lebih disederhanakan sebagaimana contoh di Australia tadi. Berikutnya tentu penegakan peraturan yang tegas dan tidak pilih kasih sehingga benar-benar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar peraturan lalu lintas. Butuh waktu dan konsistensi memang, namun jika tidak pernah dimulai kita tidak pernah tahu kapan akan selesai.

Dari pengalaman yang gue alami, give way ini sebenarnya tidak hanya dipraktekkan masyarakat Australia ketika berkendara. Konsep tersebut ternyata berlaku dimana-mana, dan bahkan untuk hal-hal yang mungkin menurut kita sangat sepele seperti memberikan ruang untuk menyalip pada saat kita berada di eskalator. Disitu terlihat bahwa adanya kesadaran untuk tidak mempersulit orang lain, tidak menghalangi jalan orang lain telah menjadi suatu kebiasaan baik yang dibudayakan. Kebiasaan baik yang menjadi budaya tersebut kemudian 'diamankan' dalam peraturan-peraturan formal/non formal. Tidak mengetahui aturan-aturan tersebut atau melanggar aturan-aturan tersebut akan mendapatkan sanksi, baik sanksi sosial maupun sanksi hukum yang tegas.

Di Indonesia, mungkin gue yang kudet, tapi gue belum menemukan adanya suatu kebiasaan baik masyarakat yang sedemikian pentingnya sehingga masyarakat bersama-sama dengan pemerintah sepakat untuk menjadikannya sebuah aturan legal formal yang mengikat semua orang. Entahlah untuk hal lain, tapi untuk kebiasaan give way saja gue sulit menemukannya dalam keseharian, baik itu memberi jalan secara harafiah maupun memberi jalan dalam artian memberikan kesempatan bagi yang lebih berhak.

***

Jakarta, 20 September 2018
  


Menjadi Sama Dengan Dunia


“Jangan kamu melawan arus dik, nanti kamu mati”
 -isi kepala saya baru saja-
  
Entah kenapa kalimat itu keluar dalam pikiran saya, setelah saya menuliskan judul dari tulisan ini. Belakangan ini menjadi sama dengan dunia adalah pilihan yang paling mudah bagi kebanyakan orang, memilih berbeda atau bahkan sekedar terlihat berbeda menjadi ketakutan tersendiri bagi banyak orang. Sepertinya hidup ini hanya ada dua pilihan ikut sini apa ikut sana padahal sebenarnya banyak sekali opsi-opsi yang tersedia bagi kita. Eh, ada sih yang memilih pilihan ketiga, yaitu berdiam diri, tersenyum dan mengangguk-angguk ketika dipojokkan dengan pilihan sini apa sana padahal di dalam hatinya dia memilih opsi keempat atau bahkan kelima.
   
Lalu ada yang bermimpi memiliki jalan hidup berbeda tetapi takut untuk melihat dunia, menghayal tentang indahnya dunia tetapi takut melangkah keluar rumah. “Jangan dik, di luar banyak orang jahat, nanti kamu mati", ingatnya.
  
Tapi ada juga yang terlalu banyak melihat keluar, membandingkan dirinya dengan orang lain, lalu menderita di tengah kekurangannya dan akhirnya menyerah pada keadaan sembari berharap ada tangan terulur mengangkatnya ke puncak dunia. "Sabar dik, Tuhan tidak tidur", gumamnya.
   
Tapi ada loh yang bermimpi menjadi "pionir" reformasi birokrasi dan menjadi “contoh” bagi yang lainnya dengan dalam sunyi. Tanpa pemberitaan, tanpa hingar bingar di media sosial. Berpuas diri dalam sunyi “kami sudah lebih baik” tapi kemudian mengerdilkan diri di hadapan orang lain dan sekedar mengukurnya dalam berapa banyaknya jumlah rupiah sembari berkata "ini sudah sangat murah", pembelaan ini menjadi receh kalau kata kids zaman now. Menghindari perdebatan dengan kata-kata sakti "murah". "Jangan di-posting dik, nanti riya'" tegurnya.
  
Aduh, bukan itu konteksnya. Ini semua soal cara bukan sekedar sampai. Menjadi sama dengan dunia memang mudah, sedetik saja melihat, kita sudah tahu kemana arah arus mengalir.
  
"Dik, kamu harus jadi pemenang. Menang untuk dirimu, keluargamu, dan bangsamu. Jangan sekedar terbawa arus dan akhirnya mati terantuk batu".

SPOILER

Belakangan ini media sosial sedang ramai dengan spoiler, terutama spoiler tentang film. Sesuai namanya, spoiler ini buat sebagian orang benar-benar 'merusak' suasana, menghilangkan mood bahkan membangkitkan amarah. Bagaimana tidak? rasa penasaran yang telah memenuhi benak dan berharap terpuaskan di empuknya kursi bioskop yang dingin, dengan ditemani popcorn dan minuman ringan, tiba-tiba hilang karena unggahan seseorang di media sosial yang dengan tanpa rasa berdosa menuliskan detil cerita film tersebut. Semua pertanyaan yang sekian lama diharapkan terjawab dalam durasi 120 menit tiba-tiba dituliskan hanya dalam beberapa baris unggahan.

Kesal? buat sebagian orang, iya. Sebagian? iya, karena ada juga yang menganggap spoiler adalah hal yang biasa saja. Tidak berpengaruh apa-apa, tidak mengurangi niat untuk tetap mengeluarkan sejumlah rupiah untuk tiket bioskop demi tontonan yang sebenarnya sudah diketahui jalan cerita atau kesimpulannya. Saya belum melakukan survei terhadap pendapat orang tentang spoiler ini, tapi dari berbagai unggahan di media sosial, percakapan di berbagai grup percakapan, sepertinya lebih banyak orang yang tidak suka dengan adanya spoiler ini. Saking kesalnya dengan spoiler, ada anggota yang keluar dari grup percakapan karena ada anggota lain yang mengunggah spoiler salah satu film yang sedang diputar di bioskop-bioskop. Belum lagi perang celoteh antara 'tukang' spoiler dan anti spoiler, seru pastinya. Saya hanya berdoa jangan sampai spoiler menyebabkan pertikaian yang konyol dan meningkat ke hal-hal yang merugikan secara materi, jiwa dan raga. Lebay? mungkin, tapi kita kan hidup di Indonesia, yang seringkali mendengar, membaca dan melihat nyawa terbuang sia-sia hanya karena uang seperak dua perak atau hanya karena tidak suka dengan tatapan mata. Naudzubillahi min dzaliik.

Fenomena spoiler film ini belum lama maraknya. Awalnya mungkin sekedar kelakuan iseng dan jahil antar teman. Menjahili teman yang terlambat menonton film kesukaannya pada kesempatan pertama. Adanya media sosial yang kemudian membuat apapun dapat viral dengan cepatnya. Kita bahkan bisa mendapatkan spoiler bahkan pada saat kita antri tiket untuk pertunjukan kedua di sebuah pemutaran perdana film tersebut. Lalu apakah perilaku spoiler ini dapat diubah?.

Menurut Kurt Lewin (1890-1947), yang terkenal sebagai Bapak Psikologi Sosial, perilaku manusia pada dasarnya adalah keseimbangan antara faktor-faktor pendorong dengan faktor-faktor penahan, sehingga perilaku manusia dapat berubah dengan mempengaruhi kekuatan faktor-faktor tersebut. Perubahan faktor-faktor tersebut dapat dilakukan dengan 3 (tiga) tahapan; pertama yaitu tahapan unfreezing. Dalam tahapan ini, faktor-faktor pendorong yang dapat merubah perilaku ditingkatkan, lalu faktor-faktor penahan dikurangi dan kemudian mencari kombinasi terbaik dari kedua hal tersebut. Kedua; mendorong perubahan cara berfikir atau perasaan atau perilaku atau ketiga hal tersebut ke arah yang lebih positif. Ketiga; refreezing yaitu tahapan dimana perubahan-perubahan yang telah dilakukan dikukuhkan menjadi sebuah kebiasaan. Tanpa adanya refreezing, perilaku-perilaku yang telah berubah dapat dengan mudah kembali menjadi perilaku lama sehingga keseimbangan baru yang telah terbentuk kembali berubah.

Berdasarkan teori perubahan perilaku tersebut di atas, maka perlu dilakukan peningkatan faktor-faktor yang dapat membuat orang-orang meninggalkan perilaku spoiler misalnya dengan mengedukasi bahwa sesungguhnya disadari atau tidak disadari spoiler itu dapat menghilangkan kebahagiaan orang lain, lalu bagaimana kalau hal itu terjadi dengan kita. Hal-hal yang menjadi penahan juga dikurangi misalnya adanya justifikasi bahwa spoiler itu justru menunjukkan niat baik pelakunya untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Sepertinya orang akan lebih berbahagia dibelikan tiket deh daripada kita nonton gak ngajak-ngajak lalu cerita tentang film yang sangat ingin kita tonton tersebut. Kekuatan media sosial dan kedewasaan penggunanya sangat menentukan keberhasilan proses ini. 

Perilaku spoiler juga dapat diarahkan ke hal yang lebih positif, seperti membuat resensi yang cerdas dan berkualitas. Pihak sponsor, pengusaha perfilman bahkan semua pihak dapat mendorong perubahan perilaku ini, misalnya dengan mengadakan lomba menulis resensi film yang berhadiah tiket gratis ataupun dengan kegiatan-kegiatan lain yang akan membuat para pelaku spoiler mengalihkan kelebihan energi-nya  menjadi sesuatu yang positif.

Sekilas spoiler ini hanyalah sebuah fenomena sesaat, namun tidak ada salahnya bila kita mencermati fenomena-fenomena sesaat yang banyak terjadi di sekitar kita. Apakah itu betul hanya sebuah fenomena ataukah cerminan dari kualitas perilaku bangsa kita?


Jakarta, 28 April 2018