Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan

Kisah Tentang Hati (Cinta Monyet)



Hati manusia tak ada yang tahu
Wajah tersenyum pisau tajam terhunus dibalik punggung.
Hati manusia tak ada yang tahu
Wajah tersenyum hati menangis tersedu-sedu menahan perih.
Hati manusia tak ada tahu
Wajah tersenyum tubuh penat luluh lantak menahan lelah.

Aku tak pernah tahu apakah ini cinta atau nafsu sesaat. Apakah kasih atau sekedar ingin memiliki. Senyummu terbayang disaat aku lelah. Tawamu yg renyah sayup-sayup terngiang di lorong sekolah, menoleh lalu kecewa. Suara manjamu memanggil nama kecilku ketika berjalan keluar sekolah. Kali ini aku tak menoleh karena aku tahu kamu tidak masuk sekolah.

Kamu sudah ada yang punya namun berulang kali kau bilang sayang pada ku. Kita berbincang berjam-jam di telepon berlempar canda dan membicarakan dunia entah untuk apa. Hari itu sebulan selepas kelulusan. Entah berapa kali ku telepon rumah mu. Berdering namun tak dijawab, dijawab namun kamu tak pernah ada. Mungkin adik mu sudah lelah menjawab telepon ku, berbohong bahwa kamu tidak di rumah. Aku pun terdiam lalu terisak. Apa salah ku?

Obrolan Pagi di KRL

Seperti biasa, awal hari di dalam sepekan, para pekerja, pelajar, pengusaha dan pengguna kereta commuter line (cl, dibaca : ce – el) selalu bergegas untuk naik cl yang sedang singgah di peron. Saat itu Senin pagi masih menunjukan pukul 05.45 WIB (Waktu Indonesia di Bekasi). Ada yang berlarian hingga saling bersenggolan dengan penumpang lain, ada juga yang masih berjalan santai karena ingin duduk di kereta dengan jadwal berikutnya. Saat itu ada 2 kereta yang parkir di peron dengan jadwal keberangkatan yang berbeda, kereta dengan jadwal berangkat jam 06.02 dan 06.30. Para pengguna kereta hari itu sangat antusias sekali dalam menyambut aktifitas yang akan dilakukan. Entah kebetulan, saya jadi ikut antusias menyambut hari saat itu. Dengan langkah tegap ala pasukan baris – berbaris, saya memantapkan langkah naik cl dengan jadwal 06.02 WIB.

Hari itu memang tidak seperti beberapa hari sebelumnya. Kereta yang biasa saya singgahi di gerbong ke-3 dari arah belakang tidak terlalu ramai, namun hari itu sangat padat hingga para pengguna pun saling bersentuhan satu dengan yang lain. Bahkan biasanya banyak pengguna dalam kondisi berdesakan masih bisa melihat gawai mereka, saat itu pun sangat sulit untuk meraih gawai itu. Makanya ada istilah ketika kereta api saat mudik lebaran itu belum berbenah, ada penumpang yang saling berhimpitan, berdesakan dan bergumul dengan penumpang lain. Namun saat itu, tidak separah saat kereta api saat mudik, namun suasananya hampir mirip dengan itu. Beberapa stasiun terlewati hingga dalam perjalanan ada obrolan yang cukup menggugah hati nurani saya hingga saya menuangkan sedikit kisah ini.

Obrolan ini dimulai dari seorang bapak, yang rambutnya sudah memutih semua, tetapi kalau bicara soal mengajar dan pelajaran hidup, saya kalah jauh dengan bapak ini. Selain bapak itu, ada seorang anak muda, sambil memegang gawainya, meski kondisi di kereta berdesakan, anak muda itu masih lihai memainkan jari jemarinya untuk mencoba memaksimalkan fitur di handphone-nya. Anak muda ini pun ternyata sudah mengenal bapak tadi dan mulai lah obrolan ini terjadi.

“Bagaimana kabar bapak dik ?” tanya si bapak dengan ramahnya. Karena si bapak dengan bapaknya anak muda itu pernah satu tempat kerja.

“Baik pak. Bapak masih kerja dengan usahanya sendiri” jawab Anak Muda  sambil melihat gawainya yang sedang ramai perpesanan. 

Kereta di stasiun kranji dan obrolan masih berlanjut.

“Bapak mau kemana? bukannya bapak sudah pensiun?” Anak Muda  bertanya kembali.

“Iya benar dik. Saya sebenarnya sudah lama pensiun, sekitar 10 tahun lalu. Alhamdulillah saya masih diberikan kesehatan dan kesempatan untuk mengajar. Kebetulan hari ini saya harus mengajar di *** (salah satu sekolah kejuruan) sampai jam 11 siang. Setelah itu bapak kembali ke rumah bantu ibu berjualan di depan rumah. Alhamdulillah, selama seminggu, ada 3 kali jadwal mengajar dari tempat yang berbeda. Kalau soal uang dari mengajar jauh berbeda saat saya belum pensiun. Tetapi mengajar ini menstimulus otak agar tetap beraktifitas setelah pensiun. Makanya kalau kamu sudah selesai sekolah (saat itu, Anak Muda ini masih sekolah D3), kalau bisa lanjut lagi hingga sarjana, biar tidak seperti Bapak ini, yang hanya lulusan D3. Nanti kamu turun dimana dik ? tanya si Bapak kembali.

Kereta sudah menyentuh stasiun Klender Baru dan obrolan berlanjut dan masih banyak penumpang yang naik dari stasiun tersebut.

“Saya turun di stasiun Manggarai pak. Kalau Bapak turun dimana?”

“Saya turun di Jatinegara, setelah itu saya lanjut naik ojol (ojek online) ke kampus *** Kalau kamu sendiri mau kemana ?”

“Saya dari manggarai sambung kereta ke arah UI pak. Kalau menuju arah sana, penumpangnya relatif tidak ramai dan padat. Karena jadwal kuliah saya selalu berlawan dengan orang berangkat kerja. Tetapi kalau pulang kuliah, pasti padat saat ke arah Bekasi.

“Si abang masih kuliah ?”

“Sudah lulus pak, tapi gak mau kerja kantoran. Katanya mau punya usaha sendiri, gak enak kalau diperintah-perintah atasan. Kalau gak ada atasan, bisa bebas berkreasi dan beraktifitas. Padahal emak sudah menginginkan agar si abang kerja dulu. Jika sudah ada modal, baru silahkan buka usaha sendiri. Sifatnya mirip dengan bapak . Meski gak bekerja seperti orang kantoran, bapak  selalu berangkat pagi sebagai pemborong bangunan. Kadang juga mengerjakan pekerjaan listrik rumah dan orderannya lumayan banyak. Terkadang kalau pelanggan sudah kenal beliau soal kelistrikan, mereka tetap minta tolong dibantu meskipun hari libur. Untungnya, bapak  ringan tangan dan siap membantu ornag lain yang dalam keadaan sulit. Kerjaannya sampai sore hari, setelah itu disambung dengan buka konter (counter) hape sampai jam sepuluh malam. Setiap hari dan alhamdulillah, anak-anaknya masih bisa sekolah seperti saya meski masih D3.”

“Bapak berarti otaknya cerdas, apalagi ilmunya soal kelistrikan. Ilmu kelistrikan selalu berkembang terus. Kenapa gak coba melamar seperti Bapak agar bisa mengajar juga di bidang yang sama dengan saya?”

“Wah saya kurang tau pak…”

Kereta berhenti di stasiun Klender, tinggal satu stasiun lagi hingga Bapak itu turun di stasiun Jatinegara.

“Nak, pesan Bapak, jika sudah selesai kuliah ini, jangan lupa lanjutkan sekolah hingga sarjana. Karena kalau kau ambil seperti yang Bapak lakukan sekarang, gak banyak orang yang mau berkecimpung. Apalagi soal mesin disel kapal, gak banyak orang berminat. Mesin disel kapal dan kendaraan itu memang berbeda. Kalau mesin disel kendaraan itu hidupnya gak terlalu lama dan cenderung berada di jalanan yang rata. Kalau mesin disel kapal itu harus hidup minimal selama 18 jam dan berhadapan dengan air laut yang cenderung korosif. Dengan keilmuan yang Bapak miliki, banyak kampus yang ingin memakai jasa Bapak, meski sudah cukup tua dan gak oke lagi soal penampilan. Tetapi mereka menghargai pengetahuan yang Bapak miliki. Dan ilmu perkapalan ini, masih kurang peminatnya, makanya orang seperti Bapak yang dipakai terus jasanya. Jadi karena ilmunya kamu juga soal perkapalan meski D3, kalau bisa lanjutkan sampai lulus sarjana ya. Baik, salam untuk bapak ya, kalau bapak  ingin mengajar, hubungi saya ya. Stasiun Jatinegara sudah dekat dan sampai ketemu lagi ya. Assalamu’alaikum”

Tak berapa lama lagi, kereta cl sudah memasuki peron jalur dua stasiun Jatinegara. Banyak penumpang yang akan melanjutkan perjalanan. Ada yang keluar dari stasiun dan ada yang melanjutkan ke peron lima, naik cl tujuan stasiun Kampung Bandan melewati stasiun Duri, Tanah Abang, Manggarai dan menuju stasiun Bogor.

“Baik pak, salamnya nanti saya sampaikan ke bapak . Wa’alaikumussalam.” 

Sementara saya mencoba mengambil hikmah dari cerita tadi, namun kandas karena kereta tiba di stasiun Manggarai. Setelah berhenti sejenak, akhirnya ce-el melanjutkan perjalanan, dan si Anak Muda sudah bergegas ke peron 5 menuju stasiun UI. Saya masih di dalam ce-el sambil menanti kereta singgah di stasiun Gondangdia. Setelah beberapa lama kereta tiba dan saya bergegas naik kopaja dan duduk sejenak setelah lama berdiri di ce-el. 



Kisah ini dapat di lihat pada laman berikut : 

Rumah Kaca

Awalnya saya gak pernah terpikir bisa membuat sebuah blog atau menjadi seorang blogger. Bahkan membayangkan untuk bisa menulis saja tidak pernah. Kejadian ini berawal pada awal tahun 2007 ketika banyak blogger yang sukses sebagai penulis, penjual, travelerfood phtotograph dan itu menarik minat saya untuk mulai menulis dan memiliki sebuah blog. Saya pun tidak banyak riset saat akan memulainya dan apa yang harus dituangkan dalam sebuah blog. Ketika mulai saya pun masih kebingungan soal tema atau topik apa yang akan ditulis. Akhirnya saya menulis sesuai apa yang saya ingat, ingin dan selanjutnya ditulis. Akhirnya tulisan pertama adalah mengenai tema Pemanasan global (global warming). Saya juga gak tau kenapa tema itu menjadi pilihan saya. Mungkin memang saya menyukai sesuatu terkait dengan nature conservation atau alam beserta lingkungannya. Jika kita berbaik dan berdamai dengan alam, alam akan berbaik dan berdamai dengan manusia. Jika manusia berbuat sebaliknya, maka alam juga demikian. Sebagai contoh ketika banyak pohon dilereng bukit yang ditebang dan diganti dengan tanaman palawija, maka alam akan memberikan tuahnya berupa landslide atau longsor. Itu hanya salah satu contoh mengenai alam. Makanya saya pilih alam sebagai tema tulisan di blog saat itu.

       Setelah menentukan pilihan tema tulisan dalam sebuah blog, kemudian saya perlu memilih nama blog-nya apa. Pada awal tahun 2007 hingga 2015, nama blog saya adalah “Green Environment”. Dan saat itu saya tidak berpikir perlu tautan agar pengguna internet membaca blog saya atau terlihat menarik. Hal-hal itu tidak terpikirkan dan hal utama yang saya pikirkan adalah saya dapat menuangkan ide atau pikiran dalam blog saya. Antara tahun 2007 hingga 2015, saya baru menulis dalam blog sebanyak 9 tulisan. What ? Iya. Kenapa waktu yang begitu lama saya tidak bisa menulis banyak ide? Iya banyak faktor seperti males, kerjaan (jadi kambing hitam lagi) dan masalah lain. Hingga pada tahun 2017, saya mencoba membuka diri dan mencari tahu soal tulis menulis hingga berusaha hadir di wokshop yang diadakan oleh kantor. Kebetulan workshop-nya mengundang Jombang Santani Khairen, yang menulis buku “30 Paspor di Kelas Sang Professor” dan Muthia Zahra Feirani sebagai mentornya. Mereka adalah anak-anak muda yang punya visi dalam menulis di usia yang sangat muda dan cukup terkenal. Hal itu juga memberikan inspirasi bagi saya yang sangat malas dalam menulis. Saya juga mencoba ikut beberapa kegiatan bedah buku yang diadakan perpustakaan kantor sebagai pelengkap dan penambah inspirasi saya dalam menulis. Akhirnya di tahun 2017 pula, nama blog saya berganti nama menjadi “Rumah Kaca”

     Ada beberapa latar belakang kenapa nama blog saya berubah menjadi “Rumah Kaca. Alasan pertama adalah soal lingkungan. Adanya peningkatan konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas lainnya di atmosfir menyebabkan efek rumah kaca. Peningkatan gas-gas ini berasal dari banyaknya pembakaran bahan bakar minyak, batubara dan bahan bakar organik lainnya yang melebihi kemampuan tumbuh-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya. Energi yang diserap dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah oleh awan dan permukaan bumi. Dan sebagian inframerah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Jika keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan untuk menjaga perbedaan suhu antara siang dan malam tidak terlalu jauh berbeda. Makanya ide rumah kaca saya ambil sebagai bentuk bahwa tulisan atau ide saya dapat memberikan inspirasi bagi orang lain bukan malah menghambat dan hal ini juga menegaskan bahwa saya juga cinta lingkungan.

Alasan kedua adalah kritikan dan masukan dari pembaca dapat menjadikan inspirasi dan motivasi untuk saya tetap bisa menulis. Harapannya adalah tulisan saya bisa juga menjadi inspirasi bagi pembaca. Berdasarkan pertimbangan itu maka pilihan rumah kaca itu bisa diartikan sebagai tempat saya atau kita ber-“kaca” atau seperti kita melihat kaca. Jika ada yang tidak rapih, ya kita rapihkan. Jika ada gak pas, ya kita seuaikan. Jadi dengan alasan kedua ini saya juga bisa belajar banyak dari kritikan para pembaca agar saya bisa lebih baik lagi dalam menuangkan ide-ide di sekitar kita.

Alasan ketiga adalah hal yang sedikit disambung-sambungkan seperti dejavu. Saya dari dulu tidak banyak mengenal tulisan atau karya Pramudya Ananta Toer. Saya mengetahui beliau merupakan penulis yang selalu dikaitkan dengan keberadaan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), merupakan organisasi kebudayaan yang berhaluan kiri dan dikaitkan dengan gerakan 30 September atau (G 30 S PKI). Tapi kembali ke Rumah Kaca pak Pramudya. Sekilas tentang buku ini yang merupakan tetralogi dari 4 buku beliau dimana buku pertama berjudul ‘Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”. Jika 3 buku sebelumnya menceritakan soal Mingke namun di buku ke-4 ini  bercerita tentang Jacques Pangemanann yang merupakan komisaris polisi Belanda kelahiran Manado yang menyelesaikan studinya di Perancis. Latar belakang cerita buku ini pada masa kebangkitan sekitar awal 1900-an. Pada jejak langkah terakhir, Pangemanann menangkap Mingke alias RM Tas dan mengantar ke tempat pembuangan di Maluku. Kemudian Pangemanann mendapat tugas baru untuk memata-matai berbagai organisasi pada masa itu yang berasal dari Indonesia dan menyusup kedalamnya. Dan Pangemanann menamakan pekerjaannya seperti bekerja di rumah kaca. Makanya Pak Pram menulis bukunya berjudul “Rumah Kaca” yang menceritakan soal pekerjaan mata-mata Pangemanann.

Jadi berdasarkan alasan-alasan diatas, maka begitulah penamaan blog saya yang berdasarkan alasan baik yang sebenarnya maupun yang dikait-kaitkan dengan buku “Rumah Kaca” karya Parmudya Ananta Toer. 


Cerita ini juga bisa dibaca di tautan berikut :  
 https://rulyardiansyah.blogspot.com/2017/12/rumah-kaca.html

Escalator

Gemerlap lampu berwarna-warni dan jejak langkah pengunjung yang lalu lalang selalu menjadi penggemarmu. Keberadaanmu itu selalu dinantikan ketika lift  tidak mampu lagi mengajak para pengunjung pindah dari lantai satu ke lantai yang lain. Secercah harapan muncul ketika tidak ada lagi bangunan yang menggunakan anak tangga statis kecuali di lokasi wisata alam. Suara tawa dan canda selalu menghiasi putaran sistem kami. Ada seorang ayah dengan anaknya, seorang ibu dengan anaknya, seorang pria dengan kekasihnya, seorang nenek tua yang dibantu sanak saudara serta cucunya mencoba berdiri diatas kami. Terkadang ada juga sekelompok pelajar dan olahragawan yang bersemangat menginjakkan kakinya dengan tidak memperhatikan batas-batas kewajaran dan keselamatan diri mereka. Memang sih, kami banyak digunakan di bangunan seperti hotel, stadion olahraga, mall, convention hall, gedung perkantoran, stasiun kereta api dan bandara. Pasar dan beberapa bangunan lama tidak lagi menggunakan jasa kami. Pertimbangan struktur bangunan yang menyebabkan tidak menggunakan jasa kami. Jika ingin menggunakan jasa kami, maka bangunan perlu dibangun secara keseluruhan.  

Seiring dengan perkembangan sebuah kota metropolitan, keberadaan kami pada bangunan publik semakin dirasakan manfaatnya. Etalase, lalu lalang pengunjung, manekin, selalu menghiasi sisi samping dari kami di sebuah pusat perbelanjaan. Kecepatan berputar kami sangat stabil sehingga setiap pijakan para pengunjung semakin terasa nyaman. Pada mulanya kami ditemukan pada tahun 1800-an dan masih banyak penemuan dan inovasi dan perkembangan terkait escalator ini. Banyaknya petunjuk atas penggunaan escalator menjadi terabaikan karena hal-hal kecil. Misalnya jangan menginjak garis kuning sering diabaikan karena pengunjung menganggap hal itu sepele. Mulai dari seorang anak terjatuh hingga terjepit, adalah salah satu bentuk abai terhadap aturan dalam menggunakan esecalator. Penggunaan alas kaki yang tidak tepat juga dapat menyebabkan kecelakaan kecil dalam menggunakan escalator.

Hal ini menjadi sebuah concern saya ketika melihat seorang wanita yang menggunakan pakaian muslim yang sar’i menggunakan escalator. Tidak ada yang salah dengan pakaiannya, tetapi gaya santai dan tidak melihat adanya potensi bahaya saat menggunakan escalator-nya menjadi perhatian saya. Saya juga tidak melihat potensi bahaya hingga akhirnya saya melihat hal ini terjadi tepat di depan saya. Entah bagaimana cara berjalannya tetapi ketika berjalan ada bagian pakaiannya itu langsung tersangkut dalam escalator itu. Tiba-tiba seorang ibu di depan saya langsung menahan agar pakaian itu tidak terhisap ke dalam putaran esecalator itu. Dalam sekejap juga saya akhirnya berusaha membantu untuk menarik pakaian yang tersangkut di escalator itu. Saya berusaha membantu karena sikap ibu yang membantu itu sangat spontan menahan lajunya pakaian yang terhisap escalator. Posisi duduk pun dilakoni si ibu yang baik hati. Kami berjibaku menahan pakaian itu dalam hitungan detik hingga terlepas dan sobek dibagian bawah baju muslim itu. Meski selesai semua prahara dalam escalator itu, si ibu dengan pakaian muslim itu mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu yang bersusah payah menahan pakaiannya.
          
Kejadian ini membuat saya lebih sadar, dimanapun kita tetap selalu waspada agar tidak membuat orang lain repot dan khawatir. Banyak hal yang memang harus kita pikirkan namun kewaspadaan adalah salah satu cara untuk berikhtiar agar kita bisa melakukan banyak hal baik di dunia yang fana ini. Mari kita selalu aware terhadap bahaya di sekitar kita, salah satunya penggunaan escalator.


Kisah ini dapat juga dilihat pada : 

Posyandu

Iya Posyandu. Kenapa Posyandu ? Iya. Karena keberadaan posyandu itu saat ini sudah jarang terdengar. Pada jaman dulu, keberadaan posyandu sangat membantu warga di sekitar kecamatan atau kelurahan tempat tinggalnya. Posyandu juga menjadi alternatif bagi warga yang memiliki keterbatasan biaya berobat ke rumah sakit. Adanya Posyandu itu cukup meringankan biaya berobat untuk pertumbuhan anak-anak balita dimana biaya suntik cukup mahal saat itu. Apalagi saat itu, saya ditempatkan di daerah Kendari, Sulawesi Tenggara pada tahun 1999. Saat itu, biaya berobat cukup mahal dan jumlah dokter spesialis anak sangat terbatas. Makanya ketika anak pertama lahir tahun 2002, kami memanfaatkan keberadaan Posyandu. Terlintas bagaimana penyakit Dipteri sudah menjadi Kejadian Luar Biasa di beberapa wilayah di Indonesia. Jadi dalam pikiran saya, kemana Posyandu ini? Kok bisa kejadian seperti ini terjadi? Apakah warga atau masyarakat sudah tidak lagi terlayani dengan adanya Posyandu atau memang Posyandu sudah tergantikan dengan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sejak adanya pergantian nama dari Askes ke BPJS? Apapun itu, keluarga kecil saya termasuk yang menikmati manfaat adanya Posyandu itu. Sebelum lebih jauh soal manfaat Posyandu yang saya rasakan, saya coba melakukan riset dikit asala muasal Posyandu.
          
Posyandu pertama kali diperkenalkan sejak presiden kedua Indonesia, Soeharto. Posyandu itu merupakan kepanjangan dari Pos Pelayanan Keluarga Berencana – Kesehatan Terpadu[i]. Posyandu merupakan kegiatan dasar yang diselenggarakan dari, oleh dan untuk masyarakat yang dibantu oleh petugas kesehatan. Jadi posyandu merupakan kegiatan swadaya masyarakat di bidang kesehatan dengan penanggung jawab adalah kepala desa atau lurah untuk di perkotaan. Konsep Posyandu berkaitan erat dengan keterpaduan. Keterpaduan ini menyangkut aspek sasaran, petugas penyelenggara, dana dan lainnya. Tempat Posyandu biasanya dilaksanakan di balai dusun, kelurahan, RW dan tempat yang representatif lainnya. Posyandu ini diprakarsa oleh Presiden Soeharto dan pernah menjadi kebanggan rakyat seperti juga adanya LKMD dan Siskamling. Setiap bulan, masyarakat berbondong-bondong datang ke Posyandu yang dikelola berbasiskan komunitas. Ada tenaga sukarelawan – yang telah mendapatkan pelatihan dari dinas kesehatan setempat – memberikan panduan kesehatan bagi ibu hamil dan menyusui. Posyandu juga memberikan vaksinasi dan makanan suplemen kepada bayi dan balita. Posyandu juga menjadi deteksi dini kasus-kasus malgizi pada bayi dan balita.

Banyak manfaat dari Posyandu. Mungkin orangtua yang lahir di jaman milenial tidak banyak mengetahui soal Posyandu. Mungkin juga tau tetapi tidak banyak menggunakan manfaat dari keberadaan Posyandu itu. Kembali ke pengalaman saya, bahwa ketika ada gejala aneh saat kehamilan, kami baru ke dokter spesialis kandungan yang saat itu hanya ada 2 dokter. Kebetulan salah satu dokter buka praktek malamnya di apotik dekat dengan tempat tinggal kami. Dokter yang lain agak jauh buka prakteknya dari lokasi kami tinggal. Dokter yang buka praktek ini menjadi alternatif kami memeriksakan kesehatan janin dan proses kelahiran atas anak kami yang pertama. Ketika anak pertama kami lahir pun, dokter Slamet ini pun yang menangani proses kelahiran anak pertama kami. Dalam hal konsultasi bayi dan balita, beliau juga menyarankan agar bisa memanfaatkan Posyandu di sekitar perumahan atau kelurahan setempat.

Setelah mencoba cari informasi soal Posyandu ini, akhirnya kami menemukan Posyandu yang cukup representatif dalam hal pencegahan dan pengobatan sebagai rujukan kesehatan. Kami menemukan Posyandu yang dikelola warga sekitar dengan tempat di lapangan perumahan Bank Indonesia yang diadakan setiap tanggal 11 tiap bulannya. Jika tanggal itu jatuh hari libur, maka pelaksanaan dijadikan maju ke hari sebelumnya. Segala vaksin, suplemen makanan dan nasehat atas keperluan gizi, kami lakukan sepanjang masih bisa kita jangkau. Anak saya jarang berobat ke rumah sakit kecuali terpaksa sekali. Hal ini bisa dilakukan di Posyandu. Jika sakit cukup mengkhawatirkan, kami ke rumah sakit, tidak harus menunggu hingga bulan depan. Informasi di Posyandu sangat cepat beredar, bahkan informasi yang tidak jelas pun beredar di sini. Informasi yang baik, kita ambil sebagai rujukan. Jika tidak baik, kita simpan sebagai catatan agar berhati-hati.



Saya cukup lama tinggal di Kendari. Penempatan sejak 1999 hingga 2006 sudah cukup mengenal kota itu sebagai kota yang nyaman dan bersih untuk pertumbuhan anak pertama kami. Setelah 4 tahun anak pertama kami tumbuh menjadi anak yang sehat, kami perlu banyak berterima kasih kepada Posyandu. Pilihan dokter spesialis anak dan kandungan yang terbatas, fasilitas kesehatan yang mahal dan agak jauh dari lokasi tinggal serta terbatasnya informasi tentang kesehatan di wilayah endemik demam berdarah itu, kami rasanya patut bersyukur adanya Posyandu telah memberikan nikmat dan kenyamanan kami dalam memberikan fasilitas kesehatan minimum kepada anak pertama kami. Jadi dengan setiap bulan datang ke Posyandu itu, kami jadi banyak kenal dengan orang baru, informasi kesehatan baru, cara penanganan penyakit yang baru dan banyak hal lainnya. Alhamdulillah anak kami hingga saat ini sehat meski kondisi kota Kendari, yang memiliki histori sebagai daerah endemik demam berdarah. Makanya anak kami terkenal dengan istilah “Anak Posyandu” saat itu. Ketika ada kejadian luar biasa Dipteri, saya jadi berpikir, kemana Posyandu itu?

[i] https://id.wikipedia.org/wiki/Pos_Pelayanan_Terpadu

Kisah ini dapat juga dilihat di :