Tampilkan postingan dengan label Pegawai Baru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pegawai Baru. Tampilkan semua postingan

30

Dahulu, seringkali ku bertanya pada sejawat, tentang ukiran rasa, pada permulaan lembaran bahtera rumah tangga. Bagaimana pernikahanmu? Seru! Pungkasmu. Tanpa memahami sejatinya, ku hanya mengangguk, tersenyum mengikuti sumringahmu.


Dahulu, seringkali ku bertanya, apakah "seru" kita masih dalam satu makna, atau sudah berbeda warna? Beberapa tahun silam, seorang sahabat berkata ingin menikah, bagaimana pendapatmu? Saat itu Ia bahkan belum menyelesaikan studi. Menikah di umur 21 tahun, berprofesi sebagai pekerja keras. Ya, pekerja keras. Semua hal Ia lakukan, mulai dari imam masjid, guru ngaji, tukang fotokopi, hingga menjaja ikan.


Bagaimana pernikahanmu?


Semenjak pindah, malam ku tak pernah panjang. Bukan karena begadang, melainkan pada nyanyian pria-pria kesepian yang tak jauh dari kontrakan. Di malam yang lain, pernah juga ada pasangan muda-mudi bertengkar di tengah malam. Lagi-lagi di depan kontrakan. Saling maki dan berteriak. Dari jendela lantai 2 ku amati, satu per satu warga keluar, bukannya melerai, mereka justru menjadikan muda-mudi tadi sebagai tontonan. Di lain hari, seorang tetangga sepuh bertanya, apakah kalian terganggu? Kami hanya tersenyum. Sejauh ini tidak masalah, Nek.


Di hari-hari pertama pernikahan, ku bertanya padanya, suami seperti apa yang kau inginkan? Ku lihat dia sejenak diam, sepasang bola matanya balas menatapku. Tak banyak yang ku inginkan, banyak hal yang ku suka darimu, tentu juga ada yang tak ku suka, jika kau berkenan mendengarkan.


Bagaimana pernikahanmu?


Ah, iya, pernikahan. Rasanya terlalu banyak kebetulan yang menuntunku pada takdirnya. Kebetulan diklat DTSD bareng. Kebetulan teman kuliah menikah di kota kelahirannya. Kebetulan sama-sama suka. Eh.. Hmm, sepertinya hal ini perlu saya tanyakan kembali padanya.


Proses yang kami jalani tidaklah lama. Januari 2020, kali pertama ku bertemu orang tuanya. Sebulan berselang, entah angin musim apa, tiba-tiba saja Ayah ku bilang ingin ke Jakarta. Akhirnya, sebelum pulang ke Dharmasraya, kami putuskan untuk mampir sejenak di Bandar Lampung.


Masih jelas dalam ingatanku. Siang itu, saat ku utarakan niatku di hadapan kedua orang tuanya, terlihat sedikit gurat keberatan dari sang Ayah. Bukan terhadap pribadiku, melainkan… Tidak kah terlalu cepat? Bagaimana jika tahun depan? Ruang tamu mendadak sunyi, menyisakan suara detik jam dinding yang tak peduli dan masih saja berbunyi. Tik.Tok.Tik.Tok. Sesaat ku lirik gadis yang ku pinang. Ku kira Ia tertunduk diam seperti di film dan novel cinta. Nyatanya, Ia balas melirik ku, seakan berkata, hayoo, wani ora?


Aku tak mendekati putri Om dan Tante hanya untuk bermain semata. Keseriusanku, dibuktikan dengan melabuhkan perasaan ini ke tempat yang seharusnya. Berlama-lama dalam hubungan yang tidak pasti selain mudharatnya, aku tak menginginkannya. Dan aku yakin, putri Om dan Tante juga berpendapat demikian.


SE 22 bisa dikatakan sebagai tiket pinanganku. Pertunangan yang direncanakan dilaksanakan pada minggu terakhir bulan Mei, usai lebaran Idul Fitri, terpaksa mundur sebab pandemi. Kehadiran SE 22 saat itu bagaikan cupid perjodohanku dengannya. Bermodal WFHb 10 hari kerja, terlaksanalah pertunangan di Tanjung Karang Pusat, Bandar Lampung, pada 26 Juni 2020.


Bagaimana pernikahanmu?


Ah, iya, pernikahan. Malam ini adalah malam ke-30 terhitung saat para saksi bersaksi SAH atas pernikahan kami. Masih terngiang dalam benak saat ku bertanya, bagaimana perasaanmu? Sembari menyudahi tilawah, Ia tersenyum, saat ini hatiku bagai kebun bunga, dengan lebah-lebah yang memanen sari, dan seorang petani yang berlalu lalang sembari bernyanyi, kau tahu siapa itu si petani? 


Suatu waktu, sekembali dari masjid, Ia antusias menyambutku, terburu-buru mencium tangan. Dengan masih menggunakan mukenah, Ia sumringah, memamerkan gigi kecil putih yang berjejer rapi, aku buat takoyaki. Di lain hari, masih sekembali dari masjid, ku temui Ia tertidur dalam keadaan memeluk mushaf coklat hadiah pernikahan. Memang benarlah kata para alim, istrimu adalah hadiah yang diturunkan surga untukmu. Padahal Ia juga bekerja. Tapi, selalu saja kudapati makanku tersedia, pakaianku rapi, serta rumah yang selalu bersih. 


Belakangan, sesekali ku temui, selepas dari masjid, kulihat Ia khusyuk berdoa. Tak ingin mengganggu, ku duduk tak jauh dari tempat sujudnya. Sejenak kemudian, sedu perlahan terdengar menjadi tangis. Segera ku beranjak ke hadapannya. Melepas tangan yang menutupi wajahnya, menatap, lantas bertanya, apa ada hal yang ingin kau ceritakan padaku? Ia masih saja menangis, terisak, dekapku pun semakin erat. Adakah yang tidak kau suka dariku? Lama ku menunggu, hingga suara lirih keluar dari mulutnya, kau tau kenapa bayi yang lahir selalu menangis? Tidak, jawabku. Saat ini aku adalah bayi, yang tak satupun tahu kenapa Ia menangis, bahkan diriku sendiri


Jadi, bagaimana pernikahanmu? Tanyaku pada sosok di seberang cermin. Ku lihat kau sejenak diam, mungkin bingung, atau menggali rasa, entah lah. Sesaat kemudian, kau sumringah. Seru!




Jakarta, 7 September 2020

Ayat Tanpa Huruf, Tanpa Harakat

Dalam mimpi ku menyelingar
Terlahir sebagai pelukis langit
Yang menjadikan awan sebagai kanvas
Menggambar rasa pada setangkai mawar
Kuntum, mekar, kembang, harum, semerbak, menguning, dan layu

Kau, pun juga aku saling asing
Bak bisu menyenandung sunyi
Memilih lantai sebagai teman
Menanam rasa hingga berkecambah
Menguntum, menjadi sekelopak bunga

Siang itu, pada temanku kau titipkan tanya
Tentang satu jari yang menanti puan
Yang membuat malamku seketika panjang, menduga-duga
Kau kah si penanya?
Ah Tuhan, Kau senang bercanda

Lama sekali kuntum menjadi mekar
Hingga suatu senja di penghujung tahun
Tatkala kudapati jawabmu di dermaga
Saat ku tanya mengapa
Aku sudah menantimu selama ini

Hari berlalu berganti minggu
Minggu perlahan bertukar bulan
Mekarnya mawar indah mengembang
Lamat-lamat kuamati cincin di jemari
Inikah makhluk yang dicipta langit dari rusuk ku?

Kini, perahu penantian perlahan menambat
Pada sebuah dermaga suci bernama sakinah
Berkata tetua, ruqiyah adalah ayat telinga
Sedang istri, ayat hati sang suami
Ialah ayat, tanpa huruf, tanpa harakat



Jakarta, 28 Juli 2020

-----

https://drive.google.com/file/d/1cEUQzDAnwslFDzx1BZfLmIkP88eTZR-y/view?usp=sharing

Thai Tea

Dentingan kecil terdengar dari hp ku. Mas besok pesawat jam berapa? Tanyamu. Kala itu sore, menjelang setengah lima. 

Beberapa laman kerja masih terbuka di layar monitorku. Setidaknya 2 nota harus naik sore ini. Ku ketuk ponsel ku. Menyingkirkan pesan. Mencari namamu. 5m. Sip, sudah saatnya ku membalas.

Jam 2 take off, baiknya Mas ke damri Gambir jam berapa ya? Tanyaku. Ga tertarik nyoba kereta bandara Mas? Balik mu bertanya. Ku jeda lagi sesaat, menunggu beberapa menit, untuk kembali membuka pesan mu. 

Kembali jemariku menari di atas papan ketik usang kelahiran 2010-an. Menyelesaikan kata demi nota. Ku ketuk lagi ponselku. Menyingkirkan pesan. Mencari namamu. 9m. Hm...tanggung, 1 menit lagi deh.

Mas belum pernah, ntar nyasar. Disertai emoji tertawa. 1 menit, 3 menit, berlalu. Baru ku lihat typing-mu di menit ke 8. Ya ampuun, kayak anak tk aja Mas, nyasar. Diikuti emoji mencibir. Aku tersenyum. Membayangkan mu mencibir seperti itu. Ah, mungkin aku mulai gila.

Ku singkirkan kembali pesan-pesan yang tak ku butuhkan. Mencari namamu. 6m. Biar Mas ga nyasar, kenapa gak temani Mas sekalian? Hehe. Awalnya ku bercanda. Ternyata.... Ah. Sepertinya ku benar-benar gila.

Mas otw, udah di gojek. Sampai jumpa di sana ya. Buru-buru sekali ku berangkat. Khawatir kau menunggu. 9.30, ku sudah di tempat. Lebih awal 20 menit dari waktu yang disepakati. 

Sudah 2x ku bolak balik toilet. Bercermin. Merapikan rambut. Membasuh muka. Oke, kau sudah ganteng boy. Pede ku pada sosok seberang cermin. 

Ku beralih duduk. Memeriksa ponsel. Tak ada pesan dari mu. Assalamulaikum, Mas, udah dari tadi? Sapamu ramah sembari tersenyum. Aku gelagapan.

Udah sarapan? Tanyaku. Belum, tadi beli roti doang di alfamart, khawatir Mas menunggu. Ujarmu. Jadilah pahlawan, boy. Hatiku berbisik. Ku amini. Lantas berdiri. Memesan kopi, dan roti.

Ku ingin waktu berhenti. Sedikit sesal memesan penerbangan terlalu dini. Mendengarmu bercerita, hatiku kehilangan darah, berganti bunga. Apakah ku bermimpi?

Kita berganti angkutan, menggunakan kereta layang. Menuju terminal 2D. Masih 3 jam sebelum lepas landas. Adzan berkumandang. Mas kita sholat dulu yuk ntar. Oh Tuhan. Senyum mu, membuat ku gelagapan. Lagi. 

Mau makan siang nggak? Tanyaku. Kau hanya mengangguk. Mau dimana?. Terserah, asal jangan fastfood. Ujarmu. Oke, Solaria aja. Putusku. 

2 jam sebelum check-in ditutup. Kau bercerita banyak hal. Sembari memilih menu makan siang. Nasi goreng seafood, dan teh manis anget menjadi pilihanmu. Pilihanku?

Kita membahas beragam hal. Berganti topik dari satu ke yang lain. Mulai dari Ojt, pertemuan pertama di lantai 12, latsar, temanmu yang menyempatkan jauh-jauh datang dari Toli-Toli, hingga rencana tahun baru di Solo. 

Udah waktunya check-in, Mas. Ucapmu sembari membalik sendok dan garpu. Iya. Tanggapku. Thai tea Mas kok ga dihabisin? Ku tersenyum. Hayuk. Sembari menyeret langkah menuju pintu 3.

Duhai, ingin sekali ku bertanya, manismu terbuat dari apa? Bahkan thai tea ku pun tak percaya diri di hadapanmu. Kau hantar ku ke pintu batas. Melambaikan tangan. Salam perpisahan. Di kejauhan kau berbisik, sampai jumpa 2 Januari.
Melambai, lantas berbalik.

Ah, kau belum benar-benar pergi. Tapi ku sudah rindu.

Jakarta, 21 Desember 2019.

AKU (TAK) INGIN JADI PNS

ngiiing...ngiiing…

Rasanya sudah belasan kali telepon pintar Izzam bergetar. Ia tahu itu panggilan masuk, namun begitu enggan untuk beranjak dari kasur kusam yang sudah Ia tiduri selama 4 tahun terakhir. Di lantai dasar asrama, samar-samar terdengar gelak tawa para santri. Berebut bermain tenis meja. Turnamen kecil-kecilan setiap akhir pekan. Siapa saja yang keluar sebagai pemenang, berhak tidak piket selama seminggu. 

Kamar ukuran 3x3 meter itu perlahan sumuk. Kipas angin kecil yang sedari tadi tengok kanan-kiri tak kuasa melawan rambatan panas mentari yang kian meninggi. Izzam melirik dinding, jam setengah 10 pagi. Perlahan Ia duduk, bersender pada dinding, lantas merenggangkan kaki dan tangannya sembari menguap. Ah, sepertinya pemuda tanggung itu kelamaan tidur. 

ngiing...ngiiing…

Gawai Izzam kembali bergetar. Sekali, dua kali, tiga kali, lantas mati. Sejurus kemudian kembali bergetar. Huft. Enggan sekali rasanya berdiri. Entah kenapa, semakin lama tidur, tubuhnya justru semakin lelah. Dengan merangkak dan sedikit mengangkat tubuh, susah payah Ia menggapai hape yang berada di atas meja belajarnya. Begitu malas. Padahal, meja belajar tersebut berada tepat di sebelah kasurnya, yaah meski sedikit agak tinggi.

"Halo, Assalamulaikum"
"Ha ndak ka ba angkek telpon Bunda bujaang?", omel wanita paruh baya di seberang telepon. 
"Mbok salamnya dijawab dulu, Amaaay"
"Oh iya, hehe. Waalaikumussalam. Ha jadi kenapa telpon Bunda ga diangkat dari tadi?"
"Tadi ketiduran Nda, habis kajian, nyampe kamar langsung tepar. Hehe"
"Ondeh mandeh anak bujaaang.. @&_+#;'!#)#/&+*;:......", celoteh Emak Izzam tanpa henti.

"Hmm, sepertinya tausiah ini akan lama", gumam Izzam. Dari dulu Bunda memang begitu, paling jengkel kalau mendapati anak-anaknya cuma bermalas-malasan apalagi tidur-tiduran di pagi hari.

Izzam beringsut, mencari udara segar. Masih mengenakan sarung, Ia beralih ke jemuran di ujung lorong asrama. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah kusut Izzam. Sesekali memainkan poninya yang sudah panjang. Semenjak menyandang gelar "pengangguran" 7 bulan lalu, Ia tidak sekalipun memangkas rambutnya. 

"Sampun Mas turu ne?", sapa Sigit dari ruang perpustakaan. Akhir-akhir ini pemuda kelahiran Karanganyar yang merupakan teman sekamar Izzam itu terlihat sering me-murajaah hapalannya. Meski usia mereka terpaut 2 tahun, tapi semangat hijrah Sigit jauh melebihi izzam.
Izzam melambai tangan mengabaikan, kemudian berlalu.

"Jadi apa yang ingin Abang lakukan sekarang? Udah 7 bulan semenjak kelulusan Abang", tanya Bunda.
Izzam terdiam sejenak, menatap biru langit tanpa awan, menggapai patahan hanger yang tergeletak di lantai, sembari memukul-mukul ringan salah satu tiang jemuran. 
"Bunda ingin abang melakukan apa, Nda?", Jawab Izzam.
"Bunda terserah Abang. Ingin jadi apa Abang, itu hak nya Abang. Ayah Bunda cuma bisa mendoakan dan mendukung Abang"
"Abang buntu, Nda"
"Cerita lah Nak"
“Abang ingin kerja Nda, pengen di perusahaan atau kantor pengacara”
“Terus?”, tanya Bunda di kejauhan.
“Kemaren Abang di telpon Kak Tua, beliau menyarankan lanjut kuliah. Kak Tua bilang, memulai karir dengan gelar master itu akan membuat karir cepat naik. Tapi Abang khawatir, Nda. Perusahaan BUMN misalnya, mereka ga butuh gelar master di bagian legal-nya. Buat apa mempekerjakan lulusan S2 kalau mereka bisa mendapatkan fresh graduate S1 dengan bayaran lebih murah. Coba lihat Bang Rul, dia lulusan S2 di kampus ternama. Tapi, begitu sulit baginya mendapat pekerjaan. Abang udah bilang sama Kak Tua, untuk saat ini yang Abang butuhkan hanyalah pengalaman. Setidaknya nanti dengan pengalaman itu, Abang punya posisi tawar yang lebih tinggi jika apply kerja di tempat lain. Kalau garis tangan Abang baik, toh mungkin saja perusahaan tempat Abang bekerja mau memberi beasiswa untuk lanjut kuliah S2. Banyak kok Nda kakak tingkat Abang yang seperti itu. Abang tidak ingin menjadikan S2 sebagai pelarian atas status pengangguran Abang saat ini Bunda. Tapi Kak Tua kayaknya ga sependapat dengan Abang”
“Emang Kak Tua bilang apa?”, tanya Bunda penasaran.
“Kak Tua bilang kalau Abang seperti hidup ga berTuhan, Nda”
“Eh, kok?”, sela Bunda.
“Soalnya abang begitu mengkhawatirkan hal-hal yang sudah dijamin oleh Allah, Nda. Kak Tua bilang jauh sebelum ruh kita dihembuskan, suratan takdir kita baik rezeki, jodoh, dan kematian sudah tertulis di lauhul mahfudz. Allah pasti tidak akan pernah mengecewakan hamba-Nya. Tapi Ndaa..", Izzam berhenti sejenak, nafasnya sedikit menderu, mencoba mengendalikan diri, kemudian melanjutkan.

"Beritahu Abang, Nda. Salahkah Abang jika takut tidak mendapatkan pekerjaan karena minimnya pengalaman, sementara gelar Abang sudah S2? Salahkah Abang jika ingin membalas sedikit dari jasa Bunda melalui gaji yang nanti Abang terima? Abang tidak ingin terus-terusan membebani Bunda dengan UKT yang begitu mahal. Memang Abang dapat tawaran beasiswa 50% untuk program internasional setelah lulus kemaren, tapi itu tetap saja berat Bunda. Belum lagi adek yang masih kuliah. Abang ingin meringankan beban Ayah dan Bunda. Salahkah Abang Bunda?”

Rasanya begitu banyak hal yang mengganjal di hati pemuda berdarah Minang tersebut. Di saat para santri asik dalam hiruk-pikuk turnamen, tertawa, saling membuli dan menyombongkan diri setiap memperoleh poin, Izzam tertunduk lesu di pojok lantai 2 asrama. Pikirannya melayang, melesat jauh ke masa lalu, memutar kembali potongan kenangan lama. 

Kembali Ia saksikan, bagaimana perjuangan Ayah dan Bunda menguliahkannya. Potongan demi potongan kisah terputar otomatis dalam benak Izzam, layaknya film dokumenter. Momen pahit ketika Ayah jatuh, kehilangan pekerjaan disaat Izzam tengah berada di tahun akhir bangku SMA. Dua tronton yang saat itu menjadi sumber penghasilan utama Ayah raib, terlilit utang. Kapal tambang emas di hulu Sungai Batang Hari yang karam, lapuk dimakan air dan lumut sebab lama tak beroperasi terhalang izin pemerintah setempat. Kebun karet, yang dirampas begitu saja oleh pemuka adat, berdalih bahwa tanah tersebut adalah milik kaum. Padahal, Tuhan menjadi saksi telapak tangan Ayah, Bunda, dan Izzam yang melepuh karena terlalu lama memegang parang dan cangkul saat membuka lahan. Belum lagi perjuangan Bunda yang tak terbilang, menjadi tulang punggung kedua semenjak Ayah jatuh. Bunda yang rela menanam sendiri sayuran di belakang rumah, menjahit sendiri baju sekolah yang sobek, berjualan makanan ringan sembari mengajar murid SD, demi menabung untuk membayar uang kuliah putra-putrinya. 

"Abang..", sapa Bunda lembut. Izzam diam, menunggu Bunda melanjutkan kalimatnya.
“Kekhawatiran abang itu suatu hal yang wajar, Nak. Bunda pun ketika seumur Abang juga mengkhawatirkan hal yang sama. Justru Abang sekarang beratus kali lebih beruntung dari Bunda. Abang lulus dari universitas yang cukup bagus, nilainya pun bisa dikatakan memuaskan. Sementara Bunda? Bunda hanya lulusan sekolah keguruan, Nak. Untungnya dulu orang-orang pada gak suka jadi guru, jadi Bunda bisa lulus. Bunda ga begitu pintar, Nak.  Dulu profesi guru itu selain gajinya kecil, juga ga begitu dipandang oleh masyarakat. Abang tahu ga? Sebenarnya setelah Abang lahir, dulu Bunda sempat mau berhenti menjadi guru. Namun karena permintaan almarhum nenek, Bunda akhirnya bertahan. Ayah pun juga mendukung penuh. Bunda ingat betul pesan Ayah waktu itu, boleh jadi suatu saat nanti usaha Ayah jatuh, dan ketika hal itu terjadi anak-anak Bunda tidak terlantar sekolahnya. Dan qadarullah, kondisi kita sekarang persis seperti yang di bilang Ayah waktu itu kan? Artinya Abang, memang Allah sudah mengatur semuanya, tapi perlu diingat, beras tak akan menjadi nasi kalau tidak ditanak. Tawakal tanpa ikhtiar itu sia-sia, Abang. Pun sebaliknya, ikhtiar tanpa tawakal itu sombong. Nah tugas kita selaku hamba, menyeimbangkan keduanya”

“Jadi menurut Bunda, Abang harus bagaimana?”, tanya Izzam.
“Abang udah istikhoroh?”
“Belum, Nda”
“Istikhoroh lah, Nak. Setiap kali Abang akan memilih apapun, entah itu pekerjaan, sekolah, atau calon istri, selalu lah libatkan Allah. Nanti Allah akan kasih kode-kode biar Abang ambil jalan ini atau itu”
“Bagaimana Abang bisa tahu kalau itu kode dari Allah, Nda?”
“Hm.. mungkin saja dari mimpi, masukan-masukan dari Ustadz Abang, dorongan dari sahabat-sahabat Abang, dan dari keluarga juga tentunya”
“Jadih, Nda. Semoga nanti malam Abang bisa terbangun dini hari”, patuh Izzam.
“Tapi, Bang. Menurut Bunda, setiap peluang-peluang yang ada sekarang, coba lah. Karena ketika Abang memutuskan tidak mencoba, persentase keberhasilan Abang itu nol. Namun ketika Abang mencoba, persentase keberhasilannya menjadi 50-50. Ini yang tadi Bunda bilang ikhtiar, Nak”
“Maksud Bunda?”
“Abang coba saja semuanya, sembari Abang masukin lamaran ke berbagai perusahaan atau kantor pengacara, abang juga nyiapin berkas untuk S2 Abang. Mana yang nanti diterima, berarti itu yang terbaik kan?”
“Baik Nda, insyaAllah”
“Satu lagi, hmm… kalau boleh jujur, besar harap Bunda agar Abang ikut CPNS tahun ini. Kalau Abang tertarik. hehe”, ujar Bunda dengan sedikit bercanda.

“Abang sama sekali tidak bercita-cita jadi PNS, Nda”

(bersambung)

PegawaiBaru, catatan tahun lalu.

Pesona Separo Agama (2)


Kelam shubuh perlahan berganti terang, pertanda pagi kan menjelang. Jauh di ufuk timur, mentari tampak mendaki cakrawala, menebar kehangatan. Cahaya kuning keemasan perlahan menembus jendela kaca. Kerlap-kerlip terhalang dedaunan Mangga. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar deru motor dan mobil silih berganti. Sesekali diselingi suara penjual gorengan, berlalu lalang, menjajakan pisang memutari komplek Pandega Marta. 

Bagi sebagian orang, melanjutkan tidur di pagi akhir pekan adalah kenikmatan yang tiada duanya. Apalagi kalau hujan, bersembunyi di balik selimut tebal sungguhlah nikmat Tuhan paling hakiki. Namun tidak bagi Izzam, Fattah, dan Ardi. Dua tahun mereka ditempa. Tak hanya diajari aqidah, fiqih, dan tafsir, melainkan juga shiroh. Saban hari ditausiahi bagaimana Nabi dan para sahabat memulai pagi, keutamaan berlama-lama di masjid sembari menunggu waktu syuruq, dan sebagainya. Tak heran ketika mata begitu berat, selalu saja terngiang di benak mereka QS. Al Jumu’ah ayat 10 yang sering digaungkan asatidz (jamak dari kata ustadz) saat mendapati beberapa santri tidur waktu kajian. Faidzaa qudiyatis sholaatu fantasyiru fil ard. Tatkala telah kau tunaikan sholat, maka bertebaranlah di muka bumi untuk mencari karunia Allah. 

Izzam melirik pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukan pukul 06.10, 2 jam menjelang kepulangan. Awalnya pemuda tanggung itu berencana pulang bersama teman-temannya Minggu malam, dan tiba di Jakarta Senin pagi. Namun karena satu dan dua hal, Izzam terpaksa pulang lebih awal. Hatinya tak karuan. Mei selalu saja memenuhi isi kepalanya. Sehingga berlibur pun sepertinya sia-sia. Meski 2 malam, kerinduan yang sekian lama bersemayan dalam relung hatinya pada kota penuh kenangan itu setidaknya tersampaikan. 

Ga sarapan dulu, Zam?” ujar Fatah.
kuy, aku kangen makan di Palanta”, celetuk Izzam sembari memasukkan potongan terakhir celananya ke dalam tas.
“rumah makan Padang itu? Emang udah buka?”, sahut Ardi dari kamar sebelah.

---

Gimana kerja di Ibu Kota, Zam?”, tanya Ardi mencomot sembarang topik.
“Berat, orangnya pada gak ramah. Belum juga lampu ijo, udah pada tin tin”, jawab Izzam sembari menyantap potongan lontong sayur yang Ia pesan.
“Yaudah tinggal resign toh”, usul Fattah.
“gila aja, ente kira gampang masuk kemenkeu?”, sanggah Ardi. Fattah terkekeh.

Usai membayar sarapan, mereka beringsut keluar menuju parkiran. Langit tampak redup. Cahaya mentari perlahan ditutupi awan. Berganti wajah, menyisakan langit kelabu. Sesekali Izzam mendongak langit. Beberapa tetes hujan jatuh membasahi lensa kacamatanya. Padahal satu jam yang lalu, cerah langit begitu menjanjikan.

“Mau hujan nih, aku naik gocar aja ya ke Lempuyangan?”
“Lah ga mau dianterin?”, tanya Fattah.
“Tau nih sok-sok an, biasanya dulu juga nyusahin pas mondok”, ejek Ardi.
“Yaudah, tapi gue gak tanggung jawab ya kalo lo pada kehujanan”, ujar Izzam dengan gaya bicara anak kota. 
anjaay!”, sahut Fattah dan Ardi bersamaan.

Lempuyangan mulai tenggelam dalam rutinitas. Kereta silih berganti berhenti. Seberapa banyak yang turun, sebanyak itu pula yang naik. Dari kejauhan terlihat tukang parkir melambaikan tangan, ngode kalau masih ada slot kosong. Satu dua mobil terlihat hanya menurunkan penumpang, lantas tancap gas meninggalkan pintu masuk stasiun. Di kios-kios seberang stasiun, beberapa anak terlihat antusias menatap langit. Sembari memegang payung, berharap hujan segera turun. 

Izzam melirik angka di jam digital Fattah, sudah hampir pukul 8 pagi. Tak lama lagi kereta Mataram Premium yang akan Ia tumpangi menuju Senen segera masuk. Setelah berbasa-basi, Izzam melangkah, mengambil antrian mencetak tiket. Tadinya Fattah dan Ardi bersikukuh menemani hingga Izzam naik kereta. Namun karena langit semakin padam, Izzam memaksa mereka untuk kembali. Meski Ardi berdalih Ia punya 2 jas hujan yang bisa dipake mereka pulang. 

Pemuda berdarah Minang itu langsung masuk ke ruang tunggu keberangkatan begitu selesai mencetak tiket. Setelah menunjukkan KTP, penjaga loket check-in mempersilahkannya masuk. Rintik hujan terdengar semakin keras dari langit-langit platform stasiun. Anak-anak yang sedari tadi memegang payung, mencak-mencak tertawa, menendang air. Satu dua anak terlihat mengiringi Ibu-Ibu umur 40an menuju pintu masuk, sesaat kemudian mendapat beberapa lembar uang 2000an. Sepertinya Fattah dan Ardi kehujanan, batin Izzam. Ia meluruskan kaki, menaikan resleting jaket, menghalau dingin musim hujan bulan Maret, menunggu jemputan. 

Tepat pukul 8.10, kereta yang akan ditumpangi Izzam merapat. Semenjak launching pertengahan tahun 2017 lalu, begitu sulit mendapatkan tiket KA Mataram Premium, apalagi weekend. Wajar saja, meski tergolong kelas ekonomi, kereta ini layaknya eksekutif. Meski rapat, setiap penumpang mendapatkan kursinya masing-masing. Sandaran kursi pun bisa diatur sesuai selera. Izzam pun beranjak, bersama penumpang lainnya, menuju gerbong masing-masing. Gerbong 9, nomor kursi 1B. Begitu tercetak di tiket yang digenggam Izzam. Dekat toilet memang, tapi tidak ada pilihan lain. Kursi satu-satunya yang tersisa untuk keberangkatan pagi ini.

Kereta melaju pelan. Perlahan menambah kecepatan. Roda besi kereta terdengar merangkai irama setiap kali melewati bantalan rel. Izzam mengeluarkan gawai dari saku dalam jaketnya. Membuka kontak, lantas menelpon seseorang. Seseorang yang begitu Ia sayangi. Seseorang yang bahkan tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di Bogor beberapa waktu lalu. 

“Assalamualaikum”, salam Izzam.
“Waalaikumussalam, Abang. Jadi pulang hari ini?”, tanya wanita paruh baya di seberang telepon. 
“Jadi Bunda, insyaAllah Maghrib nyampe Jakarta”
“Yaudah, fii amanillah ya, Ayah Bunda selalu mendoakan”

Izzam menutup panggilan. Jendela kereta terlihat semakin kabur, terhalang ratusan rintik hujan yang menerpa kaca. Dinginnya AC membuat kaca bagian dalam menjadi berembun. Izzam sekali lagi melihat gawai pintarnya. Mencari menu musik, memilih playlist. Mengotak atik, lantas memilih tilawah QS. Ar Rahman Ustadz Hanan Attaki. Ia yakin, ketika ruhiyah terasa gersang, maka lantunan ayat suci bagaikan oase di tengah padang pasir. Tak butuh waktu lama, pemuda kelahiran Maret 23 tahun silam itu pun terlelap. Berharap mimpi bertemu Tuhan, melepas gundah yang selama ini membebani hatinya.

Izzam tersentak. Di sebelahnya berdiri 2 orang berpakaian resmi dan bertopi. Masih sedikit linglung. Sejenak kemudian kesadarannya kembali, ternyata pemeriksaan tiket. Dan yang berada di sampingnya adalah Masinis dan pihak keamanan kereta. Setelah memeriksa tiket, dengan senyum ramah Masinis mengembalikan tiket Izzam, kemudian berlalu. Izzam mengantongi kembali tiket yang sudah dilobangi tersebut. Melirik Alexandre Christie di pergelangan kirinya. Pukul 12.40. Sudah waktunya Dzuhur.

Usai melaksanakan jamak-qoshor dzuhur dan ashar, Izzam beranjak ke bagian restoran kereta. Memesan nasi goreng dan air mineral. Biasanya ada pegawai kereta yang menawarkan makanan, minuman, bahkan bantal dan selimut kepada para penumpang. Tapi tak mengapa. Sedikit berjalan di gerbong kereta sepertinya tak begitu buruk, toh dari tadi kerjaannya cuma tidur, gumam Izzam. Selepas membayar pesanan, Izzam kembali ke kursi. Meski tak begitu lapar, tapi metabolisme tubuhnya menghendaki pemuda tersebut untuk makan. Apalagi nasi goreng di tangannya kelihatan begitu enak. Begitu tutup kotak dibuka, kepulan asap menjalar keluar, menggoda setiap hidung yang mencium sedapnya.

Tiba-tiba saja smartphone Izzam bergetar. Ragu-ragu Ia mengeluarkan hp dari saku jaketnya. Dua hingga tiga pesan masuk dalam waktu bersamaan, memenuhi layar depan telepon pintar Izzam. Mei. Pemuda tersebut terdiam. Tangan kanannya masih memegang sendok plastik. Itu adalah suapan terakhirnya. Naas, lahap makannya seketika kandas.

Assalamualaikum, Zam
Mei mau nelpon
Lagi senggang kah?

“Waalaikumussalam, bisa, 5 menit lagi ya”, tulis Izzam singkat.

Segera Ia rapikan kotak makan siangnya, menempatkan di bawah kursi kereta, menenggak Le Minerale 600 ml. Sejenak kemudian, handphone Izzam kembali bergetar. Panggilan masuk. Mei.

“Halo, Assalamualaikum”, sapa Mei di seberang telepon.
“Waalaikumussalam”, jawab Izzam ramah.
“Mei tidak mengganggu kan?”, tanyanya berbasa-basi.
Nggak, lagi di kereta juga, habis dari Jogja. Mei mau ngomong apa?”
“Masalah yang kemaren, waktu kita ketemu Bogor. Zam, tau ga? Kenapa setiap kali Mei dan Ibu ke Jakarta, kita selalu bertemu?”

Izzam terdiam, membiarkan Mei melanjutkan.

“Tiga kali kita bertemu, dan tidak satupun yang kebetulan, Zam. Izzam tau siapa yang minta Mei dan Ibu ke Jakarta? Tek Eni dan Tek Lis”

Pemuda tanggung itu beranjak meninggalkan kursi. Beralih pada celah gerbong. Bersandar, menatap awan. Mentari di langit Purwokerto mulai condong. Bayang kereta memanjang seiring tergelincirnya matahari ke arah Barat. Hamparan sawah terlihat sejauh mata memandang. Satu dua petani asik menyiangi, sebagian yang lain melepas penat di pondok tengah sawah. Izzam menarik napas panjang. Hatinya meringis, tak terima.

Ya Tuhan, benarkah? Kenapa?



------------------
Bersambung, InsyaAllah.

Ruhiyah Gersang

Aku terdiam
Mematung di bahu jalan
Ditemani angin
Dalam sunyinya malam

Tak ku hiraukan
Bajaj yang berlalu-lalang
Pun lolongan anjing
Sayup-sayup di kejauhan

Aku mematung
Menatap kosong lampu jalanan

Jiwa ku?
Melesat jauh menyusuri bukit barisan
Membelah belantara hutan
Berhenti
Di halaman rumah warisan

Dulu
Rumah Gadang bagai oase pertama
Yang ku temukan
Di tengah gersangnya
Gurun pasir kehidupan

Kemana langkah
Selalu saja kutemukan
Di setiap pemberhentian
Padang Panjang,
Hingga Tanah Sultan

Mata air itu selalu ada
Seberapapun besar futur menggoda
Menjadi pengingat dikala lupa
Penegur disaat terlena

Namun
Mata air itu
Kini perlahan surut
Boleh jadi kering

Seringkali hatiku meronta
Mencari "ada" yang kini tiada
Malam ku nelangsa
Dihantui pagi penuh nestapa

Tuan, tolong
Ada yang hilang
Pada diriku..


Jakarta-Kosan 3x5

Pesona Separo Agama

Sore itu Yogya diguyur hujan deras. Langit begitu pekat dengan gelap, padahal baru setengah jam yang lalu adzan Ashar berkumandang. Sekalipun jalanan terendam hingga betis, pengendara yang melintas masih saja ramai. Mobil dan motor silih-berganti menepi, ada yang menurunkan penumpang, ada pula yang menunggu penumpang. Di kejauhan terlihat segerombolan anak kecil, mungkin sekitar 6 hingga 7 anak, berebut menjajakan payung di pintu masuk selatan Stasiun Tugu Yogyakarta. Tampaknya mereka acuh saja dengan suara gemuruh dan kilat yang membelah langit. Tertawa, menendang air, seakan dunia hanyalah tempat bermain.

Di lobi penjemputan, Izzam duduk termenung menatap kosong ratusan rintik yang menghujani bumi. Pikirannya kalut, hatinya gundah. Seharusnya Ia bahagia, karena sekali lagi diberi kesempatan “pulang” ke Jogja. Namun sayang, tampaknya kejadian di Bogor beberapa hari lalu begitu membebani dirinya. Telepon pintarnya bergetar, terlihat whatsapp dari seseorang, “Zam, lagi senggang kah? Mei mau nanyain yang kemaren”. Izzam terdiam, lantas menyingkirkan pesan masuk tersebut dari layar utama ponselnya.

Smartphone Izzam kembali bergetar, ternyata panggilan dari Fatah, teman se-asramanya dulu.
“dimana Zam? Aku di dekat gerbang, make jaket kuning”, jelas Fatah.
“oke aku kesana, kamu bawa jas hujan kan?”, balas Izzam.
“ada, cuma satu, ntar kamu aja yang make”, balasnya.
“lah terus kamu gimana?”
“udah, buru sini” tutupnya dari seberang telepon.

Fatah adalah teman dekat Izzam sewaktu tinggal di Ponpes khusus mahasiswa milik yayasan saudagar kaya di kawasan elit Condongcatur. Awal mula kedekatan mereka karena kesamaan hobi, yaitu senang ikut lomba, hanya untuk satu tujuan, mendapatkan tambahan uang jajan. Selain lomba, mereka berdua juga senang berburu beasiswa. Bahkan Izzam pernah mendapat 3 beasiswa sekaligus dalam setahun. Sementara Fatah tak kalah keren, meski mendapatkan 1 beasiswa, tapi meliputi biaya kuliah dan uang saku setiap bulan hingga lulus. Jadilah mereka saudara se-perhedonan di antara seluruh mahasiswa yang nyantri di Ponpes tersebut.

Hari itu, setelah lama tak bersua, status mereka tak lagi mahasiswa. Izzam baru saja lulus seleksi CPNS di salah satu kementerian terbaik. Sedangkan Fatah memutuskan melanjutkan kuliah profesi dokter hewan, sebagai prasyarat izin praktek.

Sudah hampir setahun Fatah meninggalkan asrama. Setelah mengikuti wisuda pondok pesantren Ia memilih mengontrak rumah bersama Ardi dan rekan kuliahnya di daerah Pandega Marta. Rumahnya cukup nyaman, terdiri dari 4 kamar tidur, 1 kamar mandi untuk bersama, dan ruang tamu. Meski space parkir motor agak sempit karena terhalang pohon jambu dan garasi mobil tetangga, setidaknya rumah tersebut jauh dari suara bising kendaraan yang melintas, dan yang paling penting, dekat dengan masjid tentunya.

Setelah berkenalan dengan semua penghuni rumah, berbasa basi, Izzam dipersilahkan meletakkan barang bawaan di kamar Fatah, lantas membersihkan diri. Duduk di kursi dengan sudut siku-siku di kereta Senja Utama Yogya selama 9 jam begitu meletihkan. Jadilah setelah menjamak dan mengqoshor sholat Maghrib dan Isya, Izzam terlelap begitu saja di kasur tipis milik Fatah.

Setengah 3 dini hari Izzam terbangun, hawa dingin musim hujan awal Maret perlahan mengusik lelap tidurnya. Ruangan tampak gelap. Di langit-langit ruang tamu terlihat pendaran cahaya monitor Ardi yang masih berkutat dengan skripsi. Sesekali terdengar rintihan keletihan pada diri pejuang tugas akhir tersebut, puh. Izzam merogoh saku jaketnya. Memeriksa gawai. Tiga panggilan tak terjawab dari Mei.

Bulu remang Izzam seketika berdiri, seakan-akan menolak bersentuhan dengan air di pagi-pagi buta. Tapi Ia tak peduli. Hatinya gulana. Ia butuh bercerita, menumpahkan segala gundah, pada Sang Maha Indah. Tak sekalipun Ia berharap kisahnya akan menjadi seperti ini. Mei itu siapa? Apakah pertemuan di Bogor itu suatu kebetulan, atau skenario yang disusun apik oleh bibi dan pamannya? Ah. Sial.

Izzam termenung beralaskan sajadah. Memori-memori itu kembali terputar sendirinya,  seakan enggan memberi waktu isitirahat barang sejenak. Pertemuan pertama di Parung saat kematian Mak Hen, adik kandung bibinya. Tradisi 40-harian di rumah almarhum, Depok, adalah pertemuan keduanya. Terakhir, saat jalan-jalan ke Tawang Mangu Bogor. Setiap kali Ia terhenti pada bagian isi percakapan mereka di telepon, selalu saja air mata membasahi pipi. Tak terbendung. Satu persatu bulir air mata mengalir, membasahi jenggotnya yang tak seberapa, jatuh, membasahi alas sujudnya. Kenapa Ia tidak menyadari sedari awal “kebetulan” itu?

Subuh menjelang. Dari kejauhan adzan sayup-sayup berkumandang, bersahut-sahutan. Satu persatu penghuni kos keluar dari kamarnya, mengenakan sarung, berganti pakaian, dan menyambar peci. “Ah, mana ada suasana seperti ini di kosan saya”, gumam Izzam. Meski menusuk tulang, udara subuh selalu menyejukan. Mungkin benar kalimat orang bijak, taukah kau kenapa udara subuh itu begitu murni dan menenteramkan? Karena tidak bercampur dengan napas orang munafik. Lantas bagaimana dengan Izzam? Entahlah, yang jelas Ia hanya selalu mencoba, meski sering tergelincir juga.

Masih tersisa 7 menit sebelum muadzin iqomah, memberi kesempatan pada setiap jamaah untuk mendulang pahala yang nilainya lebih baik dari bumi dan seisinya. Setelah menemukan bagian shaf yang kosong, dua pemuda tanggung itu mengangkat tangan, berniat sunna fajar. Allahu akbar.

“Memangnya kerja di Ibu Kota begitu berat ya, Zam?”, bisik Fatah.
Izzam melirik Fatah sejenak. Ia tahu semalam Fatah juga terjaga.
“Tah, kamu lebih prefer dijodohin, atau nyari sendiri?”, tanya Izzam sembari berbisik.
“Ya ampun Zam, kamu dijodohin?”, sergah Fatah.

Tiit..tiit..tiit, jam digital berbunyi, pertanda sholat segera dimulai.


(bersambung, mungkin setelah latsar)