Tampilkan postingan dengan label Pengalaman Spiritual. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengalaman Spiritual. Tampilkan semua postingan

Lika-Liku Kehidupan Kuliah S3


Menjadi mahasiswa PhD bukan hanya sibuk ngurusi tesis sendiri saja, tapi juga banyak kesempatan melakukan hal yang lain terkait dunia akademis, salah satunya jadi PTA (postgraduate teaching assistant) atau populer disebut asdos. Di jurusan saya (Geografi) banyak sekali lowongan untuk jadi asdos dan namanya asisten maka tugasnya juga cuma membantu mengajar anak2 undergrad atau S1 dengan berbagai jenis tugas yang bisa kita pilih seperti marking assistant (ngasi nilai ujian), tutorial (bantu dosen mengajar kelas tertentu), workshop supporter (mimpin grup discussion pas workshop), field trip assistant (bantu ngajar pas studi lapangan), help desk support (semacam private tutorial), dll.

Saya sudah pernah jadi marking assistant dan kerjaannya lumayan berat. Di UK memberi nilai ke mahasiswa gak cuma ngasi ponten dalam lingkaran aja. Tapi kerjaannya mahasiswa harus dibaca dengan teliti. Kalau ujiannya cuma PG mah gampang ngasi nilainya dan itu biasanya gak butuh PTA, sedang PTA dibutuhkan untuk ujian esay, nah itu lah yang bikin kerjaannya lumayan berat. Ujian esaay disini harus dibaca setiap kalimat dan paragraph nya, memastikan bahwa yang di tulis masuk akal, sesuai dengan bacaan modul dan yang paling penting menjawab pertanyaan ujian. Kalau ada yang ngawur harus di highlight mana-mana saja bagian yang ngaco, berikan komentar yang konstruktif dan tidak boleh menjatuhkan.

Kalau mahasiswanya cuma 10 orang si gak masalah, tapi mahasiswa 1 angkatan bisa 200-300 orang dan 1 PTA bisa kebagian 70 essay buat dinilai. Permasalahan utama adalah esaay ini ditulis tangan, jadi kalau kebagian mahasiswa yang tulisan tangannya bagus sudah seperti dapet rejeki nomplok, karena mayoritas tulisannya mirip2 dengan ane hehehehe. Seacakadul apapun tulisan, kalau masih pakai Bahasa ibu mah masih gampang bacanya (atau nebaknya?) lha ini pake Bahasa inggris, OMG lah, sampai mata kriyep-kriyep ngerjainnya.

Saya pernah ngasi nilai 78 ke mahasiswa tapi sama dosennya di bilang ngaco karena mahasiswanya cuma bikin tulisan dalam Bahasa inggris doank (kalo untuk level IELTS mungkin skor nya 7.0), tapi dia sama sekali gak menjawab pertanyaan dan argument nya sama sekali bukan berasal dari bacaannya jadi seharusnya dapet 45. Ada juga mahasiswa saya kasi 48 tapi kata dosen argumennya bagus, sesuai bacaan, konsisten, walau gramatikal eror banyak jadi layak dapat 68. Saya butuh 20 esaay buat latihan ngasi nilai sebelum akhirnya opini saya bisa sama dengan dosen dan akhirnya dilepas untuk ngerjain sisa 50 dan bener2 kerjaan yang cukup melelahkan.
Nilai essay disini berkisar 0-100, tapi paling tinggi saya cuma ngasi 70an dan mayoritas di kisaran 50-60an. Standar nilai di kampus ini memang tinggi banged dan semua PTA di kasi panduan standar ngasi nilai. Dan dosen2 pun mengakui kalau PTA lebih kejam dalam hal memberi nilai tapi selama tidak ada yang gagal alias dibawah 40 ya masih OK lah. Dan walau saya banyak ngasi nilai 40an tapi lebih banyak yang dikisaran 50-60an jadi yah masih standar lah (gimana mau kasi lebih kalau emang layaknya dapet segitu, padahal sendirinya kalau bikin esaay juga masih ngono ya hehehehe)

Tapi alhamdulilah kerjaan marking ini sudah terlewati. Yang sekarang dikerjakan adalah jadi supporting workshop, dalam hal ini saya berinteraksi langsung sama mahasiswa. Ada 10 workshop yang harus dikerjakan dan sudah selesai 5, dari pengalaman ini saya menarik sebuah kesimpulan bahwa karakteristik mahasiswa dimana-mana sama baik di kampung halaman maupun UK (gak peduli orang Indonesia maupun bule) yaitu kalau di biarin malah asik sendiri ama temen atau gadgetnya, kalau dideketin asdos baru mulai sibuk (atau pura2 sibuk?), kalau ditanya ada kesulitan atau tidak jawabnya 'no problem' tapi kertas kerja kosong, kalau mulai diskusi pada diem semua dan gak berani mulai kalau belum di tanya, ujug2 diskusi berubah jadi sesi tanya jawab.
Rata-rata mahasiswa/i pada malu2 kucing untuk mengekspresikan pendapat mereka. Yah, masih bisa saya maklumi karena mereka adalah mahasiswa/i tahun pertama (jadi inget dulu waktu muda ooops). Dan terlihat disini mahasiswi lebih berani untuk bersuara, mungkin karena populasi mahasiswa yang cukup langka di kelas (bahkan untuk 1 angkatan). Ya cukup terkejut juga saya karena anak geografi tahun pertama ini lebih banyak cewe nya daripada cowonya baik yang sosial maupun eksaknya. Tercermin juga dari PTA nya yang ada 3, cowonya cuma saya aja. Tapi lumayan lah bisa liat yang seger-seger daripada baca jurnal yang bikin mata butek. maklum dari 5 grup yang sudah saya pandu, cowo nya paling banyak cuma 3 dalam 1 grup, malah ada yang gak ada sama sekali. Jadi grogi juga yah di kelilingi bule kinyis-kinyis hehehehe.   
Semoga aja untuk kerjaan berikutnya bisa dapet posisi jadi field trip assistant, karena tahun kemaren field trip untuk jurusan geografi bisa ke Iceland, Germany, Spain dan USA. Tentu saja ongkos dibayari kampus + dapet gaji pula. Tapi ya saat ini masih tahap berharap saja heheheheeh, lha wong dapet kerjaan PTA juga udah alhamdulilah koq.

Ujian

Tulisan SaungKemangi menggugah saya untuk melihat kembali kejadian demi kejadian saat masih anak-anak soal “Keberadaan Allah?” Saya, saat itu masih sekolah kelas VI SD ketika beberapa anak senang bermain dengan teman sebaya, saya juga termasuk yang “lebih” senang bermain daripada sholat. Karena saya masih anak-anak dan belum akil baliqh, jadi saya berpikir tidak ada kewajiban untuk melaksanakan perintah Allah. Makanya ketika ada pertanyaan itupun, saya santai dan tidak berpikir jauh. Dan perilaku sehari-haripun meski belajar mengaji, puasa dan sholat tarawih dengan membawa buku catatan agar bisa menyimpulkan khotbah nya mengenai apa dan mendapat paraf dari khotib saat itu, tetap aja masih gak mikir “Dimana Allah itu”. Hingga lulus SD, SMP hingga SMA, saya bahkan banyak mengikut kegiatan rohis dan dengan wejangan-wejangan khas anak rohis, saya tetap aja masih belum mikir soal “Dimana Allah itu?” Karena saat SMA, saya punya motivasi ikut kegiatan ekstra kurikuler agar bisa dekat dengan siswi itu dan ini. Tanpa ikut kegiatan pun, sebenarnya malas juga disamping rumah juga sudah jauh di Bekasi. Selesai ikut kegiatan ekstra kurikuler hingga sore dan lanjut ke  persiapan perang ala “Bharatayudha” di gang batu antara sekolah saya, SMA 4 dan SMA 7, dimana saya tetap ikut terlibat. Kegiatan perang ini dilakukan secara reguler seperti minum obat. Jika tidak dilakukan, semacam ada kecanduan. Makanya gak berpengaruh juga jika saya ikut rohis pun, tetap melakukan hal-hal yang tidak baik. Saat masa SMA ini, motivasinya cuma ada 1, bagaimana lulus SMA dalam keadaan sehat dan selamat dan tidak cedera, nilai tidak menjadi prioritas. Suatu saat, saya terkena lemparan batako dari trotoar, saya lepas dari kejaran anak SMA 7, lolos dari kejaran polisi saat lari mulai dari taman masjid cut mutia hingga ke pertigaan pasar rumput. Pada saat itu saya mulai berpikir soal keberadaan Allah “Oh ternyata Allah itu ada, saya diselamatkan oleh Nya” Pikiran ini datang bertubi-tubi saat saya mengambil nafas dalam – dalam setelah dikejar-kejar oleh pelajar SMA 7 dan polisi. Beberapa teman ada yang tertangkap oleh polisi namun tidak ada yang tertangkap pelajar dari SMA 7.
          Seiring dengan berjalannya waktu, saya ikut acara perpisahan SMA hingga kuliah. Semasa kuliah semester akhir pun, saya sempet mencoba lari dari kampus untuk mencari keberadaan Allah. Muncul pertanyaan “Apakah saya sudah menjalani Islam dengan sempurna dan khaffah?” Pertanyaan ini juga belum terjawab hingga saya melalaikan skripsi saya yang molor lebih dari ketentuan kampus. Dan akhirnya, hanya pertanyaan simpel almarhumah ibu yang meluluhkan hati saya untuk selesaikan skripsi. “Kamu mau selesaikan skripsi ini atau tidak?” Saya terdiam, sambil berpikir bagaimana pencarian soal Allah ini parallel dengan penyelesaian skripsi ini. Akhirnya setelah 2 atau 3 hari berpikir diam, barulah saya menjawab akan selesaikan skripsi ini. Banyak pergulatan soal pencarian keberadaan Allah ini. Skripsi selesai dan setelah 2 tahun, saya diterima bekerja di Kementerian Keuangan (Departemen Keuangan). Pertama kali bekerja, saya langsung di tempatkan di daerah Sulawesi Tenggara. Saat berangkat di pelabuhan Tanjung Priok April 1999, saya baru berpikir kembali kenangan tentang keberadaan Allah. Sholat di kapal motor Bukit Siguntang dengan banyak penumpang dari berbagai latar belakang pendidikan, status sosial, pekerjaan, suku, ras dan agama semakin membuat saya yakin bahwa Allah itu ada. Apalagi saat itu sedang mulai memuncaknya kerusuhan Ambon. Jadi banyak juga pasukan dari angkatan darat yang menaiki kapal motor itu dengan tujuan Ambon. 
       Sejak saat itu hingga saat ini, saya masih meyakini jika ingin lebih dekat dengan Allah atau Tuhan, tanyakan pada diri kita sendiri, apakah kita sudah diberikan ujian yang cukup oleh Allah? Gak perlu dijawab dan cukup kita renungi. Karena bentuknya ujian macam-macam. Ada yang dikasih ilmu tinggi dan diamalkan, dikasih kecukupan harta, dikasih keluarga yang sakinah, dikasih anak-anak yang sholeh dan sholehah, dikasih pasangan yang sholeh dan sholehah, dikasih orang tua yang lengkap sejak lahir, dikasih lengkap anggota tubuhnya, dikasih kemudahan di dunia, dikasih wajah yang ganteng dan cantik dan itu semua ujian atas hal-hal yang positif. Bagaimana jika kita dikasih yang kebalikan dari yang saya sebutkan tadi? Apakah kita akan tetap istiqomah? Apakah kita akan menyalahkan keadaan? Apakah kita akan tetap menjalankan sholat dan menanyakan keberadaan Allah? Apakah kita akan menanyakan soal keadilan? Jika memang sudah merasa banyak dikasih ujian, apakah kita sudah lulus ujian? Silahkan direnungkan oleh setiap diri kita. Jadi saya masih tetap meyakini bahwa jika sudah diberikan ujian yang sama atau paling tidak mendekati ujian Rasullah, maka barulah kita bisa meyakini Allah itu dekat dan pintu menuju surganya Allah semakin terbuka lebar. Jika mau analogi lain seperti naik gunung, jika ingin ke puncak, akan banyak ujian dan godaan untuk mencapai puncak gunung.  Semoga kita termasuk orang-orang yang lulus ujian hingga di akhir hayat.

Cerita dapat juga dibaca pada link berikut :