Tampilkan postingan dengan label Samuel Manik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Samuel Manik. Tampilkan semua postingan

Cinta Tak Butuh Alasan

Katanya cinta hanyalah cinta
Datang dan pergi sesuka hati
Menyeruak di antara dua tiga insan
Kadang menghubungkan dua buah hati
Sambil meretakkan satu hati berkeping terarak

Katanya cinta hanyalah cinta
Datang dari terbiasa lalu kagum
Hadir di hiruk pikuk kesibukan kantor
Terhempas di tengah jadwal pekerjaan
Menyimpan tanya apakah rasa itu nyata

Katanya cinta hanyalah cinta
Datang dari mata turun ke hati
Bersemi di pagi dan sore hari
Terhimpit dalam sesaknya gerbong kereta
Memberi harap dalam tatap dan lirik

Katanya cinta hanyalah cinta


* Disebelahnya, 0503202016##

Jika Bukan Kita Siapa Lagi

Jika kebersamaan kita selama ini dalam kesenangan yang sama belum cukup mendekatkan kita, maka apa lagi yang kurang?

Jika kesenang kita selama ini dalam menulis yang tak terucap belum cukup mempercayakan kita, maka apa lagi yang mampu?

Jika tulisan kita selama ini dalam hal yang tak terucap belum cukup untuk saling percaya, maka apa lagi yang tinggal?

Yang tinggal hanyalah rasa saling dukung dan menghargai. Di dalam kita boleh berdebat dan saling mengkritisi, di luar pantaskah kita berpaling wajah dan bersenda gurau ketika sang teman berdiri di depan?

*Lantai M, 050620190900

Pejuang Kehidupan

Apakah yang kamu cari hai para pejuang kehidupan?
Berangkat ketika sang Surya masih terlelap,
Pulang ketika bintang-bintang bersenda gurau dengan sang bulan.
Apakah yang kamu cari hai para pahlawan keluarga?
Bertaruh nyawa menyeberangi lautan,
Demi sang buah hati dan bundanya terkasih ujarmu.
Apakah yang kamu cari hai pembela kekasih hati?
Meninggalkan sang terkasih di kala sang surya bersinar tuk sesaat berjumpa di peraduan.
Berbulan terpisah samudra tuk sepekan melepas rindu.
Sepiring nasi dan segenggam berlian kah yang kau cari?
Adakah suka kau jumpai dalam kilau gemerlap intan permata di telapak tanganmu?

-satu jam menuju rumah di kala hujan-
222617012019

Tangga

Hai tangga, apa kabarmu?
Kemarin kita bersua hari ini pun juga.
Hai tangga, sepertinya, kita akan banyak berjumpa.
Aku akan sering mengunjungimu di masa depan.
Hai tangga, maafkan aku.
Jika aku menyalahgunakanmu untuk sejenak, melepas penat pekerjaan.
Hai tangga, temani aku.
Menghisap satu-dua batang rokok, melemaskan otot-otot yang kaku.
Hai tangga, terima kasih.
Kamu telah setia menjalankan tugasmu, sebagai perlintasan antar lantai.
Tempat kami para pencari nafkah bercengkrama melepas lelah dari jenuhnya ruang kerja yang dingin.

Kisah Tentang Hati (Cinta Monyet)



Hati manusia tak ada yang tahu
Wajah tersenyum pisau tajam terhunus dibalik punggung.
Hati manusia tak ada yang tahu
Wajah tersenyum hati menangis tersedu-sedu menahan perih.
Hati manusia tak ada tahu
Wajah tersenyum tubuh penat luluh lantak menahan lelah.

Aku tak pernah tahu apakah ini cinta atau nafsu sesaat. Apakah kasih atau sekedar ingin memiliki. Senyummu terbayang disaat aku lelah. Tawamu yg renyah sayup-sayup terngiang di lorong sekolah, menoleh lalu kecewa. Suara manjamu memanggil nama kecilku ketika berjalan keluar sekolah. Kali ini aku tak menoleh karena aku tahu kamu tidak masuk sekolah.

Kamu sudah ada yang punya namun berulang kali kau bilang sayang pada ku. Kita berbincang berjam-jam di telepon berlempar canda dan membicarakan dunia entah untuk apa. Hari itu sebulan selepas kelulusan. Entah berapa kali ku telepon rumah mu. Berdering namun tak dijawab, dijawab namun kamu tak pernah ada. Mungkin adik mu sudah lelah menjawab telepon ku, berbohong bahwa kamu tidak di rumah. Aku pun terdiam lalu terisak. Apa salah ku?

Menjadi Sama Dengan Dunia


“Jangan kamu melawan arus dik, nanti kamu mati”
 -isi kepala saya baru saja-
  
Entah kenapa kalimat itu keluar dalam pikiran saya, setelah saya menuliskan judul dari tulisan ini. Belakangan ini menjadi sama dengan dunia adalah pilihan yang paling mudah bagi kebanyakan orang, memilih berbeda atau bahkan sekedar terlihat berbeda menjadi ketakutan tersendiri bagi banyak orang. Sepertinya hidup ini hanya ada dua pilihan ikut sini apa ikut sana padahal sebenarnya banyak sekali opsi-opsi yang tersedia bagi kita. Eh, ada sih yang memilih pilihan ketiga, yaitu berdiam diri, tersenyum dan mengangguk-angguk ketika dipojokkan dengan pilihan sini apa sana padahal di dalam hatinya dia memilih opsi keempat atau bahkan kelima.
   
Lalu ada yang bermimpi memiliki jalan hidup berbeda tetapi takut untuk melihat dunia, menghayal tentang indahnya dunia tetapi takut melangkah keluar rumah. “Jangan dik, di luar banyak orang jahat, nanti kamu mati", ingatnya.
  
Tapi ada juga yang terlalu banyak melihat keluar, membandingkan dirinya dengan orang lain, lalu menderita di tengah kekurangannya dan akhirnya menyerah pada keadaan sembari berharap ada tangan terulur mengangkatnya ke puncak dunia. "Sabar dik, Tuhan tidak tidur", gumamnya.
   
Tapi ada loh yang bermimpi menjadi "pionir" reformasi birokrasi dan menjadi “contoh” bagi yang lainnya dengan dalam sunyi. Tanpa pemberitaan, tanpa hingar bingar di media sosial. Berpuas diri dalam sunyi “kami sudah lebih baik” tapi kemudian mengerdilkan diri di hadapan orang lain dan sekedar mengukurnya dalam berapa banyaknya jumlah rupiah sembari berkata "ini sudah sangat murah", pembelaan ini menjadi receh kalau kata kids zaman now. Menghindari perdebatan dengan kata-kata sakti "murah". "Jangan di-posting dik, nanti riya'" tegurnya.
  
Aduh, bukan itu konteksnya. Ini semua soal cara bukan sekedar sampai. Menjadi sama dengan dunia memang mudah, sedetik saja melihat, kita sudah tahu kemana arah arus mengalir.
  
"Dik, kamu harus jadi pemenang. Menang untuk dirimu, keluargamu, dan bangsamu. Jangan sekedar terbawa arus dan akhirnya mati terantuk batu".

Gladiator-gladiator “Tua”

Ini adalah kisah para gladiator “tua” di sebuah kerajaan yang namanya pernah terdengar sampai ujung-ujung dunia. Yang dahulu dikenal dengan negeri yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo” yang artinya negeri yang kekayaan alamnya berlimpah dan keadaannya tenteram. Di ibukota kerajaan terdapat sebuah graha1 megah tempat Patih Arta2 dan segenap tanda3nya bekerja. Sang patih memiliki beberapa arya4 sebagai pembantu utamanya. Setiap arya memiliki tugas masing-masing guna menyukseskan kerja sang patih. Arya-arya tersebut juga memiliki tandanya masing-masing. Sang patih mengharapkan sinergi di antara para arya dan tanda-tandanya. Prestasi dan kinerja yang baik akan dihargai tuturnya.

Cerita ini terjadi ketika beberapa tanda kepercayaan dari salah seorang arya telah mencapai usia pensiun, guna mencari penggantinya diadakanlah sebuah pertandingan untuk menentukan siapa yang paling tepat untuk menggantikan para tanda yang pensiun tadi. Gelanggangpun digelar bak sebuah arena gladiator. Banyak tanda yang sudah berpengalaman dan berilmu tinggi bersiap-siap. Waktunya telah tiba untuk berkarya lebih lagi dan menerima amanah tersebut. Pembicaraanpun terjadi sampai ke pojok-pojok graha siapakah yang akan keluar sebagai jawara5 dan ditampuk sebagai tanda kepercayaan sang arya. Ada yang berharap, ada yang pasrah, ada yang dijagokan, ada juga yang diunggulkan. Para tanda siap bertarung di arena dengan kekuatan dan senjata masing-masing, semua menantikan panggilan bertarung. Walau beberapa menyatakan bahwa mereka tidak ingin bertarung tetapi jika dipanggil maka mereka akan ikut dan bertarung dengan sungguh. Ada beberapa kriteria agar seorang tanda bisa ikut dalam pertarungan, yang pertama adalah telah mencapai tingkat keningratan tertentu, yang ditentukan melalui tingkat keilmuan dan masa bakti sang tanda. Lalu kecakapan sang tanda dalam bekerja menjadi penilaian selanjutnya apakah sang tanda kinerjanya baik, bisa mengambil keputusan yang tepat dan cepat, punya kemampuan bersinergi dengan pihak lain, dan tentu saja kemampuan memimpin karena dalam jabatannya sang tanda akan mengambil keputusan sesuai dengan bidang jabatannya, akan berkoordinasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan tentu saja dibantu oleh tanda-tanda di bawahnya yang akan membutuhkan bimbingan dan pimpinannya.
“Maaf arena sudah tutup”
-Askara-
Peradaban negeri ini sendiri telah mencapai tingkatan yang cukup tinggi dalam hal menggelar pertarunganpun kekuatan para “gladiator” diukur baik itu kekuatan atma6 maupun huraga7nya melalui sebuah ujian dan tentu saja untuk atma juga dinilai melalui tindak-tanduknya dalam mengabdi sesuai hal-hal yang disebutkan untuk menilai kecakapan sang tanda dalam bekerja. Semua itu akan dirangkum dalam selembar lontar8 dan dimusyawarahkan dalam pareparat9 antara sang arya dengan tanda-tanda utamanya dan tanda kepercayaannya tergantung dari tingkat jabatan yang akan dibicarakan.

Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba, pengumuman siapakah “gladiator” yang dinyatakan keluar sebagai jawara, ditampuk sebagai tanda kepercayaan, dan akan diangkat derajat keningratannya serta menerima amanat dari sang arya. Ternyata semua yang didapuk sebagai pemenang adalah tanda-tanda yang masih muda baik dari usia maupun pengabdian, keningratannyapun baru saja mencapai tingkatan cukup untuk menjadi seorang tanda kepercayaan. Walau semua tanda tersebut sudah menyeberangi lautan yang lebih jauh dari negeri Cina untuk mencari ilmu tetapi tanda-tanda lain yang lebih tua baik dalam usia dan pengabdiannya pun tidak kalah dalam hal jauh-jauhan mencari ilmu. Tentu saja tingkat keningratan mereka lebih tinggi dari para tanda kepercayaan yang baru ini. Ada yang kecewa, banyak yang terhenyak lalu bertanya apa yang menjadi dasar bagi kemenangan tersebut apakah ada senjata rahasia atau atma yang tidak terangkum di daun lontar? Karena semua sudah tertulis semua bisa membaca semua bisa menilai. Tinggal sejauh mana penilaian itu benar dan berharga untuk didengar.

Terdengar sayup-sayup di pojokan bahwa gladiator-gladiator “tua” tersebut bahkan tidak sempat naik ring, mereka tersingkir sebelum pertarungan karena mereka sudah “terlalu” ningrat untuk jabatan tersebut. Keningratan yang diperoleh karena pengabdian dan pendidikan ternyata menjauhkan mereka dari arena pertarungan. Masa mereka sudah habis katanya, sudah tidak punya semangat bertarung katanya, katanya.. katanya.. katanya.. dan lontar mereka kembali kepojokan berdebu menjadi kumpulan kisah-kisah pengabdian yang tidak pernah dibaca.

  1. graha: gedung, bangunan
  2. Patih Arta: menteri yang mengurusi harta
  3. tanda: pegawai
  4. arya: gelar bangsawan, ningrat
  5. jawara: juara
  6. atma: jiwa, ruh
  7. huraga: raga, badan, tubuh
  8. lontar: kertas
  9. parepatan: rapat, perundingan, musyawarah

ITU TABU

Lagian juga ngapain dibahas hal yg sensi disini??? Gk pada tptnya. Kalo mau jujur ya hrsnya si sam ngerti. Semua sdh ada yg ngurus. Lihatlah jujur lagi keadaan di Indonesia. Ahhh... sudahlah....

Tabu katanya membahas hal-hal yang sensitif. Hal sensitif bagi tiap orang, kelompok masyarakat, mulai dari kampung, kota, sampai bangsa-bangsa berbeda-beda. Bahkan antar generasipun berbeda-beda. Banyak norma dipakai dalam menentukan hal sensitif atau bukan. Mulai dari norma agama, adat istiadat, kebiasaan, sampai norma kepantasan atau bekennya etis- tidak etis. Sebenarnya norma-norma yang ada bukan hanya mengatur hal-hal sensitif norma mengatur hampir semua sisi kehidupan sesuai kebutuhannya masing-masing. Banyak yang seiring perkembangan jaman tidak sesuai lagi dan yang paling jelas perubahannya adalah norma hukum yang perubahannya jelas tercatat sejarahnya. Seperti halnya dulu pemberian gratifikasi atau uang ucapan terima kasih yang dulu “dianggap” sebagai bagian dari silaturahmi, bahkan dimaklumi, dan tidak ada aturan hukumnya sekarang jelas dilarang oleh undang-undang.

Masalah tabu membahas hal-hal sensitif jelas-jelas telah menimbulkan masalah dalam berbagai jenjang kehidupan. Waktu saya SMP sempat membaca (sepertinya di koran Kompas) bahwa ada penolakan Pendidikan Seks Usia Dini untuk dimasukkan dalam kurikulum atau minimal diperkenalkan kepada anak usia sekolah. Nah, kelucuan demi mulai bergulir di situ. Alasan penolakan ternyata karena mayoritas orang tua “merasa” bahwa pendidikan seks sejak dini adalah pendidikan untuk berhubungan seksual, tanpa bertanya atau mencari tahu apa sebenarnya isi dari pendidikan tersebut atau bisa dibilang suudzon. Alhasil, memang tidak jadi itu pendidikan seks sejak dini masuk kurikulum di masa saya sekolah. Kelucuanpun berlanjut, di generasi saya ada anak-anak yang takut untuk bersentuhan dengan lawan jenis, seperti anak SD yang takut dipegang tangannya oleh pak satpam sekolah untuk menyeberang jalan karena kata mama ntar (maaf) hamil kalau dipegang tangannya oleh anak cowo, atau anak gadis yang pingsan ketika datang bulan pertama kali karena ibunya tidak pernah mempersiapkan anaknya untuk menghadapi kedewasaan, mungkin yang paling parah adalah yang hamil di luar nikah karena tidak tahu kalau berhubungan seks bisa menyebabkan kehamilan, dan tentu saja banyak cerita-cerita absurd lainnya yang membuat kita mengenyitkan mata mengenai hal ini.

Isu agama juga adalah isu sensitif di masyarakat kita (bukan sekedar katanya) banyak orang yang engan membahasnya karena malas berdebat, takut menyinggung perasaaan, dan berbagai alasan lain. Pernyataan teman saya diatas timbul setelah saya menanyakan soal penyerangan gereja di Sleman, Yogyakarta di WAG yang kebetulan menurut sepengetahuan saya banyak orang Yogyanya. Sepertinya beliau begitu ketakutan dengan “hal-hal sensitif” hingga pertanyaan saya diartikan sebuah ketidakmengertian  saya akan hal-hal sensitif dan mungkin saja menjadi pesan yang profokatif buat beliau. Menghindari membahas “hal-hal sensitif” adalah cara aman bagi banyak orang untuk menghindari sebuah diskusi atau “perdebatan” tergantung sudut pandang si pelaku. Kebanyakan karena ketidakpahaman atas topik yang dibahas atau ketakutan atas timbulnya pertanyaan lanjutan yang diluar pengetahuannya. Keenganan untuk mencari tahu lebih lanjut juga menjadi sumber masalah tersendiri. Orang-orang dengan mudahnya terbakar dengan judul yang bombastis di media-media ­online. Mereka memaki, membully, dan membagikan berita-berita tersebut dengan dibumbuhi opini-opini yang semakin menyesatkan isi berita. Ketika ditanya apa isinya atau didebat bahwa posting-annya tidak benar dan menyesatkan dengan entengnya berkilah “saya cuman share”. Bahkan saya menemukan yang sharing­ berita yang belum jelas kebenarannya dengan didahului permintaan maaf saya cuman share. Hufh, untuk yang seperti ini saya hanya bisa mengelus dada dan apesnya ternyata banyak orang yang seperti ini terlepas dari latar belakang suku, agama, pendidikan, dan profesi mereka.

“Sam, itu AXA Life dicabut ya izinnya? Gimana tuh?” Tanya junior saya beda kantor ketika papasan di kantin. Mungkin maksudnya membuka pembicaraan yang berbobot.
“Ya elah, mbaca berita tuh jangan judulnya doaaaaang! Itu AXA Life kan merger sama AXA Finance terkait aturan baru” semprotku.

“Iyah pak, tapi banyak ini yang nanyain nasib polisnya gimana” kata mbak-mbak AXA di sebuah cabang bank Mandiri sambil ketawa kecil setelah pernyataan basa-basi saya “Wah AXA makin kuat ya dah merger”. Aduh, kok jadi seperti sales AXA! Hahaha.

Bijaksana-bijaksini

Rabu, 17 januari 2018 kemarin seorang kawan, abang, dan juga senior yang sedang menyelesaikan disertasi doktornya mengatakan kepada saya dan beberapa kawan lainnya, “Sam, makanya kuliah doktor, kalau ilmunya ga banyak nambah tapi ada satu yang gue rasa gue dapet di situ. Wisdom, gw ngerasa betul gw berubah....”. Kurang-lebih begitu ujarnya, kali ini saya tidak bisa mengutip kata-perkata karena keterbatasan ingatan. Di hari Rabu seminggu sebelumnya seorang kawan, “pak dosen”, mas, dan juga senior yang pergi meninggalkan unit kerja kami untuk mengabdi menjadi Widyaiswara guna membagi ilmunya lebih luas lagi memberikan kata perpisahan di WAG bukannotadinas, begini katanya “Terimakasih semuanya, semangat tetap menulis untuk kebaikan hidup: minimal buat diri kita, atau yang paling minimalis, buat kewarasan pikiran kita. Karena dalam tulisan itu, kita bisa protes, ngedumel, bahkan 'misuh'. Ini pengalaman, bukan arahan, bukan pula pengajaran. Ojok1 dikomentari.” Sedangkan tadi pagi seorang kawan, mas, dan juga senior bercerita tentang seorang bos yang “sudah” Doktor yang mengeluhkan tingkat kedisiplinan pegawai dalam kerapihan berpakaian padahal yang bersangkutan selalu terlihat dengan kemeja yang dikeluarkan di hari-hari tertentu di setiap minggu. Yang terakhir ini mengingatkan saya akan nasihat almarhum tulang2 saya ketika liburan Natal-Tahun Baru ketika masih SD di rumah opung3 di Medan, “Kalian jangan merokok dan main kartu ya!” katanya kepada kami bere-bere4nya sambil mengebulkan asap dari rokok dua tiga empatnya dan beliau sedang istirahat ke toilet dalam permainan kartunya.

Wisdom, menurut The Oxford English Dictionary artinya "Capacity of judging rightly in matters relating to life and conduct; soundness of judgement in the choice of means and ends; sometimes, less strictly, sound sense, esp. in practical affairs: opp. to folly”. Terjemahan bebasnya kurang-lebih menjadi "Kemampuan untuk menilai dengan benar dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan dan perilaku; kebijakan dalam menilai pilihan mengenai sarana dan tujuan; kadang-kadang tidak terlalu kaku, masuk akal, terutama dalam hal-hal praktis: lawan dari kebodohan”. Menurut KBBI daring maka Bijaksanaan artinya adalah “selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran; 2 pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya”. Keduanya kurang lebih memberikan penjelasan yang sama mengertai kata “Wisdom” atau “Bijaksana” yaitu kemampuan menilai dengan benar dalam menghadapi sesuatu hal.

Merangkum ketiga ucapan kawan-kawan di atas, saya mencoba menuangkannya dalam satu tulisan. Pertama-tama, saya “agak” pusing menggabungkan dua informasi bahwa dengan menjadi Doktor maka saya akan menjadi lebih bijak di mana selang beberapa hari ada seorang Doktor yang menurut kawan saya (dan saya sependapat dengannya) kurang bijaksana dalam penilaiannya dan tuntutannya kepada bawahannya. Kedua, karena saya “agak” pusing maka saya menulis, karena katanya pak dosen “minimal buat kewarasan pikiran kita”. Saya pribadi masih suka terbawa emosi dalam bersikap, sepertinya juga kurang bisa menahan diri untuk tidak menegur atau tidak menjawab hal-hal yang tidak sesuai penilaian saya, walau sekarang saya sudah punya kriteria baru untuk menjawab suatu pernyataan, yaitu “tidak usah ditanggapi”. Tiba-tiba timbul pertanyaan baru di kepala “kapan saya bisa bijaksana ya?”.

Setelahnya muncul pula pertanyaan. Apakah yang sebenernya kita butuhkan untuk menjadi bijaksana? Apakah pendidikan tinggi? Apakah pengalaman yang banyak? Atau apa? Mengapa seseorang bisa dikatakan “bijaksana” dan orang lain tidak padahal sekolahnya sama tinggi dan pengalamannya kurang-lebih sama banyaknya, mungkin juga usianya sama tuanya. Keputusan atau sikap yang diambil sendiri menjadi pertanyaan lanjutan, Benar dari sisi mana? Baik buat siapa? Arti kata “kebijakan/ kebijaksanaan” dalam lingkup pekerjaan dan keseharian buat saya sendiri sepertinya sudah berubah, kalau dulu menurut pengamatan saya setiap “kebijakan” yang dikeluarkan seorang pejabat adalah untuk memecahkan permasalahan yang tidak atau belum ada aturannya, terakhir-terakhir saya malah melihatnya sebagai sebuah “pembenaran atas pelanggaran atau pembengkokan aturan”. Kalimat “mohon kebijaksanaannya” sering keluar ketika seseorang meminta dispensasi atas pelanggaran yang akan atau sudah dia lakukan.

Hufh, "banyak" banget sih pengertian dan turunan dari kata wisdom atau bijaksana dan saya kok malah makin pusing. "Hmmm, sepertinya saya butuh daftar diklat ke gadog nih buat minta penjelasan ke pak dosen sambil ditraktir di warung kopi yang katanya baru buka bersamaan dengan beliau bertugas di gadog."

  • Ojok1: jangan (Jawa Timuran)
  • Tulang2: paman dari pihak ibu (Batak);
  • Opung3: kakek/ nenek (Batak);
  • Bere-bere4: ponakan(jamak) (Batak).
  • kbbi.web.id
  • en.wikipedia.org

Sang Pembunuh

“Loh dia juga begitu kok” kilah seorang teman ketika ditegur mengenai prilakunya yang kurang baik.

Mencari contoh atau pembanding orang yang lebih buruk atau sama dengan kita sering kali saya temukan dalam berbagai pembelaan atau defence statement orang-orang disekitar saya. Entah apa yang salah dalam masyarakat ini mengapa mengungkit kelemahan atau prilaku buruk orang lain dapat menjadi justifikasi bahwa kita dapat melakukan hal yang sama dan mengurangi perasaan bersalah itu sendiri. Menurut saya melakukan hal tersebut sebenarnya adalah perbuatan “menipu” diri sendiri yang memberi ketenangan bathin sesaat. Kita tidak pernah memikirkan efek jangka panjangnya atau kemungkinan terburuknya. Bahaya terbesar dari “pembenaran” akan yang salah yang dilakukan berulang-ulang (lagi-lagi menurut saya) adalah membentuk hati dan pikiran yang bebal dan tidak sensitif. Dimulai dengan hal-hal kecil dan sederhana di satu titik akan lompat ke skala yang lebih besar.

Saya pernah bercakap-cakap dengan sesama penumpang angkutan umum soal pemotor yang berhenti di depan lampu merah dan menerobos lampu merah padahal lampu hijau hanya tinggal beberapa detik lagi, saya bilang “mungkin dia ada proyek milyaran rupiah yang harus diteken” canda saya kepadanya ketika si mbak berkata “apa susahnya sih nunggu beberapa detik lagi?”. Saya sendiri sangat terganggu dengan prilaku pemotor yang berhenti di depan garis stop dan melanggar lampu merah menurut saya orang-orang tersebut jika ada kesempatan akan melakukan hal-hal buruk yang lebih besar seperti halnya korupsi, si mbak ketawa ketika saya bilang ini, “wah, serem juga ya mas efeknya”.

“Self-respect is the root of discipline: The sense of dignity grows with the ability to say no to oneself.”-Abraham Joshua Heschel-

Melanggar hal-hal kecil adalah langkah pertama untuk melanggar hal-hal yang lebih besar, ditambah lagi dengan kebiasaan “berkaca ke orang yang lebih buruk”. Mungkin awalnya berhenti di depan garis stop, lalu mulai menerobos lampu merah, lalu mulai masuk ke jalan verboden, lalu mulai melawan arah, dan entah sesudahnya apa lagi. Eits, jangan anggap hal-hal tersebut bisa berhenti di situ saja! Setelah khatam melanggar dalam berkendara kemungkinan mulai berani melanggar hal-hal lain. Misal, membuang sampah sembarangan, menyeberang sembarangan, lalu naik ke korupsi kecil-kecilan, seperti uang lembur, uang operasional kantor, dan terima gratifikasi. Yang terakhir levelnya pun ada banyak, dari yang hanya ditraktir makan sampai terima duit puluhan milyar macam yang diduga kepada ketua DPR yang lagi jadi tersangka.

Balik lagi ke yang kecil-kecil, pernahkah terpikir bahwa menerobos lampu merah atau melawan arah itu membahayakan nyawa orang lain selain nyawa diri sendiri? Tidak ingatkah dengan keluarga yang bapaknya dipenjara, ibunya meninggal, dan anaknya piatu serta sendiri karena sang bapak melawan arah di Jalan Layang non Tol Kasablanka untuk menghindari polisi yang akan menilangnya?

Semua dimulai dari “lah, itu rame kok bro motor yang nerobos. Kita ikut ajalah” atau “udahlah ga apa-apa sekali aja kan ga ada mobil”. Saya teringat sebuah artikel tentang budaya disiplin di Jepang, saya lupa siapa penulisnya tetapi sang penulis bercerita bahwa ketika dia berada di sebuah kota kecil di Jepang yang notabene termasuk sangat sepi. Sang penulis seorang Indonesia bersama temannya yang orang Jepang akan menyeberang jalan, kondisi jalan sepi dan lampu merah bagi pejalan kaki, setelah melihat ke kiri dan ke kanan dan menyimpulkan bahwa jalanan sepi dia mengajak temannya untuk menyeberang, temannya berkata “jangan, bagaimana kalau dilihat oleh anak kecil lalu mereka mencontoh dan kecelakaan?”. Sang penulis berkata bahwa “wah, saya tidak memikirkan efeknya sampai segitunya ya, bahwa kita dapat menjadi penyebab seorang anak celaka karena perbuatan tidak disiplin kita”.


Coba bayangkan bagaimana kalau ternyata secara tidak sadar kita telah mencelakakan anak orang lain? Atau jangan-jangan anak kita sendiri?

  • referensi dari berbagai sumber

KATA (KATAMU)

Words have energy and power with the ability to help, to heal, to hinder, to hurt, to harm, to humiliate and to humble.”
-Yehuda Berg-

Kegiatan menulis ini sudah direncanakan dari kemarin, bukan tulisannya ya hanya kegiatan menulisnya. Sampai sepuluh menit yang lalupun belum terpikir mau menulis apa, kebetulan saja seminggu terakhir ini mood lagi gak enak, bawaannya males, sehari-hari mengerutu (walau dalam hati), duduk di meja sama orang banyak tapi main Candy Crush atau malah baca komik di handphone. Beberapa kali pembicaraan dilempar ke saya tapi karena tidak mendengarkan ya gak tahu dari tadi sebenarnya dia ngomongin apa, untungnya sang kawan lebih fokus untuk melanjutkan ceritanya daripada mendengarkan tanggapanku. Nah, tadi sebelum buka ms word sambil nunggu laptop loading, kebetulan laptop tua jadi ngidupinnya agak lama, saya buka Facebook deh di handphone dan nonton video soal “Kata-kata” atau lebih tepatnya “Kekuatan Kata-kata” di mana sebuah kata/ kata-kata dapat merubah hidup, menginspirasi sebuah bangsa, dan membuat dunia menjadi lebih indah. Bahwa mulutmu dapat mengeluarkan racun atau menyembuhkan hati yang luka.

Nah, kebetulan Rabu kemaren idola saya waktu kuliah sarjana (S1) saudara Buky di tengah-tengah chatting-­an kami di telegram bertanya “Muel masih suka bincang2 politik nga di fb?”. Aku menjawab “kgk, males”. Ketika ditanya alasannya aku menjawab “Gw ga sebaik itu ternyata Buk. Gw berpikiran kl gw nulis itu untuk mencerahkan tapi kenyataannya seringnya gw sarkas dengan tujuan menyakiti”. Saya sendiri merasa kalau saya adalah orang yang sangat tidak pedulian dengan lingkungan sekitar, begitu pula pendapat orang-orang terdekat saya, atau cuek dalam bahasa bekennya, “eh, cuek masih bekenkan sekarang? Apa udah ada kata-kata gaul baru? Jangan sampe anak jaman now ga ngerti maksud gw!”. Saya memang suka membaca berita politik beberapa tahun terakhir. Sebelumnya sih “sabodo teuing” kalau kata orang batak. Walau selalu mengikuti berita tetapi saya tidak ambil pusing dan tidak menyimpan harapan pada presiden yang luar biasa awesome sekali bisa memimpin negara sambil berkuliah doktor dan menelurkan lima album dalam sepuluh tahun pemerintahannya. Hanya setelah itu saya mulai “agak” sedikit perduli karena punya sedikit harapan. Eh, tak dinyana tak diduga niat “baik” saya untuk meluruskan pemberitaan dari para hoax terbawa dalam hati sehingga saya melakukannya dengan menggunakan tulisan-tulisan sarkasme, awalnya sih saya “merasa” seperti sedang berusaha “menggugah” logika teman-teman saya yang berbeda pendapat dengan saya. Kebetulan semuanya sekolah tinggi-tinggi, jadi menurut opini saya “logika saya pasti bisa masuk ke mereka”. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya yaitu “logika saya tetap gak masuk dan sepertinya mereka sakit hati dengan saya”.

Permainan kata-kata sendiri bagi saya adalah susah-susah gampang, di satu sisi saya dapat dengan mudah membaca maksud sebenarnya dalam setiap untaian kata-kata indah yang tertulis ataupun terucap di sisi lain saya sangat sulit membuat sebuah kalimat dengan halus, renyah, dan ringan tetapi pesan saya tetap bisa disampaikan. Kalimat saya lebih sering to the point tanpa basa-basi (maklum darah batak 100%) jikapun saya menggunakan analogi-analogi yang lebih sering keluar adalah kalimat-kalimat bernada sarkasme yang sinis dan menusuk. Tulisan atau perkataan saya yang pertama keluar cenderung “terlalu” jujur tanpa usaha untuk memolesnya.

Kembali ke kekuatan kata-kata, saya ingin agar kata-kata yang keluar dalam tulisan atau ucapan saya bisa merubah hidup, menginspirasi, membuat dunia menjadi lebih indah dan menyembuhkan hati yang luka, bukannya menjadi racun, menyakiti, menghambat, dan mempermalukan. Tetapi saya masih belajar, belajar bagaimana caranya bicara jujur tanpa menyakiti hati orang. Bagaimana cara beragumen tanpa menyenggol perasaan, mengiris ego, dan membangunkan orang yang sedang bermimpi. Seorang teman pernah berkata “yah kalau Sam berdiskusi mengedepankan fakta sementara ada juga yg berdiskusi untuk sinergi”.

  • Tulisan ini rencananya diposting tgl 11 November 2017 berhubung proses pembelajaran maka melalui berulang kali proses review dan edit semoga tidak mengurangi nilai kejujuran dan maaf jika masih terkandung sarkasme di dalamnya.

PNS Jujur

Beberapa hari yang lalu diselenggarakan perhelatan besar di lingkungan kantor. Budget Day namanya, melibatkan tiga unit Eselon I di Kemenkeu dan dihadiri oleh Ibu menteri tercinta, Sri Mulyani Indrawati. Saya sendiri tidak hadir karena berada di Yogyakarta menuntut ilmu dalam diklat “Evidence-Base Planning and Budgeting” (ehem, pencitraan dulu) tapi di beberapa group WA kantor bersliweran berita bahwa acara “hampir dapat di katagorikan tidak sukses”. Ribet bukan penjelasan saya? Inginnya nulis singkat “GAGAL” tapi tidak sampai hati kepada teman-teman panitia yang sudah mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam mensukseskan acara ini. Di BnD sendiri sudah ada tiga tulisan yang terinspirasi dari acara tersebut. Satu membahas tentang sinergi dan yang dua lagi soal “hampir dapat di katagorikan tidak sukses” yang belum saya jelaskan tidak suksesnya di mana.

“Hampir dapat di katagorikan tidak sukses” yang saya maksud lebih fokus kepada para peserta sudah lebih dulu bubar dan meninggalkan tempat acara sebelum acara berakhir. Di sebuah WA group pembahasannya agak panjang serta agak keras, dan pada akhirnya saya berhasil menyinggung salah seorang teman karena kata-kata saya yang menyakitkan. Padahal sebelumnya sudah ada rekan yang mengingatkan “bahwa hal-hal seperti ini sebaiknya didiskusikan dengan tatap muka dari pada di WAG yang bisa menimbulkan salah pengertian”.

Pembelaan saya kali ini adalah “saya berusaha jujur walau kadang jujur menyakitkan hati”. Saya tahu betul bahwa luka di hati bekasnya lebih dalam dari pada luka fisik tetapi kadang ada hal-hal yang tidak bisa kita hindari. Buset panjang benar ya intronya, terlihat jelas gak kalau “penulis” takut jadi orang yang dibenci setelah posting tulisan ini? Hehehe.. “dari tadi muter-muter ga nyampe-nyampe ke judul”.

Kembali ke judul “PNS Jujur”, kenapa PNS? Kenapa gak semua pegawai? Karena saya PNS dan pengalaman saya ya di pemerintahan. Menurut saya semua permasalah di dunia ini ada solusinya karena tidak ada hal baru di kolong langit ini, masalah apakah kita bisa menyelesaikannya lebih terlepas apakah kita mau atau tidak. Pengalaman saya dalam perencanaan anggaran sejak tahun 2007 semua masalah anggaran pun ada penjelasan logisnya apalagi kita dimudahkan dengan peraturan yang sudah jelas hitam putihnya, saya pasti punya solusi untuk semua masalah anggaran (dan saya yakin semua penelaah/ analis anggaran di DJA pun juga). Tapi seperti halnya seorang gadis yang curhat tentang masalah percintaannya kebanyakan orang datang hanya untuk menyampaikan keluh kesahnya dan bukan mencari solusi, mereka mangut-mangut dan bilang “oh, gitu ya pak”, lalu diikuti dengan diam sejenak dan ditutup dengan kalimat “susah ya pak” setelah mendengarkan penjelasan saya yang panjang dan berbusa-busa. Terkait dengan Budget Day, ketika saya memberikan solusi “agar peserta diberikan Surat Tugas (ST) dan diberi hukuman disiplin jika meninggalkan acara” salah satu teman panitia merespon “kaya anak kecil saja”, lah sebelumnya saya bahkan bilang “pintunya dikunci saja”. Ketika saya challenge dengan “harusnya panitia mencari tahu kenapa peserta itu gak betah nunggu sampai akhir acara” dan “IMHO dan setau saya di dunia profesional. Kegagalan sebuah acara/ kegiatan sepenuhnya menjadi tanggung jawab panitia kecuali ada force majeur”. Saya mendapat jawaban yang sama “harusnya peserta mengerti”. Sebenarnya hal ini tidak tertutup pada acara-acara seremonial saja, ketika masuk ke program-program yang melibatkan masyarakat mulai dari jaman pak Harto kasih rumah, ladang, dan sapi ke warga di Papua (waktu itu masih Irian Jaya namanya) dan akhirnya sapinya dipotong dan dimakan, lalu rumahnya ditinggal kosong begitu saja sampai yang terbaru mungkin para penghuni rumah susun “korban” penggusuran normalisasi kali Ciliwung yang masih bermasalah sampai sekarang bahwa setelah pindah mereka semakin tidak sejahtera dan kesulitan membayar sewa yang “sudah” sebegitu murahnya. Para penyusun “kebijakan” ini adalah para PNS dibantu dengan orang-orang pintar yang sedemikian rupanya mencurahkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat tanpa bertanya terlebih dahulu apa yang mereka butuhkan atau apa masalah mereka.

Nah di sini masuk lucunya, sering kali hampir selalu ketika programnya gagal “mereka” sibuk mencari kambing hitam dan kebanyakan kambing hitamnya adalah masyarakat/ sasaran program mereka. Alasan-alasan seperti “masyarakatnya tidak mengerti, warganya ngeyel, coba mereka sedikit saja mau mengerti” adalah alasan-alasan yang paling sering dilontarkan ketika sebuah acara/ program gagal. Coba kalian kerja di swasta dah dipecat kalau berani jawab begitu ke bos, kira-kira begini percakapannya. Bos: “Kenapa motor kita ga laku?”, sales: “ini bos, konsumen ga mau ngerti kalo motor kita tuh bagus, harusnya kan mereka beli ya”. Nah, kurangnya kemauan bercermin atau saya bilang “Jujur” menjadi salah satu masalah klasik dalam dunia birokrasi. Semua sibuk ingin dimengerti tetapi tidak pernah meluangkan waktu untuk duduk dan mendengarkan sehingga bisa mengerti apa sebenarnya masalahnya. Ketika sebuah saya memberi masukan “agar pintu dikunci saja” dan “diberikan ST dan ancaman hukuman disiplin” yang menurut saya adalah cara paling to the point saya ditertawakan, ketika saya katakan bahwa “mereka harus terlebih dahulu mencari masalahnya” dan “bahkan ketika saya menunjukkan masalahnya dan cara menyelesaikannya”, mereka terdiam lalu berkata pelan “wah, susah ya pak Samuel”. Ketika saya bilang yang salah mereka, mereka tersingung “wah, jangan begitu dong pak”.


“Jadi lo maunya apa sih? Dari tadi curhat ga ada ujungnya, tadi nanya solusi. gw bilang solusinya putus lo bilang gak mau, orang cowok lo kagak bener gitu. Udah ah buang-buang waktu gw aja lo, gw mau maen pe-es nih”, sambil menutup telpon (blom ada HP jaman itu) secuplik percakapan dengan sahabat saya Tika di masa SMA yang bolak-balik curhat tentang cowoknya si Uwi.

Silaturahmi Offline

Tadi siang bertemu seorang penggiat BnD, tanyanya“gak nulis lagi?”. “Lagi gak tau mau nulis apa, gw masih berpegangan dengan judul Bukan Nota Dinas jadi pengennya nulis yg gak ada hubungannya dengan kantor tapi dari kemaren-kemaren apalagi abis diklat di Bekasi yang kepikiran malah tetek-bengek di kantor” jawabku. “Tulis yang ringan-ringan ajalah”, imbuhnya. “Blom tau mau nulis apa, yang ringan-ringan juga ujung-ujungnya kantor”, bantahku dengan suara pelan. Hening di antara kami, lalu entah pikiran dari mana aku berujar “pengen silaturahmi deh tapi bukan sama orang kantor, siapa tau membuka peluang baru”. Tanpa pikir panjang aku posting di WAG SMP ku “dah lama nih kayaknya kita gak silaturahmi” tadinya aku ingin menambahkan ajakan tapi ku pikir aku ingin melihat dulu respon dari teman-temanku. Kebetulan groupnya kecil hanya terdiri dari 51 orang, entah kenapa ini group gak nambah-nambah isinya padahal angkatan kami sepertinya sampai 200an orang. Yang menyahut hanya satu orang, yang read separuhnya. “hahaha, sepertinya ajakan gw kagak laku” pikirku.

Silaturahmi, sepertinya sudah terjadi pergeseran dalam pilihan orang-orang dalam bersilaturahmi. Saling bertegur sapa, mengucapkan selamat ultah, menanyakan kabar, dan berbagai interaksi sosial sudah bergeser ke media sosial bahkan ketika ada postingan tentang kerabat yang sakit dilakukan melalui media sosial seperti halnya whatsapp, facebook, dan lain sebagainya. Saya sendiri sudah malas untuk mengucapkan selamat ultah di media sosial, untuk orang-orang terdekat saya memilih bertelpon jika tidak bisa bertemu muka, gak banyak sih cuman dua orang di luar saudara kandung saya yang saya masih telpon untuk tanya kabar dan mengucapkan selamat ultah.

Silaturahmi di Indonesia sendiri paling sering terjadi di hari-hari besar keagamaan, seperti halnya Idul fitri, Natal, Nyepi, Waisak, dan Imlek. Sebelumnya saya selalu membuat pesan dan ucapan selamat sendiri dan mengirimkannya melalui sms, menurut saya “sms lebih dekat dari pesan di whatsapp”.  Hus, jangan keras-keras ketawanya, mau bilang gw katrok? Ya suka-suka situ. Tapi sebenarnya saya lebih senang mengucapkan langsung sambil menyalam dan bertatap muka, rasanya kalau hanya di WA atau sms tuh kosong apalagi kalau di WAG pasti ujung-ujungnya “copas” dari teman yang duluan posting.

Tapi memang silaturahmi tatap muka membutuhkan banyak tenaga. Menembus kemacetan ibu kota, antrian mencari tempat duduk di cafe atau restoran, belum lagi uang yang harus dikeluarkan, dan tentu saja waktu yang harus disediakan mungkin saja membuat banyak orang berpikir dua kali untuk hangout apalagi untuk sekedar berbincang-bincang. Kesibukan di kantor atau di tempat usaha dari pagi sampai sore sudah menguras pikiran dan segala usaha yang harus dikeluarkan untuk bersilaturahmi offline menjadi beban bagi mereka. Belum lagi anak dan istri yang menanti di rumah, membuat sebagian orang tidak ingin lagi “membuang waktu” di luar dan ingin cepat-cepat sampai rumah.

“Do, kapan ke Jakarta kabarin aja. Kita ngopi-ngopi ya” Japri ku ke teman yang membalasku tadi. “Siapa tahu ada peluang baru” pikirku. Silaturahmi offline terakhirku memberiku tambahan beberapa rupiah di pemasukan bulananku padahal hanya modal waktu dan mendengarkan keluh kesah temanku, pergi dijemput, makan dibayarin. Hihihihi, siapa tahu bisa berulang, hayalku.

STANDAR (g)ANDA



“Wah parah lu, menghina agama gue lu, lu kan ga boleh bahas-bahas agama gue, penistaan itu namanya”, kata Jonny pada Dwi. “Lah, elu sendiri suka bahas-bahas agama gue”, jawab Dwi. “lah, itukan beda bro. Gw kan mau ngasih tahu yang bener ke elu”, tangkis Jonny.

Standar ganda sendiri tidak ada penjelasannya dalam KBBI daring tapi saya menemukan dalam wikipedia dan berbagai website berbahasa Inggris. Kalau menurut wikipedia bahasa Indonesia begini kira-kira ” Standar ganda adalah ukuran standar penilaian yang dikenakan secara tidak sama kepada subjek yang berbeda dalam suatu kejadian serupa yang terkesan tidak adil. Konsep standar ganda telah diterapkan sejak tahun 1872 terhadap fakta struktur moral yang sering diterapkan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan bermasyarakat.” Kurang lebih sumber-sumber lain berbahasa Inggris pun sependapat jika standar ganda awalnya adalah pembeda konsep moral antara laki-laki dan perempuan dalam hal hak, perlakuan, cara bersikap, dan tingkat toleransi masyarakat.

Pada akhirnya standar ganda meluas ke berbagai hal, baik itu status sosial, pangkat, ras, suku, agama, orientasi seksual, umur, dan lain sebagainya sesuai kebutuhan si pelaku/ pembuat pernyataan. Sampai sekarang saja kita belum selesai membahas bahwa laki-laki tidak boleh menangis, perempuan yang punya pacar lebih dari satu adalah perempuan nakal, dan laki-laki yang harusnya membayar ketika makan di luar. Ditambah lagi dengan penggunaan standar ganda tersebut dalam berbagai hal lainnya.

Para pelaku standar ganda biasanya disebut hypocrite atau bahasa kerennya “munafik”, mereka biasanya tidak sadar atau tidak mengakui bahwa mereka melakukan standar ganda, berjuta alasan dikemukakan untuk membenarkan pernyataan mereka, seperti halnya Jonny di atas. Bahwa sudut pandang merekalah yang benar, orang lain salah, bahwa kelompok merekalah yang benar, kelompok lain salah, bahwa merekalah yang ditindas, bukan menindas, dan lain sebagainya. Ada anggapan standar ganda biasanya terjadi pada orang-orang yang narsis atau cinta diri sendiri, mereka berpikir bahwa mereka berhak untuk mengkritik, mengeluarkan opini mereka, berlaku kasar, tidak sopan dan tidak sensitif tetapi akan meraung-raung ketika ditunjukkan prilaku negatifnya dan menyalahkan kamu, kamu yang terlalu sensitif, kamu yang berpura-pura, kamu yang jahat karena kamu membela diri mu dan tidak (mau) memahami dan mentoleransi mereka.

Ada banyak orang marah dan mengeluarkan caci maki di media sosial ketika seorang menggunakan kata “autisme” dalam candaan atau hinaan dikarenakan menyakiti orang tua yang memiliki anak dan tidak memiliki empati atas anak-anak yang menderitanya. Tetapi orang-orang yang sama diam ketika ada orang membawa parang dalam membubarkan sekolah minggu di sebuah rumah susun di Jakarta, mereka seketika kehilangan empati atas anak-anak dan orang tuanya, bahkan video orang yang membawa parang di depan anak-anak tidak membuat mereka marah.

Standar (g)anda, anda saja yang benar.

  • Id.wikipedia.org
  •  En.wikipedia.org
  • Tangri. projectavalon.net. 23 Maret 2016. <http://projectavalon.net/forum4/showthread.php?89597-Hypocrisy-and-Double-standards>
  • Michael Rossmann, valleybiblegj.com. 1 September 2016 <https://valleybiblegj.com/whats-wrong-with-double-standards/>

CPNS oh CPNS


Beberapa bulan terakhir ini hingar-bingar berita penerimaan CPNS menjadi trending topic di mana-mana, setelah tiga tahun moratorium penerimaan PNS jutaan orang bersiap-siap menyambutnya (lagi) selayak mana sebuah pesta besar. Calon pesertanya heboh, orang tuanya lebih heboh lagi. Berbagai hal harus dipersiapkan, kantor polisi dan RSU penuh dengan pengantri yang mengurus SKCK dan surat keterangan sehat dan bebas narkoba yang menjadi salah satu prasyarat mendaftar ujian CPNS. Toko bukupun sepertinya turut mendulang rupiah dengan lakunya buku-buku soal persiapan CPNS, bahkan dengar-dengar para pemuka agama dan dukun juga kebanjiran pesanan untuk mendoakan.

Kenapa ingin jadi PNS? Pertanyaan itu berulang kali saya tanyakan kepada ponakan, saudara, atau teman yang bercita-cita ingin jadi PNS. Berbagai jawaban terucap baik yang jujur maupun yang tidak (perasaan saya sih kalo doi ga jujur, moga-moga salah). Ada yang dengan lantang bilang “kalau jadi PNS itu enak, kerjanya sedikit tua dapat pensiun”, ada juga yang malu-malu bilang “disuruh bapak, soalnya bapak pensiunan PNS atau pejabat disalah satu kementerian”. Tapi bukan berarti tidak ada yang menjawab “passion saya disitu, saya pengen bangt tuh kerjaan yg d mana stiap hari nya sy slalu ngomong bhs. inggris secara tatap muka dgn org2 bule2 di bidang ekonomi business gitu2 mas dan kebetulan bokap juga kepala di kanwil pajak hehe so yeah pengen nge-lanjutin gitu mas samuel”, kebetulan yang terakhir ini mendaftar jadi cpns di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Menurut Suhendra dalam artikelnya di www.tirto.id pada tanggal 11 September 2017 lalu “Lowongan sebagai PNS memang selalu menjadi dambaan banyak orang di Indonesia, dengan fasilitas dan jaminan yang tak dimiliki oleh pekerja swasta dan lainnya” dan Kementerian Keuangan menjadi favorit di karenakan memberikan insentif tunjangan kinerja yang cukup mengiurkan. Belum lagi prestise bagi pegawai di Kemenkeu pada umumnya dan DJP serta DJBC pada khususnya (ini menurut para orang tua calon pendaftar loooh).

Kepada saudara terdekat saya suka berkata “ngapain jadi PNS kalo cuman mau cari aman?”, “Anak perempuan nanti kalo penempatannya jauh gimana?”. Ato saya juga suka bilang “PNS ga bisa kaya tau”. Kalau mengutip kata-kata Ibu Sri Mulyani “jika ingin menjadi kaya, jangan menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Dia menyarankan anak muda menjadi pebisnis jika ingin menjadi miliuner”. Buat saya pribadi salah satu cita-cita saya adalah mencapai kebebasan finansial atau bahasa ilmiahnya “kaya” dan selama lebih dari sepuluh tahun mengabdi sebagai PNS hal itu sepertinya sulit dicapai. Jikapun sebagai PNS memiliki sampingan ada kemungkinan (yang paling kecil) akan mengganggu kinerjanya, lebih-lebih akan diperiksa KPK karena dicurigai KKN.

PNS bukan bantalan untuk kepastian hari tua, bukan juga untuk kerjanya sedikit gajinya lumayan. Menjadi PNS artinya harus siap melayani bukan dilayani. Pekerjaannya pun tidak selamanya indah, yang terlihat di layar televisi atau smart phone kamu hanya sebagian saja, yang tidak tersorot kamera dan tidak terposting di facebook lebih banyak lagi. Sudahkah kamu cek berapa kantornya? dimana lokasinya? Apa kerjaannya?

Pikirkan lagi niatmu menjadi PNS dik, dan tentu saja semoga yang terbaik yang berhasil. Salam.

Impossible is a word to be found only in the dictionary of fools -Napoleon Bonaparte

  • Aini Boom. boombastis.com. 8 September 2017. <http://www.boombastis.com/meme-kocak-pns/120548>
  • Suhendra. “Peluang Sempit jadi CPNS 2017.” Tirto.id. 11 September 2017. <https://tirto.id/peluang-sempit-jadi-cpns-2017-cwlg>

PERDANA

Hai, ini adalah tulisan “perdana” saya di www.bukannotadinas.com, perdana menurut KBBI daring artinya “pertama (kali)”. Selalu ada pertama (kali) dalam semua hal. Mengapa saya menulis? Entah apa yang pertama atau bagaimana urutannya tetapi yang pasti saya merasa bahwa dengan menulis saya dapat mengembangkan kemampuan saya dalam berpikir dan mencerna tulisan, dengan menulis saya dapat menyampaikan pemikiran saya kepada lebih banyak orang lebih dari percakapan di meja warung kopi Zafilia di kantin kantor saya, dengan menulis saya bisa mendapat masukan atas pemikiran saya dalam tulisan, dengan menulis saya dapat melepaskan “kegalauan” saya tentang hal-hal di sekitar saya yang tidak sesuai dengan nalar saya, dan tentu saja harapan bahwa suatu saat kemampuan menulis saya dapat berkembang dan memberi manfaat bagi orang banyak dan (tentu saja) pengembangan diri dan karier saya baik di kantor ataupun di tempat lain jikalau Tuhan menghendaki.

Kembali ke soalan “perdana”, beberapa hari ini saya melakukan beberapa hal-hal perdana sekaligus. Hal-hal yang selama ini saya hindari karena ketakutan-ketakutan akan resiko yang belum pasti. Di mulai dengan beberapa bulan lalu saya mulai berhutang (kembali), sungguh awalnya menguras pikiran karena balik lagi ke khawatiran yang tiada usai, ketika akhirnya saya melangkah ternyata di langkah kedua dan ketiga jalan saya sudah lebih mantab, berdiri saya sudah makin tegap, dan (katanya) saya makin terlihat muda (dude, narcissism is not a crime). Kemudian saya mencoba hal-hal baru lainnya seperti berinvestasi dan mempersiapkan diri untuk kuliah lagi dan mencari beasiswa S2, mulai membaca (lagi), dan beberapa hal lain. Ternyata (memang) banyak jalan menuju ke Roma dan jalannya di situ-situ saja, hanya karena saya takut menoleh ke kiri dan ke kanan maka saya tidak pernah melihat jalan-jalan lain tersebut. Banyak alasan saya atas ketakutan-ketakutan saya, alasan yang mungkin logis tapi seringkali retorika. Alasan yang dibuat-buat dan jadi pembenaran para pecundang, dan itu bukan saya.

Perdana, hari ini pertama (kali) saya menulis untuk www.bukannotadinas.com, semoga ini bukan yang terakhir dan tentu saja semoga bermanfaat bagi para pelaku langkah pertama. Salam.

To me faith means not worrying – John Dewey