Tampilkan postingan dengan label Studi Kasus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Studi Kasus. Tampilkan semua postingan

“Now, how do you think, Mr. Prime Minister”?


Matanya memandang lekat pada papan yang telah penuh dengan 2 jam penjelasan deskriptif dan mendetail dari si pembicara di muka ruangan, sesekali dia menarik nafas panjang dan melemparkan pandang ke sekeliling ruangan yang dipenuhi oleh nama-nama yang memiliki posisi penting di negara baru tersebut dan dia menyadari bahwa mereka melakukan hal serupa, hingga pada satu titik dimana si pembicara menyelesaikan penjelasannya dengan melemparkan satu pertanyaan pamungkas kepadanya :

“Now, how do you think, Mr. Prime Minister”?

Di satu pagi yang mendung September 1965, laki-laki yang bernama Lee Kwan Yew itu mengumpulkan jajaran pemerintahannya segera setelah pergelutan panjang yang melelahkan untuk menjadikan Singapura sebagai negara berdaulat. Lee paham betul bahwa mereka tidak punya waktu untuk perayaan, tidak kala kondisi negara itu masih dalam ketidakpastian baik secara politik maupun ekonomi dan harus ditangani secara bersamaan secara hati-hati. Salah langkah, maka negara baru ini bisa kembali dengan mudah dianeksasi dan semua usaha akan menjadi sia-sia.

Hari itu dia sedang mencurahkan perhatiannya untuk keselamatan ekonomi Singapura.

Dr. Albert Winsemnius, nama orang Belanda yang sedari awal hari telah berbicara di depan ruangan yang dihadiri hampir seluruh jajaran pemerintahan bidang ekonomi Singapura. Dia menjabarkan proposal setebal lebih dari 120 halaman yang jika setujui oleh Lee, akan menjadi panduan pengembangan ekonomi Singapura dalam jangka 20 tahun mendatang. Dia mengutarakan bahwa Singapura harus melanjutkan sebagai pusat industri hanya untuk menstabilkan kondisi ekonomi dan harus segara beranjak menjadi pusat investasi dan perdagangan dunia (World’s trade and investment hub) dalam beberapa dekade mendatang.

Pendapat Wimsemnius mendapatkan tentangan keras. Tak tanggung-tanggung, Tan Yusoff bin Ishaq sang Presiden bersama beberapa Ekonom Singapura yang hadir dan menyatakan bahwa akan terlalu riskan jika Singapura meninggalkan sumber devisa utamanya untuk sesuatu yang belum terbukti dan jika gagal akan membahayakan. Di tengah suasana tegang (ditambah suasana mencekam terkait gesekan antar ras yang saat itu tengah memanas), Lee selaku PM mengajak rekannya tersebut untuk meninggalkan ruangan untuk berdiskusi empat mata membahas perbedaan pandangan tersebut. Pertemuan empat mata yang terjadi di ruangan terpisah itu mungkin 30 menit terlama yang pernah dilalui oleh masing-masing dari mereka. 

Entah apa yang dikatakan oleh Lee, hingga akhirnya mereka berdua sebagai Perdana Menteri dan Presiden sepakat memutuskan untuk mengambil resiko itu. Sebuah resiko yang sepadan dengan bukti sejarah tingkat kemajuan fenomenal di bidang perekonomian yang ditunjukkan oleh Singapura hingga beberapa dekade mendatang.

Fragmen di atas lekat dalam sejarah perekonomian Singapura. Karena jelas keputusan 30 menit tersebut mengubah wajah Singapura secara revolusioner dan membawa mereka dari negara dunia ketiga menjadi salah satu negara termakmur di Dunia dan dipandang sebagai macan ekonomi Asia.

Ada beberapa hal lain sebenarnya yang bisa diambil dari potongan kisah tersebut.
Namun, agar bisa menjadi bahan diskusi, saya mengajak kawan-kawan kontributor untuk menyampaikan pendapatnya mengenai pelajaran apa saja yang bisa diambil dari kisah tersebut di kolom komentar, lebih baik lagi jika dituangkan dalam postingan baru J .


Referensi :
1.       Van der Heijden, Kees (2005). The Art of Strategic Conversations, 2nd Ed. John Wiley and Sons Ltd.
2.       Neo, Boon Siong & Chen, Geraldine (2016). Dynamic Governance, World Scientific.


Disclaimer :
Kisah di atas mengalami proses penyuntingan seperlunya