Tampilkan postingan dengan label review buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label review buku. Tampilkan semua postingan

Review Buku: Physics of The Impossible


Sejak awal peradaban, manusia diciptakan berbeda dengan makhluk hidup lainnya karena adanya impian atau cita-cita. Di dalam bukunya "The Evolving Self," Mihalyi Csikszentmihalyi memperlihatkan betapa manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang berpikir tentang hari esok. Adapun mamalia lainnya hanya mengolah informasi yang dijumpai seketika pada lingkungan di sekitarnya saja. Hanya manusia yang bisa mengangankan ingin punya pasangan hidup seperti apa, pekerjaan seperti apa, atau kegiatan apa saja yang ingin dilakukannya bila ia mempunyai keleluasaan dalam hal waktu atau kesempatan. 

Tengoklah anak-anak kecil, mereka adalah contoh paling tepat yang menggambarkan betapa kita semua pada mulanya (dan fitrahnya) adalah pemimpi. Anak-anak akan mengkhayalkan kehidupan yang paling menarik yang mungkin terbayangkan sejauh pengetahuan atau kosakata yang mereka miliki saat ini. Keponakan saya mengkhayalkan bila dewasa nanti ia akan mengelola dua toko cupcakes (kue mangkok dengan buttercream warna-warni) yang masing-masing akan mempunyai dua tema yang berbeda: tema romantis dan lembut seperti kartun "Frozen" dan juga tema misterius dan unik seperti kartun "Transylvania." Saya hanya bisa terkekeh-kekeh sambil mengangguk sepakat dengan cita-citanya ini ... terutama saat dengan seriusnya ia berkata, "Nanti kalau sudah jadi tokonya, aku akan gratiskan cupcakes-nya untuk Tante Embun dan Bunda ... selamanya." Tak perlu dikuatirkan kapan ia akan balik modal, atau apakah cupcakes gratis ini malah akan membuat rugi karena saya yang terlalu sering diundang berkunjung ke tokonya.

Uniknya, pengalaman saya memperlihatkan bahwa kapasitas manusia dewasa untuk bermimpi cenderung menurun seiring pertambahan usia. Uniknya lagi, kemampuan bermimpi secara masif malah lebih sering dikembangkan oleh mereka yang profesinya menuntut rasionalitas penuh, yaitu dunia sains dan teknologi. Contohnya antara lain bidang fisika, komputer, astronomi, kimia, atau kedokteran. Di sisi lain, sikap pragmatis atau bahkan pesimis terhadap angan-angan manusia malah lebih sering saya temukan pada mereka yang jenjang karir atau akademisnya lebih berkenaan dengan sisi manusiawi, seperti ahli ekonomi, psikologi, atau sosiologi.

Di dalam bukunya, "The Physics of The Impossible," Dr. Michio Kaku menggambarkan secara gamblang segala perkembangan riset terkini (khususnya yang terkait dengan bidang beliau, fisika teoritis) yang pada dasarnya semua bermula dari impian manusia. Menurut Dr. Kaku, pada awalnya semua hal adalah mustahil. Apakah yang dimaksud dengan mustahil itu? Menurutnya, mustahil itu ada level-levelnya ... dan ini mengingatkan saya dengan level-level kepedasan keripik Maicih. Menurut Professor Kaku, tingkat kemustahilan dalam dunia fisika sangat erat kaitannya dengan kemajuan peradaban manusia. Dengan kata lain, mustahil itu relatif dengan soal waktu. Apa yang dulu mustahil belum tentu sekarang mustahil, dan apa yang sekarang mustahil belum tentu mustahil di masa depan. 

Dr. Kaku membagi mustahil ke dalam 3 kelas, yaitu: Mustahil Level 1, Mustahil Level 2, dan Mustahil Level 3. Level pertama dari 'mustahil' adalah sesuatu yang secara teoritis adalah mungkin, namun belum pernah diimplementasikan dalam kenyataan. Biasanya hal-hal semacam ini telah diujicobakan di laboratorium namun masih dalam taraf 'rahasia' atau hanya diketahui oleh kalangan terbatas. Beberapa contoh Mustahil Level 1, antara lain terkait penelitian mengenai teleportasi, telepati, psikonesis, makhluk luar angkasa, teknologi tak kasat mata, dan sejenisnya. Lima tahun yang lalu, Mercedes Benz telah memperkenalkan teknologi tak kasat mata dengan prototipe sedan F-Cell, yang bukan hanya lolos dari pandangan mata semua pengguna jalan, namun juga ramah lingkungan karena sama sekali tidak menghasilkan polusi (zero emission) berkat bahan bakar hidrogen yang berlimpah pada air dan udara bersih. Mereka menggunakan teknik tipuan mata dengan bantuan cermin dan kamera mikro.

Adapun psikonesis adalah kemampuan menggerakkan atau memindahkan suatu benda tanpa menyentuhnya sama sekali dengan anggota tubuh kita. Sebenarnya psikonesis dapat memberikan manfaat yang jauh lebih penting dari sekadar gaya-gayaan atau pertunjukan sulap. Bila di kemudian hari teknologinya dapat diterapkan secara luas, psikokinesis akan sangat membantu pasien stroke dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari. Teknik dasarnya kira-kira seperti ini: Dengan bantuan sinyal listrik dari gelombang otaknya yang terhubung dengan semacam alat 'penerjemah' sinyal, pasien stroke akan dapat menyalakan mesin, menulis dengan komputer, dan mengoperasikan benda-benda lainnya yang bersumber daya listrik ... tanpa tergantung dengan bantuan suster atau anggota keluarga. Masih banyak lagi contoh dari Mustahil Level 1, dan bisa dikatakan bahwa contohnya jauh lebih banyak daripada Mustahil Level 2 ataupun Level 3 karena tingkat pemahaman yang dibutuhkannya kini sudah banyak tersedia di banyak laboratorium, perpustakaan, atau media secara umum. Untuk referensi Mustahil Level 1, menurut saya, mungkin kita bisa melihatnya dalam film-film action seperti Minority Report, Mission Impossible, Bourne Trilogy, dan sejenisnya.

Beranjak ke Mustahil Level 2, ia didefinisikan sebagai mustahil karena peluang penerapannya hanya bisa dikatakan mungkin dalam kurun waktu ribuan atau bahkan jutaan tahun ke depan, itu pun dengan asumsi bahwa masih ada manusia yang tersisa untuk menikmatinya. Beberapa contohnya antara lain mesin waktu, perjalanan antar galaksi, dan perjalanan lintas lorong antar dimensi yang lazim kita kenal dalam bidang astronomi sebagai "wormhole." Untuk referensi Mustahil Level 2, menurut saya, mungkin kita bisa menonton film science fiction seperti Back to The Future, Jurassic Park, Star Trek, dan Star Wars.

Terakhir, Mustahil Level 3 yang dikatakan mustahil karena bertentangan dengan hukum fisika yang kita kenal saat ini. Menurut hemat saya, inilah menariknya ilmu pasti apabila dibandingkan dengan ilmu sosial. Ilmuwan yang berkecimpung dalam ilmu pasti (matematika, fisika, kimia) selalu menerima kemungkinan bahwa pada suatu ketika di masa depan bisa jadi teori mereka tidak akan berlaku lagi karena ada teori baru yang lebih kuat dan lebih mampu menjelaskan fenomena alam secara konsisten. Menurut Dr. Kaku, contoh dari mustahil yang (saat ini) sangatlah mustahil adalah mesin yang bekerja terus-menerus selamanya tanpa kehabisan energi (perpetual motion machine). 

Sebagaimana kita ketahui, salahsatu prinsip fisika mengenai "energi" yaitu bahwa "energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dihilangkan." Energi hanya berpindah-pindah atau berubah bentuk saja. Energi angin dapat menggerakkan turbin karena ia berubah menjadi energi gerak (kinetik) lalu turbin mengubah energi gerak itu menjadi energi listrik ... yang sampai ke rumah kita untuk digunakan menyalakan pesawat televisi yang mengubah energi itu menjadi energi suara dan cahaya. Tanpa adanya pasokan tersebut, televisi tidak akan menyala sehingga kita pun menggunakan energi kalori dari makanan yang kita santap untuk melakukan aktivitas lain, seperti berpikir, berbicara, menulis, menyapu rumah atau bahkan tidur. Tidur adalah aktivitas yang menggunakan energi, khususnya karena dalam kondisi itulah tubuh manusia 'mereparasi' dirinya dan mengganti sel-sel rusak dengan sel-sel baru yang bekerja secara optimal. Inilah sebabnya mengapa setiap bangun tidur biasanya kita merasa lapar. Sebagai suatu sistem yang bekerja secara otomatis pun, tubuh manusia selalu perlu suplai energi. Sebelum ada penemuan baru yang membuktikan bahwa ada mesin yang bisa bekerja tanpa suplai energi, maka perpetual motion machine (sampai dengan saat ini) adalah mustahil yang paling mustahil untuk diwujudkan dalam bidang fisika.

Suatu waktu saya pernah menonton film "2001: Space Odyssey"  produksi tahun 1968. Semula saya hanya menikmatinya sebagai film futuristik biasa. Bahkan saya bersiap-siap untuk tertawa apabila ada special effect yang terasa sangat jadul untuk ukuran teknologi sekarang. Di luar dugaan, saya menemukan suatu adegan yang tak terlupakan; yaitu ketika sang astronot mengutak-atik benda tipis berbentuk persegi panjang seperti buku .... sebab itu ternyata mirip dengan iPad! Setahu saya benda ini baru populer pada tahun 2011. Ternyata sutradara film itu sudah membayangkannya akan tersedia pada tahun 2001. Adegan lainnya yang tidak kalah mencengangkan adalah ketika sang astronot menyalakan layar untuk teleconference dengan anak dan istrinya di bumi. Saya benar-benar syok melihatnya ada di film tahun 1968! Sebab teknologi ini pun belum populer pada tahun 1990-an ... dimana pada masa itu telpon genggam masih berbentuk batako dan harganya lebih mahal dari motor. Demikianlah, jangan takut untuk bermimpi .... sebab mustahil hanya soal waktu.

Referensi:

Physics of The Impossible by Dr. Michio Kaku (2008) https://g.co/kgs/wULe8g
The Evolving Self by Mihalyi Csikszentmihalyi (1993) https://g.co/kgs/Ip8xK6
2001: Space Odyssey by Stanley Kubrick (1968) https://g.co/kgs/fiYMyI

Mampu dan Peduli



Di dalam bukunya “7 Habits of Highly Effective People”, salah satu ide menarik yang diungkapkan oleh Stephen R. Covey adalah konsep Circle of Influence & Circle of Concern. Kedua istilah ini apabila diterjemahkan bebas ke dalam Bahasa Indonesia  kira-kira akan menjadi “Lingkaran Pengaruh” dan “Lingkaran Peduli.” Konsep ini terkait erat dengan kebiasaan nomor #1 dari orang-orang yang efektif, yaitu kebiasaan bersikap proaktif untuk menyelesaikan tanggung jawab di dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Menurut Covey, orang-orang yang proaktif akan mengalokasikan waktu dan energi mereka  untuk hal-hal yang bisa mereka ubah atau kendalikan. Inilah karakteristik utama yang paling jelas membedakan antara manusia proaktif dengan manusia reaktif. Bertolak belakang dengan pendekatan manusia proaktif, manusia yang reaktif akan menghabiskan waktu dan energi mereka untuk hal-hal yang mereka pedulikan tapi sebenarnya mereka sendiri tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubahnya. Untuk memahami lebih lanjut, berikut adalah beberapa poin penting yang saya tangkap dari konsep Lingkaran pengaruh dan Lingkaran Kepedulian tersebut:

  1. Dengan memusatkan energi dan waktu kita untuk bekerja  di dalam Lingkaran Pengaruh, sebenarnya kita sedang memperkuat dan memperbesar pengaruh atau kekuatan kita sendiri sehingga bisa mencakup hal-hal lain yang sebelumnya berada di luar kendali kita.
  2.  Apabila Lingkaran Peduli lebih besar daripada Lingkaran Pengaruh, artinya kita menggunakan lebih banyak waktu dan energi untuk mengurus hal-hal yang sebenarnya berada di luar kendali kita sendiri. Bisa jadi itu bemakna bahwa kita adalah manusia yang terlalu optimis. Bisa jadi juga, itu artinya kita belum mengetahui batas-batas kemampuan kita yang sebenarnya.
  3. Apabila Lingkaran Pengaruh ternyata lebih besar daripada Lingkaran Peduli, artinya kita mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar daripada yang kita sadari. Bisa jadi itu karena kita tidak tertarik mengatasi beberapa permasalahan yang sebenarnya masih menjadi bagian dari tanggung jawab kita sendiri (karena adanya kelebihan berupa ilmu, tenaga, keahlian, atau sumber daya lainnya yang kita miliki). Bisa jadi juga karena kita sendiri juga belum menyadari seberapa banyak kelebihan-kelebihan yang kita punya.







Selanjutnya, saya memberikan contoh dan implikasi dari poin-poin di atas:
  1. Contoh dari sikap proaktif yaitu apabila kita tekun dan fokus untuk melaksanakan pekerjaan, tugas, ataupun target-target pribadi dengan baik. Apabila kita berhasil menyelesaikan itu semua dengan baik, maka dengan sendirinya kita menciptakan sesuatu yang dinamakan dengan ‘reputasi’ … yaitu sesuatu yang akan mendekatkan hal-hal atau orang-orang yang lebih penting dan menarik untuk masuk ke dalam kehidupan kita, relatif jika dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman kita sebelumnya. Tentu saja ini subjektif, sebab perkara penting atau menarik bagi satu orang belum tentu penting dan menarik bagi orang lain. Oleh karena itu kita perlu mengetahui minat dan kemampuan kita sendiri, dan baru mencari cara untuk meningkatkan keahlian kita di dalam hal tersebut.
  2. Dalam kaitannya dengan Lingkaran Peduli, kita perlu belajar untuk menentukan prioritas, bersikap fokus dan belajar mengendalikan hal-hal yang kurang penting supaya tidak menyerap banyak waktu dan energi yang sebenarnya lebih dibutuhkan untuk melakukan hal-hal lain yang lebih penting atau menjadi prioritas kita. Dalam hal ini, Covey juga menegasakn perlunya membedakan antara yang “penting” dengan yang “mendesak” (atau “segera” … ingat nota dinas?). Sebab, tidak selalu yang penting itu mendesak, sebagaimana tidak selalu yang “segera” itu penting. Sebagai  contoh, kita lebih mudah teralihkan dengan notifikasi di ponsel atau media sosial dibandingkan meluangkan waktu untuk berpikir mau makan siang dengan menu apa atau mau melakukan apa di waktu luang. Saat ini ada 25 pesan Whatsapp, 17.159 email,  dan 1 notifikasi Facebook yang belum saya baca. Apakah itu semua penting? Belum tentu. Bisa jadi 70% dari email yang tak terbaca itu adalah spam, dan mungkin hanya 50% dari pesan Whatsapp yang bermanfaat untuk kebaikan orang-orang yang saling berinteraksi di dalamnya. Alih-alih memberikan manfaat, kadangkala ada juga perseteruan yang terpicu karena salahpaham dalam berinteraksi di dunia maya. Sering juga  saya tidak tahu harus berbuat apa ketika membaca berita gempa bumi, perceraian artis, atau perang di negara yang tidak ada hubungan diplomasi dengan Indonesia (ditambah pula saya memang bukan diplomat).
  3. Poin terakhir ini (menurutku) adalah ironi kehidupan. Sering kita tidak tahu seberapa pengaruh kita terhadap orang lain, dan menganggap semua keputusan kita hanya berpengaruh kepada diri sendiri. Baru-baru ini salah satu penyedia jasa transportasi online menerapkan tarif baru yang lebih tinggi daripada tarif lamanya. Tidak sedikit penumpang yang mengeluhkan hal ini, dimana tarif yang biasanya Rp6.000/5km menjadi Rp8.000/5km. saya bukan orang kaya, dan kenaikan tarif itu tentu juga ada pengaruhnya bagi biaya hidup sehari-hari. Akan tetapi, pernahkan terpikir betapa relatif harga suatu layanan? Mengapa kita tidak mengeluh dengan harga semangkuk bakso yang harganya dua kali lipat (Rp12.000)? Apakah karena kita langsung kenyang dengan bakso, tapi ojek tidak membuat kenyang? Padahal tarif ini artinya bahwa seorang pengemudi ojek harus mengantar penumpang sejauh 10 km sebelum ia sendiri bisa membeli semangkuk bakso … belum lagi memikirkan makan anak dan istrinya. Oleh karena itu, sangat penting untuk melihat efek dari setiap perbuatan kita terhadap lingkungan, baik manusia lain maupun alam di sekitar kita.  Sebab Lingkaran Pengaruh yang lebih besar daripada Lingkaran Peduli itu sendiri bisa menandakan kelalaian.
  Referensi:
Covey, Stephen R.,  “The 7 Habits of Highly Effective People Habit 1 : Be Proactive”, diakses pada 7 April 2017 melalui [www.stephencovey.com/7habits/7habits-habit1.php]


gambar dibuat dengan aplikasi "Paper" (www.fiftythree.com)


Klub Film


Jika suami saya menikmati buku ini dari sudut pandang bahwa buku tersebut menyajikan review dan kritikan film yang cerdas, maka saya menikmatinya dari sisi hubungan ayah dan anak yang sangat romantis. Memang betul, setengah dari buku itu bercerita tentang film-film terbaik dunia  sampai yang terburuk sekalipun, akan tetapi sebagian besar dari film-film itu adalah film lama (tahun 1930 – 1990) yang tak pernah saya tonton. Agak sulit bagi saya untuk berimajinasi hanya dengan review yang terpotong-potong. Akan tetapi satu hal yang bisa dipelajari dari kritikus film seperti David Gilmour tersebut, bahwa film itu tidak bisa dipisahkan dari sutradanya. Ketika mengingat atau menyebutkan satu film, maka jangan pernah melupakan siapa sutradaranya. Seumpama mencicipi kue yang super enak, kau harus tau siapa peraciknya, untuk dapat mencicipi kue selanjutnya yang kemungkinan besar lebih enak atau sama enaknya.
Bagi David Gilmour, The Godfather adalah film yang sangat memukau dan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan film dunia sampai saat ini, dan Francis ford Coppola dan Marlon Brandon adalah sutradara dan aktor favoritnya. Tetapi kita tidak akan membahas itu. Saya lebih terkesima dengan David Gilmour atas cintanya kepada anaknya Jesse yang sangat elegan itu.  Cinta yang hanya dimiliki oleh orang tua kepada anak. Cinta yang tidak bisa dibandingkan dengan hubungan percintaan dua sejoli yang paling romantis manapun. Cinta yang mengakar di seluruh sel dan serabut pembulu darah. Cinta yang rela mengorbankan apa saja, tanpa berharap balas jasa. Membaca tulisan ini membawa saya kembali mengunjungi bilik-bilik memori saya, saat-saat masih tumbuh besar bersama orang tua. Cinta mereka bisa sangat nyata tetapi sekali waktu bisa dalam bentuk tangan-tangan tak terlihat. Dan kita, anak yang tidak tahu diuntung ini, terkadang menerima itu sebagai kekangan yang menyesakkan. Ah, sungguh memalukan.
Jesse, diusianya yang ke 15 tahun, menunjukkan gejala anti terhadap pendidikan formal atau sekolah. Nilainya anjlok, setiap pagi ijin berangkat ke sekolah, nyatanya tidak sampai di sekolah, atau hanya melewati sekolah, sekalinya sampai ke sekolah taunya berbuat onar dan vandal. Gilmour tidak bisa tinggal diam, dia tidak bisa memaksa anaknya terus mengikuti keinginannya untuk terus bersekolah seperti anak-anak lain. Belajar harus tulus dari dalam hati, bukan karena terpaksa. Akhirnya sampailan dia pada keputusan penting. Dia mengizinkan Jesse untuk berhenti sekolah, selama Jessie mau menonton 3  film bersamanya setiap minggu, dan tidak memakai kokain dan obat-obatan terlarang.  Jesse hampir tidak percaya dengan keputusan Bapaknya. Akan tetapi, apapun akan dia lakukan, yang penting tidak sekolah.
Tidak mudah bagi Gilmour membuat keputusan tersebut. Dia harus berdiskusi sengit dulu dengan ibunya Jesse sampai bercucuran air mata. Gilmoaur tidak habis pikir dengan sikap mantan istrinya tersebut yang tidak berani keluar dari mainstream. Sementara, dulu mereka bertemu diacara anak punk, mantan istrinya itu bahkan merupakan vokalis band punk. Punk identik dengan pemberontakan dan kebebasan. Lantas kenapa dia menjadi begitu ketakutan sekarang.
Namun pada akhirnya, mereka sepakat dengan keputusan Jesse berhenti sekolah. Ibunya Jesse meyakini, seorang anak laki-laki lebih membutuhkan sentuhan didikan seorang bapak tanpa mengurangi peran ibunya. Jalan Jessie masih panjang, banyak hal yang bisa terjadi di depan sana.
Di saat yang bersamaan, pekerjaan Gilmour mengalami masa paling kritis. Dari pembawa acara TV yang terkenal, tiba-tiba tak ada satupun tawaran yang datang, tidak ada tawaran menulis ataupun membuat film. Dia bahkan pernah melamar jadi Kurir, tapi ditolak karena usianya sudah di atas 50 tahun. Yang paling ditakutkan oleh Gilmour adalah keputusannya membiarkan Jesse berhenti sekolah salah. Dia takut telah mendorong anaknya sendiri jatuh ke dalam sumur dalam dan gelap yang tidak ada jalan keluarnya. Apalagi dirinya sekarang adalah seorang pengangguran. Harapannya semoga keputusannya mengajak Jesse menonton minimal 3 film dalam seminggu merupakan bentuk pendidikan lain yang bisa dia berikan kepada anaknya.
Sisi baiknya, Gilmaour jadi banyak waktu untuk menghabiskan waktu bersama Jesse menonton film dan mendiskusikannya. Hubungan mereka menjadi semakin intim. Tidak hanya berdiskusi soal film, mereka bahkan membicarakan hal yang paling intim sekalipun, yang biasanya hanya dibicarakan dengan teman saja tidak dengan orang tua. Jesse menjadi sangat terbuka kepada Bapaknya. Gilmour membangun pola hubungan yang equal, dia tidak ingin ditakuti oleh anaknya sendiri. Bagian yang manis adalah saat Jesse putus cinta, kembali ke rumah dan menceritakannya kepada Bapaknya, dengan lemah Jessi bertanya apakah dia kelihatan cengeng kalau menangis di depan Bapaknya? Atau saat Jesse mengakui telah memakai kokain dan obat-obat terlarang sampai mengalami hangover parah. Jesse mengakui tidak memiliki kemampuan untuk berbohong kepada Bapaknya.
Setelah dua tahun berlalu tanpa sekolah, Jessie memutuskan untuk bekerja paruh waktu. Mulai dari menjadi marketing majalah pemadam kebakaran yang ternyata palsu, sampai menjadi tukang cuci piring. Gilmour awalnya memandang sebelah mata niat anaknya, ah paling bertahan beberapa lama. Tapi seperti yang terjadi pada kebanyakan orang tua, ekspektasi terhadap anak yang sering salah. Gilmour berkata bahwa selalu ada ruang dalam diri anak yang belum terjamah, kita para orang tua selalu merasa paling mengenal anak sendiri, tapi nyatanya tidak. Jessie ternyata mampu bertahan menjadi tukang cuci piring selama 6 minggu dan naik pangkat menjadi anak magang di restoran. See, anak yang nakalnya minta ampun, tiba-tiba mau  melakukan pekerjaan seperti itu. Di restoran itulah dia bertemu dengan temannya yang seorang rapper. Dan bakatnya menulis lagu tumbuh dari situ.
Bagian yang melankolis adalah ketika Jessie pergi keluar kota, Gilmour tidak bisa menapikkan kegelisahan dan kerinduanya kepada Jessie. Di tengah malam, dia mengendap-endap menuju kamar Jessie dan memandangi seluruh sudut di dalam kamar, duduk di ranjang, dan menyadari bahwa anaknya sudah tumbuh besar, sebentar lagi akan meninggalkannya.
“ketika duduk di ranjang itu aku sadar bahwa dia tidak akan pernah kembali lagi sebagai sosok yang sama. Mulai sekarang dia adalah tamu. Tetapi masa itu, masa tiga tahun dalam kehidupan seorang pemuda dimana biasanya dia akan mulai mengunci diri dari orang tuanya, sungguh merupakan sebuah anugerah tak teduga yang menakjubkan dan langka”
Atau saat Jessie menelpon bapaknya di tengah malam yang dingin ketika habis mengisap kokain dan menanyakan “apakah Bapak masih menyayangiku? Aku sayang Bapak.” Ah masih adakah percakapan seintim itu antara anak dan Bapak di zaman sekarang ini.
Jesse diusianya yang ke 20 (kalau tidak salah) memutuskan untuk sekolah penyetaraan dan melanjutkan sekolahnya di universitas, sepertinya dia mengambil jurusan sastra atau perfilman (dibukunya tidak disebutkan dengan jelas). Jesse juga tumbuh menjadi kritikus film yang jauh melebihi kemampuan bapaknya.
Buku ini mengisahkan satu teladan, bagaimana seorang Bapak yang begitu sabar menghadapi anaknya, dan mengantarkannya menantang dunia. Ini yang sering diabaikan oleh para orang tua, memposisikan diri sebagai sosok yang selalu benar dan doyan mendikte, tanpa berusaha menyelami pribadi dan kemauan anak.
Saya menyukai bagian ini “membesarkan anak merupakan rangkaian ucapan selamat tinggal, satu per satu, kepada popok –popok dan kemudian kepada jaket-jaket tebal dan akhirnya kepada anak itu sendiri”.

Pernah dimuat di http://niarluthfi.blogspot.co.id

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Edisi     : Soft Cover
ISBN      : 9792277757   
Tgl Penerbitan : 2011-12-00
Bahasa  : Indonesia
Halama : 288