Tampilkan postingan dengan label review film. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label review film. Tampilkan semua postingan

John Wick Parabellum: Ketika Assassin Berpencak Silat



Assassin. Beberapa orang memaknainya sebagai tentara bayaran. Orang lain memaknainya sebagai pengikut Bani Hassan (Hassassin). Ada juga yang berspekulasi mengartikannya sebagai penghirup hashish (hashishiyn). Ini juga harus dibedakan dengan istilah “shisha”, pipa uap air beraroma permen karet, stroberi dan lain-lain. Tapi entah kenapa istilah assassin lebih populer di dunia video game, contohnya Assassin Creed, dimana tokohnya adalah seorang pangeran dari Persia. Dan sebagainya, dan sebagainya, tergantung dari mana sumber referensi kita. Nah di sini kita akan membahas seorang mantan assassin (tokoh fiksi tentunya) yang diserbu koleganya sesama assasin dari penjuru dunia demi hadiah USD 14 juta dollar. Manusia malang ini bernama John Wick. 


Bercerita tentang film, sebenarnya saya ragu bila tulisan ini bisa menjadi review yang baik atau malah menjadi spoiler. Sebab, kalau hanya berkata bagus tanpa spesifik menunjukkan bagusnya di mana, lantas apa bedanya tulisan ini dengan jual kecap? Tapi dengan keuntungan US$140 juta dollar dalam kurun waktu seminggu saja, Parabellum dinobatkan sebagai “the best action film in the world”. Lokasinya juga mendunia: tersebar lintas benua, di desa dan di kota, panas terik gurun Sahara dan basah kuyup kehujanan di Pecinan, dari kelap-kelip metropolitan New York sampai kelap-kelip bintang di pelosok Afrika tanpa pasokan listrik. 


Dan di film box office ini, untuk pertama kalinya kita bisa melihat kebudayaan Indonesia mendapatkan tempat yang istimewa: yaitu di pertempuran (semi) final antara John Wick dan dua jagoan Indonesia memperagakan ketinggian ilmu pencak silat mereka (serius ... dua rius). Saking hebatnya aksi mereka, kita bisa melihat Keanu Reeves keteteran mengikuti kelihaian Cecep Rahman dan Yayan Ruhiyan berpencak silat.

Film ini bergelimang pertunjukan kemahiran bela diri, karena sebenarnya semua aktor di dalamnya memang ahli bela diri. Untuk yang tidak ahli, mereka berlatih bela diri minimal 8 jam setiap hari selama 6 bulan berturut-turut. Judo, jujitsu, kungfu, sampai pencak silat. Mereka bertempur dengan tangan kosong, pedang, kapak, pistol, gesper, buku, pensil, sampai karambit senjata asli ranah minang. Mereka naik motor, mobil, kuda, onta, atau menghilang dengan bantuan jin (jangan tanya kenapa). Mungkin saja saya salah tangkap, mengira jin padahal maksudnya ninja. 

Para assasin ini juga menyelam, menari balet, bergulat, membaca buku di perpustakaan, memasak sushi di kaki lima, menyeduh kopi arabika di padang pasir, dan berkomunikasi dengan bantuan telegram dan kiriman pesan burung merpati. 

Meski dengan segala keahlian tersebut--dan kontras dengan mitos Hollywood: Para jagoan di sini tidak kebal terhadap penderitaan. John Wick dan para pemburunya sama-sama terluka, kelelahan, patah hati, nyeri otot, sedih dan marah. 

Di sinilah letak keistimewaan film ini. Di satu sisi, narasinya memperlihatkan bahwa memang tidak ada yang mustahil di dunia ini. Apa saja mungkin terjadi. Namun, pada akhirnya semua perbuatan manusia mempunyai konsekuensi, yang cepat atau lambat akan terwujud sebagai ganjarannya. 

Nah, konsekuensi seperti apakah yang ingin kita wujudkan? 

Konsekuensi, selalu mengikuti setiap tindakan ... bagaikan Wick berpamitan kepada lawan silatnya, "Sampai Jumpa."

Review: Cloud Atlas





Seberapa lama umumnya kita betah menonton satu film sampai selesai? Umumnya film dibuat tidak lebih dari 2 jam karena setelah itu kita sudah merasa jenuh ingin beranjak ke hal yang lain. Apabila ada film yang dibuat lebih lama dari waktu tersebut, ada beberapa kemungkinannya: editornya galau tidak tahu harus memotong adegan yang mana, ceritanya sudah padat dan tidak bisa dikurangi lagi, filmnya sangat menarik sampai pembuatnya yakin bahwa orang akan menontonnya sampai selesai meski panjang. Saya rasa kemungkinan yang terakhir inilah yang terjadi dengan film Cloud Atlas yang dibuat oleh Wachowski bersaudara. Panjangnya tidak kurang dari 171 menit atau hampir 3 jam.

Ini adalah film yang berkisah mengenai 6 cerita berbeda yang terjadi pada era yang berbeda di lokasi-lokasi yang berbeda sepanjang kurun waktu 500 tahun, yaitu 1849 (Pacific Island), 1936 (Cambridge, Edinburgh), 1972 (San Francisco), 2012 (London), 2144 (New Seoul), dan Big Isle (2321). Sejujurnya sampai dengan 1 jam setelah film berjalan, saya mulai frustrasi dengan tujuan dari film ini. Saya tidak tahu bahwa semua cerita ini berhubungan. Setiap era diberikan waktu beberapa menit untuk menyampaikan kisahnya secara bergantian satu sama lain ... dan saya mulai stres mencari apa hubungannya perbudakan di kepulauan Pasifik pada abad ke-19 dengan generasi hippies tahun '70-an atau negeri distopia di masa depan Asia atau laboratorium rahasia di antah berantah pada zaman now. Dan lucunyalagi, sampai film selesai pun saya tidak sadar bahwa semua aktor di setiap zaman yang diceritakan itu mempunyai 6 peran secara simultan, dengan kostum dan makeup yang berhasil mengecoh saya bahwa ia diperankan oleh orang yang sama. 

Memang ide utama dari film ini tidak diutarakan secara eksplisit untuk memberikan kebebasan kepada penonton dalam memainkan imajinasi mereka. Namun pada intinya saya bisa melihat bahwa apa yang kita lakukan pada saat ini akan membawa pengaruh ke dalam kehidupan orang lain di masa depan, meskipun kita tidak saling mengenal satu sama lain. Bagaimana sebuah tulisan bisa menginspirasi seseorang untuk menciptakan musik yang indah, sehingga pendengar musik ini pun terinspirasi untuk menghasilkan penemuan yang berguna untuk manusia, dan kisah hidupnya menginspirasi seseorang untuk membuat buku, dimana buku ini menginspirasi orang lain untuk bangkit dari keputusasaannya sendiri, sehingga seseorang akhirnya membuat sebuah film untuk menceritakan kisah hidup tokoh tersebut, yang di masa depan menjadi salah satu film yang terlarang untuk diedarkan di suatu negara diktator yang dikuasai oleh mesin dan teknologi (ingat film The Matrix, karya lain dari Wachowski yang membuat film ini?), namun akhirnya manusia yang menjadi 'budak' teknologi pun kembali bangkit untuk mengendalikan mesin sehingga kehidupan di dunia menjadi manusiawi kembali, dan seterusnya.

Selain ceritanya yang 'bernutrisi' dan menarik, Cloud Atlas juga dibuat secara serius dengan mempertimbangkan berbagai faktor estetika. Tidak kurang dari 11 penghargaan telah diraihnya, mulai dari aspek editing, kostum, musik, desain produksi, makeup, sampai dengan kategori film terbaik. Terlepas dari itu semua, bukankah film yang baik itu memang bisa meninggalkan makna untuk dibawa pulang penontonnya sebagai kenangan? 🙂 dan inilah kira-kira pesannya, 

"My life amounts to no more than one drop in a limitless ocean. Yet what is any ocean, but a multitude of drops? Our lives are not our own. We are bound to others, past and present, and by each crime and every kindness, we birth our future." ― David Mitchell, Cloud Atlas.

Film Review: John Wick

John Wick (image: Wikipedia)


I don't like violence. So is the same with choices of movie. Unless there is Keanu Reeves in it. Or, Iko Uwais ... but let's save the latter name for another review. We cannot compare silat with kungfu (or gun-fu in this matter). Besides, that is not the violence which attracts me to watch John Wick. It is Keanu (and let's hope my husband does not read this writing). Pun intended, of course.

I am romantic at heart. So, for me everything has to has a cause. Letting things go by without a good cause is painful. Any good cause keeps the world go around. It keeps us alive ... to live in hope, despite all the darkness. To tell us, "Every cloud has as silver lining". So, what is the cause of John Wick? It is about a second chance ... to have a life, to feel love, and being loved too.

The film tells a story with economy on words. There are not much dialogues to remember. But once they happen, it is quotable quote worthy. Watching the film running is like reading a bedtime story for a toddler, where the book has beautiful and clear illustrations about what is going on. There is no need to describe or explain anything. Just sit and watch, then let the story unfolds.



... a man of focus, commitment, and sheer will ... 

Each scene unfolds like coming from different universes. The calm universe of John's house. The hyperrealism of assassins' underworld. The hype and vibe of colorful nightlife in an unnamed metropolitan city. The rustiness of an abandoned military field. The washed away helipad spot in a heavy rainfall at night. Let's not forget how awesome the Continental is. The only cozy spot in which killers can have a drink, eat, sleep, and mingle with each other without fear of being killed. It is all for a stash of gold coin, to be sure.

The scenes are always taken from 2 different points of views: the audiences perspective ... and John Wick's eyes. From our eyes, he is like living a world of wonders, where everybody nods at him while keeps citing the legend in hush-hush tones within private clubs. From John's eyes, we can feel his loneliness ... having everything and knowing everything while losing the only thing he cares about in his life. All because of the stupid son of his ex-boss.

John is the legend. But he is not like the ones "telling" all CV's in your face. In the contrary, we will never knew if the  thugs did not kill his puppy. Iosef and his gang thought it was a fair game for John refused giving in the Mustang. They just did not know it was not about money. The car and the puppy were the only remaining things that connect him to his late wife. By taking them away, surely Iosef has awaken the legend from his long sleep. It is almost like an inverted version of sleeping beauty, actually. The happiness ends when it is time to wake up. Thus, shall begins all of the unexpected mess.

... a semblance of hope ...
John slammed the hammer on his basement floor to dig everything he had buried in the past. His rifles, knives, pistols, machine guns, boxes of bullets, and hundreds coins of gold ... the only currency for assassins business. At this point, one begins to wonder ... who is this guy we are watching here. It only adds to the mystery as we watched him taking shower almost like a ritual ... like a part of holy action. With tattoo's in his back, "Fortis Fortuna Adiuvat," now we may suggest a connection with the Navy ... or John has understood that "fortune favors the bold."

Not long after that, suddenly the melancholic and serene life we had watched in the first 10 minutes has now turned into a nightmare. 12 men broke into his house ... in which John waited with a long list of strategy; welcoming unwelcome guests with endless blasts of gunshots, noises of broken bones, and splashes of blood on the walls. And all of these people are wearing three-piece suits, by the way.

As soon as he starts, there no turning back. That is why Viggo got really pissed off on his son ignorance for what he does. Viggo knows John. He made the legend. He created the ghost, the "Baba Yaga". Viggo was the one giving an impossible task, of which John accomplished in turn for leaving assassin life for a love of a woman. Now he returns, without wanting to be part of it ... no one expecting a hug. Only hoping to save their own lives from his coming. By the end of the film, we know there are 78 guys failed to do so. Losing their lives.

But, is it worth it?

We know John does not after these people. It is Iosef he is looking for. But as much as Viggo has been disappointed by his only heir, we also know that he has to protect Iosef in order to become a responsible father. I see this a bit sad since I have the impression that Viggo loves John more than he does to his son. So, the last fight between him and John is actually the moment when everyone puts his cards on the table. They have nothing to lose anymore. They have no more reason to continue. John has lost his wife. Viggo has lost his son. The puppy has died. All of 78 bodyguards have died too ... so we see John walking away in a cold rainy night ... and feel pity for him.

But, Hollywood has its tricks. Soon after that last scene, John met a pitbull dog. What!?

(I will save John Wick 2 for another review. All photos are screenshots from the original movie)