Naik Bentor Keliling Dumai

Ini adalah sekelumit catatan perjalan riset saya. Salah satu kota yang saya datangi untuk melakukan penelitian adalah Kota Dumai dan ini juga pertama kalinya saya ke sana. Saya naik travel dari Pekanbaru ke Dumai dan ketika sampai saya sendiri baru sadar kalau Kota Dumai itu luas banged saking luasnya kelihatan sepiiii banget. Maklum aja, jalan-jalan di kota ini cenderung lebar-lebar tapi kendaraan yang lewat sedikit banged. Mall gak ada dan terus terang kalo malam saya males jalan-jalan keluar. Lha kotanya sepi begini apa yang mau di lihat.

Hari kedua saya di Dumai saya isi dengan jalan-jalan naik bentor atau becak motor sejenis motor yang dimodifikasi pake sespan sehingga penumpang sedikit lebih nyaman daripada duduk di boncengan motor. Berhubung baru pertama kali ke Dumai maka saya juga gak tau tempat wisatanya dimana aja jadi memutuskan datang ke pantai. Ternyata pantai di Dumai indahhhhh banged penuh dengan kapal-kapal kargo yang nyandar di laut dan yahh sedikit polusi walau gak semerbak kayak Muara Angke di Jakarta. Dengan kata lain, pantai di Dumai memang pantai secara harafiah yaitu batas antara darat dan laut, bukan pantai dalam artian tempat rekreasi kayak di Anyer atau Kuta, apalagi sama Pelabuhan Ratu mohon agar jangan dibandingkan tapi silakan dibayangkan. Agaknya kalau menjadikan Dumai sebagai destinasi wisata will be your greatest mistake in your life.

Tapi tujuan saya datang ke Dumai memang bukan untuk berwisata, melainkan untuk penelitian. Nah, kalo anda datang ke Dumai untuk penelitian apapun bidang penelitiannya, maka dumai adalah kota yang paling tepat. Kenapa? Karena di Dumai banyak perusahaan baik perusahaan kelapa sawit maupun migas. Kota ini juga kabarnya merupakan kota terluas di Indonesia di tambah juga dengan sistem transportasi yang belum tertata dimana angkot tidak ada nomor dan jurusannya. Yup, kita tahu bahwa itu angkot karena Suzuki carry warna biru, tipikal angkot-angkot di berbagai kota besar yang lain. Taksi di Dumai merupakan pemandangan langka, karena memang tidak ada taxi di sini, mungkin kalau taxi online masuk tidak ada yang demo kayaknya. Selain absennya taxi, angkot yang tak berjurusan nan jarang, ojek pun tidak ada. Nah, yang ada dan jumlahnya banyak di Dumai cuma bentor, jadilah saya coba berjalan-jalan keliling Kota Dumai menggunakan jasa bentor.

Tapi bentor pun punya kekurangan yaitu mereka engan untuk berjalan-jalan dengan radius lebih dari 5 KM. Ini jadi masalah besar buat saya, karena hotel tempat saya tinggal berada di pusat kota, dekat dengan pelabuhan, sedangkan tempat yang ingin saya datangi adalah kantor pemda yang berada jauh ke arah selatan (masuk ke inland) dan bentor dari tempat saya menginap tidak bersedia mengantar sampai kesana karena kejauhan. Hal yang sama juga terjadi dengan kawasan industri di Dumai. Dimana ada 2 kawasan industri yaitu Pelintung dan Lubuk Gaung yang terletak berjauhan satu dengan lainnya. Pelintung di tenggara dan Lubuk Gaung di barat laut. Bentorpun menolak ketika saya minta untuk pergi kesana dengan alasan yang sama.

Ketika, perjalanan dengan bentor di mulai baru saya paham kenapa mereka menolak untuk bepergian jauh. Selain karena kecepatan mereka yang cukup lambat, juga karena sespan yang terbuka sehingga untuk penumpang disarankan naik dalam kondisi yang fit, karena terpaan angin yang cukup kencang plus sensasi getaran kayak bajaj merah di Jakarta berpotensi untuk membuat mereka yang kurang fit masuk angin. Belum lagi, sepanjang perjalanan bentor saya hanya berhenti di tempat tujuan, tidak pernah berhenti di lampu merah walaupun lampu lalinnya sudah merah, bahkan ada truk atau mobil berhenti di depan pun, bentor tetap melaju dengan berusaha menghindari halangan yang ada di depan. Hal ini membuat saya bersyukur tidak bisa ke tempat yang saya ingin tuju dengan bentor.

Akhir perjalanan, tibalah transaksi antar pengguna dan pemberi jasa. Uniknya sopir bentor ini meminta saya untuk mengajukan harga bukannya memberi harga untuk saya tawar. Alasannya biar sama-sama enak, dan benar, ketika saya buka harga di angka Rp100 ribu, sang supir pun langsung mendehem sambil berkata Rp150 ribu. Well, untuk jalan-jalan keliling pusat kota yang boleh dibilang lack of point of interest dengan durasi lebih dari satu jam plus sensasi mau masuk angin dan keleyengan, saya anggap masih worth it lah. Jadi bagi kalian yang ingin ke Dumai, selalu ingat untuk punya teman disana yang punya mobil dan punya waktu untuk mengantar kalian wara-wiri di sana karena bentor bukan pilihan untuk moda transportasi umum. Terus terang dengan tarif Rp150 ribu tinggal dikali 3, kita sudah bisa nyewa avanza plus supir selama 12 jam (BBM exclude) yang saya lakukan di hari berikutnya.

Kakak Ga Jadi Nyantren

Gelap mulai menaungi desa Cilimus di kaki gunung Ciremai. Mendung  menggelayut disusul rintik-rintik hujan yang kelamaan jadi deras. Sepi, semakin sepi saja rasanya karena satu anggota keluarga yang selalu setia berlelah-lelah dalam kemacetan bersama ketika berpetualang dengan Fazan (nama kendaraan roda empat mereka) harus tinggal di sini. Tadi, di pintu kamar asrama, Kakak melambaikan tangan dengan wajah sumringah.

“In syaa Allah, aku akan mulai mandiri, Bu.” Mantap dan ceria sekali dia berucap sebelum mencium tangan Ibu. Sementara, dada Ibu begitu sesak dan kelopak matanya mulai panas menahan tangis. “Ahh … anakku, kenapa kamu tidak belajar mandiri bersama Ibu saja?” Begitu selalu protes di batin Ibu setiap kali mendengar alasan Kakak ingin sekolah di pesantren. Supaya banyak kegiatan positif, bu. Ga main HP terus, bu. Tetap rajin ibadah, bu. Tambah hafalan Al Qur’an, bu. Ya…ya… sungguh mulia, keinginanmu, nak. Tapi kenapa tidak terbersit untuk melakukan semuanya di dekat Ibu?

Jadilah perjalanan pulang Kuningan, Jawa Barat kali itu menuju Tangerang Selatan di Banten begitu panjang. Suhu dingin di dalam mobil yang bertambah-tambah oleh hujan deras tidak terasa oleh isak tangis Ibu. “Sudahlah, mulai ikhlas, Bu. Doakan semoga anak kita jadi orang shalih pembela agama”. Konsentrasi menyetir Ayah sepertinya mulai terganggu  dengan sedu sedan Ibu.

Pelan-pelan ibu mengendalikan diri dan isaknya reda seiring mendung yang menyingkir memperlihatkan suasana malam yang mulai datang. Dibukanya kaca jendela mobil supaya udara alami kota Kuningan bisa lebih menyegarkan batinnya. Seolah baru terjaga dari tidur, ibu melihat sisi-sisi jalan saat warung-warung mulai terlihat sepi dari pengunjung. Temaram lampu dari balik jendela, menghantarkan bayangan siluet manusia bergerak kian ke mari. Ada yang duduk mengangguk-anggukan kepalanya, ada yang menggerakan tangannya sambil berbicara ngalor ngidul, dan ada yang sibuk keluar-masuk dapur membawa tumpukan piring dan masakan. Dalam udara yang dingin … berteman angin dan terang bulan. Seandainya orang-orang itu adalah keluarganya, tentu saat ini Ibu berada di tengah kehangatan ruang itu, menikmati suasana dan santapan lezat … tanpa perlu kesepian seperti ini. *).
---

Itu lah suasana kebatinan yang selalu membayangi Ibu setiap memikirkan harus mengantar Kakak tepat seminggu setelah lebaran, untuk mondok di Pesantren. Karena urusan mondok ini menyangkut ideologi, kemandirian, dan kenyamanan belajar, setelah mencari referensi dari beberapa kawannya yang terpercaya, Ibu, Ayah, dan Kakak sebenarnya sepakat memilih Ponpes Al Multazam di Kuningan, Jawa Barat. Jauh, memang.

Tapi, kakak yang sedang semangat-semangatnya beraktualisasi diri penasaran juga, apa nilai UN nya masih bisa bersaing di sekolah negeri. “Kenapa engga?,” fikir Ibu. “Tapi, pilih aja sekolah yang favorit sekalian, Kak. Supaya kalau pun akhirnya berubah fikiran, tidak sekedar meninggalkan kesempatan menuntut ilmu di pesantren”. Sebenarnya, Ibu tidak yakin Kakak diterima di SMA Negeri favorit. Walaupun katanya nilai UN se-Banten tahun ini turun, tapi peringkat lolos di kedua SMAN yang Ibu sodorkan tinggi dan nilai UN kakak jauh dari limit angka 30. Lihat saja yaa, nanti.

Di masa-masa menjelang akhir Ramadhan adalah saat-saat terberat Ibu untuk berusaha ikhlas melepas Kakak sekolah di pesantren. “Dia bukan milik mu. Kelak, dia juga akan meninggalkan kamu. Titipkan saja sama Tuhan. Toh, mendidiknya di rumah juga atas izin dan rahmat Tuhan”. Tapi, yang menambah berat juga soal biaya. Setelah dihitung-hitung, SPP sebulan, uang saku, biaya membeli penganan untuk Kakak, ongkos menjenguk plus biaya kuliah tante dan sekolah Adek yang di SD swasta, berputar-putar juga di kepala membuat Ibu pening. Ibu tahu, Allah selalu memberi jalan keluar tambahan rizki. Tapi, sepanjang perjalanan hidup mengadukan kesulitan ekonomi, solusi yang didapat Ibu sebagian besar melalui APBN. Yaa ampuun, Ibu jadi takut, jangan-jangan defisit APBN bertambah gara-gara meningkatkan kesejahteraan Ibu. Naif banget, tapi Ibu mikir defisit itu akan jadi tanggungan Kakak, Tante, dan Adek kalau mereka besar nanti.

Tahun lalu, hasil UN terendah yang diterima di SMAN 1 dan SMAN 4 masing-masing 33 dan 30. Tidak perlu lagi disebut nilai UN Kakak, cukup diberi petunjuk di atas karena menurut Ibu itu bukan hasil optimal. Dari semangatnya ikut pendalaman materi, bimbingan belajar tambahan, mengajari teman-temannya, belajar kelompok hampir tiap hari, semua atas kemauannya sendiri, menurut Ibu seharusnya minimal Kakak dapat 32. Sedikit di bawah Ara, siswi ranking 1 yang selalu ingin disainginya. “Maaf ya, Bu aku kurang sungguh-sungguh waktu UN. Kalau aku serius, mungkin nilai UN ku bisa bagus,” Kakak beralasan saat melihat wajah datar Ibu melihat SKHUN-nya.”Menurut Ibu, kamu terlalu tenang karena sudah mendapat sekolah”. Ibu menghela nafas, bukan seperti ini yang dia ingin lihat dari anaknya yang selama ini begitu semangat. Sepertinya, Kakak kendur di saat dia harus berlari kencang.

Dari pengalaman Ibu dan Ayah membesarkan Kakak dan Adek, mendidik anak tidak bisa lepas dari peran orang tua. Kakak dan Adek masih harus dituntun belajar membaca dan mengeja huruf-huruf hijaiyah di rumah, walaupun setiap Senin-Jumat sekolah hampir seharian. Mereka harus sedikit dibuat kapok karena sampai kelas 4 lalai dengan perkalian. Dibujuk tiap Isya dan Shubuh supaya mau berjamaah di mesjid. Bahkan, dibimbing dan ditemani dari seleksi masuk sekolah yang satu ke yang lain supaya belajar bagaimana rasanya gagal dan menginginkan keberhasilan. Sepertinya, Ayah dan Ibu sudah ‘jungkir balik’ bekerja sama menanamkan semua hal baik, kalau itu disebut kebaikan. Kalau kelak mereka faham agama, disiplin dalam hidup, bertanggung jawab dalam berkarya dan merasa bisa seperti itu karena sekolah di pesantren… ahh … hanya untuk materi sajakah Ayah dan Ibu akan dikenang karena bisa menyekolahkan Kakak di pesantren?

Tanggal 20 Juni pengumuman akhir hasil seleksi masuk SMAN se-Banten, dan Ibu tidak berminat melihatnya. Yang membuat Ibu terkejut, ketika di WAG SMP kakak, seorang Ibu meminta restu karena anaknya diterima di sekolah yang juga didaftar Kakak. Ibu penasaran… ehhh, ternyata Kakak diterima juga, walaupun masuk 50 besar dari bawah. Yang penting kan keterima dulu. Dan Ibu merasa, inilah keajaiban atas kegalauannya melepas Kakak. Ayah menyerahkan kepada ‘perasaan halus’ Ibu untuk memberi saran kepada Kakak, mana yang sebaiknya dipilih.

“Ibu dan Ayah minta waktu untuk mengumpulkan tabungan lagi, buat membiayai cita-cita kakak. Dokter hewan, Psikolog, atau Astronom itu bukan jurusan yang bisa diambil di sembarang Universitas. Kalau Kakak bersedia sekolah di SMA Negeri, uang yang seharusnya dikeluarkan bisa disimpan dulu sampai nanti saatnya Kakak kuliah”. Begitu mohon Ibu, yang akhirnya meluluhkan keinginan kuat Kakak sekolah di pesantren.

“Kalau kita tinggal di tempat yang terlindung dengan higienitas tinggi, Kak, kita tidak akan pernah bisa menguji daya tahan tubuh kita. Pesantren itu lingkungan pilihan, fasilitas serba ada karena kebanyakan orang tua mampu mendukung kelancaran proses belajar dengan materi. Pelajar-pelajar yang lurus akhlaknya, karena secara sadar ingin menggembleng diri. Ustaz-ustaz yang faham agama karena itulah yang diajarkannya setiap hari. Sekolah di SMA negeri, bisa membuat kita waspada saat kita harus pandai memilih teman, belajar dengan fasilitas seadanya karena pelajarnya dari lingkungan yang minim sumber daya. Di situ biasanya daya tahan kita diuji. Giat-giatlah, Kak.” **). Ibu mencoba memberi tips kepada Kakak menjelang daftar ulang di SMA Negeri, yang itu berarti dia harus meninggalkan masa orientasi santri.

Kakak sudah legowo tidak jadi sekolah di Pesantren, itu katanya, itu yang terlihat. Dengan penuh kesigapan, setiap hari sekolah, dia disiplin bangun sebelum subuh, sarapan dan langsung mandi setelah subuh, supaya jam 6 tepat bisa berangkat sekolah. Dia jadi seksi kebersihan, yang katanya, tugasnya mengawasi petugas piket setiap hari. Satu kejutan lagi, hasil tes penempatan kelas ternyata sudah keluar dan kakak masuk kelas IPA-3, dari 5 kelas IPA. “Ya, iyalah Bu… aku sungguh-sungguh. Kalau aku merasa sudah kesulitan belajar, aku kan sholat tahajud juga sama puasa,” begitu katanya ketika Ibu terlihat heran dengan ‘keberhasilan’ Kakak menembus kelas IPA.

Hidup masih berlanjut dan panjang. Ibu dan Ayah hanya bisa terus menjadi teman bicara, memberi sarana, dan yang terpenting berdoa. Menitipkan Kakak, Tante, dan Adek sama Tuhan. Karena jauh ataupun dekat, Kakak, Tante, Adek, Ibu dan Ayah, sesungguhnya milik Tuhan.🌾

*) terinspirasi tantangan meneruskan paragraf mba Embun.
**) terinspirasi obrolan sarapan pagi dengan mba Embun

Renungan Sore: Yang Sensi Boleh Baca

Pasti pernah dengar kata bully kan? Kata ini sepertinya sedang booming saat ini, semua orang, dari anak-anak sampai orang tua pernah mendengar kata ini. Hanya cara menyikapinya yang berbeda-beda. Ada yang menganggap remeh, ada yang biasa-biasa aja, bahkan yang menanggapi secara serius pun ada. Kenyataannya bullying kian marak dilakukan di Indonesia.

Bully berasal dari Bahasa Inggris, padanan dalam Bahasa Indonesianya adalah perundungan yang artinya adalah suatu perlakuan yang menganggu, mengusik terus- menerus, dan juga menyusahkan.

Dari definisi di atas, sudah cukup jelas, apa yang dimaksud derngan bully. Cobalah berkaca pada diri kita sendiri, apakah setiap ucapan, tindakan, atau bahkan pikiran kita ada yang menganggu/menyusahkan orang lain? Kadang kita lakukan dengan sadar atau tak menyadari bahwa itu menyakiti orang lain.
Kalau iya, maka bersiaplah jika kita ternyata bisa dikategorikan sebagai pelaku bullying.

Kalau konteksnya hanya bercanda bagaimana? Beda-beda tipis nih.

Bercanda dalam KBBI adalah berkelakar, bersenda gurau, berseloroh. Bersenda gurau adalah hubungan timbal balik, dimana kedua pihak sama-sama merasakan senang. Tapi kalau yang merasa senang hanya satu pihak, sedangkan salah satu pihak ada yang tersakiti, itu bukan becanda namanya, namun sudah menjurus pada bullying. Apalagi bullying yang dilakukan secara berkelompok, kian bias maknanya antara bercanda atau membully.

Apa sih tujuan bullying?

Salah satu tujuan bullying yang paling mudah ditangkap adalah keinginan untuk mengatur/menguasai orang lain dengan cara menjatuhkan kehormatannya atau mebuatnya malu dihadapan umum. Biasanya mereka akan menyerang bentuk fisik, karakter, atau kekurangan seseorang. Mereka merasa perlu untuk menunjukkan eksistensi/kekuasaannya di hadapan publik, sehingga mencari sasaran/objek yang paling dianggap lemah untuk bisa menunjang pencapaian tujuan itu, dan biasanya nih ya pelaku bullying ini adalah orang yang memiliki konsep diri negatif atau pernah menjadi korban pembully juga. Miris ya, semestinya yang pernah merasakan tingkat empatinya bisa lebih tinggi, tapi ini malah mencari teman untuk bisa mengalami kejadian gak enak yang dia rasakan itu.    
Nah, cek deh, hati kita masing-masing, bila ada terbersit rasa puas karena bisa mendapatkan kesenangan atau kebahagiaan, ketika kita tengah bercanda/mengolok-olok orang lain, jangan-jangan sebenarnya kita termasuk pelaku bullying juga lho.

Dampaknya ada enggak?

Dampak bully berbeda-beda tergantung tingkat psikologis orang yang bersangkutan. Bagi pelaku tentu memberikan kepuasan tersendiri bagi dirinya, sedangkan bagi korban bullying bisa menimbulkan krisis kepercayaan diri, tidak nyaman, pembentukan citra diri/opini sosial yang negatif, bahkan kadang sampai pada tingkat penyebab seseorang bunuh diri.

Emang sejak kapan sih bullying ini ada?

Bullying ini ternyata sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sejak zaman Nabi Muhammad dimana Nabi pun saat itu menjadi salah satu korbannya. Dalam satu riwayat, terdapat sekelompok perempuan yang mengolok-olok seorang istri Nabi karena Beliau keturunan Yahudi bernama Shafiyah binti Huyay bin Akhtab. Nabi kemudian berkata kepada Shafiyah "Mengapa tidak kamu katakan kepada mereka bahwa bapakku Nabi Harun, pamanku Nabi Musa dan suamiku Nabi Muhammad?!"
Kejadian ini diabadikan dalam Surat Al Hujurat ayat 11. 

Ternyata bully ini turun temurun ya, dan Alqur'an memberikan ancaman yang tegas untuk itu. Menjadi orang yang zalim sebutannya. Tahu kan ganjaran menjadi orang yang zalim itu apa?

Kalau zaman sekarang, zaman dimana katanya "orang yang salah bisa menjadi benar, dan yang benar bisa menjadi salah" hati-hati bicara menjadi korban bully. Salah-salah malahan korban yang dicibir banyak orang. Dianggap tidak punya selera humor lah, terlalu lebay lah, atau begitu aja kok marah??? 

Memang banyak juga orang yang berhasil memanfaatkan bullying sebagai cambuk untuk meningkatkan prestasi diri. Salah satunya adalah penyanyi Lady Gaga, yang dibully karena fisiknya yang kurang sempurna (hidungnya dianggap terlalu besar). Dari korban bullying, ia berhasil  menjadi seorang superstar. Dan bersama teman-temannya, ia mendirikan yayasan yang menentang tindakan bullying. Perlawanan terhadap bullying pun disuarakan oleh seorang aktris cilik di Indonesia lewat lagu yang dinyanyikannya. Namun daripada mengharapkan orang melakukan tindakan meningkatkan ketahanan mentalnya, bukankah lebih baik jika kita mulai dari diri sendiri, untuk tidak menjadi pelaku atau mendukung tindakan bullying?

Ketahanan terhadap virus bullying memang butuh latihan panjang. Mungkin melelahkan. Tapi selalu ingat bahwa masih banyak orang yang mampu menjaga lisan dan tindakannya, menjadi pembelajaran pada diri sendiri, agar bisa selalu berusaha untuk menebarkan rasa empati terhadap sesama, dalam usaha pribadi untuk mencegah virus bullying agar tak menjadi wabah Nasional.

(data: dari berbagai sumber, sbg pengingat diri sendiri)









Berpikir Tanpa Kotak

Sambil gowes tadi pagi saya mikir: apakah selalu berpikir "out of the box" itu bagus? Mungkin iya apabila pikiran itu benar-benar "keluar dari kotak", tapi bagaimana bila ternyata pikiran yang "out of the box" tadi ternyata masuk ke "another box"? Keluar dari kotak yang satu, masuk ke kotak yang lain.
Pikiran tersebut dipicu oleh maraknya pemberitaan di radio tentang ruwetnya peraturan-peraturan di Indonesia. Sampai-sampai Pak Jokowi dengan geram menyampaikan kekesalannya akan hal tersebut. Pak Jokowi menyoal tentang bangsa Indonesia yang memiliki banyak sumber daya, banyak investor yang berminat menanamkan modal, tapi semuanya sia-sia karena aturan-aturan yang ruwet. Terkait hal tersebut, Pak Jokowi bahkan 'mengultimatum' para menteri agar tidak lagi membuat aturan-aturan yang bikin ruwet.
Kekesalan Pak Presiden tersebut dapat dipahami. Bagaimana tidak? Tidak terhitung banyak peluang investasi yang terhambat bahkan hilang hanya karena aturan yang tidak memungkinkan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah sebenarnya sudah melakukan berbagai kebijakan deregulasi, yang intinya untuk menyederhanakan semua aturan-aturan terkait. Alih-alih tercapai, deregulasi yang dilakukan malah menghasilkan regulasi baru yang justru menghambat kegiatan investasi. Dalam sebuah wawancara, seorang anggota KADIN menyampaikan bahwa nyatanya masih banyak ego-kementerian dalam penyusunan suatu regulasi.
Dalam praktek terbaik, deregulasi memang banyak dilakukan untuk memangkas regulasi yang tumpang tindih, memotong rantai birokrasi, meningkatkan efisiensi dengan regulasi yang lebih sedikit dan sederhana. Adanya regulasi baru yang dihasilkan dari proses deregulasi bukanlah sesuatu yang salah. Namun ketika regulasi baru tersebut kemudian tidak mendukung tujuan dilakukannya deregulasi, maka masalah baru pun timbul.
Melakukan deregulasi di tengah carut marutnya regulasi negara ini bukanlah hal yang mudah. Regulasi tumpang tindih, duplikasi tugas dan fungsi adalah sebagian kecil gambaran wajah regulasi kita. Upaya deregulasi yang sifatnya parsial cenderung tidak efektif karena selalu terbentur dengan "ego-kementerian". Arahan pimpinan untuk mencari solusi yang "out of the box" malah menghasilkan solusi "inside another box" .
Para pembuat kebijakan publik atau para menteri harusnya sadar  bahwa "kotak kementerian-nya" hanyalah untuk membatasi tugas, fungsi dan kewenangannya. "Kotak-kotak" tersebut dibuat untuk merapikan susunan, struktur dan untuk mempertegas bahwa "isi kotak" yang satu tidak tercampur dengan "isi kotak" yang lain. Ketika bicara kepentingan nasional seharusnya semua "kotak" itu tersusun rapi sehingga terlihat "tanpa kotak" hanya satu "kotak" besar yaitu INDONESIA.
Apa yang terjadi sekarang, dan itu yang dikeluhkan sebagai "ego-kementerian" adalah bahwa pemikiran-pemikiran hanya terkungkung dalam satu kotak masing-masing atau terjebak ke dalam kotak yang lain. Benar apabila dikatakan bahwa masing-masing mengatakan bahwa kebijakannya adalah untuk kepentingan negara, sesuai amanat undang-undang atau sesuai dengan arahan presiden. Namun tidak disadari bahwa hal tersebut dapat menyebabkan "susunan kotak-kotak" itu tidak rapi lagi, bahkan menghalangi "kotak-kotak" yang lain. Melakukan deregulasi sama halnya dengan mengurai benang kusut. Ketika kita hanya berkutat  pada inti benang kemungkinan yang terjadi adalah benang semakin kusut, terikat mati atau bahkan putus. Tapi ketika kita mengurai satu demi satu dari posisi benang terluar, yang paling terlihat dan yang paling bebas, kemungkinan untuk berhasil akan sangat besar. Demikian pula halnya dengan deregulasi. Semua regulasi harus diurai dan dilihat satu persatu, dari yang terkait langsung, terkait tidak langsung bahkan yang kemungkinan akan terkait. Para pemangku kepentingan harus diidentifikasi dengan jelas, siapa saja dan berada di layer yang mana. Dampak regulasi yang baru harus benar-benar diukur untuk mendapatkan manfaat bersih yang sebesar-besarnya. Konsekuensi kebijakan juga harus dipertimbangkan dengan hati-hati termasuk mitigasi risiko yang mungkin terjadi.
Tidak mudah? Iya, karena deregulasi seharusnya memang dilakukan secara bertahap dan dibuatkan peta jalannya. Deregulasi yang dilakukan dalam waktu yang sempit peluang keberhasilannya akan sangat kecil. Akan banyak regulasi yang terlewat, banyak pemangku kepentingan yang tidak teridentifikasi dan tidak diajak konsultasi. Satu-satunya jalan untuk memperbesar peluang tersebut adalah dengan "thinking without the box". Semua pembuat kebijakan terkait duduk bersama tanpa "kotak" masing-masing. Yang dicari adalah "win some-loose some solution", bukan "win-win solution" karena jika demikian akan ada yang menang banyak dan menang sedikit. Semua harus berpikir untuk kepentingan yang lebih besar dan lebih penting daripada "kotak"-nya. Berpikir tanpa kotak dapat membuat kita melihat permasalahan secara keseluruhan. Membuat kita melihat lebih jelas hambatan-hambatan yang ada dan yang mungkin ada. Saya yakin apabila para menteri dan pembuat kebijakan publik mampu berpikir tanpa kotak maka masalah-masalah bangsa ini akan terselesaikan dengan cepat, tepat dan rendah biaya.



*tulisan ini juga dimuat di https://ikoerba.wordpress.com/2017/07/26/berpikir-tanpa-kotak/


Malu dan Lelah

Seharusnya aku malu kepada matahari yang tak pernah lelah menyinari bumi.

Seharusnya aku malu kepada burung-burung yang tak pernah lelah menjemput rezeki diwaktu pagi,  dan baru pulang diwaktu petang dalam keadaan kenyang.

Seharusnya aku malu kepada semut yang tak pernah lelah membawa makanan yang berukuran lebih besar dari tubuhnya yang mungil.

Dan... seharusnya aku malu kepada Allah SWT yang tak pernah lelah memberikan kasih dan sayangnya untukku, meski aku sering lalai dalam taat kepadaNYA.


Anak Baru





"Bagaimana tadi hari pertama di sekolah? Gurunya bilang apa saja?" Begitu cecar mama sepulang aku dari sekolah. Aku hanya bisa menjawab, "Ga tahu Ma, tadi ngga kedengaran suara gurunya."

"Lho, kok bisa? Kamu duduk di mana?"

"Aku duduk di pojok Ma"

"Kalau begitu besok kamu cari tempat duduk di depan ya?"

"Iya Ma."

Jadilah besoknya aku duduk di depan, dan itu hanya berlangsung 5 menit ... sebelum serombongan cewek kece mencecarku, "Ih, kamu .... Kamu siapa sih? Ini tempat duduk kita tauuu.... Sana, gih. Kamu harus pindah." Kujawab, "Tempat duduknya bebas kan? Siapa yang duluan datang boleh duduk di mana saja?" Dan mereka berkata, "Pokoknya ini tempat duduk kita, kamu harus pindah sekarang." Pokoknya adegannya mirip sinetron-sinetron zaman sekarang deh. Heran juga sih, teman-temanku itu belajar dari mana ... khan waktu itu belum ada sinetron. Maklum, TV kita cuma ada 1 saluran yaitu TVRI. Satu-satunya serial pendek tentang anak sekolah cuma ada ACI (Aku Cinta Indonesia). Silakan di-google untuk tahu betapa jadulnya program televisi kami semasa SD.

Jadilah aku pulang dan mendapatkan pertanyaan yang sama seperti kemarin, dan memberikan jawaban yang sama seperti kemarin. Payah? Tidak juga. Sebab, meski sering sial dalam hal sosial, aku sering beruntung dalam hal akademis. (Hampir) selalu juara umum selama di bangku SD dan SMP, sementara 15 dari 20 tahun masa studiku sampai saat ini selalu dibiayai dengan beasiswa. Termasuk gelar master of science di negeri Viking dan Thor.

Satu-satunya beasiswa itu luput dariku adalah di masa kelas 6 SD, dan meski hari itu aku tidak merasa senang ... tidak juga merasa sedih. Maklum, bagaimana kita bisa merasa 'kalah' kalau belum pernah merasa 'menang' karena memang selalu menang? Sama halnya dengan seorang anak yang selalu hidup dengan penuh cinta dan tidak tahu makna 'cinta' sebelum ia merasakan patah hati. Sama halnya dengan seorang anak yang tidak pernah memikirkan uang sampai tiba waktunya ia mencari uang. Tapi itu semua adalah topik untuk cerita lain.

Yang kutahu, setelah mendengarkan pengumuman kepala sekolah melalui pengeras suara di panggung tengah bazaar, waktu itu aku hanya mengobati kehilangan beasiswa dengan jajan ke kantin untuk membeli wafer superman. Dan di sanalah aku merasa sedih, bukan karena apa-apa ... tapi karena melihat temanku, Maria, menangis. Melihat matanya yang sembab dan merah, aku tak bisa untuk tidak bertanya, "Maria kenapa? Ada apa Maria?"



Ia terkejut melihatku, dan buru-buru menghapus air matanya ... sambil bergerak menghindariku. Tentu saja aku bingung, meski Maria tidak berkata apa-apa. Alhamdulillah ada seorang teman melihat kebingunganku, karena setelah kami beranjak pergi ia berbisik kepadaku, "Maria sedih karena tidak dapat beasiswa juara umum."


Aku bertambah bingung, "Mengapa sedih? Khan tidak apa-apa tidak dapat beasiswa ataupun juara umum. Tahun ini aku tidak dapat juara umum. Aku tidak dapat beasiswa. Apakah aku harus sedih juga?"




Temanku memandang dengan tajam, "Kamu tidak mengerti ya. Maria selalu mengharapkan mendapat beasiswa dan menjadi juara umum selama bersekolah di sini. Selama 5 tahun, selalu kamu yang mendapatkan hadiah itu. Selama 5 tahun ... dia kehilangan kesempatan itu. Tahun ini, kamu memang tidak juara umum. Tapi tidak juga Maria. Dia sangat sedih karena kelas 6 ini adalah kesempatan terakhir untuknya menjadi juara umum."

Dan .... itulah pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan sesuatu yang dinamakan dengan 'rasa bersalah.' Membuat orang lain tidak bahagia karena sesuatu yang kukira selama ini membuatku bahagia. Tapi benarkah selama itu aku bahagia? Mungkin iya, karena aku melihat ayah dan ibuku tersenyum. Selama mereka tersenyum bahagia, aku bahagia. Aku tidak terlalu peduli dan tidak terlalu memikirkan bagaimana perasaanku sendiri. Tentu saja kelihatannya keren selalu juara umum dan selalu mendapatkan beasiswa. Yang tidak pernah kukatakan kepada orang lain adalah, "Sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa bisa begini. Jangan tanya resepnya karena aku juga sedang mencari. Yang jelas, belajar itu menyenangkan." Berpikir tentang perasaan hanya terjadi ketika aku mulai beranjak puber. Tapi, tentu saja itu untuk cerita yang lain.


NB: 
Tulisan ini terinspirasi fenomena tahun ajaran baru, di mana saat ini seluruh orang tua dan siswa baru sedang berharap-harap cemas menjelang kenaikan kelas. Bagaimana suasananya? Bagaimana sistemnya? Apakah anak saya akan betah? Apakah gurunya baik? Apakah anak saya akan mendapatkan teman? Dan seterusnya, dan seterusnya. Saya belum pernah menjadi orang tua. Tapi saya pernah menjadi murid baru. Dengan menceritakan beberapa situasi yang kurang menyenangkan yang pernah dialami di sekolah, mudah-mudahan saya bisa bisa berbagi harapan dengan pembaca ... bahwa semua akan baik-baik saja. Semoga.








Rindukah?

Rindu...
Rasanya seringkali menggebu...
Saat kepergian jd kenyataan,
kerinduan seketika menjalar,
Dengan catatan dia yang disayang.
Baru sedetikpun beranjak,
kerinduan akan mulai memuncak.

Segala kenangan indah,
mencuat dari memori alam sadar.
Terkadang air mata meleleh,
menerpa buncahan kerinduan yang tertahan,
Atau malah tersungging senyuman sendirian,
mengenang potongan-potongan kenangan.

Laksana seorang kekasih yang bepergian,
Tak ingin tapi harus merelakan.
Bukan pergi untuk tak kembali,
Hanya berlalu sembari menanti.
Berharap takdir masih menyuratkan.

Kebiasaan saat bersama, coba tetap dijaga terbiasa,
Mengiringi penantian dalam napak tilas kenangan.
Rutin mengunjungi waktu dan ritual yang sepadan,
Menjadi obat penawar hingga tibanya pertemuan.

Berduyun bergandengan menghampiri panggilan adzan,
Terjaga bersujud di akhir sepertiga malam,
Duduk bersimpuh membaca Al Qur'an,
pun menahan haus dan lapar dari fajar hingga petang,
Kenangan amalan yang musti istiqomah dimakmurkan,
Teman rindu menanti Ramadhan kembali pulang.

Andai tak lagi dikerjakan walau sedikit,
atau mungkin tak terlintas di pikiran,
Tanda kerinduan sebatas isapan.
atau mungkin memang tak rindu?
atau memang tak pernah diamalkan,
saat kita masih bertemu dulu?





Takbir Keliling

Adzan isya' berkumandang seperti biasa, iramanya sama dengan saat dua hari lalu aku menginjakkan kaki di sini. Namun malam ini tak sama dengan malam sebelumnya. Sholat isya' yang dari sebulan lalu diikuti dengan sholat tarawih, malam ini tak lagi begitu, selepas imam melakukan salam, kumandang takbir bertalu-talu dari toa masjid berganti-gantian.

Aku browsing sejenak sebelum beranjak pulang dari masjid. Pantas saja, ternyata sidang itsbat telah resmi menetapkan 1 Syawal 1438 H jatuh esok hari. Segera kugeber motor menyusuri jalan kecil yang bopeng di mana-mana, sambil ikut mengumandangkan takbir meski perlahan. Tampak anak-anak kecil berpakaian putih sudah mulai bersiap berkumpul, laki-laki  perempuan. Di halaman SMP di depan masjid juga sudah disiapkan mobil yang sudah dihias ala timur tengah dengan lampu putih sebagai penerangan. Semangat sekali mereka. Menggambarkan kebahagiaan menyambut lebaran. Sedangkan aku masih sedikit kikuk, aneh rasanya malam ini, suasana Ramadhan masih melekat di kebiasaan. Tapi di satu sisi aku tentunya menyambut gembira, besok kami berhari raya.

*****

Sasa sudah merengek untuk bergegas berangkat, padahal belum terlihat tanda-tanda akan dimulai. Sasa adalah keponakanku yang 'ngeyelnya' luar biasa meskipun sudah dua tahun sekolah TK. Kami sudah bilang kalau mulainya masih lama, tetap saja dia bergeming, memaksa mengajak segera berangkat. Berkali-kali dia berteriak, "itu sudah kedengeran takbirnya, uda mau jalan...ayo cepet berangkat!"

Belum lagi adiknya, Zidan, yang meski sudah empat tahun tapi ngomongnya belum jelas, ikut merengek mendukung kakaknya untuk segera berangkat. Mereka berdua telah siap dengan menggenggam lampu batang yang bisa menyala warna-warni.

"Itu takbir di Masjid", Aku menjawab singkat dan mencoba mengacuhkan mereka meskipun suaranya memekakkan telinga. Aku masih sibuk memakaikan jaket dan jilbab ke anakku, Aqila, sebagai persiapan agar tak masuk angin keluar malam-malam.

Alhasil setelah semua siap, kami mulai berjalan ke arah jalan besar. Ternyata sudah ramai orang berjajar. Ada yang duduk di atas motor yang distandar. Ada pula yang sengaja membawa karpet untuk duduk lesehan. Tanganku sudah terasa pegal karena berjalan dengan Aqila di gendongan. Tetap kutahan demi anakku bisa memperoleh pengalaman perdananya.
Tak lama ibu mertua berujar, "wiwit e soko prapatan ngarep kono, mlaku mrono wae po?" (mulainya dari perempatan di depan sana, apa kita jalan ke sana saja)
Aku tak terlalu jelas mendengarnya karena jalanan sangat ramai. Melihat aku mengernyitkan dahi, sepertinya istriku mengerti, dia mengulang perkataan ibu mertua "mulainya dari perempatan depan, kita jalan ke sana aja ya"
Terbayang jarak yang masih sekitar dua ratusan meter, lumayan. Tapi aku tetap mengangguk setuju.

Perempatan yang disebut-sebut menjadi titik awal keberangkatan itu sudah dijejali penonton di sepanjang pinggiran jalan. Terlihat Polisi berompi hijau terang mencoba mengatur lalu-lintas yang mulai terlihat padat merayap. Mereka dibantu sukarelawan panitia dan beberapa pemuda-pemudi berpakaian pramuka. Karena belum juga mulai, aku mengusulkan untuk memesan wedang ronde di warung lesehan sambil menunggu. Sasa yang sudah tak sabar tak setuju, dengan lantang dia berkata "aku ga mau jajan, aku mau nunggu di sini, nanti kalau mulai kan ga kelihatan". Padahal penjual wedang rondenya juga ada di pinggir jalan situ. Dasar anak kecil batinku. Tanpa menghiraukan pihak yang tak setuju aku meminta istriku untuk memesan wedang ronde dan aku menuju tempat lowong yang paling pojok beralaskan tikar. Melihat aku dan Aqila sudah duduk santai, akhirnya Ibu mertua, Sasa, Zidan dan ayah mereka juga ikut menyusul. Aku ledek Sasa yang tadi tegas menolak ajakanku. "Katanya tadi ga mau jajan" ujarku dengan ekspresi meledek yang kental.
"Ya kan aku ga mau jajan wedang ronde... jajan mie ayam bakso aja" jawabnya membela diri.

*****

"Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar... Laailaaha ilallahhu Allahu Akbar... Allahu Akbar walilla hilhamd...!"

Takbir terdengar lantang dari sound system yang terpasang. Suara jedar jeder dari rombongan drum band mengiringi gema takbir yang dilafalkan. Di sudut jalan juga nampak cahaya dari barisan lampion kotak yang dibawa oleh rombongan anak-anak berjilbab dan berkopyah. Lampionnya digerakkan naik turun sesuai instruksi dan irama lagu yang mengiringi.

Seketika porak poranda lah mangkok wedang ronde yang baru saja terhidang. Sasa dan Zidan langsung teriak-teriak sambil bergegas menuju tepi jalan karena tahu pawai takbir keliling akan dimulai. Aku juga jadi ikut tergesa-gesa beranjak menonton. Untung segera sadar bahwa hangatnya wedang ronde lebih baik dinikmati terlebih dahulu. Aku menghabiskannya sendiri sedangkan rombonganku yang lain sudah siap sedia berdiri di pinggir jalan.

Aku penasaran dengan reaksi Aqila. Ini pertama kalinya dia menyaksikan takbir keliling seperti ini. Raut mukanya kelihatan bingung menyaksikan keramaian di hadapannya. Belum lagi, pawai mobil hias diiringi barisan tua-muda, anak-anak-dewasa, laki-laki-perempuan dengan kostum bermacam-macam. Lampu-lampu juga menyala terang berkedip-kedip penuh warna. Takbir juga terus dikumandangkan dari pengeras suara yang disematkan di masing-masing mobil hias yang melintas.

Banyak sekali yang berpartisipasi. Rombongan mengusung identitas masjid-masjid yang tersebar di kecamatan Playen, Gunung Kidul. Masing-masing menunjukkan kreativitasnya. Ada yang membawa lampion, ada yang memainkan drum band dengan peralatan lengkap, ada juga yang hanya melambai-lambaikan bendera kecil dari kertas minyak. Oh iya, ada juga yang membawa lampu batang warna-warni seperti punya Sasa dan Zidan, juga dilambai-lambaikan. Dari beragam penampilan itu, yang paling banyak dibawa adalah replika Ka'bah, Gajah dan burung ababil. Mereka ber-teatrikal usaha penghancuran ka'bah oleh pasukan gajah yang gagal karena diserang burung ababil yang membawa batu panas. Penonton langsung antusias dan merangsek ke depan saat adegan itu diperagakan.

Pawai takbir keliling seperti sudah akan selesai karena mobil dan motor yang sedari tadi tertahan perjalanannya sudah mulai dipersilahkan lewat oleh aparat yang bertugas. Beberapa penontonpun juga sudah ada yang mulai berjalan pulang. Aku yang sudah mulai lelah dan mengantuk, mengajak istriku dan yang lain untuk kembali ke rumah. Tapi lagi-lagi.... "Aahh.. aku ga mau pulang, itu kan belum selesai, aku mau nonton sampai habis... biar aku marem!" (marem=puas), Sasa kembali resisten dengan rencana-rencanaku.
"Ini uda selesai tauk, tu.. uda pada bubar semua.. uda ga ada yang lewat lagi" jawabku tak mau kalah.

"Iih.. Pakdhe, ga percaya.. tu liat.. masih ada yang lewat tuh!" teriak Sasa sambil menunjuk ke arah rombongan yang baru saja muncul. Kali ini aku yang kalah. Ternyata benar, pawai belum usai, masih ada rombongan yang tersisa. Di kejauhan tampak anak-anak mengenakan pakaian putih-putih membawa lampu warna-warni yang dilambai-lambaikan sambil bertakbir bersama. Di belakangnya diikuti ibu-ibu dengan gamis hitam-hitam juga membawa lampu warna-warni sambil bertakbir dan sesekali tersipu karena tetangganya ada yang menonton. Lalu, diikuti remaja putri dengan gamis hitam dan jilbab kembang-kembang seragam. Mereka sempat membentuk formasi dengan juga melambaikan lampu warna-warni yang di pegang tangan kanan-kirinya. Setelah mendekat mereka semua ternyata memakai masker. Mungkin malu kalau-kalau ada gebetannya yang nonton. Dan yang terakhir, rombongan remaja putera denga alunan drum bandnya mengawal mobil hias ala timur tengah dengan tirai putih dan lampu putih pula.
Wah, ini rombongan dari masjid tempatku sholat isya' tadi. Ternyata di dalam mobil hias tadi ada anak kecil yang didandani seperti abu nawas dan duduk bersila menghadap ke depan. Total sekali penampilannya.

Takbir keliling malam itu berjalan meriah. Semua orang larut dalam suasana suka cita. Hingga tak terasa malam telah cukup larut, saat kini ku terbaring di atas kasur dengan sesekali mengurut kaki sendiri. Di luar sana masih juga terdengar takbir dari sound system mobil-mobil yang melintas. Masih terdengar juga raungan-raungan cempreng motor-motor yang sengaja memamerkan eksistensinya. Ditambah lagi suara dar-der-dor dari kembang api yang tak henti-henti. Padahal hari sudah tengah malam. Semoga kemeriahan ini berlanjut esok hari. Dan Semoga mereka semua tak lupa bahwa besok pagi waktunya Sholat Idul Fitri. Sekian.