Wanita berpayung merah

Wanita..?? jujur saja, saya tidak bisa memastikan apakah itu wanita, atau bukan... pun apakah itu manusia atau bukan, saya juga tidak dapat memastikan. Yang saya dan Bapak Velmer Moningka (teman sekantor) lihat saat itu adalah sesosok yang berpakaian wanita, gaun putih panjang, dengan payung merahnya, berjalan berlenggak-lenggok layaknya wanita.

Kejadian ini terjadi pada tahun 1998, bulan dan tanggalnya saya tidak ingat lagi, tapi yang pasti sekitar akhir bulan, karena pada akhir bulan, biasanya Bapak Velmer Moningka meminta bantuan saya untuk mengerjakan sebagian tugas beliau di Seksi Perbendaharaan 1 KPKN Ternate (sekarang menjadi KPPN Ternate). Kami mulai bekerja sekitar pukul 22.00 WIT dan biasanya berakhir sampai dini hari.

Bapak Velmer Moningka adalah pelaksana tersibuk di Seksi Perbendaharaan 1, selain pekerjaan rutin sebagaimana pelaksana lainnya, yaitu mengurusi DIK (Daftar Isian Kegiatan) dari beberapa satker, Daftar Isian Proyek (DIP) yang beliau pegang jauh lebih banyak dari pelaksana lainnya, bahkan hampir semua proyek yang berbantuan luar negeri pada Seksi Perbendaharaan 1 dipegang beliau. Sehingga wajar, kalau beliau adalah satu-satunya pelaksana yang seringkali lembur sampai larut malam. Dan sudah beberapa kali beliau meminta saya untuk membantu. Saya senang-senang saja membantu, selain bisa dapat tambahan uang jajan yang beliau berikan, pun mengisi waktu senggang saya yang merantau jauh di negeri orang.

Malam itu, seperti biasanya, kami mulai bekerja sekitar pukul 22.00, makanan kecil dan minuman ringan telah beliau sediakan, dan itu juga menjadi salah satu daya tarik saya mau membantu beliau, lumayan bagi anak rantau seperti saya, bisa menghemat. Entah sudah berapa banyak SPP Gaji Satker saya selesaikan, berikut mengisi di kartu pegawai. Udara sejuk karena hujan yang tidak begitu deras menyertai kekhusyukan kami menyelesaikan pekerjaan. Tidak terasa, jam dinding diruangan Seksi Perbendaharaan 1 telah menunjukkan pukul 02.15 dini hari. Dan Bapak Velmer juga sudah bilang ke saya, mungkin sebentar lagi pekerjaan dicukupkan dan dilanjut esok malam, hanya sedikit menunggu hujan agak mereda. Dan, 10 menit kemudian, hujan pun mereda, hanya tersisa gerimis kecil dan angin sepoi-sepoi. Bapak Velmer sudah mengajak untuk bersiap-siap menghentikan pekerjaan dan merapikan berkas yang ada. Saat saya sedang merapikan berkas di meja, tiba-tiba saya mendengar Bapak Velmer, memanggil-manggil seseorang..

"sstt.. Cewek.. , sstt Cewek... suiiitt.."

Mendengar itu saya tidak langsung bergabung dengan Bapak Velmer melihat dari jendela ruangan yang menghadap ke Jalan Yos Sudarso depan kantor. Saya malah melihat jam dinding, dan dalam batin saya.. ah, mungkin Pak Velmer cuma iseng menipu saya, mana ada cewek jalan-jalan jam segini. Tapi selanjutnya malah Pak Velmer, memanggil saya untuk menunjukkan ada cewek sedang jalan sendirian.

"Mas, sini mas.. ada cewek tuh, keliatannya cakep... yuk godain.." kata Pak Velmer dengan tetap dalam posisi mukanya melihat keluar jendela.

Saya langsung menyadari kalau beliau sedang tidak bercanda. Saya mendekat ke jendela dan melihat keluar.. ternyata benar, dalam jarak kira-kira 7 meter, saya melihat sosok wanita, atau lebih tepatnya sesosok seperti wanita, bergaun putih panjang, membawa payung merah, berjalan sendirian dalam gerimis yang dingin. Wajahnya tidak terlihat, karena tertutup payung, hanya jalannya terlihat berlenggak-lenggok, layaknya seorang model diatas catwalk. Payung merah diputar-putarnya dengan tempo yang sama.

(ilustrasi dari : http://hujanselaluturun.blogspot.co.id/2012/09/aahhaku-ingin-melukis.html)

Pak Velmer masih saja berusaha meanggil-manggil cewek tersebut, sampai akhirnya saya katakan kepada beliau..

"Pak, yakin itu cewek..? Bagaimana kalau bukan..?"

"Ah, ya cewek lah.. kan keliatan jelas..." kata Pak Velmer.

"Ya sudah, berani gak kita keluar, dan membuktikan siapa sebenarnya dia..?" tantang saya kepada Pak Velmer.

"Emang kamu berani..?" tanya Pak Velmer.

"Kalau ada temannya, saya berani.. nanti saya yang pegang dia, yang penting Bapak temani saya.." jawab saya.

"Ok, ayok.." jawab Pak Velmer.

Dan beberapa jurus kemudian, kami bergegas keluar untuk mengejar sesosok yang menyerupai wanita tersebut. Sesampainya di pagar kantor, kami masih melihat sesosok itu masih berjalan melenggak-lenggok, dengan payung merah yang diputar-putar, bahkan dalam jarak yang lebih dekat, kira-kira 4 meter. Sesosok itu telah sampai di perempatan jalan Yos Sudarso, yang kalau belok ke kanan adalah jalan menuju Stadion Utama Ternate, dan kalau belok kiri jalan ke arah kampung Maliaro. Saya dan Pak Velmer juga telah sampai pada pojok kiri pagar kantor, KPKN Ternate berada di pojok perempatan jalan Yos Sudarso tadi, dan berhadapan dengan Kantor Kota Administratif Ternate.

Sosok itu, lalu berbelok ke kanan menuju ke arah Stadion Ternate, masih 5-6 meter di depan kami. Tiba-tiba, entah mengapa Pak Velmer berubah pikiran, entah perasaan apa yang beliau rasakan, sehingga berkata..

"Mas, udah mas.. sampai sini aja.."

Saya yang sudah lompat pagar kantor untuk mengejar dan memegang sosok itu, juga langsung berhenti..

"Lho kenapa Pak, ayo kalau berdua saya berani.." kata saya sambil berpaling kebelakang melihat Pak Velmer yang masih di dalam pagar kantor.

"Udah deh, gak usah.. takut ada apa-apa.." kata beliau..

Yah.. kata saya dalam hati, dan memalingkan pandangan ke arah jalan stadion kembali untuk mencari sosok tadi.. namun tak saya dapati lagi sosok tadi.. padahal jalannya pelan.. harusnya dia masih ada di sana, masih tertangkap pandangan mata ini.. tapi dimana dia..?

"Pak, kemana dia..? hilang kemana dia..?" tanya saya kepada Pak Velmer..

"Ah, sudah... yok kita pulang saja.." jawab Pak Velmer.


 

Malam ke 40

Seperti biasa, saya bertugas membawa acara cerita misteri di Madya FM, salah satu radio swasta di Kota Ternate pada kamis malam pukul 21.00 – 23.00 WIT. Malam itu, sekitar pukul 21.30 salah satu fans radio sekaligus teman dari penyiar lain datang ke studio dan mengajak seluruh rekan penyiar untuk berkunjung ke rumahnya. Saya sebenarnya tidak mengenal Sandra, karena saya adalah penyiar baru di radio ini, dan Sandra kabarnya adalah fans lama radio yang saat itu sedang melanjutkan studinya di negeri kangguru dan sedang pulang ke Ternate untuk liburan. Saya sebenarnya tidak ingin ikut berkunjung ke rumah Sandra, selain sudah larut malam karena dari studio pukul 23.00, sehingga terbayang pulangnya akan telah dini hari, juga karena saya tidak mengenal Sandra sebelumnya. Namun, teman penyiar saya memaksa saya untuk ikut dengan alasan biar lebih rame dan seru, bahkan Luki salah satu teman penyiar saya berjanji akan mengantar saya pulang selesainya kongkow di rumah Sandra, dan pada akhirnya saya bersedia ikut kongkow di rumah Sandra.

Sandra adalah anak tunggal dari keluarga yang menurut saya sangat berada, rumah Sandra besar dan bagus dengan halaman yang sangat luas. Di rumahnya saya lihat ada koleksi moge (motor gede) Harley Davidson dan BMW klasik. Ada juga ruangan khusus untuk band, lengkap dengan peralatannya, seperti drum, keyboard dan gitar listrik. Ada pojok bar lengkap dengan berbagai merek minuman impor. Entah berapa banyak mobil terparkir di garasinya yang tertutup, sementara ada 3 mobil yang terparkir di halamannya, termasuk 1 VW Combi klasik, dugaan saya mungkin orang tuanya senang mengoleksi kendaraan klasik.

Setengah jam berlalu, satu jam berlalu, bahkan sampai akhirnya dua setengah jam berlalu, Sandra dan 5 orang teman penyiar saya ngobrol ngalor-ngidul.. Sandra memang enak jadi teman ngobrol. Dari 7 orang yang ada saat itu, hanya saya yang lebih banyak diam.. Saya hanya kepikiran bagaimana nanti pulang dari tempat Sandra. Angkutan kota sudah tidak ada, apalagi rumah Sandra tidak berada di pinggir jalan protokol, tidak ada ojek yang mangkal maupun yang lewat. Sebenarnya jarak rumah Sandra dan kantor KPPN Ternate tempat saya tinggal tidaklah terlalu jauh, mungkin hanya sekitar 1 km, namun jalan yang harus dilalui yang membuat saya sedikit deg-degan. Jalanan itu adalah melewati Stadion Ternate yang gelap gulita, dan banyak cerita penampakan yang sering terjadi disana.

Dan tepat pukul 01.30 WIT, teman-teman akhirnya sepakat pulang, itupun atas desakan saya berkali-kali. Hujan gerimis menyertai kepulangan kami dari rumah Sandra. Ah, hujan gerimis, pukul 01.30 dini hari dan jalanan yang gelap gulita, lengkap sudah suasana untuk suatu cerita horor, pikir saya dalam hati. Dan, saya harus melaluinya sendirian saat itu, karena Luki ternyata ingkar janji tidak jadi mengantar saya.. Dan tempat tinggal teman-teman penyiar saya tidak ada yang satu jalan dengan saya.

Baru saja sekitar 1 menitan saya berpisah dengan teman-teman penyiar yang lain, saya sudah mulai mendengar suara “sesuatu” yang mungkin bisa saja burung, kelelawar atau binatang malam lainnya, tapi memang baru saya dengar ketika berada di Ternate, dan menurut cerita orang Ternate, suara seperti itu adalah suara Suanggi. Suanggi berdasarkan cerita yang saya dengar langsung dari orang Ternate, adalah orang tertentu yang bisa terbang tanpa sayap pada malam hari untuk mencari mangsa, yang masih menurut cerita mereka, bayi adalah target utamanya. Suanggi ini, digambarkan dalam cerita mereka, jika laki-laki ada tanduknya dan jika perempuan rambutnya tegak berdiri. Sebagian besar gambaran wajah Suanggi ini menyeramkan. Bahkan ada yang menggambarkan Suanggi ini terbang berkeliaran hanya berupa kepala dan bagian dalam manusia (usus, hati dan jantung), tanpa badan. Konon katanya, ketika malam (selepas maghrib) Suanggi ini mulai berkeliaran, dan baru pulang menjelang subuh. Namun ada pula yang menyebut Setan/Jin/makhluk halus dengan sebutan Suanggi juga. Saya, terus terang lebih takut pada Suanggi dengan definisi yang pertama, karena jika itu adalah orang dengan kemampuan tertentu, maka sudah pasti punya wujud fisik yang dapat melakukan kontak fisik dengan saya.

Suara Suanggi itu terus mengikuti saya, suaranya terdengar pelan, “syuu, syuu...” hampir seperti suara orang bersiul yang tidak sempurna.. Saya teringat cerita dari teman kantor, jika mendengar suara Suanggi pelan, itu artinya dia dekat, tapi kalau suaranya terdengar nyaring atau jelas, justru keberadaannya sedang jauh.. Dan saat itu saya dengar suaranya pelan mengikuti saya.

Jalan yang mengitari Stadion Ternate dibuat satu arah, tapi entah mengapa perasaan saya mengatakan untuk memilih jalan sebelah kanan yang artinya berlawanan arah dari yang seharusnya, hati saya mengatakan lebih baik menghadapi sesuatu dengan berhadap-hadapan lebih dahulu jika ada kendaraan atau orang lain yang lewat, tapi tentu saja sudah tidak ada lagi yang lewat pada pukul 01.30 pagi dan gerimis pula.

Jalanan di pinggir stadion itu gelap gulita, karena selain tidak ada penerangan jalan sama sekali, pagi dini hari saat itu gerimis, sehingga tidak ada cahaya bulan ikut andil menemani perjalanan saya. Saya berjalan dengan langkah yang dipercepat, saya hanya harus melewati setengah lingkaran jalan stadion untuk kemudian sedikit berbelok ke kanan dan 100 meter kemudian masuk ke jalan Yos Sudarso yang sudah berpenerangan jalan. Saya berjalan dengan tidak putus membaca doa-doa maupun surat-surat tertentu dalam Al-Quran.

Pada seperempat jalan yang mengitari stadion, saya melihat sesuatu, kira-kira setinggi pinggang orang dewasa berada disebelah kiri jalan yang akan saya lalui, kira-kira 5 meter di depan saya. Bentuknya seperti anjing Doberman Pinscher, saya katakan seperti, karena jujur saja, dalam suasana gelap seperti itu, saya tidak bisa melihat dengan jelas, mungkin juga hanya perasaan saya saja yang mengatakan seperti Doberman, yang pasti saya tetap melanjutkan perjalanan dan tidak ingin melihat lebih jelas ke arah kiri ketika melewatinya. Saya hanya bersiap-siap dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi dengan bermodalkan nekat dan sepotong kayu di tangan.

Alhamdulillah, penampakan yang tadi telah terlewati, dan di depan sudah terlihat gedung KPP Ternate sekaligus jalan terakhir pinggir stadion untuk berbelok ke kanan. Hati saya sudah mulai agak tenang, tapi mulut tetap merapalkan doa-doa agar saya selamat. Tepat ketika beberapa langkah lagi saya akan berbelok ke kanan untuk meninggalkan jalanan pinggir Stadion, entah mengapa saya berpaling melihat ke kiri yang merupakan pintu utama stadion, dan ketika saya melihat ke arah pintu stadion, tiba-tiba “Duarrrr.....” terdengar suara yang sangat keras sekali, sampai saya juga melompat mundur saking kagetnya.. suara itu seperti pintu yang dipukul dengan sangat keras dengan besi. Saya berhenti dan tidak mengalihkan pandangan dari pintu Stadion Ternate. Saya menunggu apakah ada suara atau penampakan yang akan menyusul berikutnya, namun hening.. tak ada suara atau penampakan apapun yang menyusul kemudian.

Saya melanjutkan perjalanan, berbelok ke kanan dan kira-kira 150 meter di depan sudah terlihat pagar Kantor KPPN Ternate, kantor tempat saya bekerja sekaligus tempat tinggal saya. Dan suara yang saya duga Suanggi sudah tidak terdengar lagi. Hening.. Sepi.. bahkan saya tidak mendengar suara apapun.

Sampai di depan pagar KPPN Ternate, hati saya sudah tenang, saya masuk dari pintu samping yang hanya bisa dilalui orang berjalan. Cieett... suara deritan besi pintu pagar, terdengar keras menandakan engsel yang sudah karatan dan tidak pernah diminyakin. Pagar keliling kantor, kecuali yang bagian depan, telah di buat tembok setinggi kira-kira 2 meter, sehingga tidak terlihat bagian dalam halaman kantor dari luar pagar. Halaman dalam kantor adalah lapangan badminton yang telah dicor semen, dan banyak sekali sampah daun ketapang berserakan. Pohon ketapang yang sudah cukup besar, persis berada disebelah kanan pintu samping kantor.

Baru satu langkah saya masuk, tiba-tiba sreekkk... sampah daun ketapang yang di depan saya bergerak kedepan secara bersamaan, seperti sedang di sapu dengan sapu yang sangat besar. Tidak ada angin saat itu, dan saya melihat ke atas, pohon-pohon juga tidak ada yang bergerak karena tertiup angin. Ah, ada apa lagi ini, saya mengira suasana horor yang saya lalui sudah berakhir, tapi ternyata tidak. Saya diam, sampah daun ketapang itu juga diam. Setelah beberapa detik, saya melangkah lagi (langkah kedua), dan kejadian itu berulang, sampah daun ketapang itu bergerak bersamaan seperti sedang disapu dengan sapu yang sangat besar. Kembali saya diam beberapa detik, untuk kali ketiga saya melangkah lagi, dan sampah itu kembali bergerak. Untuk kali ketiga saya diam, menunggu apakah sampah itu akan bergerak kalau saja saya tetap diam. Tiba-tiba saya mendengar sayup-sayup suara besi dan kaca beradu, tek, tek, tek.. dan 10 meter dari saya berdiri diam di lapangan badminton, saya melihat ke arah sumber suara, ya, saya melihat jendela kaca nako yang tidak tertutup itu bergerak-gerak. Jendela ini adalah salah satu jendela di ruangan Seksi Perbendaharaan 1, jendela ini terdiri dari 8 buah kaca kecil-kecil yang terpisah. Dan yang bergerak-gerak hanyalah kaca nomor 2 dari bawah.

Perhatian saya menjadi teralihkan dari sampah daun ketapang ke kaca nako jendela yang bergerak-gerak, saya berpikiran, apakah ada tikus atau mungkin maling. Saya melangkah mendekati jendela tersebut, dan anehnya sampah daun ketapang sudah tidak lagi bergerak mengikuti saya. Saya mendekati jendela, dan dalam jarak 3 meter, saya berhenti. Ruangan Seksi Perbendaharaan 1 sudah gelap, namun samar-samar dari cahaya lampu penerangan halaman, saya melihat sesosok, berdiri disamping jendela yang kaca bagian bawahnya bergerak. Sosok tersebut terlihat kepala dan badannya hitam dengan posisi berdiri menyampingi jendela, tidak menghadap jendela, tapi posisi berdirinya persis disamping jendela. Kain gorden jendela menutup setengah, dan saya melihat sosok tersebut “seperti” sedang memainkan kaca nako kedua dari bawah, bergerak berirama, tek, tek, tek.. lalu diam 2 detik, dan kembali bergerak tek, tek, tek.. begitu seterusnya.




(ilustrasi, sumber dari : https://urbanlejen.wordpress.com/category/urbanlejen/page/6/)


Entah mengapa saya berpikiran kalau sosok itu adalah Effendi, sang honorer penjaga kantor, yang saya pikir sedang iseng menakuti saya.. karenanya, bukannya saya takut pergi menjauh, tapi saya malah toreba kepada sosok tersebut. Teriak dalam Bahasa Ternate adalah toreba.

“Hei Fendi, ngana kira kita tako..?”

“Ngana keluar suda.. cei.. jang ngana biking-biking e...”

Kira-kira artinya begini, Fendi, kamu kira saya takut? Kamu keluar saja, jangan buat hal-hal seperti itu...

Namun sebegitu kerasnya saya teriak, tidak ada jawaban atau suara apapun yang saya dengar..

Lalu saya periksa pintu masuk ruangan tersebut, terkunci, dan ketika saya bermaksud untuk naik ke lantai 3 tempat dimana saya dan beberapa teman, termasuk Effendi si honorer penjaga kantor, tinggal, saya masih melihat sosok itu berdiri dan kaca yang bawah juga masih bergerak, tepat saat saya akan berbalik badan untuk menuju gedung seberang ruangan Seksi Perbendaharaan 1 tempat saya tinggal, saya melihat gorden jendela yang awalnya hanya menutup setengah, tiba-tiba bergerak dan menutup penuh jendela. Bahkan gerakan gorden jendela tersebut sangat persis seperti digerakkan oleh seseorang, karena gerakan gorden diawali dengan gerakan kekiri sedikit, lalu krek.. bergerak ke kanan dan menutup penuh.

Saya kaget, beberapa jenak lamanya saya mematung, bersamaan dengan gerakan gorden yang menutup tadi, gerakan kaca nako yang bawah juga berhenti, dan, anehnya.. suara dua orang teman saya yang sedang mengobrol di lantai 3 baru mulai terdengar oleh saya. Saya langsung panggil teman saya..

“Heru...!!”

“Yo.. kenapa..?” kepala Heru muncul dari jendela lantai 3 dan melongok ke bawah.

“Kalian dari tadi disitu? Sejak kapan ngobrol disitu?” tanya saya.

“Oh, udah dari tadi kok.. dari jam 12 malam tadi mungkin kita ngobrol sampai sekarang..” jawab Heru. Kemudian muncul juga si Dullah melongok ke bawah.

“Kalian gak dengar aku pulang? Gak dengar aku teriak-teriak..?

“Engak..” jawab mereka hampir bersamaan

Wow.. saya benar-benar terheran dengan peristiwa ini, bagaimana mungkin pendengaran mereka tertutup atas suara yang saya timbulkan, dan pendengaran saya tertutup dari suara yang mereka keluarkan. Kalau penglihatan yang tertutup terhadap makhluk astral, semisal dari 5 orang yang ada, hanya 1 orang yang melihat makhluk astral, sudah jamak terjadi. Tapi ini pendengaran yang saling tertutup, antara saya dan dua orang teman saya. Padahal pada jam-jam diatas 23.00 suara ngobrol biasa di lantai 3 itu bisa terdengar sampai 500 meter jaraknya. Karena beberapa kali penduduk sekitar pernah menanyakan kepada kami jam berapa tidur, karena sudah larut malam tapi masih mendengar kami mengobrol. Dan saya sering ketika duduk-duduk di lantai 3 mendengar suara deritan pintu samping yang dibuka seseorang. Tapi malam itu, semuanya tidak mendengar.

Akhirnya saya minta kepada Heru dan Dullah untuk turun membawa kunci ruangan Seksi Perbendaharaan 1 dan juga sebuah senter. Saya katakan kalau ada orang di ruangan Perbendaharaan 1. Sesampainya mereka di bawah, saya pelan-pelan dan dengan tingkat kewaspadaan tinggi membuka pintu ruangan Seksi Perbendaharaan 1, karena saya takut kalau-kalau ternyata benar ada maling, dan takut bentrok fisik. Ruangan Seksi Perbendaharaan 1 terbuka, dan saya nyalakan lampu ruangan, dan memeriksa kolong-kolong bawah meja.. tidak saya jumpai sesuatu apapun, tidak juga tikus, hewan yang paling mungkin menjadi tertuduh pembuat kekacauan ini.

Akhirnya setelah sekian lama kami bertiga memeriksa ruangan dan tidak menemukan apa-apa, kami kunci kembali, dan naik ke lantai 3 tempat kami tinggal. Saya ceritakan semuanya pada Heru dan Dullah.

Esoknya, saat para pegawai sudah berdatangan ke kantor, cerita kejadian yang saya alami malam itu, cepat sekali menyebar, entah Heru atau Dullah yang menyebarkannya pertama kali.. Banyak orang kantor yang menanyakan langsung kronologi peristiwanya kepada saya.

Dan beberapa saat kemudian saya dipanggil oleh Bapak Faqikh, Kepala Seksi Bendahara Umum. Beliau menanyakan apa yang saya alami. Lalu beliau berkata..

"Mas, kamu gak ingat..?”

“Ingat apa Pak..?” jawab saya.

“Coba lihat tanggal, tanggal berapa sekarang..”

“Iya, Pak, emang kenapa dengan tanggal hari ini..?

“Apa kamu gak ingat? Ini adalah 40 hari meninggalnya Kepala Seksi Perbendaharaan 1. Dan kita di KPPN Ternate ini tidak buat syukuran atau tahlilan untuk beliau. Ya mungkin karena selama hidupnya beliau dekat dengan kamu, dan Mas Heru, jadi beliau pamit..” kata Pak Faqikh.

Degh... Saya kaget juga dengan apa yang dikatakan Pak Faqikh..

Dan iya, saya hitung mundur selama 40 hari kebelakang, tepat hari dimana Kepala Seksi Perbendaharaan 1 berpulang ke Rahmatullah.. semalam adalah malam ke 40 beliau.. meskipun saya tidak percaya pada cerita bahwa arwah orang yang meninggal itu masih berada di dunia ini selama 40 hari selepas meninggal, tapi kejadian ini benar saya alami.. hanya kebetulan atau benar seperti sangkaan Pak Faqikh.. wallahu a’lam.










Coincidentally un-Random


Visiting a friend for lunch break on the other day, I took a taxi … as the driver asked, “Going there everyday, Ma’am?” I said no, then asked why. Then he said, “Because every time you have this taxi, that building is always your place to go.” 
I was surprised, because I had not been there for some time. Then I realized, it was the same driver with the same taxi that I hailed randomly on the street last month.
“How did you remember?” I asked. He said, “Because you talked about current events, and it was a great conversation. I also remember your comment before getting out of the car, that your friend’s lobby looked rather pale with less plants/flowers around. Here is the place.”

NB: This was written in a personal journal on 12 January 2017.

Pindah Gigi

Ini kisah ketika saya kos waktu kelas 3 SMA dulu. Sebetulnya tidak ada halangan untuk tidak kos, tapi biar kelihatan serius dalam rangka menghadapi EBTANAS. Wah istilahnya kuno banget ya, beda ama sekarang : UN. Kalau kos kan biar bisa lebih fokus belajarnya, biar bisa lebih sering diskusi sama teman-teman untuk persiapan ujian, meskipun pada kenyataannya sama juga, bahkan malah lebih sering nongkrongnya daripada belajar. Ssst... 
Tapi memang benar apa kata orang (orang yang mana ya :P), "kos jauh lebih seru", selalu ada cerita, ada canda dan tawa, ada juga dukanya terutama kalau tanggal-tanggal tua. Hush... kok jadi curhat begini.
Saya masih ingat, malam pertama kos, semalaman diiringi lagu 'Hello'-nya Lionel Richiesangat menyentuh dan sekaligus menyedihkan. Menyentuh karena memang lagunya ok banget, dan menyedihkan karena aku gak enak mau matiin lagunya, itu tape recorder punya teman sekamarku.
Sekarang kalau dengar lagu itu, jadi ingat masa-masa itu, seakan-akan Lionel Richie pernah jadi teman kosku. Lebay dot com.
Satu hal yang selalu bikin seru adalah makanan.
Kapanpun dia ada, tidak perduli waktunya makan atau (apalagi) waktu-waktu lapar, selalu bikin heboh. Suasana rebutannya seperti bertahun-tahun tidak pernah lihat makanan. Seperti malam itu habis maghrib, ketika bapak kos dapat undangan kenduren atau dikenal dengan istilah bancak-an. Hanya ada satu kata kalau ada undangan kenduren  adalah : berkat (jatah nasi bungkus dari acara hajatan itu). Seperti layaknya anak kandungnya (kalau urusan makanan ngaku-ngaku anak kandung ya... :D), sambil menunggu bapak kos balik dari hajatan, kita ngobrol di ruang tengah, sambil membayangkan berkat beserta asesorisnya : nasi plus kentang goreng, sayur kacang, perkedel kentang, telur plus ayamnya. Hmmm... sambil mikir... dapat apa ya aku kalau rebutan nanti.
Rupanya ada salah satu teman yang belum sholat maghrib. Kebetulan kebiasaan dia kalau sholat di atas dipan, yang tentu saja setiap pergerakannya terdengar derit yang lumayan keras : krieet...
Di setiap jeda obrolan kami, tentu terdengar bunyi yang cukup keras dari dipan tempat temanku sholat.
Bunyi 'krieet' nya masih cukup teratur, menandakan khusyuknya sholat :
krieet... krieet... krieet...
krieet... krieet... krieet...
Ditengah 'irama' yang teratur itu, tiba-tiba bapak kos datang, "Assalamu'alaikum..." Kami menjawab salam dengan penuh semangat. 'Berkat' langsung ditaruh di meja, dan 'petualangan' anak kos pun dimulai. Suasana di ruang tengah menjadi gaduh dan tentu saja terdengar oleh temenku yang sedang sholat...
Ketika teman-teman mulai mendapatkan bagiannya, terdengar suara derit dipan yang berbeda dari yang tadi :
krieet.. krieet.. krieet.. krieet.. krieet.. krieet..
krieet.. krieet.. krieet.. krieet.. krieet.. krieet..
Ada yang nyeletuk, "wah sholatnya pindah gigi ya"
dengan disambut grrrrrrrrrrrrrr teman-teman lainnya...


* lain kali sholatnya di lantai aja, kalau pindah gigi tidak ketahuan :D

Barangkali Kita

Di antara satu kebahagiaan adalah
Mengetahui ..oh, bukan..
berada dalam perjalanan,
Atau terus berusaha berjalan di
Dalam
Îœencari secarik rahasia rahasia kehidupan
Atau,
Dianugerahi,

Ilmu secuil
Dari samudera ilmu yg begitu luas ini

Bahwa di luar sana
Ada dia
Mereka
Yang begitu hebat prinsipnya
Sabarnya
Tulusnya

Sehingga terdengar pun tidak
Diketahui? Mungkin tak banyak
Dirasa? Barangkali iya


Karena disembunyikannya cintañya
Barangkali ikhlasnya yg begitu halus
Sampai tak pernah terucap

Atau lisannya tercekat
Dari keluhan

Seperti tokoh di balik layar
Yang begitu kuat namun tiada terlihat

Karena barangkali kita silap
Memuja emas di depan mata..
Dan abai atas mutiara di dasar sana..

Mengapa Saya Ingin Menulis

Sering kali saya menjumpai tulisan yang membuat saya menangis, tertawa, sedih, menjadi bersemangat, dan berbagai ekspresi lainnya. Hal ini sudah cukup jadi bukti bahwa pengaruh tulisan itu sangat besar terhadap perasaan seseorang.

Dengan tulisan yang isinya sangat menyentuh, seseorang dapat terketuk hatinya untuk kemudian tersadar terhadap sesuatu. Tidak sedikit seseorang sulit untuk diingatkan secara lisan, tapi mudah tersentuh oleh nasihat-nasihat yang dikemas dalam bentuk tulisan yang baik.

Seseorang bisa juga menjadi terharu ketika membaca tulisan yang dikemas dalam bentuk kisah-kisah inspiratif. Kisah-kisah yang baik ini, tidak akan menginspirasi orang lain apabila tidak ditulis yang kemudian akan dibaca orang lain.

Tulisan bisa juga memotivasi seseorang yang pada saat sedang tidak memiliki semangat untuk maju dengan potensi yang sebenarnya sudah dimilikinya.

Dan yang tak kalah pentingnya adalah ilmu-ilmu dari orang-orang sebelum kita, dapat kita pelajari dari tulisan yang dibuat oleh mereka. Sebagaimana ungkapan seorang ulama, "ikatlah ilmu dengan menuliskannya", maka ilmu tidak akan hilang begitu saja. Hal ini tentu untuk menjaga kesinambungan alih ilmu antar generasi. Jika tidak ada tulisan, rasanya proses pewarisan ilmu akan menjadi lebih sulit. Daya hafal manusia juga sangat terbatas.

Jangan sekali-kali melupakan sejarah, begitu ungkapan yang sudah tak asing bagi kita. Tapi sejarah tidak akan pernah ada, jika tidak disimpan dalam sarana-sarana yang baik, yang salah satunya adalah dalam bentuk tulisan. Generasi berikutnya akan dengan mudah mengakses informasi terhadap kegemilangan generasi sebelumnya. Meneladaninya dan mengambil pelajaran dari sejarah yang dibaca melalui tulisan-tulisan. Ini salah satu upaya memelihara peradaban agar tidak mudah punah.

Dengan menulis kita bisa menyampaikan ide-ide yang baik yang akan bermanfaat baik untuk kita sendiri maupun untuk orang lain. Kita bahkan bisa menumpahkan semua perasaan kita melalui tulisan.

Di lain pihak, ide-ide yang tidak baik juga berserakan melalui tulisan. Hal ini sangat membahayakan bagi generasi berikutnya. Kalau kita masih punya kepedulian terhadap kebaikan generasi berikutnya tentu hal ini tidak akan membuat kita tinggal diam, hanya mengeluh saja. Solusinya diantaranya adalah kita harus ikut beserta orang-orang yang menyebarkan pengaruh yang baik melalui tulisan.

Tulisan bisa mempengaruhi perasaan, mental, fikiran dan karakter seseorang. Pada skala yang lebih luas, bisa mempengaruhi 'warna' masyarakat. Dan dalam kurun waktu yang cukup, hal ini akan mempengaruhi sebuah peradaban, bahkan bisa membentuk peradaban dengan warna yang baru. Karena itulah, mengapa saya ingin menulis.

Pendidikan dan Warna-warninya – Part 1

Sebenarnya saya gak ingin menulis soal sekolah dan pendidikan, tapi karena ada anggota sesama komunitas bukannotadinas.com menulis soal pendidikan, rasanya perlu saya share sedikit soal pendidikan yang saya alami pada anak-anak saya. Cerita ini memang agak flashback karena anak perempuan kedua saya saat itu masih kelas I SD dan dia sekarang sudah kelas V SD.
          Bermula dengan semangat empat lima, anak kedua saya, Rafeyfa (Feyfa) bersiap berangkat ke sekolah di hari pertama masuk sekolah. Seperti biasa, hari pertama sekolah dalam tahun ajaran sekolah, anak-anak baru sangat semangat masuk sekolah. Segala perlengkapan sekolah seperti buku, tempat pensil, tas dan baju seragam akan jadi isu utama saat masuk sekolah. Tak terkecuali Feyfa. Berangkat ke sekolah maunya pagi-pagi sekali, bahkan saat itu pukul 06.00 pagi anaknya sudah lebih siap dari orang tuanya yang akan mengantar ke sekolah. Setelah semua siap, si Umi bersiap berangkat untuk mengantar Feyfa dan kakaknya, Haya ke sekolah.
          Tiba di sekolah, banyak anak-anak yang masih diantar oleh orangtua, kakak, om dan tantenya, dan ada juga yang dianter oleh kakek atau neneknya. Suasana sekolah, terlihat ramai dan akan menjadi tempat belajar mereka di kemudian hari kelak. Saling tatap dan agak malu-malu untuk saling tegur merupakan hal yang wajar. Rata-rata mereka berangkat dari taman kanak-kanak yang berbeda dan sekolah ini merupakan sekolah dasar negeri bukan swasta. Saat penetapan wajib belajar selama 9 tahun oleh pemerintah pusat, Bekasi salah satu yang sudah membebaskan uang sekolah bagi murid-muridnya untuk tingkat sekolah dasar dan menengah. Sekolah ini berada di sekitar komplek perumahan dan ada beberapa anak yang memang selesai dari taman kanak-kanak yang sama dengan Feyfa.
Teng…teng…teng. Bel masuk kelas telah berbunyi dan anak-anak akan siap masuk kelas dengan berbaris. Setelah itu, anak-anak masih diberikan kebebasan untuk duduk di bangku mana saja dan dengan siapa saja. Orang tua masih diperbolehkan melihat anaknya dari luar kelas. Wali kelas memberikan informasi mengenai tata tertib sekolah termasuk jam masuk dan pulang, mata pelajaran, buku sekolah yang harus dibeli, seragam dan kegiatan ekstra kurikuler yang dimiliki sekolah. Hari pertama berjalan lancar dan tidak ada hambatan. Karena para siswa hanya diperkenalkan mengenai tata tertib sekolah dan siapa wali kelasnya. Hari kedua dapat dilalui juga dengan lancar oleh Feyfa.
Pada hari ketiga, sekolah dimulai dengan pelajaran olahraga dimana para siswa bermain dan berolahraga terlebih dahulu. Masuk kelas pada pukul 08.00 dan kebetulan saat itu, wali kelas Feyfa sedang cuti umroh dan orang tua yang mengantar bebas masuk hingga ke dalam kelas. Selama seminggu siswa diberikan kebebasan untuk duduk dimana pun dan dengan siapapun. Setelah olahraga, Feyfa dengan santai duduk di barisan depan, yang memang bukan tempat duduknya selama 2 hari lalu. Kebetulan juga si Umi lagi ada urusan sehingga tidak bisa menunggu proses belajar yang sedang berlangsung.
Entah kenapa tiba-tiba, ada seorang ibu yang melihat bahwa siswa yang duduk di depan bukanlah anaknya melainkan Feyfa, langsung masuk dan menghardik Feyfa. “Hei nak, tolong pindah duduk di belakang ya. Ini kan tempat duduk anak saya kemarin selama 2 hari. Kamu gak duduk di sini kan? Jadi segera pindah ya”, sambil anaknya ibu itu digandeng untuk segera duduk di kursi depan. Apa yang terjadi saat itu membuat kami khawatir. Saat itu pun wali kelas pengganti terlambat mengantisipasi hal-hal seperti ini. Namanya juga sekolah dasar negeri, jadi wali kelas pengganti lambat menutup pintu agar orang tua siswa masuk ke dalam kelas.
Setelah si umi kembali dan kelas ternyata telah bubar, Fefya menangis gak karuan dan ketika bertemu dengan umi, tangisannya makin terdengar keras. Setelah menanyakan apa yang terjadi, esok harinya kami melakukan protes kepada pihak sekolah dan langsung menghadap kepada Kepala Sekolah atas kejadian kemarin agar tidak terulang kembali. Respon dari sekolah cukup baik dan meminta maaf atas kejadian ini. Saat kami meminta alternatif jalan keluar atas masalah ini, pihak sekolah belum bisa memutuskan. Dan sejak kami protes, setiap tahun ajaran baru khusus untuk kelas I, akan dijaga oleh wali kelas yang bersangkutan untuk memantau agar orang tua siswa tidak ikut campur soal tempat duduk. Tempat duduk akan dirotasi setiap minggu agar siswa yang punya kelemahan dalam membaca dapat merasakan suasana berbeda saat duduk di depan.  
Selesai dengan permasalahan sekolah, pada hari kelima dan seterusnya, Feyfa tidak mau masuk sekolah. Kami pun sempat panik. Kami carikan sekolah swasta dan beberapa sekolah yang kami rasa sanggup untuk bayar SPP-nya, tetapi anaknya tidak mau bersekolah. Selama seminggu berlalu, dan sebelumnya kami juga sudah pernah menanyakan kenapa alasannya tidak mau bersekolah dan kali ini kami ingin meyakinkan diri kami dan jawabannya, “Dd gak mau ketemu seperti ibu-ibu yang itu lagi”, sambil mengeluarkan air matanya. Masya Allah. Pengalaman yang sangat traumatis bagi Feyfa. Kami pun sebagai orang tua tidak bisa memaksakan untuk tetap bersekolah. Akhirnya Feyfa tidak sekolah selama 1 tahun dan selama itu, Feyfa hanya ikut les membaca dan menulis. Akhirnya pada tahun berikutnya, Feyfa baru bisa masuk sekolah kembali tetapi tidak di sekolah yang sama. Alhamdulillah dia sudah mau masuk sekolah kembali meski harus lama menunggu selama 1 tahun.   
Lesson learnt. Tidak mudah untuk seorang anak bisa memulai sekolah dengan segala warna-warninya. Bayangan dalam pikirannya tentang sekolah adalah bermain dan berteman dengan kawan-kawan yang baru. Banyak harapan ketika mau masuk sekolah. Namun karena arogansi orang tua juga membuat kehidupan dan kesenangan anak-anak lain bisa ternoda. Saya share karena saya peduli rekan-rekan masih memiliki anak-anak balita, mohon dijaga tumbuh kembang lingkungan baik sekolah dan teman-temannya. Kejadian atas anak saya agar tidak terulang kembali dan kita juga harus peka terhadap kondisi anak-anak kita, karena mereka titipan Allah yang harus tetap dipelihara dan dijaga akhlak dan jiwanya. Aamiin.  
Kaitannya dengan pendidikan yang 20% dari APBN tidak terlalu banyak pengaruh. Karena UU belum mengalami perubahan yang signifikan dan mendasar  dan tidak berpengaruh banyak pada pendidikan dasar. Saya memang berniat menyekolahkan ke sekolah negeri agar dampak dari UU itu dapat dirasakan. Tapi faktanya malah kebijakan pemerintah melalui UU tidak menyentuh sisi humanis dari setiap peserta didik. Saya cukup beruntung dan bersyukur bahwa anak saya masih mau bersekolah setelah 1 tahun. Bagaimana anak yang sering di bully setiap hari dan masih merasakan adanya bullying di sekolah? Saya rasanya kasihan karena perasaan seorang anak yang di bully itu tidak akan hilang dalam jiwa dan raganya selamanya. Hal itu juga belum menyentuh masalah sarana dan prasarana setiap sekolah, apakah layak atau tidak ruangan kelas dan banyak hal lainnya. Apa yang terjadi pada anak saya, semoga tidak terjadi pada rekan-rekan bukannotadinas.com yang cinta dengan pendidikan di Indonesia. Hal ini cukup menjadi renungan untuk pribadi saya dan apa yang perlu diperbaiki di masa yang akan datang. Banyak orang hebat di Indonesia tapi sedikit orang hebat yang mau berpikir keras untuk kemajuan Indonesia dengan langkah nyata. Semoga kita menjadi orang hebat yang sedikit itu. Aamiin

Cerita dapat juga dibaca pada link berikut :

Suka tapi Benci

Sunyi mulai hadir meskipun malam belum terlalu larut. Perut sudah mulai gelisah ditinggal logistik yang terakhir dipasok sebelum maghrib tadi. Mulut pun kompak ikut menyuarakan aspirasinya, ingin mengunyah sesuatu. Entah ini memang lapar karena belum makan atau sekedar lelah membayangkan Raisa bersanding di pelaminan.

Yang pasti, seketika itu aku beranjak menuju dapur mengecek hidangan apa yang tersedia. Dan sudah kuduga, tersaji berbagai macam makanan yang bahan dasarnya sama, daging sapi. Masih kental aroma Idul Adha di hari tasyrik kedua ini. Namun berbagai olahan daging sapi qurban ini tak sedikitpun membuatku berselera. Bukan bosan karena sudah dua hari makan daging sapi, tapi dari dulu aku memang tak terlalu doyan hasil olahan daging qurban. Padahal biasanya aku doyan sekali daging sapi. Mungkin ini efek melihat proses penyembelihannya, jadi sedikit ga tega.

Makin lama perut makin tak berkompromi, memaksa aku berpikir keras menentukan menu alternatif malam ini. Akhirnya, tak jauh-jauh, pilihan paling gampang jatuh pada mie instan. Ya, mie instan favorit hampir semua orang di bumi Indonesia, sebut saja merk nya mieindo. Varian rasa mie gorengnya tak ada duanya. Sejak zaman inneke koesherawati suka pakai rok mini hingga kini penampilannya sudah syar'i, aku belum pernah menemukan rasa mie goreng seenak milik mieindo ini. Alhasil, dengan sigap aku merebus air sebagai langkah awal. Aku sangat menikmati proses sederhana membuat mieindo ini. Bagian favoritnya tentu saat mencampurkan mie yang sudah ditiriskan dengan bumbu yang sudah disiapkan. Semerbak wangi mie goreng akan menyeruak ke segala penjuru mata angin. Aroma khas yang bisa membuat orang puasa berkurang pahalanya.

Sebagai orang Indonesia tulen, kurang rasanya kalau makan belum pakai nasi. Jadilah diciduk dua entong nasi ke atas mie yang tampak mengkilap kuning kecoklatan. Banyak orang bilang bahwa yang aku lakukan ini sia-sia, karena nasi dan mie sama saja, kadungan utamanya karbohidrat. Tapi biarlah kafilah berlalu, yang penting perut kenyang dan air liur mengental. Menu mieindo plus nasi ini sudah jadi menu istimewaku sejak zaman taman kanak-kanak dulu.

Oh iya, sejak dulu mieindo ini sudah kerap ditimpa isu tak sedap terkait kandungannya. Ada yang mengungkit-ungkit kadar MSG yang katanya bikin makin bodoh. Belum lagi lapisan lilin pada bagian mie nya yang katanya berbahaya dan memicu kanker. Tapi faktanya, mieindo tetap digdaya dan jadi pilihan masyarakat seantero negeri. Tanya saja anak kosan, pekerja kantoran dan serabutan, ibu-ibu rumah tangga, sampai anak sekolahan, semua pasti doyan. Apalagi saat tanggal tua melanda. Warung penjual mieindo juga bertebaran di mana-mana.

Akhirnya, tibalah kini di saat yang paling ditunggu sekaligus dibenci. Saat di mana mieindo dan nasi sudah terhidang dan tinggal ditelan masuk ke kerongkongan. Ya, itu memang yang ditunggu-tunggu, apalagi dari tadi aromanya sudah menggambarkan seberapa nikmat rasanya. Nasi dan mie goreng di piring sudah tandas tanpa perlu menunggu lama. Yang tersisa tinggallah goresan-goresan bekas bumbu mie goreng yamg tampak berminyak di sudut-sudut piring. Kadang menggerakkan hati untuk menjilatinya sampai bersih tak bersisa. Sungguh nikmat tak terhingga. Tapi bersamaan dengan itu, aku membenci bagian ini. Bagian dimana aku lahap menghabiskan mieindo ku.
Perjuanganku selama hampir sepuluh menit seolah terhapuskan hanya kurang dari lima menit.

Sekian