Khilafiyah Lampu Merah

Lampu merah bukanlah makhluk asing buat kita semua. Dengan mudah kita menemukannya berceceran di tiap sudut persimpangan jalan. Tugasnya sangat mulia: mengatur lalu lalang kendaraan dengan tiga kandungan warnanya yang penuh makna. Ada merah, kuning, dan hijau, tapi entah kenapa dia lebih dikenal dengan lampu merah, bukan lampu hijau atau lampu kuning. Yang pasti ga mungkin lampu merah kuning hijau, karena itu cuma ada di langit yang biru (maaf ngelantur). Di beberapa wilayah Jawa, dia juga dikenal dengan Bang Jo, singkatan dari lampu abang (merah) ijo (hijau). Lagi-lagi masih ada warna yang ketinggalan. Tapi biarlah, mungkin memang sudah nasibnya. 

Saya masih ingat, sedari kecil sudah diajari makna dari tiga warna yang diusung lampu merah ini. Merah artinya berhenti, kuning artinya hati-hati, dan hijau artinya boleh jalan. Namun saya tak bisa ingat guru TK atau guru SD saya yang mengajari pertama kali. Jadilah mazhab itu yang saya anut dari kecil hingga tumbuh jenggot. Bertahun-tahun saya meyakini kebenaran yang tak terbantahkan itu. Hingga akhirnya saya menemukan fakta lain saat tinggal di ibu kota. Ternyata banyak perbedaan pendapat di kalangan pengguna jalan atas maksud varian warna yang menyala pada lampu merah. Banyak mazhab yang dianut dan tak sedikit perbedaannya. Sungguh membuat saya terkejut dan terpana. 

Bukan bermaksud sok pintar atau menggurui, di sini saya hanya akan mencoba menguraikan perbedaan pendapat terhadap lampu merah yang terjadi. Satu per satu kita bahas mazhab-mazhab yang dianut umat agar kita bisa mendapatkan gambaran yang utuh atas fenomena ini dan bisa memilih mana yang lebih tepat. Jika dikerucutkan lagi, ada empat mazhab yang paling populer di masyarakat.

Mazhab pertama, 
Ini yang saya yakini benar sejak kecil. Seperti penjelasan yang sudah ditulis di atas, mazhab ini mengajarkan bahwa jika lampu merah menyala artinya kita wajib berhenti. Begitu sebaliknya, jika warna hijau menyala artinya kita sudah boleh memacu kendaraan. Fungsi lampu kuning dimaknai sebagai penanda transisi dari merah ke hijau atau dari hijau ke merah. Saat lampu kuning menyala di antara perpindahan dari lampu merah ke hijau, artinya pengguna jalan dapat bersiap-siap untuk kembali melaju. Sebaliknya, jika lampu kuning menyala di antara perpindahan dari lampu hijau ke merah, artinya pengendara diharap bisa memelankan laju kendaraannya untuk siap-siap berhenti.

Mazhab kedua, 
Mazhab ini mengajarkan pemaknaan yang berbeda tipis dengan mazhab pertama. Arti lampu hijau dan merah yang menyala sama persis dengan mazhab yang pertama. Perbedaannya hanya terletak pada nyala kuning lampunya. Sebenarnya pengikutnya juga memaknai lampu kuning sebagai transisi dari lampu merah ke hijau dan sebaliknya. Namun bedanya, pada saat lampu kuning menyala di antara perpindahan lampu merah ke hijau, artinya membunyikan klakson panjang atau pendek berkali-kali untuk kemudian melaju kembali saat lampu hijau menyala. Saat lampu kuning menyala di antara perpindahan lampu hijau ke merah, artinya pengendara segera mempercepat laju kendaraan sebisanya sebelum lampu merah menyala. Eh, tapi kalau lampu merah baru menyala beberapa detik, mazhab ini masih membolehkan pengguna jalan untuk tetap memacu kendaraannya. 

Mazhab ketiga, 
Perbedaan mazhab ini dengan dua mazhab di atas cukup ekstrim. Meskipun ada tiga lampu yang bisa menyala, dalam pemahamannya penganut mazhab ini hanya mengakui dua warna saja, merah dan hijau. Pada dasarnya makna awalnya sama, merah artinya berhenti dan hijau artinya bisa melaju kembali. Namun untuk lampu merah menyala, hukumnya tidak wajib. Pada saat lampu merah menyala, pengendara boleh saja tidak berhenti, dengan syarat jalanan nampak sepi, jalanan tampak aman dilalui, laju kendaraannya bisa lebih cepat dari kendaraan lain yang melintasi persimpangan, ada banyak temennya, atau alasan-alasan lain yang dianggap aman. Sedangkan lampu kuning bagi penganut mazhab ini hanya sebagai pemanis saja. 

Mazhab keempat, 
Mazhab ini yang paling ekstrim diantara mazhab yang lain. Prinsip dasar pemaknaan pada mazhab ini adalah semua tindakan tergantung niat dalam hatinya. Apapun warna lampu yang menyala, tergantung hatinya pengen seperti apa. Contohnya, jika lampu merah menyala tetapi kata hatinya bilang untuk terus jalan, pengendara boleh saja terus melaju seenak udelnya. Begitu juga untuk lampu yang lain.

Secara singkat mungkin seperti itu khilafiyah lampu merah yang terjadi di kalangan umat ibu kota. Kenapa saya menekankan di ibu kota? karena di daerah asal saya di ujung timur pulau jawa, tidak ada khilafiyah seperti ini. Mazhab yang diakui hanya mazhab pertama. Selain mazhab itu dianggap pelanggaran dan "berdosa". Memang masih ada perilaku seperti mazhab kedua, ketiga dan keempat yang terjadi di sana. Tapi semua orang akan sepakat bahwa perilaku tersebut dikategorikan sebagai perbuatan tercela. 
Sedangkan di ibu kota? keempat mazhab di atas tumbuh dengan tenangya dan semua diakui eksistensinya. Akan dengan mudahnya kita menemukan penerapan empat mazhab ini di jalanan dalam keseharian. Dan bagaimana sikap para pengendara dan aparat berwenang? kadang diam saja. Ini artinya memang masih ada khilafiyah di kalangan umat ibu kota. Sekian.

Sosok Hitam Berjubah Hakim

Sosok yang mengenakan pakaian jubah hakim itu berdiri di trotoar seberang jalan, dengan payung hitam yang menutupi wajahnya, keremangan cahaya serta gerimis hujan, membuat saya tidak dapat melihat dengan jelas wajahnya. Hanya terlihat gelap, namun entah mengapa saya merasa sosok itu melihat tajam kearah saya, saya terpaku dalam usaha melihat lebih jelas kearah wajahnya, dan perlahan-lahan sosok itu seperti melayang semakin mendekati saya, sampai beberapa jenak kemudian... srrooottt.... saya terkaget sendiri dengan suara air bercampur udara dalam aqua gelas yang saya pegang, yang habis saya minum melalui sedotan kecil.. saya seperti bangun dari hipnotis, seperti baru tersadar, dan saya lihat sosok itu kembali ke tempatnya semula, berdiri di pinggir jalan...

Kisah nyata ini saya alami pada tahun 1998, bulan dan tanggalnya saya sudah tidak ingat lagi. Kisah ini mirip dengan peristiwa yang saya alami pada cerita “Wanita Berpayung Merah”. Saya juga sudah tidak ingat lagi peristiwa mana yang lebih dahulu terjadi, peristiwa yang akan saya ceritakan ini ataukah wanita berpayung merah yang sudah saya ceritakan lebih dahulu.

Malam itu, seperti biasa, saya kembali membantu Bapak Velmer Moningka menyelesaikan pekerjaan beliau di Seksi Perbendaharaan 1. Selain dapat makanan gratis dan tambahan uang jajan, saya juga mendapat pengalaman penyelesaian pekerjaan pada Seksi Perbendaharaan. Selepas kuliah D3 Perbendaharaan Negara pada tahun 1997, lalu ditugaskan pada KPKN Ternate pada akhir tahun 1997, tentu saya belum punya pengalaman bekerja, sehingga membantu Bapak Velmer di Seksi Perbendaharaan 1 pada awal-awal bekerja menjadi tambahan ilmu dan pengalaman bagi saya.

Jam di dinding telah menunjukkan pukul 02.30 dini hari, hujan pun telah mereda, menyisakan gerimis dan angin yang bertiup pelan. Mungkin pembaca teringat cerita yang lalu, 2 kisah yang telah lebih dahulu saya ceritakan, suasana yang sama, gerimis, entahlah.. saya juga heran, beberapa kali ketika saya melihat “penampakan” dalam suasana yang sama, dini hari dan kondisi cuaca gerimis.

“Sudah Mas, hari ini cukup, besok kita lanjut lagi” kata Pak Velmer.

Kami pun segera merapikan berkas, mematikan lampu dan mengunci ruangan Seksi Perbendaharaan 1. Dreenng, dengg, dengg... suara khas knalpot Vespa PX 150 telah memecah kesunyian, Pak Velmer dengan Vespa biru mudanya telah meluncur meninggalkan KPKN Ternate, tinggallah saya sendirian di halaman kantor yang sepi.

Saya berjalan menyeberangi lapangan badminton untuk menuju bangunan lantai 3 tempat saya dan beberapa teman lainnya tinggal. Tiba-tiba bulu kuduk saya berdiri, badan merinding.. hadeh.. ada apa ini. Sejenak saya ragu untuk meneruskan langkah, karena untuk menuju lantai 3, saya harus melalui tangga pada lantai 1 dan 2, dan ini yang seringkali (meskipun tidak selalu) membuat saya tiba-tiba merinding dan merasa ada kehadiran makhluk astral di sekitar, seperti yang saat ini saya rasakan. Tapi kalau saya tidak naik ke atas ke lantai 3, akan kemana saya istirahat?. Menunggu sampai pagi di ruangan kantor juga bukan pilihan yang lebih baik.

Akhirnya, saya beranikan diri untuk tetap melanjutkan langkah menuju lantai 3. Menapaki anak tangga demi anak tangga lantai 1 dan 2, saya lalui dengan rapalan mantra-mantra do’a. Lolongan anjing liar di luar sana, semakin membuat ciut hati saya. Saya berdo’a kepada yang Maha Kuasa, meminta perlindungan agar selamat, dan kalaupun saya harus menjumpai penampakan, tolong Ya Allah, jangan yang seram-seram, dan jangan yang mengagetkan, bathin saya memohon.

Dan alhamdulillah, saya sampai di lantai 3 dengan selamat, dan tanpa menjumpai penampakan yang aneh-aneh di tangga gedung. Sampai di lantai 3 hati saya tenang, badan yang merinding sudah kembali normal, saya minum kembali aqua gelas di tangan yang saya bawa dari tadi, saya tidak langsung masuk kamar, saya mendekat ke jendela untuk melihat suasana Kota Ternate sembari menghabiskan aqua gelas saya. Hujan gerimis masih turun mengguyur Kota Ternate, suasana sejuk menambah keinginan untuk memeluk guling secepatnya.

Keinginan memeluk guling secepatnya terusik, ketika pandangan saya menangkap sosok yang berdiri di atas trotoar di pinggir jalan. Dia berdiri di trotoar depan Kantor Kota Administratif Ternate persis diseberang KPKN Ternate. Pakaian yang dikenakannya seperti jubah hakim, hitam panjang dengan corak putih ditengah dari leher hingga diatas pusar.


(Ilustrasi, sumber : https://diarywardah.blogspot.co.id/2016/08/payung-hitam-air-mata.html)

Sosok yang mengenakan pakaian jubah hakim itu berdiri di trotoar seberang jalan, dengan payung hitam yang menutupi wajahnya, keremangan cahaya serta gerimis hujan, membuat saya tidak dapat melihat dengan jelas wajahnya. Hanya terlihat gelap, namun entah mengapa saya merasa sosok itu melihat tajam kearah saya, saya terpaku dalam usaha melihat lebih jelas kearah wajahnya, dan perlahan-lahan sosok itu seperti melayang semakin mendekati saya, sampai beberapa jenak kemudian... srrooottt.... saya terkaget sendiri dengan suara air bercampur udara dalam aqua gelas yang saya pegang, yang habis saya minum melalui sedotan kecil.. saya seperti bangun dari hipnotis, seperti baru tersadar, dan saya lihat sosok itu kembali ke tempatnya semula, berdiri di pinggir jalan...

“Ru... Heru...” saya memanggil teman sebelah kamar yang tentu saja sedang tidur nyenyak.

Karena tidak ada jawaban dari Heru, saya balik badan dan menggedor-gedor pintu kamar Heru yang terkunci.

“Hmm.. eh, ada apa..?” kata Heru dari dalam.

“Bangun, ini ada orang di bawah..” jawab saya sembari kembali balik badan dan menuju jendela lantai 3.

Namun, saat saya sampai di pinggir jendela, tak saya jumpai lagi sosok itu, Heru yang menyusul saya melihat ke luar melalui jendela beberapa detik kemudian, juga tidak melihat sosok yang saya ceritakan. Saya jadi merasa bersalah telah mengganggu tidur Heru. Tapi beberapa waktu lalu sosok itu benar-benar terlihat jelas, nyata, oleh mata saya. Maafkan saya, Ru.. bathin saya.



*Heru Susilo, kabar terakhir bertugas di KPPN Manokwari, andai kamu baca tulisan ini, masih ingatkah kamu Ru..?

PERDANA

Hai, ini adalah tulisan “perdana” saya di www.bukannotadinas.com, perdana menurut KBBI daring artinya “pertama (kali)”. Selalu ada pertama (kali) dalam semua hal. Mengapa saya menulis? Entah apa yang pertama atau bagaimana urutannya tetapi yang pasti saya merasa bahwa dengan menulis saya dapat mengembangkan kemampuan saya dalam berpikir dan mencerna tulisan, dengan menulis saya dapat menyampaikan pemikiran saya kepada lebih banyak orang lebih dari percakapan di meja warung kopi Zafilia di kantin kantor saya, dengan menulis saya bisa mendapat masukan atas pemikiran saya dalam tulisan, dengan menulis saya dapat melepaskan “kegalauan” saya tentang hal-hal di sekitar saya yang tidak sesuai dengan nalar saya, dan tentu saja harapan bahwa suatu saat kemampuan menulis saya dapat berkembang dan memberi manfaat bagi orang banyak dan (tentu saja) pengembangan diri dan karier saya baik di kantor ataupun di tempat lain jikalau Tuhan menghendaki.

Kembali ke soalan “perdana”, beberapa hari ini saya melakukan beberapa hal-hal perdana sekaligus. Hal-hal yang selama ini saya hindari karena ketakutan-ketakutan akan resiko yang belum pasti. Di mulai dengan beberapa bulan lalu saya mulai berhutang (kembali), sungguh awalnya menguras pikiran karena balik lagi ke khawatiran yang tiada usai, ketika akhirnya saya melangkah ternyata di langkah kedua dan ketiga jalan saya sudah lebih mantab, berdiri saya sudah makin tegap, dan (katanya) saya makin terlihat muda (dude, narcissism is not a crime). Kemudian saya mencoba hal-hal baru lainnya seperti berinvestasi dan mempersiapkan diri untuk kuliah lagi dan mencari beasiswa S2, mulai membaca (lagi), dan beberapa hal lain. Ternyata (memang) banyak jalan menuju ke Roma dan jalannya di situ-situ saja, hanya karena saya takut menoleh ke kiri dan ke kanan maka saya tidak pernah melihat jalan-jalan lain tersebut. Banyak alasan saya atas ketakutan-ketakutan saya, alasan yang mungkin logis tapi seringkali retorika. Alasan yang dibuat-buat dan jadi pembenaran para pecundang, dan itu bukan saya.

Perdana, hari ini pertama (kali) saya menulis untuk www.bukannotadinas.com, semoga ini bukan yang terakhir dan tentu saja semoga bermanfaat bagi para pelaku langkah pertama. Salam.

To me faith means not worrying – John Dewey

Pertemuan dengan Kang Abik


 
Kamis, 15 September 2017, saya bertemu dengan Kang Abik yang nama panjangnya adalah Habiburrahman El Shirazy. Terus terang saya sendiri gak kenal sama beliau, tapi bagi mereka yang suka baca novel seperti “ayat-ayat cinta” serta sequelnya, “ketika cinta bertasbih” serta sequelnya, dan lain-lain maka nama beliau pasti sudah tidak asing lagi. Saya pun bukan penggemar novel Kang Abik, nonton film dari adaptasi novelnya pun tidak pernah, cuma kebetulan istri saya yang suka nonton film adaptasi dari novel beliau.

Singkat cerita, Kang Abiq ke UK dalam rangka syuting film Ayat-Ayat Cinta 2. Sayangnya lokasi syuting di Edinburgh, coba di Exeter, saya bisa jadi figuran deh (ngarep). Kebetulan durasi syuting cuma 2 minggu dan beliau berkesempatan untuk mengunjungi beberapa kota di UK pasca syuting sebelum pulang ke tanah air.

Mendengar Kang Abiq datang ke UK, beberapa komunitas muslim di beberapa kota meminta beliau untuk mengisi pengajian di komunitas tersebut. Sehingga beliau pun jadi bersafari ke beberapa kota tersebut seperti York, Bristol dan Cardiff. Tapi khusus Exeter, tidak ada yang meminta beliau datang karena memang komunitas muslim Indonesia di kota ini sangat sedikit (masih hitungan jari) dibandingkan kota-kota lain di UK. Selain itu posisi Exeter yang terletak di pojok barat daya UK yang membuatnya agak jauh kalau mau kemana-mana. Dan fansnya pun udah pada pulang kampung semua alias udah pada lulus.

Tapi jangan salah, kedatangan beliau ke UK selain untuk mengawasi jalannya syuting supaya gak menyimpang dari novelnya, juga untuk mencari kampus yang cocok untuk beliau menempuh S3 dibidang kajian islam dan kampus saya memiliki Institute of Arab and Islamic Studies yang memang merupakan salah satu pusat kajian islam terbaik di UK. Tentu saja, beliau juga sekalian mau silaturahmi dengan saya.. eh.. maksud saya temen saya disini yang merupakan kawan seperjuangan beliau waktu kuliah di Kairo dulu.

Yang membuat saya salut sama beliau adalah keinginan beliau untuk kuliah S3. Bayangkan, seorang yang sudah membuat belasan novel yang selalu nge hits bahkan beberapa di adaptasi menjadi film layar lebar, masih mau untuk kuliah S3. Saya melihat satu novel beliau yaitu Ayat-Ayat Cinta 2 saja sudah males bacanya, gimana beliau nulisnya yang notabene novel tersebut setebal yellow pages. Dan beliau menulis novel setebal itu hanya dalam 1 tahun, nge hits pula, di adaptasi ke film pula. Jadi geleng-geleng saya, untuk apa seorang novelis, yang ibaratnya dalam tidur pun inspirasi bisa muncul dan langsung moncer buat di tulis, masih mau kuliah S3.

Beliau menyatakan ada 2 motivasi yaitu personal dan religious. Secara personal, beliau menyukai tantangan dan melakukan S3 bagi beliau merupakan tantangan yang berbeda dengan menulis novel. That, I agree. Saya pun kuliah S3 karena untuk mencari tantangan baru atau mungkin karena agak jenuh juga dengan rutinitas kantor. Tapi intinya melakukan riset akademis pasti berbeda dengan rutinitas harian kita yang biasanya bukan akademis. Saya sendiri tidak tahu apakah beliau akan memilih Exeter sebagai kampus beliau karena jika Ya dan beliau hijrah ke Exeter ya Alhamdulilah sudah ada ustad buat mengisi pengajian di Exeter hehehehe.

Tapi motivasi Kang Abik yang kedua yang membuat saya takjub. Beliau mengatakan bahwa ulama-ulama jaman dulu yang pemahaman Al-Quran dan Al-Hadistnya sudah khatam bahkan hafal sampai semua tanda bacanya, masih mencari ilmu. Beliau mengatakan bahwa mereka yang terus belajar mencari ilmu akan didoakan oleh semua mahluk ciptaan Allah SWT di lautan. Jadi bayangkan semua mahluk di lautan mendoakan kita apabila kita terus belajar mencari ilmu. Agaknya itulah motivasi utama beliau untuk menempuh S3 untuk terus mencari ilmu agar dapat didoakan oleh seluruh mahluk di lautan. Dan kami yang sedang kuliah S3 pun dikatakan sebagai manusia yang beruntung karena didoakan oleh mahluk seisi lautan.

Nasehat beliau yang terakhir adalah “Sebaik-baiknya mahasiswa S3 adalah mahasiswa yang lulus dan sebaik-baiknya tesis S3 adalah tesis yang selesai”. Kedengarannya standar banged ya, tapi memang benar, kita bisa publikasi sampai puluhan, seminar berkali-kali, tapi kalau tesis tidak selesai yang jangan harap kamu jadi Doktor. Agaknya beliau bermaksud agar, kami bisa fokus untuk sekolah mengingat argonya cuma 4 tahun dan tak terasa saya pun sudah menjalani setengah dari argo tersebut. Kalau sampai argo terlewat ya bisa barabe, gak ada yang sponsori, ST habis, sukur-sukur gak di jewer sama bos besar hehehehe.

Jadi bagi teman-teman yang belum lanjut kuliah, tolong kurangi makan ikan laut supaya doa bagi kami tidak berkurang eh… maksud saya segeralah kalian lanjutkan untuk menuntut ilmu dimana pun juga (kampusnya) karena ya keutamaan bagi mereka yang menuntut ilmu. Masa yang sudah bikin novel belasan saja masih pengen kuliah, kita yang cuma level blogger koq gak mau kuliah, malu donk sama ikan dilaut eh…nganu…. Yah gitulah.

Rindu Dikala Senja


Kusapa senja dari balik jendela kaca
Disebuah stasiun kereta
Di antara riuhnya suara yang beterbangan di udara

Selalu saja ada kerinduan disetiap senja
Rindu bercengkerama dengan orang-orang tercinta
Mereka yang selalu bersemayam didalam dada
Mendengarkan cerita, atau sekedar bersenda gurau penuh tawa

Lelahpun hilang seketika
Tatkala kutatap wajah mereka
Wajah-wajah yang membangkitkan semangat menggelora
Untuk senantiasa berdiri tegak menjalani setiap episode kehidupan didunia

Ah...rasanya kebersamaan takkan sempurna
Manakala tubuh bersama mereka namun jiwa berkelana
Maka, kuhadirkan segenap jiwa raga
Agar kebersamaan utuh tanpa cela
Untuk mereka, yang menghiasi kehidupan dengan penuh cinta

Wanita berpayung merah

Wanita..?? jujur saja, saya tidak bisa memastikan apakah itu wanita, atau bukan... pun apakah itu manusia atau bukan, saya juga tidak dapat memastikan. Yang saya dan Bapak Velmer Moningka (teman sekantor) lihat saat itu adalah sesosok yang berpakaian wanita, gaun putih panjang, dengan payung merahnya, berjalan berlenggak-lenggok layaknya wanita.

Kejadian ini terjadi pada tahun 1998, bulan dan tanggalnya saya tidak ingat lagi, tapi yang pasti sekitar akhir bulan, karena pada akhir bulan, biasanya Bapak Velmer Moningka meminta bantuan saya untuk mengerjakan sebagian tugas beliau di Seksi Perbendaharaan 1 KPKN Ternate (sekarang menjadi KPPN Ternate). Kami mulai bekerja sekitar pukul 22.00 WIT dan biasanya berakhir sampai dini hari.

Bapak Velmer Moningka adalah pelaksana tersibuk di Seksi Perbendaharaan 1, selain pekerjaan rutin sebagaimana pelaksana lainnya, yaitu mengurusi DIK (Daftar Isian Kegiatan) dari beberapa satker, Daftar Isian Proyek (DIP) yang beliau pegang jauh lebih banyak dari pelaksana lainnya, bahkan hampir semua proyek yang berbantuan luar negeri pada Seksi Perbendaharaan 1 dipegang beliau. Sehingga wajar, kalau beliau adalah satu-satunya pelaksana yang seringkali lembur sampai larut malam. Dan sudah beberapa kali beliau meminta saya untuk membantu. Saya senang-senang saja membantu, selain bisa dapat tambahan uang jajan yang beliau berikan, pun mengisi waktu senggang saya yang merantau jauh di negeri orang.

Malam itu, seperti biasanya, kami mulai bekerja sekitar pukul 22.00, makanan kecil dan minuman ringan telah beliau sediakan, dan itu juga menjadi salah satu daya tarik saya mau membantu beliau, lumayan bagi anak rantau seperti saya, bisa menghemat. Entah sudah berapa banyak SPP Gaji Satker saya selesaikan, berikut mengisi di kartu pegawai. Udara sejuk karena hujan yang tidak begitu deras menyertai kekhusyukan kami menyelesaikan pekerjaan. Tidak terasa, jam dinding diruangan Seksi Perbendaharaan 1 telah menunjukkan pukul 02.15 dini hari. Dan Bapak Velmer juga sudah bilang ke saya, mungkin sebentar lagi pekerjaan dicukupkan dan dilanjut esok malam, hanya sedikit menunggu hujan agak mereda. Dan, 10 menit kemudian, hujan pun mereda, hanya tersisa gerimis kecil dan angin sepoi-sepoi. Bapak Velmer sudah mengajak untuk bersiap-siap menghentikan pekerjaan dan merapikan berkas yang ada. Saat saya sedang merapikan berkas di meja, tiba-tiba saya mendengar Bapak Velmer, memanggil-manggil seseorang..

"sstt.. Cewek.. , sstt Cewek... suiiitt.."

Mendengar itu saya tidak langsung bergabung dengan Bapak Velmer melihat dari jendela ruangan yang menghadap ke Jalan Yos Sudarso depan kantor. Saya malah melihat jam dinding, dan dalam batin saya.. ah, mungkin Pak Velmer cuma iseng menipu saya, mana ada cewek jalan-jalan jam segini. Tapi selanjutnya malah Pak Velmer, memanggil saya untuk menunjukkan ada cewek sedang jalan sendirian.

"Mas, sini mas.. ada cewek tuh, keliatannya cakep... yuk godain.." kata Pak Velmer dengan tetap dalam posisi mukanya melihat keluar jendela.

Saya langsung menyadari kalau beliau sedang tidak bercanda. Saya mendekat ke jendela dan melihat keluar.. ternyata benar, dalam jarak kira-kira 7 meter, saya melihat sosok wanita, atau lebih tepatnya sesosok seperti wanita, bergaun putih panjang, membawa payung merah, berjalan sendirian dalam gerimis yang dingin. Wajahnya tidak terlihat, karena tertutup payung, hanya jalannya terlihat berlenggak-lenggok, layaknya seorang model diatas catwalk. Payung merah diputar-putarnya dengan tempo yang sama.

(ilustrasi dari : http://hujanselaluturun.blogspot.co.id/2012/09/aahhaku-ingin-melukis.html)

Pak Velmer masih saja berusaha meanggil-manggil cewek tersebut, sampai akhirnya saya katakan kepada beliau..

"Pak, yakin itu cewek..? Bagaimana kalau bukan..?"

"Ah, ya cewek lah.. kan keliatan jelas..." kata Pak Velmer.

"Ya sudah, berani gak kita keluar, dan membuktikan siapa sebenarnya dia..?" tantang saya kepada Pak Velmer.

"Emang kamu berani..?" tanya Pak Velmer.

"Kalau ada temannya, saya berani.. nanti saya yang pegang dia, yang penting Bapak temani saya.." jawab saya.

"Ok, ayok.." jawab Pak Velmer.

Dan beberapa jurus kemudian, kami bergegas keluar untuk mengejar sesosok yang menyerupai wanita tersebut. Sesampainya di pagar kantor, kami masih melihat sesosok itu masih berjalan melenggak-lenggok, dengan payung merah yang diputar-putar, bahkan dalam jarak yang lebih dekat, kira-kira 4 meter. Sesosok itu telah sampai di perempatan jalan Yos Sudarso, yang kalau belok ke kanan adalah jalan menuju Stadion Utama Ternate, dan kalau belok kiri jalan ke arah kampung Maliaro. Saya dan Pak Velmer juga telah sampai pada pojok kiri pagar kantor, KPKN Ternate berada di pojok perempatan jalan Yos Sudarso tadi, dan berhadapan dengan Kantor Kota Administratif Ternate.

Sosok itu, lalu berbelok ke kanan menuju ke arah Stadion Ternate, masih 5-6 meter di depan kami. Tiba-tiba, entah mengapa Pak Velmer berubah pikiran, entah perasaan apa yang beliau rasakan, sehingga berkata..

"Mas, udah mas.. sampai sini aja.."

Saya yang sudah lompat pagar kantor untuk mengejar dan memegang sosok itu, juga langsung berhenti..

"Lho kenapa Pak, ayo kalau berdua saya berani.." kata saya sambil berpaling kebelakang melihat Pak Velmer yang masih di dalam pagar kantor.

"Udah deh, gak usah.. takut ada apa-apa.." kata beliau..

Yah.. kata saya dalam hati, dan memalingkan pandangan ke arah jalan stadion kembali untuk mencari sosok tadi.. namun tak saya dapati lagi sosok tadi.. padahal jalannya pelan.. harusnya dia masih ada di sana, masih tertangkap pandangan mata ini.. tapi dimana dia..?

"Pak, kemana dia..? hilang kemana dia..?" tanya saya kepada Pak Velmer..

"Ah, sudah... yok kita pulang saja.." jawab Pak Velmer.


 

Malam ke 40

Seperti biasa, saya bertugas membawa acara cerita misteri di Madya FM, salah satu radio swasta di Kota Ternate pada kamis malam pukul 21.00 – 23.00 WIT. Malam itu, sekitar pukul 21.30 salah satu fans radio sekaligus teman dari penyiar lain datang ke studio dan mengajak seluruh rekan penyiar untuk berkunjung ke rumahnya. Saya sebenarnya tidak mengenal Sandra, karena saya adalah penyiar baru di radio ini, dan Sandra kabarnya adalah fans lama radio yang saat itu sedang melanjutkan studinya di negeri kangguru dan sedang pulang ke Ternate untuk liburan. Saya sebenarnya tidak ingin ikut berkunjung ke rumah Sandra, selain sudah larut malam karena dari studio pukul 23.00, sehingga terbayang pulangnya akan telah dini hari, juga karena saya tidak mengenal Sandra sebelumnya. Namun, teman penyiar saya memaksa saya untuk ikut dengan alasan biar lebih rame dan seru, bahkan Luki salah satu teman penyiar saya berjanji akan mengantar saya pulang selesainya kongkow di rumah Sandra, dan pada akhirnya saya bersedia ikut kongkow di rumah Sandra.

Sandra adalah anak tunggal dari keluarga yang menurut saya sangat berada, rumah Sandra besar dan bagus dengan halaman yang sangat luas. Di rumahnya saya lihat ada koleksi moge (motor gede) Harley Davidson dan BMW klasik. Ada juga ruangan khusus untuk band, lengkap dengan peralatannya, seperti drum, keyboard dan gitar listrik. Ada pojok bar lengkap dengan berbagai merek minuman impor. Entah berapa banyak mobil terparkir di garasinya yang tertutup, sementara ada 3 mobil yang terparkir di halamannya, termasuk 1 VW Combi klasik, dugaan saya mungkin orang tuanya senang mengoleksi kendaraan klasik.

Setengah jam berlalu, satu jam berlalu, bahkan sampai akhirnya dua setengah jam berlalu, Sandra dan 5 orang teman penyiar saya ngobrol ngalor-ngidul.. Sandra memang enak jadi teman ngobrol. Dari 7 orang yang ada saat itu, hanya saya yang lebih banyak diam.. Saya hanya kepikiran bagaimana nanti pulang dari tempat Sandra. Angkutan kota sudah tidak ada, apalagi rumah Sandra tidak berada di pinggir jalan protokol, tidak ada ojek yang mangkal maupun yang lewat. Sebenarnya jarak rumah Sandra dan kantor KPPN Ternate tempat saya tinggal tidaklah terlalu jauh, mungkin hanya sekitar 1 km, namun jalan yang harus dilalui yang membuat saya sedikit deg-degan. Jalanan itu adalah melewati Stadion Ternate yang gelap gulita, dan banyak cerita penampakan yang sering terjadi disana.

Dan tepat pukul 01.30 WIT, teman-teman akhirnya sepakat pulang, itupun atas desakan saya berkali-kali. Hujan gerimis menyertai kepulangan kami dari rumah Sandra. Ah, hujan gerimis, pukul 01.30 dini hari dan jalanan yang gelap gulita, lengkap sudah suasana untuk suatu cerita horor, pikir saya dalam hati. Dan, saya harus melaluinya sendirian saat itu, karena Luki ternyata ingkar janji tidak jadi mengantar saya.. Dan tempat tinggal teman-teman penyiar saya tidak ada yang satu jalan dengan saya.

Baru saja sekitar 1 menitan saya berpisah dengan teman-teman penyiar yang lain, saya sudah mulai mendengar suara “sesuatu” yang mungkin bisa saja burung, kelelawar atau binatang malam lainnya, tapi memang baru saya dengar ketika berada di Ternate, dan menurut cerita orang Ternate, suara seperti itu adalah suara Suanggi. Suanggi berdasarkan cerita yang saya dengar langsung dari orang Ternate, adalah orang tertentu yang bisa terbang tanpa sayap pada malam hari untuk mencari mangsa, yang masih menurut cerita mereka, bayi adalah target utamanya. Suanggi ini, digambarkan dalam cerita mereka, jika laki-laki ada tanduknya dan jika perempuan rambutnya tegak berdiri. Sebagian besar gambaran wajah Suanggi ini menyeramkan. Bahkan ada yang menggambarkan Suanggi ini terbang berkeliaran hanya berupa kepala dan bagian dalam manusia (usus, hati dan jantung), tanpa badan. Konon katanya, ketika malam (selepas maghrib) Suanggi ini mulai berkeliaran, dan baru pulang menjelang subuh. Namun ada pula yang menyebut Setan/Jin/makhluk halus dengan sebutan Suanggi juga. Saya, terus terang lebih takut pada Suanggi dengan definisi yang pertama, karena jika itu adalah orang dengan kemampuan tertentu, maka sudah pasti punya wujud fisik yang dapat melakukan kontak fisik dengan saya.

Suara Suanggi itu terus mengikuti saya, suaranya terdengar pelan, “syuu, syuu...” hampir seperti suara orang bersiul yang tidak sempurna.. Saya teringat cerita dari teman kantor, jika mendengar suara Suanggi pelan, itu artinya dia dekat, tapi kalau suaranya terdengar nyaring atau jelas, justru keberadaannya sedang jauh.. Dan saat itu saya dengar suaranya pelan mengikuti saya.

Jalan yang mengitari Stadion Ternate dibuat satu arah, tapi entah mengapa perasaan saya mengatakan untuk memilih jalan sebelah kanan yang artinya berlawanan arah dari yang seharusnya, hati saya mengatakan lebih baik menghadapi sesuatu dengan berhadap-hadapan lebih dahulu jika ada kendaraan atau orang lain yang lewat, tapi tentu saja sudah tidak ada lagi yang lewat pada pukul 01.30 pagi dan gerimis pula.

Jalanan di pinggir stadion itu gelap gulita, karena selain tidak ada penerangan jalan sama sekali, pagi dini hari saat itu gerimis, sehingga tidak ada cahaya bulan ikut andil menemani perjalanan saya. Saya berjalan dengan langkah yang dipercepat, saya hanya harus melewati setengah lingkaran jalan stadion untuk kemudian sedikit berbelok ke kanan dan 100 meter kemudian masuk ke jalan Yos Sudarso yang sudah berpenerangan jalan. Saya berjalan dengan tidak putus membaca doa-doa maupun surat-surat tertentu dalam Al-Quran.

Pada seperempat jalan yang mengitari stadion, saya melihat sesuatu, kira-kira setinggi pinggang orang dewasa berada disebelah kiri jalan yang akan saya lalui, kira-kira 5 meter di depan saya. Bentuknya seperti anjing Doberman Pinscher, saya katakan seperti, karena jujur saja, dalam suasana gelap seperti itu, saya tidak bisa melihat dengan jelas, mungkin juga hanya perasaan saya saja yang mengatakan seperti Doberman, yang pasti saya tetap melanjutkan perjalanan dan tidak ingin melihat lebih jelas ke arah kiri ketika melewatinya. Saya hanya bersiap-siap dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi dengan bermodalkan nekat dan sepotong kayu di tangan.

Alhamdulillah, penampakan yang tadi telah terlewati, dan di depan sudah terlihat gedung KPP Ternate sekaligus jalan terakhir pinggir stadion untuk berbelok ke kanan. Hati saya sudah mulai agak tenang, tapi mulut tetap merapalkan doa-doa agar saya selamat. Tepat ketika beberapa langkah lagi saya akan berbelok ke kanan untuk meninggalkan jalanan pinggir Stadion, entah mengapa saya berpaling melihat ke kiri yang merupakan pintu utama stadion, dan ketika saya melihat ke arah pintu stadion, tiba-tiba “Duarrrr.....” terdengar suara yang sangat keras sekali, sampai saya juga melompat mundur saking kagetnya.. suara itu seperti pintu yang dipukul dengan sangat keras dengan besi. Saya berhenti dan tidak mengalihkan pandangan dari pintu Stadion Ternate. Saya menunggu apakah ada suara atau penampakan yang akan menyusul berikutnya, namun hening.. tak ada suara atau penampakan apapun yang menyusul kemudian.

Saya melanjutkan perjalanan, berbelok ke kanan dan kira-kira 150 meter di depan sudah terlihat pagar Kantor KPPN Ternate, kantor tempat saya bekerja sekaligus tempat tinggal saya. Dan suara yang saya duga Suanggi sudah tidak terdengar lagi. Hening.. Sepi.. bahkan saya tidak mendengar suara apapun.

Sampai di depan pagar KPPN Ternate, hati saya sudah tenang, saya masuk dari pintu samping yang hanya bisa dilalui orang berjalan. Cieett... suara deritan besi pintu pagar, terdengar keras menandakan engsel yang sudah karatan dan tidak pernah diminyakin. Pagar keliling kantor, kecuali yang bagian depan, telah di buat tembok setinggi kira-kira 2 meter, sehingga tidak terlihat bagian dalam halaman kantor dari luar pagar. Halaman dalam kantor adalah lapangan badminton yang telah dicor semen, dan banyak sekali sampah daun ketapang berserakan. Pohon ketapang yang sudah cukup besar, persis berada disebelah kanan pintu samping kantor.

Baru satu langkah saya masuk, tiba-tiba sreekkk... sampah daun ketapang yang di depan saya bergerak kedepan secara bersamaan, seperti sedang di sapu dengan sapu yang sangat besar. Tidak ada angin saat itu, dan saya melihat ke atas, pohon-pohon juga tidak ada yang bergerak karena tertiup angin. Ah, ada apa lagi ini, saya mengira suasana horor yang saya lalui sudah berakhir, tapi ternyata tidak. Saya diam, sampah daun ketapang itu juga diam. Setelah beberapa detik, saya melangkah lagi (langkah kedua), dan kejadian itu berulang, sampah daun ketapang itu bergerak bersamaan seperti sedang disapu dengan sapu yang sangat besar. Kembali saya diam beberapa detik, untuk kali ketiga saya melangkah lagi, dan sampah itu kembali bergerak. Untuk kali ketiga saya diam, menunggu apakah sampah itu akan bergerak kalau saja saya tetap diam. Tiba-tiba saya mendengar sayup-sayup suara besi dan kaca beradu, tek, tek, tek.. dan 10 meter dari saya berdiri diam di lapangan badminton, saya melihat ke arah sumber suara, ya, saya melihat jendela kaca nako yang tidak tertutup itu bergerak-gerak. Jendela ini adalah salah satu jendela di ruangan Seksi Perbendaharaan 1, jendela ini terdiri dari 8 buah kaca kecil-kecil yang terpisah. Dan yang bergerak-gerak hanyalah kaca nomor 2 dari bawah.

Perhatian saya menjadi teralihkan dari sampah daun ketapang ke kaca nako jendela yang bergerak-gerak, saya berpikiran, apakah ada tikus atau mungkin maling. Saya melangkah mendekati jendela tersebut, dan anehnya sampah daun ketapang sudah tidak lagi bergerak mengikuti saya. Saya mendekati jendela, dan dalam jarak 3 meter, saya berhenti. Ruangan Seksi Perbendaharaan 1 sudah gelap, namun samar-samar dari cahaya lampu penerangan halaman, saya melihat sesosok, berdiri disamping jendela yang kaca bagian bawahnya bergerak. Sosok tersebut terlihat kepala dan badannya hitam dengan posisi berdiri menyampingi jendela, tidak menghadap jendela, tapi posisi berdirinya persis disamping jendela. Kain gorden jendela menutup setengah, dan saya melihat sosok tersebut “seperti” sedang memainkan kaca nako kedua dari bawah, bergerak berirama, tek, tek, tek.. lalu diam 2 detik, dan kembali bergerak tek, tek, tek.. begitu seterusnya.




(ilustrasi, sumber dari : https://urbanlejen.wordpress.com/category/urbanlejen/page/6/)


Entah mengapa saya berpikiran kalau sosok itu adalah Effendi, sang honorer penjaga kantor, yang saya pikir sedang iseng menakuti saya.. karenanya, bukannya saya takut pergi menjauh, tapi saya malah toreba kepada sosok tersebut. Teriak dalam Bahasa Ternate adalah toreba.

“Hei Fendi, ngana kira kita tako..?”

“Ngana keluar suda.. cei.. jang ngana biking-biking e...”

Kira-kira artinya begini, Fendi, kamu kira saya takut? Kamu keluar saja, jangan buat hal-hal seperti itu...

Namun sebegitu kerasnya saya teriak, tidak ada jawaban atau suara apapun yang saya dengar..

Lalu saya periksa pintu masuk ruangan tersebut, terkunci, dan ketika saya bermaksud untuk naik ke lantai 3 tempat dimana saya dan beberapa teman, termasuk Effendi si honorer penjaga kantor, tinggal, saya masih melihat sosok itu berdiri dan kaca yang bawah juga masih bergerak, tepat saat saya akan berbalik badan untuk menuju gedung seberang ruangan Seksi Perbendaharaan 1 tempat saya tinggal, saya melihat gorden jendela yang awalnya hanya menutup setengah, tiba-tiba bergerak dan menutup penuh jendela. Bahkan gerakan gorden jendela tersebut sangat persis seperti digerakkan oleh seseorang, karena gerakan gorden diawali dengan gerakan kekiri sedikit, lalu krek.. bergerak ke kanan dan menutup penuh.

Saya kaget, beberapa jenak lamanya saya mematung, bersamaan dengan gerakan gorden yang menutup tadi, gerakan kaca nako yang bawah juga berhenti, dan, anehnya.. suara dua orang teman saya yang sedang mengobrol di lantai 3 baru mulai terdengar oleh saya. Saya langsung panggil teman saya..

“Heru...!!”

“Yo.. kenapa..?” kepala Heru muncul dari jendela lantai 3 dan melongok ke bawah.

“Kalian dari tadi disitu? Sejak kapan ngobrol disitu?” tanya saya.

“Oh, udah dari tadi kok.. dari jam 12 malam tadi mungkin kita ngobrol sampai sekarang..” jawab Heru. Kemudian muncul juga si Dullah melongok ke bawah.

“Kalian gak dengar aku pulang? Gak dengar aku teriak-teriak..?

“Engak..” jawab mereka hampir bersamaan

Wow.. saya benar-benar terheran dengan peristiwa ini, bagaimana mungkin pendengaran mereka tertutup atas suara yang saya timbulkan, dan pendengaran saya tertutup dari suara yang mereka keluarkan. Kalau penglihatan yang tertutup terhadap makhluk astral, semisal dari 5 orang yang ada, hanya 1 orang yang melihat makhluk astral, sudah jamak terjadi. Tapi ini pendengaran yang saling tertutup, antara saya dan dua orang teman saya. Padahal pada jam-jam diatas 23.00 suara ngobrol biasa di lantai 3 itu bisa terdengar sampai 500 meter jaraknya. Karena beberapa kali penduduk sekitar pernah menanyakan kepada kami jam berapa tidur, karena sudah larut malam tapi masih mendengar kami mengobrol. Dan saya sering ketika duduk-duduk di lantai 3 mendengar suara deritan pintu samping yang dibuka seseorang. Tapi malam itu, semuanya tidak mendengar.

Akhirnya saya minta kepada Heru dan Dullah untuk turun membawa kunci ruangan Seksi Perbendaharaan 1 dan juga sebuah senter. Saya katakan kalau ada orang di ruangan Perbendaharaan 1. Sesampainya mereka di bawah, saya pelan-pelan dan dengan tingkat kewaspadaan tinggi membuka pintu ruangan Seksi Perbendaharaan 1, karena saya takut kalau-kalau ternyata benar ada maling, dan takut bentrok fisik. Ruangan Seksi Perbendaharaan 1 terbuka, dan saya nyalakan lampu ruangan, dan memeriksa kolong-kolong bawah meja.. tidak saya jumpai sesuatu apapun, tidak juga tikus, hewan yang paling mungkin menjadi tertuduh pembuat kekacauan ini.

Akhirnya setelah sekian lama kami bertiga memeriksa ruangan dan tidak menemukan apa-apa, kami kunci kembali, dan naik ke lantai 3 tempat kami tinggal. Saya ceritakan semuanya pada Heru dan Dullah.

Esoknya, saat para pegawai sudah berdatangan ke kantor, cerita kejadian yang saya alami malam itu, cepat sekali menyebar, entah Heru atau Dullah yang menyebarkannya pertama kali.. Banyak orang kantor yang menanyakan langsung kronologi peristiwanya kepada saya.

Dan beberapa saat kemudian saya dipanggil oleh Bapak Faqikh, Kepala Seksi Bendahara Umum. Beliau menanyakan apa yang saya alami. Lalu beliau berkata..

"Mas, kamu gak ingat..?”

“Ingat apa Pak..?” jawab saya.

“Coba lihat tanggal, tanggal berapa sekarang..”

“Iya, Pak, emang kenapa dengan tanggal hari ini..?

“Apa kamu gak ingat? Ini adalah 40 hari meninggalnya Kepala Seksi Perbendaharaan 1. Dan kita di KPPN Ternate ini tidak buat syukuran atau tahlilan untuk beliau. Ya mungkin karena selama hidupnya beliau dekat dengan kamu, dan Mas Heru, jadi beliau pamit..” kata Pak Faqikh.

Degh... Saya kaget juga dengan apa yang dikatakan Pak Faqikh..

Dan iya, saya hitung mundur selama 40 hari kebelakang, tepat hari dimana Kepala Seksi Perbendaharaan 1 berpulang ke Rahmatullah.. semalam adalah malam ke 40 beliau.. meskipun saya tidak percaya pada cerita bahwa arwah orang yang meninggal itu masih berada di dunia ini selama 40 hari selepas meninggal, tapi kejadian ini benar saya alami.. hanya kebetulan atau benar seperti sangkaan Pak Faqikh.. wallahu a’lam.










Coincidentally un-Random


Visiting a friend for lunch break on the other day, I took a taxi … as the driver asked, “Going there everyday, Ma’am?” I said no, then asked why. Then he said, “Because every time you have this taxi, that building is always your place to go.” 
I was surprised, because I had not been there for some time. Then I realized, it was the same driver with the same taxi that I hailed randomly on the street last month.
“How did you remember?” I asked. He said, “Because you talked about current events, and it was a great conversation. I also remember your comment before getting out of the car, that your friend’s lobby looked rather pale with less plants/flowers around. Here is the place.”

NB: This was written in a personal journal on 12 January 2017.