Ujian

Tulisan SaungKemangi menggugah saya untuk melihat kembali kejadian demi kejadian saat masih anak-anak soal “Keberadaan Allah?” Saya, saat itu masih sekolah kelas VI SD ketika beberapa anak senang bermain dengan teman sebaya, saya juga termasuk yang “lebih” senang bermain daripada sholat. Karena saya masih anak-anak dan belum akil baliqh, jadi saya berpikir tidak ada kewajiban untuk melaksanakan perintah Allah. Makanya ketika ada pertanyaan itupun, saya santai dan tidak berpikir jauh. Dan perilaku sehari-haripun meski belajar mengaji, puasa dan sholat tarawih dengan membawa buku catatan agar bisa menyimpulkan khotbah nya mengenai apa dan mendapat paraf dari khotib saat itu, tetap aja masih gak mikir “Dimana Allah itu”. Hingga lulus SD, SMP hingga SMA, saya bahkan banyak mengikut kegiatan rohis dan dengan wejangan-wejangan khas anak rohis, saya tetap aja masih belum mikir soal “Dimana Allah itu?” Karena saat SMA, saya punya motivasi ikut kegiatan ekstra kurikuler agar bisa dekat dengan siswi itu dan ini. Tanpa ikut kegiatan pun, sebenarnya malas juga disamping rumah juga sudah jauh di Bekasi. Selesai ikut kegiatan ekstra kurikuler hingga sore dan lanjut ke  persiapan perang ala “Bharatayudha” di gang batu antara sekolah saya, SMA 4 dan SMA 7, dimana saya tetap ikut terlibat. Kegiatan perang ini dilakukan secara reguler seperti minum obat. Jika tidak dilakukan, semacam ada kecanduan. Makanya gak berpengaruh juga jika saya ikut rohis pun, tetap melakukan hal-hal yang tidak baik. Saat masa SMA ini, motivasinya cuma ada 1, bagaimana lulus SMA dalam keadaan sehat dan selamat dan tidak cedera, nilai tidak menjadi prioritas. Suatu saat, saya terkena lemparan batako dari trotoar, saya lepas dari kejaran anak SMA 7, lolos dari kejaran polisi saat lari mulai dari taman masjid cut mutia hingga ke pertigaan pasar rumput. Pada saat itu saya mulai berpikir soal keberadaan Allah “Oh ternyata Allah itu ada, saya diselamatkan oleh Nya” Pikiran ini datang bertubi-tubi saat saya mengambil nafas dalam – dalam setelah dikejar-kejar oleh pelajar SMA 7 dan polisi. Beberapa teman ada yang tertangkap oleh polisi namun tidak ada yang tertangkap pelajar dari SMA 7.
          Seiring dengan berjalannya waktu, saya ikut acara perpisahan SMA hingga kuliah. Semasa kuliah semester akhir pun, saya sempet mencoba lari dari kampus untuk mencari keberadaan Allah. Muncul pertanyaan “Apakah saya sudah menjalani Islam dengan sempurna dan khaffah?” Pertanyaan ini juga belum terjawab hingga saya melalaikan skripsi saya yang molor lebih dari ketentuan kampus. Dan akhirnya, hanya pertanyaan simpel almarhumah ibu yang meluluhkan hati saya untuk selesaikan skripsi. “Kamu mau selesaikan skripsi ini atau tidak?” Saya terdiam, sambil berpikir bagaimana pencarian soal Allah ini parallel dengan penyelesaian skripsi ini. Akhirnya setelah 2 atau 3 hari berpikir diam, barulah saya menjawab akan selesaikan skripsi ini. Banyak pergulatan soal pencarian keberadaan Allah ini. Skripsi selesai dan setelah 2 tahun, saya diterima bekerja di Kementerian Keuangan (Departemen Keuangan). Pertama kali bekerja, saya langsung di tempatkan di daerah Sulawesi Tenggara. Saat berangkat di pelabuhan Tanjung Priok April 1999, saya baru berpikir kembali kenangan tentang keberadaan Allah. Sholat di kapal motor Bukit Siguntang dengan banyak penumpang dari berbagai latar belakang pendidikan, status sosial, pekerjaan, suku, ras dan agama semakin membuat saya yakin bahwa Allah itu ada. Apalagi saat itu sedang mulai memuncaknya kerusuhan Ambon. Jadi banyak juga pasukan dari angkatan darat yang menaiki kapal motor itu dengan tujuan Ambon. 
       Sejak saat itu hingga saat ini, saya masih meyakini jika ingin lebih dekat dengan Allah atau Tuhan, tanyakan pada diri kita sendiri, apakah kita sudah diberikan ujian yang cukup oleh Allah? Gak perlu dijawab dan cukup kita renungi. Karena bentuknya ujian macam-macam. Ada yang dikasih ilmu tinggi dan diamalkan, dikasih kecukupan harta, dikasih keluarga yang sakinah, dikasih anak-anak yang sholeh dan sholehah, dikasih pasangan yang sholeh dan sholehah, dikasih orang tua yang lengkap sejak lahir, dikasih lengkap anggota tubuhnya, dikasih kemudahan di dunia, dikasih wajah yang ganteng dan cantik dan itu semua ujian atas hal-hal yang positif. Bagaimana jika kita dikasih yang kebalikan dari yang saya sebutkan tadi? Apakah kita akan tetap istiqomah? Apakah kita akan menyalahkan keadaan? Apakah kita akan tetap menjalankan sholat dan menanyakan keberadaan Allah? Apakah kita akan menanyakan soal keadilan? Jika memang sudah merasa banyak dikasih ujian, apakah kita sudah lulus ujian? Silahkan direnungkan oleh setiap diri kita. Jadi saya masih tetap meyakini bahwa jika sudah diberikan ujian yang sama atau paling tidak mendekati ujian Rasullah, maka barulah kita bisa meyakini Allah itu dekat dan pintu menuju surganya Allah semakin terbuka lebar. Jika mau analogi lain seperti naik gunung, jika ingin ke puncak, akan banyak ujian dan godaan untuk mencapai puncak gunung.  Semoga kita termasuk orang-orang yang lulus ujian hingga di akhir hayat.

Cerita dapat juga dibaca pada link berikut :

Menjemput Cinta (Bagian Keenam - Ending)

Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin Kinasih memasuki babak baru dalam episode kehidupannya menjadi seorang isteri. Kini, ia sedang menikmati masa kehamilan. Janin yang berada di dalam kandungannya merupakan buah cinta ia dan suaminya, Toni. Kandungan Kinasih kini sudah berusia 35 minggu, artinya, tidak lama lagi Kinasih akan menjalani proses persalinan. Semua perlengkapan untuk bersalin serta perlengkapan bayi sudah ia dan suaminya siapkan sejak dua bulan yang lalu. Hampir setiap bulan ia ditemani suaminya rutin memeriksakan kesehatan kandungannya. Memasuki bulan ke tujuh, janin yang berada didalam kandungan sudah diketahui jenis kelaminnya melalui proses pemeriksaan Ultrasonografi (USG). Betapa bahagianya Kinasih dan Toni ketika dokter kandungan menyampaikan bahwa kandungan Kinasih diperkirakan berjenis kelamin perempuan. Air mata menetes dari dipipi Kinasih, begitupula Toni, berkali-kali lisannya mengucapkan rasa syukur.

Disuatu hari Jum'at setelah shalat Subuh, Kinasih melakukan aktifitas seperti biasa, menyediakan sarapan pagi. Merebus air untuk membuat kopi dan teh manis, serta mengukus pisang tanduk dan ubi jalar. setelah matang, Kinasih membawa pisang dan ubi ke meja makan, kemudian ia keluar dapur menuju kamar. Namun ketika ia tiba di ruang tamu, langkahnya terhenti, Kinasih merasakan sakit diperutnya.

"Ya Allah, uh....hiks...aaah..." bersandar didinding sambil mengusap-usap perutnya.

Demi mendengar suara rintihan isterinya, Toni yang sedang berada di dalam kamar, segera keluar. Demikian pula dengan ayah dan Ibu Kinasih.

"Sayang, kamu kenapa?" cemas.

"Perutku sakit, Mas" terus mengusap-usap perutnya.

"Masya Allah, Kalau gitu, kamu duduk dulu ya, Mas segera menyiapkan perlengkapan bersalin, kita langsung berangkat ke Rumah Sakit".

Toni segera menuju kamar, lalu keluar denga membawa sebuah tas berukuran sedang. Iapun segera merangkul isterinya berjalan menuju halaman.

"Apa kamu kuat berjalan?.

"Insyaa Allah, kuat Mas!" berusaha meyakinkan. "O iya Mas, nanti tolong telepon Pakde Yanto, untuk memberitahu Ayah dan Ibu" kembali mengusap-usap perutnya.

"Iya, nanti Mas Telepon"

Keduanyapun kini sudah berada didalam kendaraan menuju Rumah Sakit. Sesampainya di Rumah Sakit, dengan dibantu oleh dua orang perawat, Kinasih langsung dibawa ke ruang khusus pemeriksaan kandungan. Didalam, dokter sudah bersiap memeriksa kandungan Kinasih. Dokter meminta Kinasih untuk merebahkan diri di atas tempat ranjang khusus pasien. Kemudian dokter melakukan tugasnya. Toni berdiri disisi ranjang, terus memegang tangan Kinasih sambil memperhatikan dokter kandungan yang sedang bekerja.

Alhamdulillaah, sudah pembukaan delapan, Insyaa Allah sebentar lagi Ibu akan melahirkan" dokter memberikan informasi kepada Kinasih dan juga Toni. "Suster, tolong siapkan perlengkapan bersalin". Dengan sigap dua orang perawat segera melakukan tugasnya. "oh ya, Bapak mau menemani Isteri dalam proses persalinan?" pertanyaan dokter mengagetkan Toni. Toni menganggukan kepala tanda setuju. Maka, sejak saat itu hingga satu jam kemudian Toni mendampingi Isterinya dalam proses persalinan.

Tidak perlu menunggu waktu lama, Kinasihpun melahirkan anak pertamanya. Seketika ruang persalinan pecah oleh suara tangis bayi yang baru keluar dari rahim ibunya. Toni menatap anaknya yang berada dalam dekapan dokter kandungan. Melihat dengan detil bagaimana dokter memutus tali ari-ari dari perut sang bayi. Memasukan selang kecil kedalam mulut untuk mengeluarkan sisa air ketuban yang masuk kedalam tubuh sang bayi. Kemudian Toni menatap Kinasih dengan penuh kasih sayang, mengusap kening Kinasih yang basah oleh butiran keringat. Tonipun menitikka air mata. Demikian pula dengan Kinasih, iapun tak henti mengucapkan easa syukur. Kebahagiaan sedang meliputi sepasang suami isteri tersebut.

***

Satu tahun berlalu, bayi mungil berjenis kelamin perempuan itu diberi nama Kinanti. Kinanti menjadi pelengkap kebahagiaan rumah rangga Kinasih dan Toni. Demikian pula dengan kakek dan neneknya, ayah dan ibu Kinasih yang telah memiliki seorang cucu perempuan yang cantik dan aktif.

Suatu pagi, ketika Kinasih dan Toni sedang menikmati sarapan pagi sebelum beraktifitas. Toni menyampaikan sesuatu kepada Kinasih. Toni bercerita bahwa ia mendapat tugas dari sekolah tempat ia mengajar untuk menghadiri acara Bimbingan Teknis Guru se-Indonesia yang bertempat di Jakarta. Mendengar penuturan suaminya, Kinasih memberikan restunya. Ia dan Kinanti akan baik-baik saja selama Toni bertugas.

Hari yang dijadwalkan pun tiba. Selepas shalat Subuh Toni sudah berpakaian dinas rapih. Ia akan berangkat ke Jakarta bersama rombongan guru dari beberapa sekolah di wilayah tempat tinggalnya. Sesuangguhnya, berat hati Toni meninggalkan isteri dan anak perempuannya. Namun sudah menjadi tugas, iapun menjalaninya.

Setelah mencium kening Kinasih, iapun masuk kedalam kamar untuk berpamitan dengan anak perempuannya yang masih terlelap tidur. "Ayah pamit ya sayang, selama ayah pergi, Kinanti yang anteng ya!jadi anak rajin, cerdas, sholehah, seperti Bunda!" kemudian tersenyum menatap Kinasih. Kinasih yang duduk dipinggir kasur membalas senyum suaminya. Tidak ada satupun firasat bahwa pagi itu merupakan pagi terakhir ia bisa menatap wajah suaminya.

Ya, dalam perjalanan menuju Jakarta, kendaraan Bis yang ia tumpangi bersama rombongan para guru diwilayahnya mengalami kecelakaan, terperosok kedalam jurang hingga mengakibatkan tiga orang meninggal dunia, salah satunya Toni, belasan mengalami luka-luka.

***

Bram masih berdiri di halaman rumah, tatapannya lurus ke arah jalan raya. Kedua tangannya erat mendekap Kinanti, puteri Kinasih. Jika Ibu dan Ratih tidak menegur Kinanti, mungkin Bram akan terus terpaku dalam lamunannya.

"Eeeh... ada keponakan kecilku yang cantiiik, dedek Kinantiiii....., sini kakak gendong!" tutur Ratih kemudian mengambil Kinanti dari dekapan Bram. 

"Kamu ndak ke toko, Bram?" tanya Ibu sambil mengusap kepala Kinanti yang kini sudah dalam dekapan Ratih.

"Hari ini Bram mau di rumah saja, Bu. Tadi Bram sudah telepon Mas Yuda untuk menjaga toko. Ada yang ingin Bram bicarakan ke Ibu".

Ibu dan Bram berjalan menuju ruang tamu, sedangkan Ratih sudah asik bermain dengan Kinanti.

"Bu, Bram mohon izin untuk membicarakan tentang Kinasih..." menghela napas. "Sepeninggal Mas Toni. Kinasih kini menjalani hidup sebagai orangtua tunggal. Ia harus membanting tulang mencari nafkah untuk puterinya dan juga membantu perekonomian kedua orangtuanya. Melihat kondisi Kinasih dan juga Kinanti saat ini, Bram ndak tega Bu. Selain itu, Ibu pasti sudah tahu jika sampai detik ini... Bram masih mencintai Kinasih..." menundukkan kepala.

"Ya... Ibu merasakan kesedihan yang sama, Bram. Perempuan sebaik Kinasih, harus mendapat cobaan yang demikian berat. Sewaktu mereka sedang dalam masa-masa bahagia atas hadirnya buah hati mereka, suaminya wafat dengan cara yang mengenaskan. Itulah rahasia kematian, Bram. Tidak ada satupun makhluk-NYA yang mengetahui kapan kematian akan menjemputnya. Namun Ibu yakin, Kinasih adalah sosok perempuan yang kuat" menatap Bram penuh kasih sayang. "Lalu... apa rencanamu, Bram?" tanya Ibu kemudian.

Beberapa saat Bram merasakan dadanya bergemuruh. Apa yang akan ia sampaikan ke Ibunya adalah satu hal yang akan mengubah kehidupannya.

"Bram memohon do'a dan restu Ibu untuk melamar Kinasih...".

Mendengar permintaan putera kesayangannya, Ibunha tidak mampu membendung air mata.

"Lakukan apa yang menurut kamu itu adalah yang terbaik, Bram. Ibu pasti akan memberikan do'a dan restu. Lamarlah Kinasih sebagaimana dahulu kamu sangat menginginkannya untuk menjadi pendamping hidupmu. Ibu hanya berpesan, luruskanlah niatmu agar Gusti Allah pun Ridho dengan keputusanmu".

Bram mengecup tangan Ibu serta memeluknya erat. 

"Kapan kamu akan mengutarakan keinginanmu melamar Kinasih, Bram?"

Bram terdiam beberapa saat.

"Sore nanti, disini, ketika Kinasih pulang untuk menjemput Kinanti".

***

Pagi berganti siang, kemudian perlahan cahaya matahari mulai bergeser ke arah barat. Sore haripun menjelang. Bram, Ibu, dan Ratih sudah menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut Kinasih. Sedangkan Kinanti, setelah ba'da Ashar ia sudah dimandikan oleh Ratih, dibaluri minyak telon dan juga bedak, dipakaikan pakaian yang sudah dititipkan oleh Ibunya, serta diberikan wewangian khas aroma bayi. Kinanti terlihat sangat cantik dan menggemaskan.

Semua sudah bersiap-siap di ruang tamu. Waktu yang dinantikanpun tiba. Kinasih muncul dihalaman rumah, melepaskan sepatu, lalu berjalan ke arah pintu. Diucapkannya salam, dan iapun terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ya... Bram, Ibu, Ratih, dan Kinanti sudah duduk di kursi menyambutnya dengan wajah ceria.

Ibu mempersilahkan Kinasih masuk dan duduk disampingnya. Sedangkan Bram, duduk bersebelahan dengan Ratih sambil mendekap Kinanti.


"Kinasih, kesini Nak, ada yang ingin Bram sampaikan ke kamu".

Kinasih duduk disamping Ibu dengan raut wajah bingung, namun ia berusaha tutupi dengan menyunggingkan senyum manisnya.

"Silahkan Bram, sampaikan niatanmu.kepada Kinasih" pinta Ibu kepada Bram.

"Dek, sejak pertama aku jumpa denganmu di toko, ada benih cinta yang tumbuh dihatiku. Namun, niatanku untuk menyampaikan perasaan itu harus aku simpan bahkan harus aku hapuskan karena Mas Yuda memberitahukan aku bahwa kamu pada saat itu sudah dilamar seorang pria. Kini, sore ini, aku berniat melamar kamu. Aku sayang Kinanti, aku sayang sama kamu. Aku ingin menjadi imam kamu, dan juga menjadi ayah dari Kinanti. Mudah-mudahan, niat baikku dapat kamu terima".

Mendengar penuturan Bram, Kinasih tidak dapat berkata apa-apa, hanya air mata yang mengalir dipipinya. Iapun menganggukan kepala sebagai tanda menerima lamaran Bram.

Ibu dan Ratih bergantian memeluk Kinasih, kemudian mencium pipi Kinanti berkali-kali.

Seminggu kemudian, akad nikah dilangsungkan secara sederhana sebagaimana permintaan Kinasih, namun tidak mengurangi kebahagiaaan sepasang pengantin beserta keluarga besarnya. Bram dan Kinasih bersanding dipelaminan, sedangkan Kinanti berada dalam dekapan Bram yang sibuk menerima ucapan dan do'a tamu yang hadir.

Demikianlah kisah cinta Bram dan Kinasih. Kini keduanya membangun rumah tangga yang diliputi dengan kebahagiaan. Menjadi keluarga yang Sakkinah, Mawaddah, dan Warohmah.


Sekian.


Terimakasih untuk semua yang telah menyimak cerita Menjemput Cinta part 1 s.d. 6, semoga cerita tersebut dapat berkesan dihati.






STANDAR (g)ANDA



“Wah parah lu, menghina agama gue lu, lu kan ga boleh bahas-bahas agama gue, penistaan itu namanya”, kata Jonny pada Dwi. “Lah, elu sendiri suka bahas-bahas agama gue”, jawab Dwi. “lah, itukan beda bro. Gw kan mau ngasih tahu yang bener ke elu”, tangkis Jonny.

Standar ganda sendiri tidak ada penjelasannya dalam KBBI daring tapi saya menemukan dalam wikipedia dan berbagai website berbahasa Inggris. Kalau menurut wikipedia bahasa Indonesia begini kira-kira ” Standar ganda adalah ukuran standar penilaian yang dikenakan secara tidak sama kepada subjek yang berbeda dalam suatu kejadian serupa yang terkesan tidak adil. Konsep standar ganda telah diterapkan sejak tahun 1872 terhadap fakta struktur moral yang sering diterapkan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan bermasyarakat.” Kurang lebih sumber-sumber lain berbahasa Inggris pun sependapat jika standar ganda awalnya adalah pembeda konsep moral antara laki-laki dan perempuan dalam hal hak, perlakuan, cara bersikap, dan tingkat toleransi masyarakat.

Pada akhirnya standar ganda meluas ke berbagai hal, baik itu status sosial, pangkat, ras, suku, agama, orientasi seksual, umur, dan lain sebagainya sesuai kebutuhan si pelaku/ pembuat pernyataan. Sampai sekarang saja kita belum selesai membahas bahwa laki-laki tidak boleh menangis, perempuan yang punya pacar lebih dari satu adalah perempuan nakal, dan laki-laki yang harusnya membayar ketika makan di luar. Ditambah lagi dengan penggunaan standar ganda tersebut dalam berbagai hal lainnya.

Para pelaku standar ganda biasanya disebut hypocrite atau bahasa kerennya “munafik”, mereka biasanya tidak sadar atau tidak mengakui bahwa mereka melakukan standar ganda, berjuta alasan dikemukakan untuk membenarkan pernyataan mereka, seperti halnya Jonny di atas. Bahwa sudut pandang merekalah yang benar, orang lain salah, bahwa kelompok merekalah yang benar, kelompok lain salah, bahwa merekalah yang ditindas, bukan menindas, dan lain sebagainya. Ada anggapan standar ganda biasanya terjadi pada orang-orang yang narsis atau cinta diri sendiri, mereka berpikir bahwa mereka berhak untuk mengkritik, mengeluarkan opini mereka, berlaku kasar, tidak sopan dan tidak sensitif tetapi akan meraung-raung ketika ditunjukkan prilaku negatifnya dan menyalahkan kamu, kamu yang terlalu sensitif, kamu yang berpura-pura, kamu yang jahat karena kamu membela diri mu dan tidak (mau) memahami dan mentoleransi mereka.

Ada banyak orang marah dan mengeluarkan caci maki di media sosial ketika seorang menggunakan kata “autisme” dalam candaan atau hinaan dikarenakan menyakiti orang tua yang memiliki anak dan tidak memiliki empati atas anak-anak yang menderitanya. Tetapi orang-orang yang sama diam ketika ada orang membawa parang dalam membubarkan sekolah minggu di sebuah rumah susun di Jakarta, mereka seketika kehilangan empati atas anak-anak dan orang tuanya, bahkan video orang yang membawa parang di depan anak-anak tidak membuat mereka marah.

Standar (g)anda, anda saja yang benar.

  • Id.wikipedia.org
  •  En.wikipedia.org
  • Tangri. projectavalon.net. 23 Maret 2016. <http://projectavalon.net/forum4/showthread.php?89597-Hypocrisy-and-Double-standards>
  • Michael Rossmann, valleybiblegj.com. 1 September 2016 <https://valleybiblegj.com/whats-wrong-with-double-standards/>

Atribut Yang Bikin Ribut

"Dunia ini baik-baik saja, sampai kita mulai membanding-bandingkan"




Menjelang sholat Jumat saya iseng membuka BnD, ternyata ada tulisan yang sangat menarik dari Saung Kemangi (http://www.bukannotadinas.com/2017/10/di-mana-tuhan.html). Tulisan sederhana namun sangat "makjleb", karena terus terang seumur-umur saya pribadi tidak pernah bertanya seperti itu. Islam warisan, mungkin itu yang tepat menggambarkan kondisi keislaman saya. Tapi disini saya tidak akan mendiskusikan soal tersebut ataupun mencoba menjawab pertanyaan "Dimana Tuhan?". Tulisan Saung Kemangi tersebut menginsipirasi saya tentang pertanyaan-pertanyaan lain yang sering muncul yang mungkin pada akhirnya akan bermuara ke hal yang sama: dimana Tuhan?.

Manusia seringkali lupa bahwa mereka adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah. Apapun kondisinya, karena hal tersebut sudah tertulis di kitab-NYA. Fakta bahwa ada manusia yang tercipta tanpa anggota tubuh yang lengkap atau dengan kekurangan-kekurangan fisik lainnya bukan berarti manusia tersebut tidak sempurna. Tinggi-pendek, ganteng/cantik-jelek semua hanyalah atribut fisik yang oleh Allah tidak dijadikan ukuran kesempurnaan ciptaan-NYA. Tak ada satu kitab suci-pun yang mensyaratkan atribut-atribut tersebut untuk mendapat ridho Allah, untuk menjadi kesayangan-NYA. Tidak ada satupun.

Lalu mengapa atribut-atribut tersebut justru yang diributkan manusia? Bukan saja atribut fisik yang diributkan, bahkan semua atribut yang sifatnya asesoris juga diributkan. Setiap saat, setiap waktu bahkan di setiap tarikan nafas. "Keributan" yang melenakan, membuat kita lupa bahwa semua manusia adalah makhluk sempurna. Kesempurnaan luar biasa yang mustahil bila bukan diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Jutaan nyawa dihembuskan ke dalam raga setiap detiknya, lengkap dengan 'customized operating system' sesuai dengan 'janji yang tertulis dalam manual book' masing-masing. Sempurna. Lihatlah diri kita, lihat orang-orang di sekitar kita, itulah kesempurnaan yang tidak perlu diperbandingkan. Sama sekali tidak perlu, karena bukan itu yang dibutuhkan oleh Sang Pencipta.

Dunia ini baik-baik saja, sampai kita mulai membanding-bandingkan. Membandingkan kondisi fisik kita dengan teman sebelah, dengan artis Korea bahkan dengan saudara sedarah-daging kita. Membanding-bandingkan apa yang kita miliki dengan apa yang orang lain miliki. Membanding-bandingkan kemampuan diri dengan orang-orang lain. Membandingkan semua atribut yang ada, lalu ribut; "kok aku gak seganteng dia ya?", "kok mobilnya lebih bagus ya?", "kok dia lebih pintar ya?" dan kok kok yang lain yang memenuhi kepala dan menyesakkan rongga dada.

Bukannya tidak ada yang tahu tentang pentingnya rasa syukur. Bukannya tidak ada yang sadar bahwa hidup ini hanya sebentar. Hampir setiap hari viral tentang hal-hal ini berseliweran di seluruh whatsapp group kita. Tapi nyatanya? keributan tentang atribut selalu kita alami.

Iman memang bisa naik-turun, hati memang selalu dengan mudah dibolak-balikkan, tapi bukan berarti manusia hanya bisa pasrah. Kesempurnaan sebagai makhluk itulah yang diharapkan Allah mampu membuat kita menjaga iman dan menata hati. Kesempurnaan yang diharapkan Allah mampu menyadarkan kita bahwa tidak ada gunanya lagi semuanya tanpa diiringi dengan taqwa, tanpa pernah peduli Tuhan dimana. Wallahu'alam.

What to notice: Pick up your skin care and cosmetics products

Not everybody is born and grew with the same skin; the color tone, the appearance, the moisture, and the problem they face. A person might be having good and glowing natural, perfect skin, while the others face acne and big pores, drying, and oily ones. Talking about skin and appearance is like talking about love: very personal.
Thinking about our look is actually a form of selfishness. Yes, it’s a very normal for me (in the normal range) and even it’s in particular circumstance needed more than as an additional beautifer but as a way to be keeping “exist”, sometimes. It sounds too far to say that. Imagine you are an artist, your care of how your skin look will be expected higher than a nonpublic figure.
The way we love our skin and look is different in one person to another. Since everybody has their own priority and perspective in looking upon life. A woman might be loving to take care of her kids and households only and a bit ignoring her looks, while the other is very care of her skin and appearance. Its not a true of false matter, for me. It is more on choice and priority, as i am not a skin care and cosmetics mania as well :p
Then, when you choose to “do” something more to your beloved asset namely skin, there are some points that you might be considering:
First, if you are a moslem, you need to know whether the skin care or cosmetics product are halal certified or not. Some products are just so tempting yet they are not halal certified. You might be aware of, maybe gelatine, a  pure protein and a natural foodstuff which is made from the skins of pigs and cows or from demineralized animal bones. They contain the collagen protein that we use to manufacture gelatine[1]. Gelatine is not always not halal, yet it shall be know whether the gelatine used in the skin products are halal or not.

Second, we should be asking whether this is safe or not? For example, some products are said to contain over hydroquinon and also has mercury in it. Hydroquinon is used to lighten the skin and it is harmful if used overdose. Mercury is also found in many cosmetics products. It could give serious impact to health, not only for the person use that cosmetics, but also for their children who holds towel or handclothes that is contaminated with mercury[1]. Mercury in soaps, creams, and other cosmetics products also could contaminate the water. The wastewater enters the environment and the food chain as highly toxic methylmercury in fish. Pregnant women who consume fish containing methylmercury transfer the mercury to their fetuses, which can later result in neurodevelopmental deficits in the children[2]. In Indonesia, to be simple we could say that “safe measure” refers to whether the products are listed in the BPOM (Indonesia National Agency of Drug and Food Control). In 2017, there are more than 37 thousand cosmetics products got their distribution permit. You might be interested to check the BPOM registration number through this link: http://cekbpom.pom.go.id/. Be careful that the registration number has a chance to be faked too.

Third, it’s lovely to know before buying, whether the product presumably will match your skin or not. Some products are very attractive for its benefits offer, or might be from the cute packaging they have. However, if possible, its so lovely if we could ask for small sample of it or to seek for some reviews. Today, there are so many beauty blogger reviewing cosmetics and skin care products. Thanks a lot for internet access! Last but not least, if you can, please buy those products in the trusted seller to avoid falsification products.




Well, i am not a beautie junkie nor an expert. It was just a slight memo that i need to write for you, beautiful!

 

 

PS: I use Nu Skin, herbal product, wardah, and zoya







[1] https://www.gelita.com/en/knowledge/gelatine/what-is-gelatine
[2] https://www.fda.gov/ForConsumers/ConsumerUpdates/ucm294849.htm
[3] http://www.who.int/ipcs/assessment/public_health/mercury_flyer.pdf

Di Mana Tuhan?

Tetiba saya disergap pertanyaan itu oleh seseorang menjelang masuk elevator menuju ruang kerja. Kami hanya bertiga waktu itu, tapi pertanyaan tiba-tiba itu cukup membuat saya sangat kikuk dan kaget. Ehh … serius atau bercanda nih? Berseloroh hal mendasar di lift?

Untuk meyakinkan, saya beri ‘umpan’, “Wahh buat apa bertanya begitu, Pak? Maqom saya belum sampe, kayaknya,” tidak lupa menebar senyum.”Lho … bukan soal maqom-maqoman, mbak. Supaya ibadah kita lebih khusyuk kalau kita tahu di mana Tuhan.” Nampaknya serius, tapi perjalanan lift kan tidak lebih cepat dari (sekitar) 5 kedipan mata.

Saya tidak bisa bermain voli, tapi saat itu saya merasa menjadi seorang tosser dadakan, melempar pertanyaan kepada muslimah anggun berhijab di sebelahnya, “Mungkin mbak Anggun bisa jawab, Pak … hehehe.” Si bapak menatap mbak Anggun sambil tetap melibatkan saya dan berujar, ”Pakai jilbab kan biasanya sudah punya ilmunya.” Ehmm… rasanya seperti kena smash. “Wah, jadi kita mau bicara di level apa nih? Syariat, tarikat, atau makrifat?” Saya berseloroh sok ‘punya ilmu’nya.

“Kita bicara di level PNS aja, lah yaa. Kita kan PNS.” Dan, saya merasa terselamatkan ketika pintu lift terbuka, bapak & mbak Anggun keluar di lantai yang berbeda dengan saya. Itu saja, dan saya lega.

Saya baru terfikir kira-kira jawab apa, justru saat pulang kantor, ‘terjebak’ menunggu hujan berhenti di musala Bxchange dari waktu maghrib sampai isya, sesekali melirik kedai ‘Marugame Udon’, berharap antrian mengularnya jadi pendek supaya saya bisa duduk di salah satu kursinya sembari menyesap ocha panasss. Alhamdulillah … enaknya jadi ibu bekerja kekinian, bisa menunggu hujan reda tanpa meninggalkan sholat, sambil cuci mata di mal. Eh...he...he...he.

Tapi saya kan bukan sufi, lagian, bacaan tentang tauhid sulit menarik minat saya (haddeuuhh… sambil tertunduk lemas).

Berkali-kali order ojek on line dengan gonta ganti provider gagal, membuat memori saya belasan tahun yang lalu tentang pertanyaan “di mana Tuhan” datang lagi lamat-lamat. Tepatnya, 2 minggu sebelum pernikahan saya. Mantan calon suami datang selepas pulang kerja mengantar kelengkapan dokumen nikah, diantar mas-mas yang katanya teman baiknya.

Mungkin supaya cair, si mas ‘teman baik’ mulai berbincang masalah agama. Karena saya berjilbab, kali yeee. Eh, ujungnya dia tanya,”Mbak tahu ga di mana Allah?” Pertanyaan macam apa itu? Saya membatin. “Wah, terus terang saya tidak pernah berfikir begitu.”

“Lho … gimana sih? Ini penting, menyangkut tauhid! Buat apa sholat kalau di mana Allah ga tahu?”

Ehm, jiwa muda saya terpancing. Siape elu menyepelekan sholat gue, “Saya sholat untuk ingat Allah, supaya saya tenang.”

“Emang ga belajar tauhid?” mantan calon suami saya diam, tidak berusaha menjawab sekedar membantu saya. Gue dites nih?? “Di atas langit, kalo berdasar al Baqarah 255. Toh, kita berdoa juga menengadahkan tangan ke atas.” Ahh…jangan tanya saya tentang dalil yang saya kutip. “Jauh amat. Padahal Allah jawab di ayat berikutnya,’Jika hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka jawablah Aku dekat’. Jadi, di mana Allah?” It was getting me frustrated, tapi belum menemukan cara yang sopan untuk mengusir.

“Berarti di bawah? Kata Rasulullah, saat terdekat seorang hamba dengan Rabb-nya kan saat sujud,” saya masih berusaha sopan.

“Itu lah kalo pemahaman masih tingkatan syariat. Allah itu sesungguhnya dekaaat, lebih dekat dari urat leher sendiri. Lihat surat Qaf ayat 16. Itu pemahaman kalau orang sudah mencapai tingkatan makrifat. Keberadaan Allah itu dekat sekali, bahkan menyatu dengan kita. Kalau sudah makrifat, orang ga perlu lagi amalan-amalan syariat seperti sholat.”

“Lho? Jadi engga sholat? Rasulullah saja yang begitu dicintai Allah tetap sholat!” Intonasi saya mulai naik. Alamak, sudah ngantuk nih jangan pula diajak diskusi berat.

“Rasulullah itu teladan, dia tidak bisa melakukan sesuatu yang bisa-bisa ditiru umatnya. Tidak sembarang orang ada di tingkatan makrifat,” kilah si mas.

“Tapi Rasulullah tidak pernah menyampaikan juga bahwa kalau sudah sampai tingkatan tertentu, orang boleh tidak sholat.”

“Ada buktinya. Tahu konsep mukjizat, karomah, maunah?” Entahlah, ilmu saya kali ya, yang belum sampai. Selebihnya, saya jadi ikutan diam dan mengangguk sesekali sekedar menghormati. Menjelang tengah malam, saya semakin shock, penat, dan merasa indoktrinasi ini tak berujung, saya tegas menyela,”Maaf mas-mas. Saya mau istirahat!” Mereka pulang meninggalkan saya yang panik. Kenapa gue baru tahu temennya sekarang ya? Dia juga ikut faham itu? Siapa imam gue kalo dia sudah merasa di tingkatan makrifat?

Keesokan harinya, sekejap dari salam terakhir sholat shubuh, saya marah-marah di telepon,”Mas menganut faham seperti itu? Kenapa teman dekat mas seperti ingin mendoktrin aku?” Berkali-kali mantan calon saya itu bilang, dia tidak terafiliasi dengan faham fanatik apa pun. Sholat tetap kewajiban buatnya, sampai maut menjemput!!! Dia hanya hendak mengenalkan lingkungan macam apa yang ada di dekatnya, supaya saya tidak kaget. Maklum, masih asing dengan plularisme (nahh kan.. menuliskannya saja salah). Sampai berkali-kali meyakinkan saya dengan sumpah, akhirnya jadi juga dia suami saya.

Setelah memutuskan menarik sauh untuk berlayar, mengarungi samudera kehidupan bersama suami, saya lalai lagi dengan esensi mencari di mana Tuhan? Buat saya, hidup itu macam menembus gelombang tinggi menuju badai, dari satu ke yang lainnya. Saya disibukkan dengan bagaimana mempertahankan bahtera agar tidak tenggelam saat ombak menghempas. Panik menjaga supaya tidak oleng meski digoyang riak-riak kecil. Yahhh … sering juga sih perjalanan seindah laut yang tenang di malam hari berhias gemintang.

Tapi, coba bayangkan! Pekerjaan beres, anak keluar masuk rumah sakit. Keluarga sehat, ekonomi terasa jauh dari pas-pasan. Keuangan mulai stabil, keluarga dekat minta perhatian. Pekerjaan dan keluarga terkendali, eh… mantan minta balikan (ha ha ha … bohong banget nihhh).

Saya benar-benar tidak ingat pentingnya mencari di mana Allah. Kalaupun kemudian saya sering-sering memanggil nama-Nya, hanya karena saya benar-benar perlu meyakinkan diri bahwa Dia bersama saya melewati gelombang dahsyat kehidupan. Kalau saya lantas banyak-banyak memohon ampun, hanya semata supaya Dia memaafkan khilaf saya saat salah bermanuver melintasi badai cobaan. Lalu, kalau pun harus bersujud dalam-dalam, lebih karena memohon bimbingan-Nya supaya saya tidak sesat mengambil haluan. Tapi, kalau ditanya di mana Allah, di mana Tuhan, saya menyerah menjawab.

Ahhh … kok jadi panjang ya? Biarlah saya tayangkan saja ke BnD. Setidaknya, saya bisa memohon, jangan tanya saya lagi, ya, di mana Tuhan. Kalau mau memberitahu dengan dalil yang mencerahkan, saya tidak menolak, malah belajar. Karena kalau saya diminta jawab, lagi-lagi hanya akan mengingatkan kejadian traumatis yang nyaris membuat saya gagal kawin. Mudah-mudahan, mbak Anggun sudah memberi jawaban yang memuaskan. 🌾

Berbagi Jalan, Berbagi Kehidupan

Beberapa waktu lalu terdengar lagi berita tentang seorang pesepeda yang meninggal karena tertabrak sepeda motor. Ini bukan kejadian pertama yang menimpa pesepeda. Sudah banyak kasus-kasus serupa, dari sekedar luka ringan sampai merenggut jiwa. Terlepas dari ajal yang bisa merenggut dimana saja dan dengan cara apa saja, kematian para pesepeda di jalan raya menunjukkan bahwa bersepeda di jalan raya bukanlah kegiatan yang aman. Harapan para pesepeda untuk memiliki infrastruktur yang memadai, aman dan nyaman bukannya tidak disuarakan dan diakomodir, tetapi memang belum bisa dikatakan memenuhi harapan yang paling minimal sekalipun. Jalur sepeda sudah ada di beberapa tempat, namun utilisasi-nya masih sangat minim. Okupasi jalur oleh pengendara kendaraan bermotor masih dominan. Diskusi mengenai hal ini berujung pada perdebatan tanpa akhir, seperti mempertanyakan mana lebih dulu? telur atau ayam?.

Harus diakui bahwa perilaku pengendara kendaraan bermotor belum sepenuhnya ramah terhadap pesepeda. Para penggiat bersepeda ke kantor pasti pernah mengalami tindakan "bullying" oleh pengendara kendaraan bermotor di jalan raya. Dari "sekedar" diklakson, dipepet bahkan sengaja ingin ditabrak. Dengan kondisi seperti ini, tidak heran apabila tingkat kecelakaan yang menimpa pesepeda akan meningkat dari waktu ke waktu.
Kampanye berbagi jalan sudah kerap dilakukan oleh komunitas-komunitas sepeda di tanah air. Ya, berbagi jalan, artinya jalanan bukanlah dominasi kendaraan-kendaraan tertentu (kecuali diatur demikian). Ruang jalan milik bersama; pesepeda, pesepeda motor ataupun pengendara mobil. Semua memiliki hak yang sama. Namun lagi-lagi, efektivitas kampanye tersebut masih belum bisa dirasakan.

Negara-negara yang terkenal sebagai "bike friendly countries" seperti Denmark, Netherlands, Sweden, Finland, Germany, Belgium, Austria, Hungary, Slovakia dan UK, awalnya juga mengalami masalah-masalah tersebut di atas. Namun mereka bisa mendapatkan solusi yang tepat yang menjadikan sepeda sebagai jenis kendaraan yang aman dan mendapat prioritas di jalan-jalan raya mereka. Mereka mengalami perjalanan yang panjang, usaha yang keras dan terus menerus, dorongan masyarakat yang tiada henti yang pada akhirnya menghasilkan kebijakan pemerintah yang cerdas dan solutif tanpa diskriminatif. Di Netherlands misalnya, ketika di tahun 1950-1960 jumlah pemilik mobil bertambah yang pada akhirnya meningkatkan jumlah orang yang tewas di jalan raya (lebih dari 3000 orang, 450 orang diantaranya anak-anak, di tahun 1971), masyarakat turun ke jalan meminta pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih baik, menyediakan infrastruktur yang lebih aman bagi pengguna jalan raya, khususnya pesepeda. Hasilnya bisa kita lihat sekarang. Meskipun secara persentase tingkat kesibukan bersepeda lebih tinggi dibanding infrastruktur bersepeda, kota-kota di Netherlands adalah "surga" bagi para pesepeda, sampai-sampai memakai helm pun tidak wajib disana karena mereka sangat percaya akan keamanan infrastruktur dan sistem lalu lintasnya. Ketika ditanyakan kepada mereka; "are you a cyclist?" mereka dengan bangga menjawab "No, I am just a dutch". Kesadaran yang tinggi dari pengendara kendaraan bermotor disana untuk menghormati pesepeda juga berangkat dari hal tersebut. Empati karena mereka pun pesepeda, orang tua, istri./suami, saudara, anak, dan teman-teman mereka juga pesepeda. Empati yang menghasilkan sesuatu yang mungkin membuat takjub ketika bahkan pejalan kaki pun harus menunggu pesepeda lewat sebelum menyeberang jalan.

Apakah Indonesia bisa seperti itu? Menjadi salah satu bike friendly country?. Bisa, apabila kesadaran berbagi hak di jalan raya sudah tumbuh di masyarakat kita. Bisa, apabila infrastruktur sudah siap dan tersedia dengan sempurna. Bisa, apabila kebijakan transportasi pemerintah dapat secara komprehensif membenahi permasalahan-permasalahan yang ada. Sangat bisa, ketika semua orang sudah sadar bahwa berbagi jalan adalah berbagi kehidupan, setiap orang di jalan memiliki orang-orang yang dicintai, dikasihi yang menunggu kehadiran mereka di rumah.

*tulisan ini juga dimuat di https://wordpress.com/post/ikoerba.wordpress.com/830

Bis Jemputan dan Perilaku Ekonomi

Kalau ilmuwan menggunakan laboratorium untuk melakukan pengamatan, percobaan dan pengambilan kesimpulan, ekonom ala-ala macam saya yang malas melakukan observasi ke daerah pedalaman Indonesia, cukup menjadikan populasi rombongan kereta (roker), sopir bajaj, dan sopir jemputan di stasiun Tanah Abang sebagai objek pengamatan, membandingkan dengan teori ekonomi yang samar-samar masih teringat, dan menarik kesimpulan ‘nyerempet’ motivasi ekonomi gitu. Supaya kelihatan ilmiah, saya membatasi lingkup populasi dengan roker PNS Kementerian yang berkantor di Lapangan Banteng Timur.

Ketertarikan saya untuk mengamati dimulai dari fonomena euphoria roker yang menuntut unit mereka bekerja menyediakan jemputan stasiun-kantor di pagi hari, dan sebaliknya di sore hari. Tercatat 5 eselon 1 yang pada mulanya mengadakan jemputan. Kadang, rekan se-Bajaj saya di luar eselon 1 tersebut berceletuk, “Sayang Setjen ga ada jemputan”, atau, “Andai saja DJA juga ada jemputan”. Pada akhirnya, jemputan 2 eselon 1 bubar, sementara saya kerap mendapat tawaran dari anggota 3 jemputan eselon 1 lainnya untuk ikut bergabung jadi peserta jemputan. Kalau saya jawab, “Ah, nanti saya menggusur hak pegawainya sendiri.” Jawabannya biasanya sama,”Ga juga, kok. Siapa aja yang datang duluan.”

Sebenarnya, perlu ga sih jemputan itu? Kenapa pada akhirnya jemputan ini mengalami kemunduran?

Konon, keputusan ekonomi  diambil berdasarkan motivasi para pelakunya, setelah mempertimbangkan manfaat dan biaya memperoleh manfaat tersebut. Masih ingat kan semboyan, dengan biaya seminimal mungkin memperoleh manfaat sebesar-besarnya? Manfaat maksimal setelah memperhitungkan biaya, kita sebut saja pay-off, yaitu tingkat kepuasan bagi seorang pelaku ekonomi.

Pay-off idaman bagi setiap roker adalah tiba di kantor paling lambat jam 7.30 dengan biaya minim, paling tinggi sebesar tarif jemputan, Rp5.000,00. Apalagi, ada yang benar-benar gratis. Sementara, pay-off bagi penjemput: penumpangnya penuh, mengantar tepat waktu, lebih maksimal lagi kalau ada tambahan uang saku paling tidak untuk membayar jatah preman di tempat tunggu stasiun tanah abang. Dengan kondisi seperti ini, terjadi kesepakatan -ekuilibrium, istilah kerennya- bis akan berangkat paling lambat pukul 7.10 dari stasiun tanah abang, dengan biaya Rp5.000,00 untuk 3 eselon 1. Sementara, 2 lainnya gratis dengan jadwal keberangkatan sama.

Kiranya, ekuilibrium ini tidak sustain, karena masih ada pay-off yang lebih tinggi bagi masing-masing peserta jemputan. Seperti misalnya, karena sering terjebak ‘bekerja nyaris jam pulang kantor’, sehingga pulang malam, atau aktivitas rumahan ibu-ibu yang padat sebelum berangkat kerja, jadi lebih memilih jadwal kereta yang lebih telat di pagi hari. Awalnya ada toleransi menunggu penumpang lain yang agak siang supaya fasilitas ini tetap dimanfaatkan secara optimal. Namun, perubahan komitmen ini, mengundang peserta lain untuk melakukan ‘penyimpangan’ juga demi mendapat pay-off maksimalnya. Menunggu late comer membuat mereka pulang lebih sore dengan ongkos lebih mahal dan terlambat bertemu keluarga. Mereka kemudian merubah tingkat kepuasannya kepada: sampai kantor maksimal jam 7.30, dengan biaya setidaknya Rp8.000,00 s.d Rp9.000,00 menggunakan bajaj bertiga dengan roker lainnya. Karena penumpang mempunyai tujuan sendiri-sendiri, jemputan jadi tidak optimal kan? Apalagi, sopir penjemput ada tugas lain yang menyebabkan kadang jemputan ada, kadang tidak.

Mau membahas arah sebaliknya, kantor-stasiun?? Dengan maraknya rapat dalam kantor yang mengharuskan pulang lewat waktu Isya, ST luar kantor, atau ‘tiba-tiba’ ada pekerjaan menjelang jam pulang, pemandangan apa yang bisa dibayangkan dari bis-bis jemputan ini? Malas saya kumat untuk menganalisis dengan hitung-hitungan pay-off. Hehe… Bis yang bertahan lama meski sebagian besar penumpangnya lowong, bisa jadi, hanya karena sang sopir memiliki kepuasan immateri berupa dedikasi atas pekerjaannya: mengantar pegawai-pegawai ini ke tujuan, berarti menjalanksn tugas dengan baik.

Di setiap kesepakatan, perlu konsistensi dari semua pihak yang terlibat untuk tidak menyimpang dari kesepakatan itu. Iming-iming ‘pay-off’ yang lebih menggiurkan untuk setiap roker, membuat ‘kebaikan hati’ instansi memfasilitasi pegawainya sampai kantor tepat waktu dengan ongkos seminim mungkin -secara mengejutkan- tidak menjadi pilihan pertama bagi pegawainya sendiri, gratis sekalipun. Padahal, menurut pengamatan ‘ala-ala’ saya, jemputan itu semacam ‘campur tangan’ pemerintah menekan laju permintaan akan jasa bajaj yang kalau begitu banyaknya, ditangkap sopir bajaj sebagai kesempatan menaikkan harga. Yang lebih prihatin lagi, operasional jemputan ini kan pakai uang negara, menyia-nyiakan fasilitas ini berarti menyiakan keringat pembayar pajak. Hallaahhh, berlebihan ya? Namanya juga ala-ala … 🌾