Debat Kusir: Seratus Hari

Alkisah,  pada hari minggu ku turut ayah ke kota. Naik delman istimewa ku duduk di muka. Ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja. Mengendarai kuda supaya baik jalannya. (boleh sambil nyanyi kok bacanya)

Ayah saat itu memilih duduk di belakang dengan posisi diagonal dengan pak kusir. Mungkin, supaya bisa menjagaku dari belakang dan gampang jika ingin ngobrol dengan pak kusir. Maklum, ayahku sedikit cerewet atau halusnya, suka ngobrol. Di manapun dan bagaimanapun, biasanya ayah akan mulai mengajak ngobrol siapa saja orang yang ada di dekatnya dengan tema apapun yang melintas di benaknya. Terutama kalau sudah sampai terdengar bunyi-bunyian alam sekitar, bunyi jangkrik misalnya.

Singkat cerita, setelah sorak sorai kegiranganku naik delman lenyap seiring "serak" nya tenggorokan, terdengar "tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk", suara sepatu kuda (yuk lanjut nyanyi lagi). Dengan sigap ayah menangkap pertanda, dan dengan cepat bertanya, "Gimana bang, kemarin baru aja seratus hari ni?"

"Innalilahi wa innailaihi rojiun...siapa yang meninggal pak?", pak kusir bertanya balik

"Ealah, bukan meninggal Pak, itu lho seratus hari Pak Manis jadi gubernur"

"Ooh, kirain...."
"Kalau yang itu mah males ngomonginnya Pak", pak kusir terlihat ogah-ogahan.

"kok gitu Pak?"

"ya gimana, ga ada yang bener Pak kebijakannya, apanya yang mau diomongin...bikin kesel aja bawaannya!" Nada bicara pak kusir mulai meninggi dan menggebu-gebu.

"ga ada yang bener gimana pak?", ayahku coba mengorek keterangan dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan pendek.

"coba bayangin Pak, pasar Tanah Mas yang dulu sama Pak Uhuk sudah ditata rapi, eh sekarang malah diobrak-abrik, pedagang malah disuruh jualan di tengah jalan!"

Pak kusir tampak mengambil nafas sejenak setelah sedikit terengah-engah akibat terlalu berapi-api.

"Sepanjang sejarah...mana ada Pak jalan tempat kendaraan bermotor ditutup, malah dipake buat orang jualan, edan gak tu?" Pak kusir melanjutkan.

"Ah, masa sih Pak?" "Bukannya tiap minggu jalan juga ditutup buat acara car free day, ada orang jualan jg tu kayanya?", Ayah mencoba mendebat.

"ehmm...tapi kan itu ga tiap hari Pak, beda lah"

"Tanah Mas juga ga ditutup sepanjang hari Pak, jam enam sore jalanan uda buat kendaraan lagi, berarti ga masalah dong?"

Sebelum pak kusir memberikan argumennya, ayah melanjutkan pertanyaannya, "Bapak juga ga pernah liat ada jalan yang ditutup untuk pasar kaget, buat kondangan, buat sunatan?"

"Ya tetep beda Pak, yang penting ga setiap hari!"

"Manfaatnya banyak lho Pak jalan ditutup itu, trotoar jadi bersih dari pedagang, pejalan kaki jadi enak deh jalannya", timpal ayahku berusaha meyakinkan.

"Tetep aja Pak melanggar fungsi jalan yang sesungguhnya!"
Pak kusir tetep keukeuh dengan pendapatnya

"Tapi Bapak tau gak, sebenernya kebijakan penutupan jalan di pasar Tanah Mas untuk PKL itu ide nya Pak Uhuk lho....cuma Pak Uhuk diganti, jadi Pak Manis deh yang eksekusi"

"haah, gitu ya? baru tau saya"

Sejenak keadaan menjadi hening, hingga akhirnya Pak Kusir berkata, "Tapi memang kalau dipikir pelan-pelan lagi, dihayati lebih dalam lagi, penutupan jalan untuk PKL di Tanah Mas itu bentuk inovasi ya Pak, terobosan baru"

Seketika ayah mengernyitkan dahi dan mencoba memperjelas, "maksudnya gimana Pak?"

"Iya Pak, ide penutupan jalan untuk PKL dari Pak Uhuk itu inovatif sekali ya Pak, kreatif idenya"

"Lho, tadi kata Bapak itu kebijakan edan?"

"Ya kan saya baru tahu kalau itu sebenarnya ide Pak Uhuk"

"ngomong-ngomong, Bapak ini tahu banyak informasi ya, emang Bapak pengamat politik ya?", pak kusir balik bertanya ke ayahku.

"Ah, Bapak bisa aja, bukan...saya sih sebenernya kusir juga kaya Bapak"

"Lah, terus kenapa ga narik Pak? malah naik delman saya?"

"kuda saya hari ini minta libur, mau belanja ke pasar Tanah Mas katanya, ini kan kita mau ke sana jemput dia"

"?!#@?"


*aku, ayah, pak kusir dan segala tokoh yang dibicarakannya adalah karangan dan fiktif belaka. Kalau ada kemiripan atau kesamaan cerita dan kejadian.....berarti anda sudah mulai sadar.









Nasibmu, Rokayah


Adun menghitung uang yang dihasilkannya dari naik ojek siang tadi. Setelah dihitung-hitung jumlahnya lumayan banyak. Dua ratus delapan puluh ribu terkumpul dari pagi sampai sore hari. Kebetulan siang ini ada orang yang minta diantar ke Blok M dari Depok. Lumayan seratus ribu sekali jalan. Orang itu juga minta Adun menunggunya untuk diantar kembali ke Depok.
"Wah Lu dapet banyak, Dun. Cepet kaya Lu. Gue baru dapet cepek sedari tadi narik," ujar Kasmin sesama tukang ojek yang biasa mangkal di jalan Kecapi sambil nyengir.                  
"Pan Lu udah Gua kasih tau, Lu daftar ojol. Biar ningkat penghasilan Lu," balas Adun.
"Males Gua, susah make hape nye. Mending Gua gini aja deh. Yang penting dapur tetep ngebul, bini Gua nggak nyap-nyap,"
"Ya udah, kalo Lu maunya gitu. Lu jangan iri kalo Gua dapet lebih gede dari Elu," Adun memasukkan uang ke dalam sakunya.
"Gua pulang dulu," ujar Adun sambil tancap gas.
Kasmin melongo melihat Adun yang ngacir tanpa memberi kesempatan kepada Kasmin untuk membalas ucapannya.
******
Sesampai di rumahnya, Adun langsung menuju dapur mencari makanan. Di meja kecil rumah kontrakan petaknya tersedia satu bakul nasi, ikan asin dan tempe goreng. Tak ketinggalan sambal terasi yang selalu terhidang setiap harinya. Adun mengambil piring dan mengambil nasi sampai piringnya penuh. Rokayah, istri Adun mengambilkan air minum dan duduk disamping Adun.
Sambil mengangkat satu kakinya, Adun makan dengan lahap. Adun belum sempat makan ketika narik tadi.
“Bang, si Pakih pengen ikut piknik di sekolah ke Sawangan,” Rokayah membuka percakapan. Adun terus makan tanpa membalas perkataan Rokayah.
“Biayanya lima puluh ribu, Bang. Duit Saya udah abis. Malu mau minjem ke Bu Nana, malu. Udah keseringan minjem. Yang bulan kemarenan aja belum dibalikin,” sambung Rokayah.
Untuk membantu suaminya, Rokayah menjadi buruh cuci di rumah tetangganya. Upah dari menjadi buruh cuci itu lumayan buat menambah belanja sehari-hari dan uang jajan Pakih, yang baru kelas tiga SD.
“Kita juga harus mikirin nih, gimana Saya lahiran nanti. Situ udah ngumpulin uang kan? Tanya Rokayah.
“Lu, bini macam apa. Suami pulang bukannya disambut malah dikasih masalah. Gua mau nyelesaiin makan dulu baru kita omongin soal itu,” ujar Adun sambil menyendok nasi ke dalam piringnya. Rokayah cemberut mendengar ucapan suaminya.
Rokayah bangkit dari duduknya dengan susah payah karena perutnya yang sudah mulai membesar. Rokayah berjalan keluar dari rumahnya.
“Jangan lupa diri, Bang. Sisain buat si Pakih,” ujar Rokayah kesal.
“Nih, hasil Gua narik hari ini,” Adun menyerahkan lima lembar uang dua puluh ribuan kepada Rokayah.
“Lu bayar uang piknik si Pakih. Besok masak ayam. Masak makannya ikan asin melulu, bosen Gua. Kalo ada sisanya lagi ditabung buat biaya Lu ngelahirin,” Adun berjalan ke kamar. Tak berapa lama, Rokayah mendengar suara suaminya ngorok.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikum salam,” balas Rokayah.
“Eh anak Emak udah pulang,” dengan sigap Rokayah mengambil tas dari punggungnya Pakih, anaknya. Rokayah mengambil sepatu Pakih dan disimpannya di belakang. Rokayah takut sepatu si Pakih ada yang ngambil. Sepatu itu sepatu bermerk, pemberian Bu Nana karena anaknya sudah bosan dengan sepatu itu.
“Mak, Pakih lapar,”
“Makanlah, Nak!” jawab Rokayah.
“Pakih bosen, Mak. Makannya ikan asin sama goreng tempe melulu,”
“Terus Pakih maunya makan apa?” tanya Rokayah lembut.
“Ayam Ka Ap Ce, kayak temen-temen Pakih,” Rokayah terdiam. Otaknya mulai menghitung-hitung uang pemberian suaminya tadi. Kayaknya nggak akan cukup kalau harus beli ayam buat Pakih.
“Kih, besok aja ya Emak masakin ayam enak,” bujuk Rokayah.
“Nggak mau, Pakih pengen sekarang, Mak. Sekali aja Pakih nyobain rasanya gimana sih ayam Ka Ep Ce itu,”
“Kalo ayamnya beli di Kang Pardi gimana? Beli ayamnya aja, nggak usah pake nasi. Nasinya dari sini. Sama aja kan Ka Ep Ce, Kang Pardi Chicken,” Rokayah mencoba membujuk Pakih.
“Iya Mak, Pakih mau. Kalo di Kang Pardi biar Pakih yang beli. Mana uangnya?”
Rokayah menyerahkan selembar dua puluh ribu kepada Pakih.
“Beli dua ya, kembaliannya buat jajan kamu besok, Nak,”
“Terima kasih Emak Pakih yang paling baik sedunia,” dengan riang Pakih berlari ke luar rumah menuju gerobak Kang Pardi yang mangkal di pinggir jalan kompleks Dahlia.
Rokayah tersenyum melihat keceriaan Pakih. Hatinya bahagia melihat Pakih tumbuh menjadi anak yang santun dan termasuk pintar di kelas. Namun, di sisi lain Rokayah merasa sedih karena kemungkinan Pakih bersekolah tinggi sesuai dengan harapannya selama ini, belum tentu terwujud. Penghasilan suaminya tak menentu menghalangi Rokayah untuk memberikan yang terbaik untuk Pakih. Upahnya dari mencuci di rumah Bu Nana sebagian besar habis buat bayar kontrakan dan listrik. Rokayah hanya berharap Pakih menjadi anak yang berprestasi sehingga bisa mendapatkan beasiswa nantinya.
*****
“Digoyang mang,” suara melengking penyanyi dangdut bergema. Sambil bergoyang kiri kanan, penyanyi dangdut terus memberi semangat kepada para lelaki yang berjoget dibawah panggung.
“Bang Adun, mana sawerannya? Neng Talitha siap kok menerima,” celoteh Anah di panggung.
Talitha adalah nama panggung Anah, tetangga Adun yang berprofesi sebagai sebagai penyanyi dangdut di kampung Salak. Bayaran sekali manggung dari bosnya di Orkes Cahaya hanya cukup untuk membeli bedaknya saja. Anah mengharapkan saweran dari para pengunjung yang datang.
Sambil menggoyangkan badannya, Adun naik ke atas panggung. Dikeluarkannya uang kertas dari sakunya dan dibentuk menjadi kipas. Satu per satu diserahkannya kepada penyanyi yang berjoget bersamanya. Si penyanyi tambah bersemangat meliuk-liukkan badannya.
“Depok digoyang. Bang Adun yang paling ganteng, jangan ragu nyawer!” suara Anah genit merayu.
Adun mengeluarkan semua uang dari sakunya celananya. Satu per satu diberikannya kepada Anah. Malam itu, Adun larut dalam goyangan dangdut Anah.
“Aduuuuun....!” tiba-tiba terdengar suara perempuan tua berteriak.
Perempuan tua itu menyingsingkan kain bawahan bajunya dan menaiki panggung. Dijewernya telinga Adun dengan keras. Adun meringis kesakitan.
“Sakit, Mak!” teriak Adun.
Suara musik dangdut langsung terhenti.
“Noh, bini Lu kesakitan di rumah. Kayaknya mau ngelahirin. Bawa ke Puskesmas. Mak Kiyoh udah nggak sanggup!”
“Mak, waktu si Pakih dilahirin juga kagak kenape-kenape,” balas Adun.
“Liat dulu bini Lu, sebelum Lu nyesel,” Adun diseret perempuan tua itu.
"Rokayah, nasib Lu sial banget ketemu si Adun," perempuan tua itu menggerutu sambil terus menyeret Adun seperti ketika dia menyeret Adun kecil dulu.
“Bang Toyib..Bang Toyib kenapa kok nggak pulang-pulang,” suara Anah ditimpali musik keras lamat-lamat terdengar.
*****
Depok, 22 Januari 2018

Bijaksana-bijaksini

Rabu, 17 januari 2018 kemarin seorang kawan, abang, dan juga senior yang sedang menyelesaikan disertasi doktornya mengatakan kepada saya dan beberapa kawan lainnya, “Sam, makanya kuliah doktor, kalau ilmunya ga banyak nambah tapi ada satu yang gue rasa gue dapet di situ. Wisdom, gw ngerasa betul gw berubah....”. Kurang-lebih begitu ujarnya, kali ini saya tidak bisa mengutip kata-perkata karena keterbatasan ingatan. Di hari Rabu seminggu sebelumnya seorang kawan, “pak dosen”, mas, dan juga senior yang pergi meninggalkan unit kerja kami untuk mengabdi menjadi Widyaiswara guna membagi ilmunya lebih luas lagi memberikan kata perpisahan di WAG bukannotadinas, begini katanya “Terimakasih semuanya, semangat tetap menulis untuk kebaikan hidup: minimal buat diri kita, atau yang paling minimalis, buat kewarasan pikiran kita. Karena dalam tulisan itu, kita bisa protes, ngedumel, bahkan 'misuh'. Ini pengalaman, bukan arahan, bukan pula pengajaran. Ojok1 dikomentari.” Sedangkan tadi pagi seorang kawan, mas, dan juga senior bercerita tentang seorang bos yang “sudah” Doktor yang mengeluhkan tingkat kedisiplinan pegawai dalam kerapihan berpakaian padahal yang bersangkutan selalu terlihat dengan kemeja yang dikeluarkan di hari-hari tertentu di setiap minggu. Yang terakhir ini mengingatkan saya akan nasihat almarhum tulang2 saya ketika liburan Natal-Tahun Baru ketika masih SD di rumah opung3 di Medan, “Kalian jangan merokok dan main kartu ya!” katanya kepada kami bere-bere4nya sambil mengebulkan asap dari rokok dua tiga empatnya dan beliau sedang istirahat ke toilet dalam permainan kartunya.

Wisdom, menurut The Oxford English Dictionary artinya "Capacity of judging rightly in matters relating to life and conduct; soundness of judgement in the choice of means and ends; sometimes, less strictly, sound sense, esp. in practical affairs: opp. to folly”. Terjemahan bebasnya kurang-lebih menjadi "Kemampuan untuk menilai dengan benar dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan dan perilaku; kebijakan dalam menilai pilihan mengenai sarana dan tujuan; kadang-kadang tidak terlalu kaku, masuk akal, terutama dalam hal-hal praktis: lawan dari kebodohan”. Menurut KBBI daring maka Bijaksanaan artinya adalah “selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran; 2 pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya”. Keduanya kurang lebih memberikan penjelasan yang sama mengertai kata “Wisdom” atau “Bijaksana” yaitu kemampuan menilai dengan benar dalam menghadapi sesuatu hal.

Merangkum ketiga ucapan kawan-kawan di atas, saya mencoba menuangkannya dalam satu tulisan. Pertama-tama, saya “agak” pusing menggabungkan dua informasi bahwa dengan menjadi Doktor maka saya akan menjadi lebih bijak di mana selang beberapa hari ada seorang Doktor yang menurut kawan saya (dan saya sependapat dengannya) kurang bijaksana dalam penilaiannya dan tuntutannya kepada bawahannya. Kedua, karena saya “agak” pusing maka saya menulis, karena katanya pak dosen “minimal buat kewarasan pikiran kita”. Saya pribadi masih suka terbawa emosi dalam bersikap, sepertinya juga kurang bisa menahan diri untuk tidak menegur atau tidak menjawab hal-hal yang tidak sesuai penilaian saya, walau sekarang saya sudah punya kriteria baru untuk menjawab suatu pernyataan, yaitu “tidak usah ditanggapi”. Tiba-tiba timbul pertanyaan baru di kepala “kapan saya bisa bijaksana ya?”.

Setelahnya muncul pula pertanyaan. Apakah yang sebenernya kita butuhkan untuk menjadi bijaksana? Apakah pendidikan tinggi? Apakah pengalaman yang banyak? Atau apa? Mengapa seseorang bisa dikatakan “bijaksana” dan orang lain tidak padahal sekolahnya sama tinggi dan pengalamannya kurang-lebih sama banyaknya, mungkin juga usianya sama tuanya. Keputusan atau sikap yang diambil sendiri menjadi pertanyaan lanjutan, Benar dari sisi mana? Baik buat siapa? Arti kata “kebijakan/ kebijaksanaan” dalam lingkup pekerjaan dan keseharian buat saya sendiri sepertinya sudah berubah, kalau dulu menurut pengamatan saya setiap “kebijakan” yang dikeluarkan seorang pejabat adalah untuk memecahkan permasalahan yang tidak atau belum ada aturannya, terakhir-terakhir saya malah melihatnya sebagai sebuah “pembenaran atas pelanggaran atau pembengkokan aturan”. Kalimat “mohon kebijaksanaannya” sering keluar ketika seseorang meminta dispensasi atas pelanggaran yang akan atau sudah dia lakukan.

Hufh, "banyak" banget sih pengertian dan turunan dari kata wisdom atau bijaksana dan saya kok malah makin pusing. "Hmmm, sepertinya saya butuh daftar diklat ke gadog nih buat minta penjelasan ke pak dosen sambil ditraktir di warung kopi yang katanya baru buka bersamaan dengan beliau bertugas di gadog."

  • Ojok1: jangan (Jawa Timuran)
  • Tulang2: paman dari pihak ibu (Batak);
  • Opung3: kakek/ nenek (Batak);
  • Bere-bere4: ponakan(jamak) (Batak).
  • kbbi.web.id
  • en.wikipedia.org

SBN dan Utang Pemerintah

Indonesia memberikan batasan/ capping utangnya. Selain defisit yang tidak boleh di atas 3 persen dari PDB, rasio utang per PDB juga dijaga di bawah 30%. Selain batasan tersebut, berbagai indikator profil portofolio utang juga dimonitor, misalnya variable rate ratio (rasio utang yang tingkat bunganya tidak tetap terhadap total utang) dan refixing rate[1], average time to maturity (waktu rata-rata tertimbang jatuh tempo utang), dan proporsi utang valas dibanding rupiah. Ini terkait dengan adanya risiko tingkat bunga, risiko membayar kembali (refinancing), dan risiko mata uang. 

Porsi Surat Berharga Negara (SBN) dalam total utang Pemerintah sekitar 80%. Artinya, 20% lagi berupa pinjaman dalam dan luar negeri, dengan dominan pinjaman luar negeri (sekitar 18,9% dari total utang). Dari proporsi tersebut, porsi utang dalam valas ternyata lebih banyak dalam bentuk SBN (SBN valas) dibandingkan dalam bentuk instrumen pinjaman luar negeri. Per September 2017, porsi utang SBN valas mencapai 22% dari total utang. Utang dalam bentuk valas masih diperlukan untuk komplemen utang dalam rupiah (tidak mengandalkan pasar SBN domestik saja) serta sebagai cadangan devisa. 


Penerbitan SBN idealnya sesuai dengan kebutuhan defisit berjalan dalam pelaksanaan APBN. Artinya, SBN diterbitkan sebesar X pada suatu “timing” ketika kebutuhan APBN sebesar X pula. Dengan begini, tidak ada SILPA (sisa lebih pembiayaan anggaran). Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. SBN dijual kepada investor dengan tidak lepas dari pengaruh kondisi perekonomian dan pasar SBN. Tidak sepanjang tahun kondisi pasar stabil dan ideal untuk penerbitan. Oleh sebab itu, Pemerintah berusaha mencari waktu dan jadwal yang pas untuk penerbitan. Pada tahun 2017 kemarin, penerbitan SBN sudah lebih mempertimbangkan cash management sehingga tidak “jomplang” terbit di awal tahun. Penerbitan memang masih menggunakan strategi front loading atau lebih banyak dalam semester pertama, namun juga lebih mempertimbangkan kondisi kebutuhan kas negara. 


Prefunding SBN juga masih dilakukan. Prefunding ini bermakna, SBN diterbitkan pada kuartal IV tahun sebelumnya untuk pelaksanaan APBN tahun ini. SBN yang digunakan untuk prefunding biasanya SBN dalam bentuk valas. Pemerintah melakukan ini awalnya untuk membiayai kebutuhan kas di awal tahun anggaran. Yakni, pada awal tahun anggaran biasanya pendapatan, misalnya dari pajak, belum masuk, sehingga dengan tersedianya kas dari prefunding SBN, APBN dapat berjalan lancar dan “cepat”. Cepat di sini bermakna, kebutuhan belanja negara termasuk apabila ada kebutuhan mendesak untuk infrastruktur bisa segera dimulai tanpa terkendala persoalan kas. Namun, prefunding SBN sebetulnya bisa bermakna lebih dari itu. Prefunding dengan waktu yang pas juga dapat menjadi momentum yang tepat untuk menerbitkan SBN dengan harga yang baik bagi Pemerintah. Sebab, yield SBN juga kerap menjadi sorotan. Oleh sebab itu, Pemerintah mencari kapan waktu yang pas untuk mendapat yield yang relatif rendah dengan permintaan SBN yang tetap besar, meskipun hal tersebut tidak terbatas pada SBN prefunding namun berlaku juga untuk semua penerbitan SBN lain. 


SBN juga digunakan dalam operasi moneter Bank Indonesia. BI memiliki Surat Utang Negara (SUN) yang digunakan dalam repo (repurchase agreement). Repo ini berarti bahwa BI menjual SUN kepada perbankan dan akan dibeli dalam jangka waktu tertentu. Repo dilakukan dalam rangka kontraksi moneter dengan mekanisme lelang dan suku bunga yang diberikan di bawah suku bunga BI/ BI rate. Suku bunga inilah yang dinamakan 7-day (reverse) repo rate yang baru berlaku Agustus 2016 lalu. Suku bunga yang baru ini lebih cepat dalam mempengaruhi pasar uang, perbankan dan sektor riil.  



Referensi:
djppr.kemenkeu.go.id
bi.go.id



[1] Refixing mengukur porsi utang yang memiliki eksposur terhadap perubahan suku bunga dalam satu tahun, yang terdiri dari porsi utang dengan suku bunga variabel dan utang dengan suku bunga tetap yang akan jatuh tempo dalam satu tahun.

Terungkap, Siapa Bang Bujet Sebenarnya

"Bang Bujet ini siapa sih?" Jika muncul pertanyaan seperti ini, penulis selalu menghindar, paling banter tersenyum. "Alah...pasti kamu!" Tuduhan teman atau rekan ini tidak penulis iyakan atau tolak.
Untuk diketahui, Bang Bujet merupakan tokoh utama dalam serial kartun strip berjudul Bang Bujet & Pren di majalah Warta Anggaran, terbitan Ditjen Anggaran, antara tahun 2009-2015. Kartun strip ini selalu menghiasi halaman paling belakang dari majalah tersebut. Keberadaan kartun strip pada dasarnya adalah untuk menertawakan diri sendiri. Menurut orang bijak, orang yang bisa menertawakan diri sendiri itu maqom-nya sangat tinggi dari sisi keluasan jiwanya. Dunia memang tidak sempurna.

Kartun strip ini penulis buat berdasarkan pengalamana nyata maupun ide-ide liar yang tidak mungkin dibuatkan dalam bentuk tulis. Pengalaman tersebut tidak selamanya dari pengalaman pribadi tapi bisa juga berasal dari kejadian yang menimpa rekan atau teman. Tema yang diceritakan mencakup kehidupan sehari-hari PNS yang bergelut di bidang penganggaran. Ada yang berkaitan dengan penerapan konsep penganggaran dan cara menyikapinya. Ada juga yang berkaitan dengan permasalahan sehari-hari seperti mengejar absensi. Bahkan ada juga yang menceritakan suka-duka hubungan atasan dan bawahan. Tentu saja, tulisan ini tidak akan mengulas mengenai apa saja yang telah diceritakan tetapi bercerita mengenai bagaimana awal mula serial kartun tersebut terbit.
Melongok lorong waktu kalau bisa, cerita Bang Bujet & Pren masih menyisakan pertanyaan: mewakili karakter siapa saja gambar kartun tersebut. Mungkin tidak banyak yang mengenal Bang Bujet apabila tidak membaca majalah Warta Anggaran. Namun sabar sebentar, sebelum membahas karakater kartun Bang Bujet, perlu saya menceritakan mengenai situasi-kondisi pada saat itu. Karakter ini (menurut saya) sangat pas muncul sesuai dengan masa DJA pada saat itu (2008).
Munculnya Bang Bujet anggaran tidak terlepas dari berdirinya Direktorat sistem penganggaran di penghujung tahun 2007. Direktorat ini mempunyai Tusi yang mengatur mengenai sistem penganggaran, mulai dari pendapatan Negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran (cita-citanya). Fakta yang ada sekarang, Direktorat sistem penganggaran hanya mengatur mengenai anggaran belanja pemerintah pusat saja: meliputi anggaran kementerian negara/lembaga dan bagian anggaran bendaharawan umum negara (BA BUN). Sedangkan mengenai pendapatan (khususnya PNBP) belum dijamah. Begitu juga mengenai pembiayaan anggaran.
Kebetulan penulis merupakan salah satu generasi pertama yang ikut mengisi Direktorat Sistem Penganggaran, khususnya Subdit Sistem Penganggaran di awal berdirinya. Karena direktorat baru, semuanya tugas dikerjakan secara keroyokan antarsubdirektorat. Semuanya pekerjaan selalu dikoordinasikan. Wajar, apa yang dilakukan oleh Subdit Sistem Penganggaran akan menjadi awal pekerjaan subdirektorat lainnya (Subdit Standar Biaya, Subdit Evaluasi Kinerja Penganggaran, dan Subdit Teknologi Informasi Penganggaran). Karena pada masa itu, isu-isu yang dikerjakan oleh Direktorat Sistem Penganggaran merupakan hal baru. Oleh karena itu, semua pegawai di dalamnya ikut terlibat dalam diskusi dan mengetahui isu-isu permasalahan penganggaran.
Begitu banyak permasalahan yang harus diatur oleh sistem penganggaran memicu ide untuk membuat persoalan serius tersebut menjadi lebih cair. Yang jelas tidak melalui tulisan karena bisa menimbulkan pro-kontra tetapi melalui media gambar kartun. Kebetulan penulis menyukai dunia gambar-menggambar, termasuk kartun. Sedikit info, bukan untuk sombong, tapi bolehlah  sedikit narsis, penulis pernah aktif ngartun dari tahun 1993 sampai dengan akhir 1995. Kartun paling fenomenal yang pernah dibuat penulis dimuat di Tabloid Bola.
Nah, ide ngartun sudah ada. Pertanyaan berikutnya adalah siapa tokoh dan bagaimana karakter kartun tersebut. Untuk diketahui, kartun strip yang biasa penulis kirim ke media massa tidak perlu nama maupun karakter. Asal ada ceritanya dan akhirnya lucu, itu sudah cukup. Dalam konteks Bang Bujet ini, penulis menemukan pada sosok karakter tidak jauh, lebih tepatnya di samping kanan dan kiri meja penulis.
Saya memperhatikan kawan di samping kanan-kiri mempunyai karakter unik dan menarik. Di samping kiri meja penulis, duduk seorang rekan yang mempunyai visi mengatur sistem penganggaran sangat jauh, ngedab-ngedabi. DJA merupakan institusi yang mengatur penganggaran pemerintah tidak hanya di pusat tetapi daerah, itulah visi dan pandangannya mengenai DJA. Sementara itu, rekan yang duduk di sebelah kanan mempunyai kemampuan tidak kalah saktinya. Beliau mempunyai kemampuan menjelaskan anggaran pemerintah secara makro dan ekonomi global. Dan kemampuannya ini diimbangi dengan humor joroknya. Pokoknya unik, pas mantab.
Nama rekan yang duduk di samping kiri tersebut adalah Walidi almarhum. Terakhir jabatannya adalah Kepala Seksi Riset Standar Biaya. Wajah dan penampilannya sederhana tetapi pemikirannya tidak sesederhana casing-nya. Pikirannya bisa melenting 2-3 tombak ke depan (meminjam kalimat pengarang Khopingho dalam cerita silatnya). Salah satu pemikiran yang masih dikenang penulis adalah sistem penganggaran utuh diatur oleh DJA (meliputi pendapatan negara, belanja Negara, dan pembiayaan anggaran) mencakup pusat dan daerah. Jadi, DJA c.q. Direktorat Sistem Penganggaran tidak hanya fokus mengatur anggaran belanja pemerintah pusat saja. Mungkin suatu saat akan terwujud ide ini.
Benar, Mas Walidi, panggilan akrab penulis, merupakan penggambaran karakter Bang Bujet sebenarnya. Dalam penggambaran sosok atau karakter Bang Bujet, mungkin saja ada ketidakcocokan atau malah bertentangan dengan gambaran bagi yang melihat dan membaca kartun strip tersebut dengan pribadi Mas Walidi yang aseli. Jadi dalam tulisan ini, saya meminta maaf karena ini adalah perspektif atau sudut pandang penulis dan menjadikannya sebagai karakter dalam kartun strip.
Dalan kartun strip tersebut, Bang Bujet merupakan tokoh utama. Sebagai tokoh utama, Bang Bujet selalu ditemani oleh sahabatnya yang dipanggil Pren (diambil dari kata friend tapi di-Indonesia-kan). Penulis tidak akan mengutarakan secara jelas, karakter Pren ini. Pembaca boleh menebak dari karakter maupun dari gambarnya. Biarlah itu menjadi rahasia penulis. Mungkin ada yang menuduh penulis, “Paling penulis khawatir dimintai royalty.” He..he..pikir sendiri.  
Tulisan ini adalah pertanggungjawaban moral pembuat karikatur Bang Bujet & Pren yang tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Juga, tulisan ini merupakan kenangan kepada Mas Walidi almarhum, semoga dedikasinya untuk DJA mendapat tempat yang semestinya. Selamat jalan Mas Walidi. Tidak seperti film-film Hollywood atau novel thriller yang diakhir cerintanya ada tulisan to be continued alias bersambung, penulis pastikan bahwa Bang Bujet & Pren tidak akan muncul lagi.
Catatan:

  • Ngedab-ngedabi  (bahasa Jawa) = kemampuannya di atas rata-rata, sakti
  •  Maqom (bahasa Arab) = tempt kedudukan
  • Tulisan ini untuk mengenang Mas Walidi almarhum sebagai rekan yang asyik diajak berdiskusi.

Merebut Hidup

Suasana sekitar stasiun kereta saat itu agak temaram. Matahari masih enggan menampakkan diri ke bumi. Dingin menyelimuti pagi hari yang sibuk di kota Depok. Banyak orang bergegas mengejar kereta di pagi hari.
   Suara pedagang sayur yang berteriak menjajakan dagangannya bersahutan dengan suara pengumuman posisi kereta. Ditambah suara nyanyian dari speaker orang yang meminta sumbangan menambah keriuhan pagi di stasiun kereta pagi ini.
                Sekelompok orang sedang berdiskusi di jalanan menuju ke peron stasiun. Sepertinya sedang ada konferensi yang akan membahas masalah penting diantara mereka.
     "Mak Konah, kenapa sekarang Emak males banget keliling. Pemasukan sedikit sekali," ujar seorang lelaki yang sepertinya pimpinan dalam pertemuan itu.
     "Yah, gimana nggak kurang jang Kemod. Si Sayem ngerebut lahan saya," ujar Konah dengan lesu sambil mengusap wajahnya dengan kain yang dipegangnya.
     Penampilan Konah sangat khas. Berpakaian kebaya dan kain lusuh. Konah menggunakan dua macam selendang. Selendang pertama untuk menutupi kepalanya, sedangkan selendang yang kedua untuk menggendong mangkok dari bahan kaleng dengan posisi menyamping.
“Kadang juga, kaki Emak sakit kalau sudah jalan jauh,” sambung Konah.
“Emak Konah banyak alasan ah. Kemod nggak mau tahu, situ harus dapet lebih dari biasanya. Nggak tahu gimana caranya pokoknya setoran harus naik. Paling kurang nggak beda ama setoran sebelumnya. Kalau masih kurang, Kemod pulangin Mak Konah ke kampung!” Kemod mengultimatum Mak Konah.
“Kasih keringanan dikitlah, Jang,” Konah berusaha menawar.
“Nggak ada!” balas Kemod dengan suara keras.
“Yang lain, jangan seperti Mak Konah ya. Jangan  malas. Jangan sampai tempat mangkal direbut orang lain!” ujar Kemod kepada peserta konferensi lainnya.
“Siap!” jawab peserta konferensi lainnya.
“Sekarang kalian semua gerak cepat, biar nggak keduluan kelompok lain!” Semua peserta bangkit dari duduknya meninggalkan Kemod.
Konah perlahan bangkit. Dengan tertatih-tatih, Konah berjalan ke arah yang berlawanan dengan anggota kelompok yang lain. Dengan memasang muka memelas Konah mulai menjalankan tugasnya dengan harapan hari ini dia akan mendapatkan hasil yang banyak.
Beberapa orang yang melintas di depannya melemparkan koin kedalam mangkok kaleng yang disimpan didepan Konah duduk. Banyak punya orang yang berlalu tergesa-gesa tanpa menoleh ke arah Konah duduk.
Satu demi satu , Konah kumpulkan koin yang dilemparkan ke mangkuknya. Konah memasukkan koin-koin itu kedalam plastik yang selalu diikat di ujung selendangnya. Kadangkala ada juga orang yang bermurah hati memberinya uang kertas.
Kalau lagi untung, penghasilan Konah sehari lumayan banyak juga, walau setengahnya harus dibaginya dengan Kemod dengan dalih uang keamanan. Padahal tak pernah sekalipun Konah merasa dilindungi oleh Kemod ketika harus berkonflik dengan orang lain.
“Heh, minggat dari sini!” terdengar suara Sayem sambil menendang mangkuk kaleng milik Konah.
“Kurang ajar, kamu. Ini kan tempat Saya. Ngapain Kamu ngusir Saya?” Konah berdiri dari duduknya dan bertolak pinggang di hadapan Sayem.
“Berani ya Kamu sama Saya,” mata Sayem melotot ke arah Konah.
“Saya nggak takut sama orang yang suka merebut lapak orang lain,” Konah lantang menantang Sayem.
Sayem menarik selendang yang menutupi kepala Konah. Konah pun membalasnya, sehingga terjadilah perkelahian antara Sayem dan Konah. Dalam waktu singkat teman-teman dari yang berkelahi berkerumun dan memberi semangat kepada kedua orang tersebut. Orang-orang yang lalu lalang di sekitar stasiun hanya menoleh sebentar, kemudian kembali bergegas menuju stasiun kereta.
******
    Di sudut stasiun yang lain, seperti biasanya pagi ini, bergegas menuju stasiun kereta untuk mengejar kereta balik yang berangkat dari stasiun Depok jurusan Jakarta Kota.
Kaki Hani lincah setengah berlari di jalanan yang dipenuhi mobil yang diparkirkan pemiliknya di jalanan. Para pedagang kaki lima tidak memberi ruang kepada Hani untuk menggunakan haknya berjalan di trotoar. Walaupun mereka belum membuka lapaknya, gerobak-gerobak mereka parkir dengan tenang memenuhi sepanjang trotoar di depan stasiun.
     Hanya gerutu dalam hati yang bisa Hani lakukan setiap hari melewati jalan di sekitar stasiun kereta. Hani malas berdemo menuntut haknya sebagai pejalan kaki.
     Langkah Hani terhenti melihat dua orang nenek berkelahi dengan hebatnya. Selain saling jambak rambut, kedua nenek itu saling berbalas kata umpatan.
“Pak, dipisahkan dong!” ujar Hani kepada seorang Bapak yang sedang menonton perkelahian itu.
“Biarin aja, neng. Nanti juga berhenti sendiri, hehehe,” jawab Bapak tersebut sekenanya.
Hani panik dan berlari menuju Satpam yang berjaga diluar peron.
                “Tolong, pak. Ada nenek-nenek berkelahi,”
   Tanggapan Satpam diluar dugaan Hani.
“Sudah biasa, Mbak. Mereka sedang berebut penghidupan. Biarin aja. Ada ketuanya masing-masing kok” ujar pak Satpam sambil tersenyum.
     Hani hanya terdiam dan berlalu dari hadapan Satpam dengan perasaan bingung.
     "Hidup terkadang penuh dengan kejutan," hanya kalimat itu yang bisa Hani katakan dengan pelan sambil terus melangkahkan kakinya menuju peron.

Stasiun Depok Baru, 3 Januari 2018

Penjual Tali Ingin Naik Haji

Setiap insan tidak mengetahui apa yang akan terjadi di dalam kehidupannya dimasa mendatang. Jangankan kejadian yang akan terjadi di hari esok, satu detik kedepan saja kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Tugas kita hanyalah menjalani kehidupan ini dengan baik sesuai dengan fitrahnya.


Di momen pergantian tahun dari tahun 2017 ke tahun 2018 ini, saya membaca sebuah tulisan dari grup whatsapp pengajian, dimana isi tulisan tersebut membuat kelopak mata saya tidak sanggup menahan air mata setelah membacanya. Isi tulisan tersebut menceritakan tentang kisah perjalanan dipenghujung kehidupan Almarhum Bapak Fulan ~ salah satu jama’ah pengajian ~ yang menurut saya pribadi sangat mulia dan layak untuk dijadikan teladan.


Singkat cerita, Almarhum merupakan salah satu jama’ah pengajian yang selalu berusaha untuk hadir di majelis ‘ilmu. Menukil dari yang disampaikan ketua pengajian, Bapak H. Taufik, “Ia datang sendiri dengan rasa ingin belajar agama yg begitu tinggi. Di usianya yang memang sudah tua, ia ingin mempersiapkan bekal untuk dibawa menghadap Illahi (Tuhan YME). Dengan tidak ada rasa malu, ia serius belajar membaca alqur'an dan memperbaiki kesempurnaan sholatnya. Setiap kali ia selesai sholat, ia mengambil alqur'an dan membacanya di salah satu pojok masjid. Mulanya ia terbata-bata, selang beberapa waktu ia mulai mampu membaca al qur’an dengan lancar. Begitu juga sholatnya, ia sering bertanya tentang sholat yang sebelumnya sering ia tinggalkan. Almarhum berusaha mengqodlo (mengganti sholat yang pernah ditinggalkan) di sela-sela tahajjudnya”.


Suatu hari, almarhum datang menemui ketua pengajian ~ Bapak H. Taufiq  ~, dan berkata, "Bang Haji, saya punya uang 20 juta, saya mau umroh, tolong bantu saya mendaftar umroh". Dengan rasa haru dan bangga, Pak H. Taufiq menyampaikan keinginan almarhum kepada Tuan Guru. Tuan Guru menyarankan untuk mendaftar haji saja, dengan harapan bisa berangkat haji bersama. Almarhum-pun menuruti saran Tuan Guru. Hari berikutnya,  almarhum saya antar mendaftar Haji di salah satu BankSyariah dan Kementerian Agama, lalu mendapatkan quota haji di tahun 2021”.


Suatu hari, almarhum bercerita tentang bagaimana ia bisa mengumpulkan uang untuk umroh/haji, hingga tabungannya mencapai 20 juta rupiah. Singkat cerita, almarhum selalu menyisihkan sebagian uang hasil jualan tali. Uang tersebut kemudian ia simpan di batang bambu di atas pintu rumah tanpa di ketahui istri dan anaknya. “Yang membuat saya terharu....” lanjut Pak H. Taufiq, “suatu hari, saat almarhum pulang dari berjualan tali, di pinggir jalan ada tumbuh pohon bayam liar. Ia pun memetiknya dan membawanya pulang untuk dimasak oleh istrinya. Almarhum berharap, uang masak hari itu bisa ia simpan lebih banyak ditabung. Subhanallah... begitu kuat keinginannya utk berUMROH...😥😥”.


“Setiap bulan” lanjut Pak H. Taufiq, “beliau slalu titip uang ke saya (500 ribu s.d. 800 ribu rupiah) untuk di tabung di rekening hajinya. Karena beliau tidak bisa baca tulis, jadi selalu dititipkan ke saya. Alhamdulillah sampai terakhir nilai tabungannya sudah cukup untuk melunasi sisa ONH (ongkos naik haji), dan membuat acara Walimatussafar (syukuran sebelum melakukan perjalanan umroh/haji). Beliau juga seorang jama'ah yg rajin dan ikhlas dalam menuntut ‘ilmu. Beliau selalu datang lebih awal, dengan harapan bisa ikut pembacaan hizib (bacaan di awal pengajian) yang menjadi wirid rutin kita sebelum ta'lim. Beliau memahami apa yg sudah di jelaskan Tuan Guru, salah satunya tentang penghujung hari Jum'at yang mustajab untuk berdo'a. Beliau selalu pulang paling akhir, membantu saya merapikan piring kotor, menggulung karpet dan merapikan lekar (meja berukuran kecil untuk alas kitab).
Meskipun hujan, beliau selalu hadir. Beliau juga beberapa kali ikut lelang tanah di pesantren Assafinah. Insya Allah ini bisa menjadi penerang di alam kubur beliau.... Amiiin. Tapi .... rencana Allah siapa yang tahu....?. Hari Jum’at tanggal 29 Desember 2017, beliau masuk rumah sakit. Belum sempat saya dan kita menjenguknya, Allah panggil beliau untuk menghadapNYA, Ahad tanggal 31 Desember 2017 jam 05.30 wib. Satu lagi jamaah At-Taufiq pulang ke Rahmatulloh... 😭😭😭”.

Demikian, semoga cerita di atas dapat di ambil hikmahnya atau pelajaran berharga ~ khususnya untuk saya pribadi. Semoga Allah Swt mengaruniai Rahmat (kasih sayangNYA) kepada almarhum. Al Faatihah…

Review: Cloud Atlas





Seberapa lama umumnya kita betah menonton satu film sampai selesai? Umumnya film dibuat tidak lebih dari 2 jam karena setelah itu kita sudah merasa jenuh ingin beranjak ke hal yang lain. Apabila ada film yang dibuat lebih lama dari waktu tersebut, ada beberapa kemungkinannya: editornya galau tidak tahu harus memotong adegan yang mana, ceritanya sudah padat dan tidak bisa dikurangi lagi, filmnya sangat menarik sampai pembuatnya yakin bahwa orang akan menontonnya sampai selesai meski panjang. Saya rasa kemungkinan yang terakhir inilah yang terjadi dengan film Cloud Atlas yang dibuat oleh Wachowski bersaudara. Panjangnya tidak kurang dari 171 menit atau hampir 3 jam.

Ini adalah film yang berkisah mengenai 6 cerita berbeda yang terjadi pada era yang berbeda di lokasi-lokasi yang berbeda sepanjang kurun waktu 500 tahun, yaitu 1849 (Pacific Island), 1936 (Cambridge, Edinburgh), 1972 (San Francisco), 2012 (London), 2144 (New Seoul), dan Big Isle (2321). Sejujurnya sampai dengan 1 jam setelah film berjalan, saya mulai frustrasi dengan tujuan dari film ini. Saya tidak tahu bahwa semua cerita ini berhubungan. Setiap era diberikan waktu beberapa menit untuk menyampaikan kisahnya secara bergantian satu sama lain ... dan saya mulai stres mencari apa hubungannya perbudakan di kepulauan Pasifik pada abad ke-19 dengan generasi hippies tahun '70-an atau negeri distopia di masa depan Asia atau laboratorium rahasia di antah berantah pada zaman now. Dan lucunyalagi, sampai film selesai pun saya tidak sadar bahwa semua aktor di setiap zaman yang diceritakan itu mempunyai 6 peran secara simultan, dengan kostum dan makeup yang berhasil mengecoh saya bahwa ia diperankan oleh orang yang sama. 

Memang ide utama dari film ini tidak diutarakan secara eksplisit untuk memberikan kebebasan kepada penonton dalam memainkan imajinasi mereka. Namun pada intinya saya bisa melihat bahwa apa yang kita lakukan pada saat ini akan membawa pengaruh ke dalam kehidupan orang lain di masa depan, meskipun kita tidak saling mengenal satu sama lain. Bagaimana sebuah tulisan bisa menginspirasi seseorang untuk menciptakan musik yang indah, sehingga pendengar musik ini pun terinspirasi untuk menghasilkan penemuan yang berguna untuk manusia, dan kisah hidupnya menginspirasi seseorang untuk membuat buku, dimana buku ini menginspirasi orang lain untuk bangkit dari keputusasaannya sendiri, sehingga seseorang akhirnya membuat sebuah film untuk menceritakan kisah hidup tokoh tersebut, yang di masa depan menjadi salah satu film yang terlarang untuk diedarkan di suatu negara diktator yang dikuasai oleh mesin dan teknologi (ingat film The Matrix, karya lain dari Wachowski yang membuat film ini?), namun akhirnya manusia yang menjadi 'budak' teknologi pun kembali bangkit untuk mengendalikan mesin sehingga kehidupan di dunia menjadi manusiawi kembali, dan seterusnya.

Selain ceritanya yang 'bernutrisi' dan menarik, Cloud Atlas juga dibuat secara serius dengan mempertimbangkan berbagai faktor estetika. Tidak kurang dari 11 penghargaan telah diraihnya, mulai dari aspek editing, kostum, musik, desain produksi, makeup, sampai dengan kategori film terbaik. Terlepas dari itu semua, bukankah film yang baik itu memang bisa meninggalkan makna untuk dibawa pulang penontonnya sebagai kenangan? 🙂 dan inilah kira-kira pesannya, 

"My life amounts to no more than one drop in a limitless ocean. Yet what is any ocean, but a multitude of drops? Our lives are not our own. We are bound to others, past and present, and by each crime and every kindness, we birth our future." ― David Mitchell, Cloud Atlas.