PATUNGAN YATIM (LAGI)

Seneng sekali alhamdulillah, masih bisa diberi kesempatan menuliskan ini. Maaf bagi yang bosen yaa. Sebenarnya, saya dulu sudah pernah menuliskan soal patungan yatim di blog ini. Memang sih, sudah agak lama. Ini link-nya bagi yang mau mampir.

Kali ini, saya mencoba metode patungan yatim baru, khususnya buat teman-teman yang merasa “berat” kalau harus menyetor secara bulanan. Yaitu.. jeng jeng.. dengan melakukan donasi setiap Jum’at (atau hari lain juga bisa, sih), misal sebesar 10 rb rupiah saja.
Mungkin, ada yang berpikir bahwa menyumbang sebesar 50 rb itu mahal dan banyak. Nah, kalau dibagi seminggu sekali 10 rb/12 rb, dalam satu bulan bisa dapat 40rb/48 rb. Wah.. lumayan kan.
Jumlah 10 rb itu sebetulnya buat kita seperti cukup buat jajan saja, atau kalau makan.. dapatnya yg sederhana. Namun.. jumlah itu buat orang yang kesusahan lumayan banget pastinya, bisa buat beli beras 1 liter, bisa untuk beli buku tulis, buat beli 1 lauk hewani, atau buat jahit celana sekolah yang sobek :o

Mengapa patungan yatim?

Allah senang dengan hambaNya yang konsisten dalam melaksanakan amal. Memang sih, semua orang bisa menyantuni yatim, namun terkadang kita lupa dan tidak konsisten. Nah, kami ikut dukung untuk menyantuninya secara rutin setiap bulan, berapa saja nominalnya, patungan untuk mendorong kehidupannya agar lebih baik. Ayuk kita patungan untuk memberi tambahan keluarga yatim sehingga mereka tidak merasa sendirian dan Allah lebih sayang pada kita. Amin YRA.  




Raker DSP 2018

Awal bulan Maret lalu, kami menyelenggarakan Rapat Kerja Direktorat Sistem Penganggaran. Ada yang menarik dari penyelenggaraan raker tersebut yang rasanya berbeda dari raker-raker sebelumnya. Acara yang diselenggarakan selama 3 hari 2 malam tersebut melibatkan sebanyak mungkin staff DSP yang bahkan beberapa diantaranya merupakan ‘pemain’ baru.

Biasanya dalam suatu event, panitia enggan untuk menempatkan para pemain baru karena tidak mau atau tidak berani mengambil resiko, takut acaranya tidak sukses, namun kali ini saya melihat panitia berani mengambil resiko menempatkan beberapa pemain baru.

Dengan semakin banyaknya pegawai yang dilibatkan terasa keakraban yang tercipta, seolah semua yang ditugaskan berupaya mempersembahkan yang terbaik dari yang mereka punya, setidaknya itulah yang saya rasakan.

Pun ketika terjadi kesalahan karena adanya human error, panitia tidak serta merta menyalahkan si pembuat kesalahan, namun bisa segera memahaminya dan acara berlanjut seolah tak terjadi kesalahan.

Saya juga memperhatikan salah satu panitia yang bisa dengan tetap tenang, ramah dan santun namun bisa tetap melaksanakan hal-hal yang sudah disepakati dalam rapat panitia ketika pada pelaksanaan acara terdapat para atasan yang memberikan berbagai saran yang berbeda-beda.

Bravo untuk panitia, raker kali ini memberikan kenangan tersendiri bagi saya.

Jakarta, 14 Maret 2018

Kenangan di Pangkalpinang (2)

Penempatan pertama saya adalah di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Anggaran (lama) yang sekarang dikenal sebagai Direktorat Jenderal Perbendaharaan, tepatnya di Direktorat Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (sekarang menjadi salah satu Direktorat di DJPU). Cukup lama saya berkantor di situ, sementara banyak rekan-rekan saya sudah mutasi berulang kali baik itu mutasi dalam kota, luar kota, maupun antar pulau, maklum DJPB memiliki kantor vertikal yang tersebar dari Sabang  sampai Merauke. Sementara saya sejak single, menikah sampai dengan dikaruniai 3 orang putra/i masih tetap berkantor di Kantor Pusat. 

Setiap kali mendengar ada isu mutasi rasanya selalu tidak tenang, takut kalau-kalau kami dimutasi. Lama kelamaan perasaan itu semakin mengganggu, sampai akhirnya kami berdua sepakat bahwa kemanapun kami dimutasi, kami akan berangkat bersama-sama dan menghadapi apapun bersama-sama. 

Setelah bertekad dengan keputusan tersebut, kami merasa lebih tenang, maka ketika SK turun untuk pertama kalinya, Alhamdulillah kami merasa lebih siap untuk berangkat, menyambut tempat kerja dan tempat tinggal yang baru, bersiap-siap dengan lingkungan baru dll. Memang cukup merepotkan memindahkan anak-anak yang sudah mulai bersekolah, tapi itu bagian yang harus kami jalani.

Waktu terus berjalan, ternyata kami menikmati juga tinggal di Kota Pangkalpinang. Jarak tempuh yang dekat antara kantor dengan rumah memungkinkan kami untuk sering bertemu dengan keluarga, dimana hal ini sulit kami lakukan ketika kami masih berdinas di Jakarta, karena pagi kami sudah harus berangkat dan tiba di rumah sudah malam, tidak pas dengan waktu berinteraksi dengan anak-anak.

Pangkalpinang juga memiliki pantai-pantai yang indah, hampir tiap minggu kami main ke pantai bersama-anak-anak yang sangat gemar bermain air. Biaya sekolah yang murah, karena SPP sekolah terbaik di Pangkalpinang saat itu adalah 1/10 SPP anak-anak kami di Tangerang Selatan. Seafood yang masih segar dan berasa manis mudah kami jumpai di Pangkalpinang dan masih banyak hal-hal lain yang membuat kami merasa betah tinggal di Pangkalpinang. 

Sebagai pengingat diri saya sendiri : Ketika kita berani menghadapi kenyataan maka perasaan takut yang selama ini menghantui akan sirna. 


Jakarta, 14 Maret 2018

Kenangan di Pangkalpinang

Suatu masa dalam kehidupan saya, saya pernah tinggal di Kota Pangkalpinang selama 11 bulan. Itulah pengalaman pertama saya tinggal di luar Pulau Jawa. Banyak hal yang harus saya sesuaikan dengan kondisi-kondisi yang selama ini saya alami, misalnya saja masalah air dan ketersediaan listrik.

Pangkalpinang adalah salah satu pulau penghasil timah. Demikian banyaknya kandungan timah tersebut, sampai-sampai kami sulit menemukan air tanah yang tidak mengandung timah. Dampaknya, kami harus membeli bergalon-galon air untuk keperluan minum dan memasak. Selain itu, air tanah yang kami pergunakan untuk mandi dan mencuci baju serta peralatan makan minum pun tidak mudah didapat. Semuanya serba terbatas.

Demikian pula halnya dengan ketersediaan listrik, kami tidak pernah merasakan supply listrik full selama 24 jam sehari, selalu ada saja waktu tanpa aliran listrik. Kalau hari ini siang tersedia listrik, maka keesokan harinya malam hari yang mendapat giliran listrik padam. Setiap kali menanak nasi menggunakan rice cooker saya selalu berdoa semoga nasi yang  saya masak bisa matang sebelum listrik mati lagi.

Ada lagi cerita tentang ketika timbul keinginan yang demikian intens untuk menikmati softdrink (padahal saya bukanlah seorang softdrink lover). Sekitar dua minggu menjelang hari  Raya Iedul Fitri, Swalayan Puncak, satu-satunya swalayan di Pangkalpinang pada saat itu, dipenuhi oleh softdrink  yang bahkan saking banyaknya sampai stock nya meluber ke luar toko. Sungguh pemandangan yang mengherankan bagi saya yang baru pertama kali melihat suasana seperti itu. Namun ternyata hanya dalam hitungan hari stock tersebut menipis dan akhirnya habis. Justru pada saat sudah habis itulah keinginan untuk minum softdrink dalam diri saya demikian kuat, sampai-sampai saya merasa perlu untuk mencarinya di warung-warung sekitar rumah saya yang biasanya menjual softdrink, namun apa daya ternyata habis juga, dan itu terjadi sampai berhari - hari. Akhirnya saya menyerah, ya sudah, saya pupus keinginan untuk minum softdrink tersebut dan berupaya melupakannya.

Sebagai ‘Urang Bandung” yang terbiasa melihat sayuran segar dengan kualitas baik tersedia sepanjang masa di tanah kelahiran, maka saya memiliki standar tersendiri ketika memilih dan membeli sayuran. Suatu hari saya bermaksud membeli kentang dan kol untuk keperluan memasak, namun ternyata kentang yang tersedia pada saat itu adalah kentang yang sudah bertunas di tiap umbinya juga kol yang banyak bolong-bolongnya, tidak mulus di tiap helai kelopaknya. Sampai kaki saya pegal berkeliling pasar untuk mendapatkan kentang dan kol yang sesuai dengan standar saya, akhirnya saya menyerah juga karena ternyata seluruh kios di pasar tersebut menjual barang dengan mutu yang sama karena memang sayuran tersebut berasal dari satu supplier saja dan ‘diimpor’ dari Jakarta / Palembang dan karena rentang waktu pengiriman yang lama, maka tak ada kentang yang tak bertunas ketika tiba di tangan konsumen.

Banyak kenangan yang saya peroleh selama di Pangkalpinang, walaupun durasi tinggal saya hanya 11 bulan saja, namun banyak pembelajaran yang saya dapatkan yang mungkin tidak akan saya peroleh bila saya tidak mengalaminya sendiri. Rasa syukur yang bertambah atas apapun, belajar mengendalikan keinginan, belajar menerima apa yang Tuhan tetapkan, dll adalah sebagian dari pembelajaran-pembelajaran yang saya peroleh. Kenangan manis dan pahit datang silih berganti, namun yang utama bisakah kita mengambil hikmah dari semua itu.


Jakarta, 13 Maret 2018.

Iteung, Terkilir


“Ketemu di stasiun ya!” suara si Akang di ujung telepon seperti perintah majikan ke anak buahnya.
“Iya, kangmas,” balas Iteung.
Di stasiun, Iteung lihat si Akang jalan terburu-buru menuju peron. Iteung kejar si Akang dengan lari-lari. Sekuat tenaga Iteung berlari, walau kekuatan tetep aja nggak lebih bagus dari kura-kura. Perasaan teriak udah kenceng tetep aja si Akang nggak noleh ke Iteung. Ih nyebelin banget ya. Nggak lihat apa Iteung sudah berusaha memanggil sambil berlari sampai keringetan.
Eh tanpa basa basi, si Akang langsung masuk kedalam kereta. Ya terpaksa tenaga dalam Iteung keluarin lagi buat masuk ke kereta. Hampir aja, badan Iteung yang kecil mungil ini kejepit pintu kereta.
“Akang mah, bukannya nungguin Iteung. Ngacir aja kayak lagi dikejar debt collector,” Iteung kesal bukan main alias serius.
“Lha, daripada ketinggalan kereta, ya mending ngacir.”
“Jadi Akang tau kalo Iteung lari-lari ngejar Akang?”
Si Akang ngangguk. Rasanya pengen Iteung pukul kepalanya si Akang biar dia tau penderitaan Iteung ngejar si Akang.
Di perjalanan seperti biasa, Iteung dan Akang ngobrol ngalor ngidul. Walau sih sebenarnya banyakan Iteung yang nyerocos seperti beo yang belum dikasih makan. Si Akang mah cuma ngangguk-ngangguk aja atau geleng-geleng kepada. Ya sudahlah, anggap aja Iteung lagi latihan pidato. Siapa tahu nanti Iteung kepilih jadi ketua RT, kan harus pintar pidato.
Tiba-tiba, ketika Iteung sedang asyik ceramah dan si Akang asyik manggut-manggut, kereta berhenti, padahal mulut Iteung masih mangap. Semenit dua menit masih berhenti. Sekitar lima belas menit terdengar pengumuman dari Pak Masinis.
“Mohon perhatian, para penumpang kereta Commuter Line,”
Dengan sigap Iteung perhatikan pengumuman apa yang akan diberikan oleh Pak Masinis. Siapa tahu ada pembagian tiket gratis. Lumayan kan.
“Sehubungan dengan adanya kendala pada aliran listrik di stasiun Depok, maka untuk sementara kereta belum dapat diberangkatkan. Sekian, dan mohon maaf.”
“Aduh, ada-ada aja,” terdengar suara penumpang yang marah-marah. Iteung juga pengen marah sih, karena di rumah udah nunggu para asisten rumah tangga yang mau konsultasi sama Iteung. Biasa  kerjaan sambilan. Lumayan hitungan konsultasinya per menit. Apalagi kalau ada yang mau curhat putus cinta, pasti bayarannya nambah. Lumayan buat beli semangkok bakso.
 Iteung nengok ke luar jendela. Aduh mogoknya di tengah jalan pula, bukan di stasiun tujuan. Sekitar setengah jam kereta berhenti, Iteung mulai nggak  betah.
Satu per satu  penumpang mulai loncat keluar dari kereta, terlebih laki-laki. Iteung juga jadi gelisah nggak menentu. Iteung jadi nggak betah diam, udah mulai loncat-loncat geus plus aerobik di kereta. Sampai banyak penumpang yang melotot ke Iteung karena merasa terganggu.  Pantes aja dari tadi si Akang agak menjauh dari Iteung, sepertinya malu melihat kelakuan Iteung yang hiperaktif.
Lama-lama, semakin banyak orang yang loncat dari kereta karena udara di kereta mulai panas. Melihat itu, Si akang ngajak Iteung turun dari kereta. Kepala Iteung nengok keluar pintu, ah lumayan tinggi juga. Bisa-bisa keseleo kalau Iteung turun.
“Udah gampang nanti digendong sama  Akang. Nanti Akang turun duluan,” kata si akang sambil loncat ke bawah.
Aduh kenapa si Akang cepet banget ngasih aba-abanya. Iteung kan jadi rempong bawa tas dan keresek item berisi gorengan. Sayang kan kalo dibuang, soalnya ada cireng dan comro kesukaan Iteung.
Ketika  Iteung mau loncat, kenapa si Akang malah menjauh….
”Akang…Akang tunggu Iteung dong. Kenapa  ninggalin Iteung,”  aduh bisa abis nih suara teriak melulu.
Si akang bengong ketika menoleh ke belakang. Aduh ternyata ada ibu-ibu bohay yang nemplok di punggung si Akang. Si Akang mengira itu Iteung. Kulihat ibu-ibu itu malah tersenyum simpul, kayaknya ngeledek Iteung deh.
“Dasar ibu-ibu genit, ambil kesempatan dalam kesempitan. Si akang juga, masak nggak bisa ngebedain mana istri sendiri sama orang lain. Hhhh atau jangan-jangan dia sengaja. Dasar….,” Iteung ngomel panjang kali pendek.
                Ketika ada petugas kebersihan lewat membawa ember dan kain pel, Iteung langsung ngomong sama si petugas
“Pinjem kain pelnya dong, buat ngelap mukanya si Akang,”
 “Sapu bukan buat ngebersihin muka, Bu tapi buat ngepel lantai.” Iteung cuma bisa cemberut.
Akhirnya Iteung bisa turun sendiri nggak usah digendong si Akang. Gubrakkk.....Iteung terjerembab di kubangan yang berisi air kotor.
“Aduh Akang, masak sosialita bisa kena lumpu gini,” jerit Iteung sambil nahan tangis.
“Anggap aja lagi luluran pake lumpur,” ujar si Akang sambil nuntun Iteung yang terpincang-pincang. Pengen nendang si Akang tapi takut ditelantarkan, jadi ya terima nasib saja.

Dilan, Sang Idola


"Dia tidak hebat, tidak sama sekali. Malahan dia biasa saja, tetapi dia bisa membuat senang dengan hal-hal sederhana," kata Milea tentang sosok Dilan.

Dilan....oh Dilan...

Andai saya bisa mundur ke belakang 20 tahun lagi...punya "temen deket" kaya kamu tuh impian banget kali ya...Dilan itu gak cakep-cakep banget (di bukunya tapi di film pemerannya imut banget), dia cuek, suka berantem, suka ngelawan guru, suka bolos, dan suka-suka yang lain. Semacam bad boy lah gitu.
Dilan sekolah di salah satu SMA di Bandung tahun 1990, ya.. jaman saya sekolah dulu sih kira-kira tahun segitu juga :D

Tapi kenapa Milea jadi suka sama Dilan? Milea itu adalah seorang murid baru pindahan dari Jakarta. Milea digambarkan seorang gadis yang cantik, santun, pintar dan bahkan dalam cerita ini dia sudah punya pacar. Kenapa sih masih tertarik sama Dilan? ini yang bikin saya penasaran, en pasti harus ada ceritanya dong, kalo gak ada ya pasti gak akan ada kisah Dilan en Milea ini ya? Dan ternyata memang ada, menarik pula....dan cerita ini sukses menawan hati banyak orang di Indonesia, dari segala usia. Dari mulai abg sampai seumuran saya. Novel Dilan koleksi Perpus pun sampai jarang ada di rak buku karena banyak peminatnya. Penasaran kan pengen tahu ceritanya, happy ending or sad ending

Kalo di novel dan filmnya sih sah-sah aja ya Dilan mencoba gigih merebut hati Milea, secara belum ada janur kuning melengkung...en Milea nya juga kayanya gak gitu cinta-cinta banget sama pacarnya yang di Jakarta, mungkin secara masih umur segitu jalanin long distance relationship, apalagi ditambah karakter pacarnya yang kasar dan suka cemburu buta, jadi deh akhirnya ketika ada masalah mereka bubaran. 

"Milea...kamu cantik tapi aku belum mencintaimu, enggak tahu kalo nanti sore. Tunggu aja..."

kata Dilan suatu siang di dalam angkot, meninggalkan Milea yang kebingungan mikirin kata-kata itu.
Sorenya Dilan telfon dan bilang kalau dia sudah mencintai Milea...
wkwkwk....cepet banget yaa...

Mungkin itu salah satunya yang bikin Milea tertarik. Dilan punya kepercayaan diri yang tinggi en jago merangkai kata-kata. Di sepanjang film dan novelnya kita akan disuguhkan kata-kata romantis nan ajaib dari Dilan. Dia juga siap membela Milea kapanpun juga. Dan kata-kata atau perbuatan spesialnya ini hanya ditujukan buat Milea seorang (ehem)....di novelnya yang bilang seperti itu.
kalo sudah gitu hati perempuan mana sih yang gak melting.... Akhirnya Milea pun jatuh cinta pada si badboy satu ini, yang berani mengancam guru dan berkelahi dengan sahabatnya hanya untuk membela harga diri Milea, dan hari-hari mereka selanjutnya selalu dihiasi dengan canda dan tawa.  

Disamping kisah-kisah "serem" nya di sekolah ternyata Dilan adalah anak yang sayang sekali sama keluarganya, terutama ibunya. Apakah kisah cinta semanis ini akan berujung pada akhir yang bahagia? Ah...jangan dibocorin dulu deh, mendingan baca novelnya, minjem di perpus hahaha....

Sekilas itu gambaran film terlaris saat ini di bioskop. Diangkat dari novel karya Pidi Baiq yang diterbitkan tahun 2016, film ini sukses merebut hati penonton di segala usia. Termasuk emak-emak ini  (saya) yang gak bisa menolak ajakan temen-temen yang selisih umurnya "sedikit" sama saya untuk nonton film Dilan di bioskop. Nonton Dilan nih kaya back to masa lalu, zaman belum ada hp, surat-suratan atau ngintip dari celah-celah pembatas antar kelas udah jadi kebiasaan anak-anak jaman dulu. Guru yang kelewat galak, murid-murid yang sudah punya trademark "nakal" yang berani ngelawan guru, sampe tawuran antar sekolah udah bukan hal yang langka pada saat itu.

Pantesan banyak juga emak-emak seumuran saya yang nonton film ini.
en ternyata mereka tertawanya paling kenceng looh....:D

Jadi lupa sama yang namanya ukuran atau standar yang lain, Dilan tuh mestinya rajin ibadah, biar bisa ditiru sama anak-anak seluruh Indonesia. Gak boleh pacaran, karena pacaran itu dilarang dalam agama. Gak boleh memihak satu aliran tertentu. Gak boleh ngelawan guru, banyak gak-gak yang lain yang mengacu pada suatu ukuran ideal terhadap seorang sosok idola. Untuk yang ini saya beristighfar aja deh karena disamping nonton filmnya, saya juga suka banget baca novelnya. Dan berharap semoga semua bisa mengambil yang bagus-bagusnya dan membuang yang jelek-jeleknya. Kalo saya buat hiburan aja sih, bisa ketawa-ketawa mengenang masa lalu, tapi itu bukan cerita pribadi ya...hahaha

Terlepas dari itu semua, jangan lupa bahwa tokoh Dilan ini adalah rekaan manusia, yang meskipun diklaim kisah ini benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata, itulah gambaran anak-anak muda pada masanya, yang mungkin diperindah dengan keahlian Pidi Baiq dalam meramu kata-kata dan berimprovisasi. Jadi buat yang punya ukuran atau standar tertentu terhadap suatu tokoh idola, supaya gak kecewa, ciptakan sendiri tokoh Dilan ideal versi masing-masing dan wujudkan dengan perilaku nyata. 






Pahlawan Kesiangan

Kala itu Suparman sedang makan siang di pusat berbelanjaan dekat kantornya. Dia pergi sendiri karena teman-temannya sudah punya agenda makan siang masing-masing. Alhasil dia menghabiskan waktu istirahat kantornya di warung ayam goreng franchise ternama. Sendiri tapi tak merasa sepi karena sudah ditemani wifi.

Saat sedang asyik berselancar di dunia maia..eh..maya, Suparman dikagetkan dengang getaran berirama dari handphone yang dipegangnya. Tampak ada notifikasi singkat yang bertuliskan "kamu lagi dimana?". Seketika Suparman langsung melayangkan pikirannya, siapa gerangan di sana wanita yang begitu perhatian dengannya. Tapi setelah berpikir agak lama, Suparman tersadar bahwa tak pernah ada whatsapp dari cewek sepanjang hidupnya, kecuali dari emak, embah putri, dan emak lampir a.k.a bosnya. Gelagapan dia melihat jam tangan, ternyata sudah hampir jam satu. Secepat kilat matanya mengalihkan pandangan kembali ke handphone dan melihat notifikasi tadi. "Alamak, dari emak lampir", gumam Suparman dengan wajah mendadak berkeringat.

Bergegaslah Suparman beranjak dari tempat duduknya untuk segera kembali ke kantor. Untung makanannya sudah habis dan dibayar, jadi bisa langsung ngacir ke parkiran mobil. Singkat kata Suparman sudah berhasil duduk di balik kemudi. Ketika hendak menghidupkan mobilnya, tak sengaja pandangannya menuju ke sudut parkiran. Tampak seorang lelaki dan perempuan dengan gestur tubuh yang menunjukkan mereka sedang berdebat. Setelah dilihat agak lama ternyata yang perempuan, Sulis teman kantor Suparman. Makin lama perdebatan mereka makin heboh cenderung ke pertengkaran, hingga si lelaki menunjuk-nunjuk si perempuan. Jiwa ksatrianya merasa tergugah, Suparman langsung membuka pintu mobil nya dan menghampiri dua orang tadi. Pas saat si lelaki terlihat akan melayangkan sebuah tamparan, Suparman langsung berlari sambil berteriak kencang, "Woii...hentikan!!". Lagak Suparman sudah mirip adegan sinetron.

Mendengar teriakan dan napas Suparman yang ngos-ngosan, si lelaki dan si perempuan menoleh bersamaan.

"Siapa Lo?", tanya si lelaki dengan nada tinggi.

Merasa ditantang, Suparman juga ikut emosi. Dia lalu menjawab dengan nada tinggi pula, "Gue..!".
Tiba-tiba mulut Suparman terhenti. Otaknya mencoba berpikir cepat, jawaban apa yang bisa membuat lelaki itu keder. Sempat terlontar niat untuk bilang kalau Suparman adalah kakaknya. Tapi menilik perbedaan warna kulit Sulis yang putih dan Suparman yang tak putih, diurungkan niat menjawab itu.

"Gue temenya dia!", Suparman lantang sambil menunjuk ke arah Sulis.

"Tenang lis, ada gue", ucap Suparman lirih di sebelah Sulis.

"Cuma temen aja belagu lu!", nada bicara si lelaki makin meninggi.

Merasa diremehkan, sontak Suparman meralat pernyataannya, "Tapi ini bukan sekedar temen, gw temen dekatnya Sulis!" jawab Suparman.

"Biar lu makin jelas, dengerin ni, Gue Pacarnya Sulis, mau apa lu sekarang!" Lanjut Suparman dengan tetap lantang.

"Gw suaminya, mau apa lu sekarang!", dengan cepat si lelaki membalas pernyataan Suparman.

Suasana menjadi hening sejenak...

"Cut...cut...sip...sip...kita lanjut adegan berikutnya ya", ujar Suparman sambil menyilangkan tangan bak sutradara sinetron yang sedang syuting.

"BUKK!", bogem mentah tak terelakkan mendarat di pipi kanan Suparman.

Suparman melangkah cepat kembali ke mobilnya dengan meringis menahan sakit dan malu. Sampai di mobil Suparman langsung menghidupkan mesin dan menginjak pedal gas untuk mengamankan diri.

Singkat cerita akhirnya Suparman telah sampai kantor dan duduk di mejanya. Pipi kanannya kelihatan mulai bengkak dan membiru. Tangannya masih mengelus-ngelus menahan sakit dan wajahnya terlihat masih meringis. Merasa badannya jadi tak enak, Suparman mencoba meletakkan kepalanya di atas meja dan memejamkan mata. Tidur sebentar mungkin bisa meredakan rasa sakit di pipinya.

"BUKK!", setumpuk berkas mendarat di pipi kiri Suparman yang hampir terlelap.

"Baru nyampe kantor jam segini, uda mau tidur lagi!", nampak bos Suparman sudah berdiri di samping Suparman yang tergolek lemah.

- Tamat -



Gladiator-gladiator “Tua”

Ini adalah kisah para gladiator “tua” di sebuah kerajaan yang namanya pernah terdengar sampai ujung-ujung dunia. Yang dahulu dikenal dengan negeri yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo” yang artinya negeri yang kekayaan alamnya berlimpah dan keadaannya tenteram. Di ibukota kerajaan terdapat sebuah graha1 megah tempat Patih Arta2 dan segenap tanda3nya bekerja. Sang patih memiliki beberapa arya4 sebagai pembantu utamanya. Setiap arya memiliki tugas masing-masing guna menyukseskan kerja sang patih. Arya-arya tersebut juga memiliki tandanya masing-masing. Sang patih mengharapkan sinergi di antara para arya dan tanda-tandanya. Prestasi dan kinerja yang baik akan dihargai tuturnya.

Cerita ini terjadi ketika beberapa tanda kepercayaan dari salah seorang arya telah mencapai usia pensiun, guna mencari penggantinya diadakanlah sebuah pertandingan untuk menentukan siapa yang paling tepat untuk menggantikan para tanda yang pensiun tadi. Gelanggangpun digelar bak sebuah arena gladiator. Banyak tanda yang sudah berpengalaman dan berilmu tinggi bersiap-siap. Waktunya telah tiba untuk berkarya lebih lagi dan menerima amanah tersebut. Pembicaraanpun terjadi sampai ke pojok-pojok graha siapakah yang akan keluar sebagai jawara5 dan ditampuk sebagai tanda kepercayaan sang arya. Ada yang berharap, ada yang pasrah, ada yang dijagokan, ada juga yang diunggulkan. Para tanda siap bertarung di arena dengan kekuatan dan senjata masing-masing, semua menantikan panggilan bertarung. Walau beberapa menyatakan bahwa mereka tidak ingin bertarung tetapi jika dipanggil maka mereka akan ikut dan bertarung dengan sungguh. Ada beberapa kriteria agar seorang tanda bisa ikut dalam pertarungan, yang pertama adalah telah mencapai tingkat keningratan tertentu, yang ditentukan melalui tingkat keilmuan dan masa bakti sang tanda. Lalu kecakapan sang tanda dalam bekerja menjadi penilaian selanjutnya apakah sang tanda kinerjanya baik, bisa mengambil keputusan yang tepat dan cepat, punya kemampuan bersinergi dengan pihak lain, dan tentu saja kemampuan memimpin karena dalam jabatannya sang tanda akan mengambil keputusan sesuai dengan bidang jabatannya, akan berkoordinasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan tentu saja dibantu oleh tanda-tanda di bawahnya yang akan membutuhkan bimbingan dan pimpinannya.
“Maaf arena sudah tutup”
-Askara-
Peradaban negeri ini sendiri telah mencapai tingkatan yang cukup tinggi dalam hal menggelar pertarunganpun kekuatan para “gladiator” diukur baik itu kekuatan atma6 maupun huraga7nya melalui sebuah ujian dan tentu saja untuk atma juga dinilai melalui tindak-tanduknya dalam mengabdi sesuai hal-hal yang disebutkan untuk menilai kecakapan sang tanda dalam bekerja. Semua itu akan dirangkum dalam selembar lontar8 dan dimusyawarahkan dalam pareparat9 antara sang arya dengan tanda-tanda utamanya dan tanda kepercayaannya tergantung dari tingkat jabatan yang akan dibicarakan.

Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba, pengumuman siapakah “gladiator” yang dinyatakan keluar sebagai jawara, ditampuk sebagai tanda kepercayaan, dan akan diangkat derajat keningratannya serta menerima amanat dari sang arya. Ternyata semua yang didapuk sebagai pemenang adalah tanda-tanda yang masih muda baik dari usia maupun pengabdian, keningratannyapun baru saja mencapai tingkatan cukup untuk menjadi seorang tanda kepercayaan. Walau semua tanda tersebut sudah menyeberangi lautan yang lebih jauh dari negeri Cina untuk mencari ilmu tetapi tanda-tanda lain yang lebih tua baik dalam usia dan pengabdiannya pun tidak kalah dalam hal jauh-jauhan mencari ilmu. Tentu saja tingkat keningratan mereka lebih tinggi dari para tanda kepercayaan yang baru ini. Ada yang kecewa, banyak yang terhenyak lalu bertanya apa yang menjadi dasar bagi kemenangan tersebut apakah ada senjata rahasia atau atma yang tidak terangkum di daun lontar? Karena semua sudah tertulis semua bisa membaca semua bisa menilai. Tinggal sejauh mana penilaian itu benar dan berharga untuk didengar.

Terdengar sayup-sayup di pojokan bahwa gladiator-gladiator “tua” tersebut bahkan tidak sempat naik ring, mereka tersingkir sebelum pertarungan karena mereka sudah “terlalu” ningrat untuk jabatan tersebut. Keningratan yang diperoleh karena pengabdian dan pendidikan ternyata menjauhkan mereka dari arena pertarungan. Masa mereka sudah habis katanya, sudah tidak punya semangat bertarung katanya, katanya.. katanya.. katanya.. dan lontar mereka kembali kepojokan berdebu menjadi kumpulan kisah-kisah pengabdian yang tidak pernah dibaca.

  1. graha: gedung, bangunan
  2. Patih Arta: menteri yang mengurusi harta
  3. tanda: pegawai
  4. arya: gelar bangsawan, ningrat
  5. jawara: juara
  6. atma: jiwa, ruh
  7. huraga: raga, badan, tubuh
  8. lontar: kertas
  9. parepatan: rapat, perundingan, musyawarah