Sketsa tengah hari

Pena dan kata-kata lekat dalam genggaman Laki-laki
Di pemberhentian tengah hari,
Matanya nyalang, gigi gemeretak, menahan hasrat

Kobaran api,
di dada petualang-petualang muda yang berteriak mengumandangkan tuntutan
Tak jengah pada moncong-moncong peletupan yang di arahkan
adalah gemerlap inspirasi penciptaan

Barangkali sejarah akan lagi mencatat ulang,
Puisi yang dilahirkan ketika sebuah kebangkitan diwujudkan
Akan lagi menjadi legenda

Laki-laki, Yang menjadi kecil jadinya,
Di tengah gelegak kebesaran perjuangan
Sekedar pencatat lewat pena kecil
Entah terbaca,
Entah tidak

(Samarinda, Mei 1998)

Kryptonite As Roma di Liga Champions

As Roma menjalani musim yang luar biasa di Liga Champions musim ini. Sejak tergabung ke dalam grup neraka bersama Chelsea dan Atletico Madrid, Roma sama sekali tidak diunggulkan bisa melaju ke babak selanjutnya. Faktanya, Roma berhasil lolos dari grup neraka tersebut dengan status sebagai juara grup.
Di babak selanjutnya, ketika undian perempat final mempertemukan Roma dengan Barcelona, saya yakin tak seorang pun pengamat memprediksikan mereka bakal lolos, apalgai pada leg pertama di Camp Nou dibabat 4-1. Namun, pasukan Eusibio di Francesco mampu membalikan prediksi dengan menciptakan epic comeback di Olimpico.
Sayangnya, langkah Serigala Ibukota Italia itu harus gugur di tangan Liverpool pada semifinal. Kemenangan 4-2 di olimpico semalam tidak mampu memberikan tiket final kepada Roma karena kekalahan 5-2 di leg pertama, akibat kegelimangan Mohammed Salah denagn mencetak 2 gol dan 2 assist.
Menyoal kegagalan Roma melaju ke final Liga Champions musim ini, nampaknya klub dari Liga Inggris menjadi semacam kryptonite bagi Giallorossi. Seringkali, langkah AS Roma di kompetisi paling akbar benua Eropa terrsebut harus kandas di tangan wakil dari negeri Ratu Elizabet.  
Dimulai dari musim 1983-84, Roma yang saat itu mampu melaju ke final harus berhadapan dengan Liverpool (tim yang menyingkirkan Roma musim ini). Peluang Roma saat itu sangat besar untuk jadi juara, selain memiliki skuad kompetitif yang dimotori oleh Roberto Pruzzo  dan Bruno Conti, partai final  pun dihelat di Stadion olimpico, markas Roma sendiri. Sayangnya, keuntungan  tersebut tidak mampu dimanfaatkan Roma. Mereka gagal juara akibat kalah adu penalti lawan The kops.
Setelah lama tidak berkiprah di Liga Champions, Roma kembal lagi ke liga Champions pada musim 2001-2002. Mereka lolos ke Liga Champions dengan status sebagai Juara Serie A musim sebelumnya. Setelah lolos dari fase grup pertama, Roma terundi dengan Liverpool, Barcelona, dan Galatasaray di fase grup kedua (Dulu format liga champions memiliki dua fase grup). Lima pertandingan awal, Roma mampu meraih tujuh poin dan berada di bawah Barcelona, hanya memerlukan hasil imbang untuk masuk ke babak selanjutnya. Sayangnya, di pertandingan  terakhir Roma kalah 0-2 di Anfield dan harus tersingkir kalah head to head oleh liverpool. 
Di musim 2006-07 dan 2007-08 lagi-lagi Roma tersingkir dari Liga Champions oleh wakil dari Premier League. Kali ini pelakunya adalah Manchester United. Di dua musim tersebut Roma sebenarnya mecapai hasil terbaik  era Liga Champions dengan berhasil mencapai fase perempat final. Sayangnya, tim Setan Merah menjadi penjegal langkah Roma. Salah satu pertandingan lawan Man Utd malah menjadi kenangan pahit yang tidak akan terlupakan oleh Romanisti. 
Tersingkirnya Roma oleh wakil Inggris berikutnya terjadi pada musim 2008-09. Berhasil menjadi juara grup A mengungguli Chelsea dan Bordeaux, Roma harus berhadapan dengan Arsenal di babak perdelapan final. Di babak ini, kedua tim sama-sama mengalahkan di kandang masing-masing dengan sskor serupa. Perbedaannya adalah, pada babak adu penalti, salah satu algojo tim serigala ibukota gagal mengeksekusi penalt sehingga Arsenal yang berhak lolos ke perempat final.
Di era konsorsium Amerika, dua kali Roma tersingkir oleh wakil Inggris,  oleh Manchester City  di fase grup musim 2014-15, dan terakhir dikalahkan secara agregat 6-7 oleh Liverpool di babak semifinal Liga Champions musim ini. 

SPOILER

Belakangan ini media sosial sedang ramai dengan spoiler, terutama spoiler tentang film. Sesuai namanya, spoiler ini buat sebagian orang benar-benar 'merusak' suasana, menghilangkan mood bahkan membangkitkan amarah. Bagaimana tidak? rasa penasaran yang telah memenuhi benak dan berharap terpuaskan di empuknya kursi bioskop yang dingin, dengan ditemani popcorn dan minuman ringan, tiba-tiba hilang karena unggahan seseorang di media sosial yang dengan tanpa rasa berdosa menuliskan detil cerita film tersebut. Semua pertanyaan yang sekian lama diharapkan terjawab dalam durasi 120 menit tiba-tiba dituliskan hanya dalam beberapa baris unggahan.

Kesal? buat sebagian orang, iya. Sebagian? iya, karena ada juga yang menganggap spoiler adalah hal yang biasa saja. Tidak berpengaruh apa-apa, tidak mengurangi niat untuk tetap mengeluarkan sejumlah rupiah untuk tiket bioskop demi tontonan yang sebenarnya sudah diketahui jalan cerita atau kesimpulannya. Saya belum melakukan survei terhadap pendapat orang tentang spoiler ini, tapi dari berbagai unggahan di media sosial, percakapan di berbagai grup percakapan, sepertinya lebih banyak orang yang tidak suka dengan adanya spoiler ini. Saking kesalnya dengan spoiler, ada anggota yang keluar dari grup percakapan karena ada anggota lain yang mengunggah spoiler salah satu film yang sedang diputar di bioskop-bioskop. Belum lagi perang celoteh antara 'tukang' spoiler dan anti spoiler, seru pastinya. Saya hanya berdoa jangan sampai spoiler menyebabkan pertikaian yang konyol dan meningkat ke hal-hal yang merugikan secara materi, jiwa dan raga. Lebay? mungkin, tapi kita kan hidup di Indonesia, yang seringkali mendengar, membaca dan melihat nyawa terbuang sia-sia hanya karena uang seperak dua perak atau hanya karena tidak suka dengan tatapan mata. Naudzubillahi min dzaliik.

Fenomena spoiler film ini belum lama maraknya. Awalnya mungkin sekedar kelakuan iseng dan jahil antar teman. Menjahili teman yang terlambat menonton film kesukaannya pada kesempatan pertama. Adanya media sosial yang kemudian membuat apapun dapat viral dengan cepatnya. Kita bahkan bisa mendapatkan spoiler bahkan pada saat kita antri tiket untuk pertunjukan kedua di sebuah pemutaran perdana film tersebut. Lalu apakah perilaku spoiler ini dapat diubah?.

Menurut Kurt Lewin (1890-1947), yang terkenal sebagai Bapak Psikologi Sosial, perilaku manusia pada dasarnya adalah keseimbangan antara faktor-faktor pendorong dengan faktor-faktor penahan, sehingga perilaku manusia dapat berubah dengan mempengaruhi kekuatan faktor-faktor tersebut. Perubahan faktor-faktor tersebut dapat dilakukan dengan 3 (tiga) tahapan; pertama yaitu tahapan unfreezing. Dalam tahapan ini, faktor-faktor pendorong yang dapat merubah perilaku ditingkatkan, lalu faktor-faktor penahan dikurangi dan kemudian mencari kombinasi terbaik dari kedua hal tersebut. Kedua; mendorong perubahan cara berfikir atau perasaan atau perilaku atau ketiga hal tersebut ke arah yang lebih positif. Ketiga; refreezing yaitu tahapan dimana perubahan-perubahan yang telah dilakukan dikukuhkan menjadi sebuah kebiasaan. Tanpa adanya refreezing, perilaku-perilaku yang telah berubah dapat dengan mudah kembali menjadi perilaku lama sehingga keseimbangan baru yang telah terbentuk kembali berubah.

Berdasarkan teori perubahan perilaku tersebut di atas, maka perlu dilakukan peningkatan faktor-faktor yang dapat membuat orang-orang meninggalkan perilaku spoiler misalnya dengan mengedukasi bahwa sesungguhnya disadari atau tidak disadari spoiler itu dapat menghilangkan kebahagiaan orang lain, lalu bagaimana kalau hal itu terjadi dengan kita. Hal-hal yang menjadi penahan juga dikurangi misalnya adanya justifikasi bahwa spoiler itu justru menunjukkan niat baik pelakunya untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Sepertinya orang akan lebih berbahagia dibelikan tiket deh daripada kita nonton gak ngajak-ngajak lalu cerita tentang film yang sangat ingin kita tonton tersebut. Kekuatan media sosial dan kedewasaan penggunanya sangat menentukan keberhasilan proses ini. 

Perilaku spoiler juga dapat diarahkan ke hal yang lebih positif, seperti membuat resensi yang cerdas dan berkualitas. Pihak sponsor, pengusaha perfilman bahkan semua pihak dapat mendorong perubahan perilaku ini, misalnya dengan mengadakan lomba menulis resensi film yang berhadiah tiket gratis ataupun dengan kegiatan-kegiatan lain yang akan membuat para pelaku spoiler mengalihkan kelebihan energi-nya  menjadi sesuatu yang positif.

Sekilas spoiler ini hanyalah sebuah fenomena sesaat, namun tidak ada salahnya bila kita mencermati fenomena-fenomena sesaat yang banyak terjadi di sekitar kita. Apakah itu betul hanya sebuah fenomena ataukah cerminan dari kualitas perilaku bangsa kita?


Jakarta, 28 April 2018

Hal besar dari apa yang disukai


Dulu, saya pernah mendengar sebuah ungkapan, atau apapun namanya, bahwa jika kita memperdalam apa yang kita sukai, suatu hal yg besar mungkin akan  terjadi. Ungkapan tersebut selalu saya ingat, dan tahun lalu saya merasakan hal besar yang terjadi karena apa yang saya sukai.
Olah raga, terutama sepak bola, menjadi suatu hal yang sangat saya sukai.  Menonton pertandingan sepak bola mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang biasa, tapi di masa kecil saya, itu menjadi sebuah candu yang membuat saya menjadi ketagihan. Saking terkena candunya saya oleh sepak bola, saya sampai rela menyisihkan uang jajan saya ketika sekolah hanya untuk membeli sebuah tabloid sepak bola demi memperdalam pengetahuan saya tentang apa yang saya sukai.
Sejak kecil, bangun malam untuk menonton sebuah pertandingan sepak bola, membeli dan membaca majalah/koran/tabloid terkait sepak bola menjadi kegiatan rutin yang selalu mengisi keseharian aktivitas saya.
Pernah suatu ketika, ayah membangunanku tengah malam dan mengajak menonton final Liga Champions yang saat itu mempertemukan AC Milan dan Juventus di Old Trafford. Entah mengapa, atmosfer pertandingan itu membuat saya takjub. Saya bahkan sampai nyeletuk kepada ayah “Pa, kayanya enak ya kalo bisa nonton langsung di satdion seperti mereka, rame gitu.”
Celetukan yang saat itu saya sendiri hanya menganggap itu hanyalah mimpi di siang bolong.
*******
Senin, 23 April 2018.
Pagi hari saya membuka akun facebook, saya diingatkan oleh facebook tentang memori setahun yang lalu. Suatu kejadian yang dulu saya anggap hanya sebuah mimpi, tiba-tiba bakal jadi kenyataan.
Setahun lalu, tepatnya tanggal 18 April 2017 saya secara iseng membuka portal sepakbola di internet, sebuah kebiasaan yang memang sudah rutin saya lakukan untuk membuka wawasan. Kebetulan, saya juga seorang admin dari akun twitter yang bertema sepakbola. Menjadi keharusan buat saya untuk selalu meng-update informasi-informasi teranyar dari dunia sepak bola.
Ketika membuka sebuah portal sepak bola ternama, ada suatu tautan yang membuat saya tertarik. Tautan tersebut bertajuk “Tantang Diri Anda untuk Mendapatkan Kesempatan Menonton Langsung Final Liga Champions.”. Melihat judulnya saja, saya sudah merasa tertantang, saya klik tautan tersebut, saya baca isinya ternyata sebuah kuis dsengan hadiah  perjalanan nonton langsung final Liga Champions di Cardiff.
Saya pelajari konsep kuisnya, ternyata semacam sebuah kuis trivia di mana kita diharuskan menjawab dengan benar beberapa pertanyaan yang diajukan sebelum nantinya dipilih sebagai pemenang. Iseng saya ikuti kuis tersebut, sebenarnya tidak kefikiran harus menang, karena niat awal saya hanya iseng saja. Satu demi satu pertanyaan yang diajukan sukses saya jawab dengan benar dan cepat. Saya iseng input email saya sebagai tanda keikutsertaan saya dalam kuis itu.
Selesai mengikuti kuis itu, saya menjalani hari seperti biasa, tidak ada firasat atau apapun tentang kuis tersebut. Hanya saja saya sempat bercanda kepada istri saya, saya bilang, “Kalo nanti nonton langsung final ke London, apakah kamu mau ikut?”. Respon istri biasa saja, karena dia tahu mungkin saya hanya bercanda.
*********
Jumat, 20 April 2017
Menjelang pelaksanaan salat jumat, tiba-tiba ponsel saya bergetar menandakan adanya notifikasi masuk. Saya sekilas mengecek ponsel saya, sebuah pesan dari portal berita tersebut masuk ke surel saya. Belum sempat saya membuka pesan tersebut, sekilas saya mengira itu hanyalah ucapan terima kasih telah menjadi peserta kuis saja. Saya abaikan pesan tersebut.
Sepulang dari salat Jumat, kembali saya mendapatkan sebuah notifikasi pesan surel masuk. Pesan serupa dari pengirim yang berbeda. Kali ini saya penasaran, saya buka pesan tersebut. Betapa terkejutnya saya, isi dari surel itu ternyata pernyataan bahwa saya dinyatakan sebagai pemenang utama dan berhak untuk pergi ke Cardiff. Bukan hanya ucapan terima kasih telah berpartisipasi. Sempet saya menyesal karena hampir mengabaikan surel tersebut. Ternyata rezekei emang tidak ke mana. :D
Segera setelah itu, saya kabari istri saya buat bersiap. Ada rentang hampir 2 bulan untuk mempersiapkan segala dokumen yang diperlukan. Waktu yang tidak sedikit juga tidak lama. Sempat resah juga karena hingga seminggu sebelum keberangkatan, visa tak kunjung di dapat. Namun akhirnya, semua berjalan secara lancar, dan tanggal 1 Juni 2017, saya beserta isteri akhirnya dapat berangkat ke Cardiff, Wales mewujudkan impian masa kecil saya, menonton final Liga Champions secara langsung di Stadion Millenium Cardiff, Wales. :D
Salah satu hal besar yang terjadi dari apa yang saya sukai.






Short Getaway: Mercure Simatupang







Waktu itu Abi sedang ada acara di Mercure Simatupang. Jadilah saya ingin mengajak mertua saya yg kebetulan lagi di Depok untuk ikut serta ke sana. Padahal abi dapat kamar berdua dengan orang, lha yaudah sekali kali kami book hotel buat sendiri. Maklum, biasanya gratisan XD

Saya telpon langsung ke hotelnya. Alhamdulillah gampang tinggal bilang mau kapan dan tipe kamar gitu gitu lah. Trus saya iseng kan, saya minta discount (corporate rate) karena suami sy jg ada acara disitu dan nginep disitu. Ditanya kan, perusahaannya apa? Saya jawab dan ternyata emang ada kan. Yaudah mbaknya bilang mau ngimel saya dengan harga awal nanti kalo ada discount dikabarin lg.
Saya waktu itu dapat harga satu koma sekian. Lha, trus saya ditelpon dan diemail juga harga barunya (yeiy dapet diskon). Nominal diskonnya seinget saya 450 ribuan gitu. Mayan kan, bisa makan cilok sepanci kayaknya..hehe

Padahal ya.. panitia acara juga gatau kayaknya saya mau ke sana. Dan siapa pula saya sampe bisa nebeng diskon pake nama mereka? Wkwk.. but yah disyukuri aja diskon yg ada ini. Alhamdulillah
Saya sama Ibu mertua saya dateng malam. Yahya.. suka liat jalanan via jendela kamar. Apalagi ada pembangunan track MRT atau LRT lah itu di depan hotel. Nah, cucok buat dia yg emang hobi liat semacam itu. 

Besok paginya kami sarapan di hotel dan ya.. ketemu deh ama temen2 abi. Yowislah risiko ngintil suami ya begini.. wkwk. Makanan oke menurut saya, banyak varian, ada spot main anak juga tapi kecil dan agak nyempil. Hehe

Dekorasi sih modern dengan aksen jam-jam segala rupa dari jaman baheula. Tidak banyak area foto karena emang hotelnya ga besar dan bukan family hotel kayaknya ya.. kite aje yg nyasar kemari..
Setelah makan sambil nunggu abi kelar rapatnya kita main ke pool di atas. Ada kaya bar gitu dan tempat fitnes. Tapii.. yaa itu.. segitu doang areanya. Poolnya juga mini. Hehe.. untung cuma semalam aja ya kalo ga pasti kita nyari emol atau jalan kemana gitu biar ga bosen. Siangnya kami makan di situ juga. Area makan seru tapi kalo siang agak panas karena banyak dinding kaca.  

Ok ya Mercure, lebih senang lagi aku kalo di dapur ada stempel halalnya (:D)




MOVE !

Belakangan ini saya menekuni olahraga yang selama bertahun-tahun tidak saya sukai: lari. Ya, sebelumnya saya tidak pernah suka lari, indeed saya berlari, tapi biasanya hanya bagian dari sebuah pemanasan sebelum memulai olahraga yang lain. Saya tidak suka berlari karena nafas saya tidak kuat, gampang ngos-ngos an. Katanya sih lari bisa memperkuat nafas, lah ini baru lari aja sudah ngos-ngos an. Jadinya seperti mana dulu ayam dengan telur :). Lalu kenapa sekarang saya malah rutin berlari?.

Awalnya adalah ketika di suatu hari Car Free Day (CFD), istri saya mengajak saya jalan kaki saja karena bosan bersepeda; rutenya itu-itu saja dan menembus ribuan orang yang berjalan tanpa aturan di CFD adalah perjuangan tersendiri bagi pesepeda. Jadilah akhirnya kami berjalan kaki. Setelah beberapa ratus meter berjalan, saya bilang ke istri kalau saya akan menantang diri saya untuk berlari tanpa jeda dari mulai FX Senayan sampai dengan Bundaran HI, dan kemudian menunggunya disana. Ini jelas sebuah tantangan, karena saya tidak pernah berlari sejauh itu dan saya sendiri pun tidak yakin mampu melakukannya tanpa jeda. Singkat cerita saya pun mulai berlari; 100 meter...200 meter...500 meter....1 kilometer. Saya terus berlari, pelan, karena nafas mulai ngos-ngos an. Tapi saya tidak mau berhenti sambil terus self-talk bahwa saya bisa berlari tanpa jeda sampai Bundaran HI.

Ketika akhirnya saya bisa menyelesaikan tantangan tersebut, perasaan takjub dan tak percaya terus memenuhi hati saya. Kok bisa? Apakah karena selama ini saya rutin bersepeda? Apakah karena ego dan self-talk selama saya berlari?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus terdengar di otak saya, bercampur dengan euforia keberhasilan 'pelarian' pertama saya. Pelarian pertama yang membuat saya berjalan bagai robot selama seminggu. Pelarian yang kemudian memotivasi saya untuk mencoba berlari lagi, apalagi setelah saya hitung pelarian pertama tersebut kurang lebih berjarak 5 kilometer. Saya mampu!. Itulah yang kemudian saya tanamkan dalam otak saya untuk melakukan aktivitas lari ini secara rutin.

Lari dengan segala macam embel-embel nya saat ini memang sedang hits. Dari mulai lari cantik, finish cantik, finish strong dan segala macam istilah dalam dunia lari akhirnya akrab dengan telinga saya. Biasaaaa, namanya juga sedang semangat-semangatnya. Tapi bukan karena ikut-ikutan trend kalau akhirnya saya memiliki sebuah jam tangan pintar. Buat saya, olahraga apapun yang saya lakukan haruslah aman dan terukur, sehingga saya butuh sebuah alat yang bisa mengukur batas kemampuan saya. 

Selain fitur heart rate monitor, salah satu fitur yang saya suka dari jam tangan pintar adalah notifikasi untuk bergerak. Fitur ini akan mengingatkan kita untuk bergerak/berjalan/berlari ketika dalam kurun waktu tertentu kita terdeteksi dalam posisi diam. Agak lucu memang ketika fitur ini pun akan berfungsi ketika kita sedang berada dalam kendaraan atau bahkan sedang tidur :).

Mengapa fitur move! atau bergerak menjadi fitur yang dimiliki oleh hampir semua jam tangan pintar ataupun melekat pada aplikasi-aplikasi kebugaran/olahraga?. Bergerak, selain merupakan salah satu ciri makhluk hidup juga merupakan suatu aktivitas yang sangat bermanfaat untuk kesehatan. Berbagai lembaga kesehatan maupun penelitian-penelitian di bidang kesehatan merekomendasikan agar orang dewasa minimal melakukan latian aerobic 150 menit dengan intensitas sedang per-minggu atau 75 menit apabila dilakukan dengan intensitas tinggi. Aktivitas tersebut setara dengan 7,000 - 8,000 langkah sehari. Bahkan ada satu penelitian yang menyatakan bahwa wanita yang berjalan 10,000 langkah sehari dapat menurunkan tekanan darah dalam waktu 24 minggu dan meningkatkan kadar glukosa dalam tubuhnya.

Pertanyaannya adalah seberapa jauh kita harus berjalan untuk memenuhi rekomendasi tersebut?. Saya pribadi memiliki target 8,500 langkah per hari. Sebagai gambaran, untuk mendapatkan 5,000 langkah, kita harus berjalan paling tidak 3,2 kilometer sehingga untuk memenuhi target 8,500 langkah saya harus berjalan atau berlari sejauh 6 - 8 kilometer. Saya pernah menemukan fakta ketika di suatu hari kegiatan saya hanya berjalan dari rumah ke garasi, naik mobil, berjalan dari tempat parkir ke gedung kantor, kemudian berjalan seperlunya di dalam kantor termasuk ke kantin, saya hanya berhasil mendapatkan 1,900 langkah, dari pagi sampai malam. Bayangkan betapa tidak sehatnya saya jika hal tersebut terjadi setiap hari.

Move on dong!  kata anak jaman now kalau ada temannya yang selalu terjebak kenangan masa lalu. Move on...bergeraklah, karena jika tidak maka kamu akan sakit, kenangan masa lalu akan membuatmu sakit. Kira-kira seperti itulah jika dianalogikan dengan bergerak dalam artian aktivitas fisik yang saya tuliskan di atas. Manusia memang harus bergerak, bukan saja untuk menunjukkan bahwa mereka makhluk hidup, tapi lebih dari itu. Manusia bergerak tidak hanya berpindah secara fisik dari satu titik ke titik lainnya. Manusia bergerak juga dalam fikirannya, semangatnya, jiwanya, kebaikannya, amal ibadahnya. Sama hal nya badan yang sakit ketika tidak atau kurang bergerak, maka fikiran manusia pun akan sakit jika tidak bergerak, tidak akan ada pencapaian ketika semangat dan jiwanya tidak bergerak, tidak ada tambahan kebaikan ketika amal ibadahnya tidak bergerak.

Move move move...bergerak bergerak bergerak, ukurlah diri kita, ingatkan diri kita untuk selalu bergerak. Bergerak maju, bukan bergerak di tempat apalagi bergerak mundur, sampai saatnya kita tidak mampu lagi bergerak bahkan berfikir untuk bergerak.


Jakarta, 18 April 2018
Sekedar melemaskan jari yang sudah lama tidak bergerak di papan ketik.

Kunang-Kunang


"Kamu baik-baik saja?" 

Suara ini memecah keheningan. Aku masih belum sepenuhnya sadar. Ruangan ini gelap. Satu-satunya cahaya berasal dari tirai tipis, terpasang melapisi jendela raksasa di ruangan yang berdiri 30 meter di atas permukaan tanah. Kuraba tiang metal di sebelah tempat tidur untuk menyalakan lampu baca. Aku suka tidur hanya diterangi cahaya bulan ... atau kerlap-kerlip cahaya ratusan kamar di gedung apartemen seberang. Rasanya seperti hidup dikelilingi kunang-kunang.

Orang Skandinavia memang aneh. Semakin tinggi tempat tinggalnya, semakin transparan jendela apartemen mereka. Makan, minum, menulis paper, memasak, mengadakan pesta, menonton film porno, berkebun atau mengobrol ... sepertinya semua orang bisa melihat apa yang dikerjakan tetangga seberang. Di keheningan malam seperti ini, sesekali terdengar suara rusa atau burung hantu dari bukit kecil di antara kompleks bangunan apartemen ini. Kami jauh, tapi terasa dekat. We don't talk, but we know each other.

Jam berapa ini? Layar ponsel menunjukkan angka 00.40. Bukan waktu yang normal untuk menelepon dengan ukuran orang Swedia ... atau Indonesia ... atau siapa saja.

"Ya," hanya jawaban itu yang bisa keluar dari mulutku. Keheningan berlanjut selama 5 detik sebelum akhirnya temanku langsung berbicara panjang tanpa menunggu kalimat lebih banyak dariku.

"Jam berapa jadwal penerbanganmu? 
Apakah kamu sudah punya tiket? 
Kapan rencana pemakamannya? 
Dengan kendaraan apakah kamu akan pergi ke bandara? 

... Aku turut bersedih atas peristiwa yang kamu alami sekarang. Aku tidak bisa tidur. Aku barusan mengobrol dengan pacarku dan meminta izin menggunakan mobilnya untuk mengantar kamu ke bandara, kalau kamu bersedia untuk kuantarkan. Selain itu, bolehkah kita berangkat beberapa jam lebih awal? Aku ingin mengajak kamu makan di luar sebelum kamu terbang selama 22 jam. Ini penting supaya kamu tidak kelaparan, dan aku harap kita punya waktu untuk mengobrol sebentar." Ia terus bicara seperti meluncur di jalan bebas hambatan.

"Oh," tanggapku ... dengan setengah sadar ... dan tiba-tiba ingin menangis. Terlalu banyak emosi yang harus kucerna dari rangkaian kejutan yang terjadi dalam waktu singkat. 

Ayahku meninggal. 

Kabar ini kudapatkan 20 menit setelah aku bergadang mencari tiket pulang. Pupus sudah harapan untuk menemaninya di ruang pemulihan dan ICU pasca operasi. Dan kini ... ketika semua menjadi buram dan gelap ... ada telpon di tengah malam dari seseorang yang mengatakan bahwa ia tidak bisa tidur sebelum menceritakan semua rencananya untuk membantu.

"Maafkan aku menelpon jam segini. Aku merasa kejadian ini berat buat kamu dan mungkin ada hal-hal yang bisa aku lakukan untuk meringankan. I know your father adores you and misses you ... but you could not go home ... as we know for weeks your husband already bought ticket for holiday to Sweden," temanku melanjutkan.

"Yeah," aku bergumam lagi. 

Sejujurnya aku juga bingung untuk merasa bagaimana atau berpikir bagaimana lagi. Di jam satu malam. Should I be sad for losing a father? Should I be happy for my spouse to visit? And why a foreigner cannot sleep for my own personal problem? This is crazy.

"Terimakasih, tapi aku tidak ingin merepotkan. Aku baik-baik saja. This is my problem, not you ... and that was Frank's car not yours. Doesn’t your boyfriend need it? Aku sudah membeli tiket bus ke bandara, dan karena ini mendadak maka aku hanya membawa 1 ransel saja. I am fine, thank you." aku berusaha menghargai usaha temanku.

Tapi dia tidak menyerah. Malah mungkin cenderung ngotot, "But at least I want to say goodbye. I want us to have a chance to talk about what happens to you. Please let me do something. When is the flight?"

Baiklah. Aku merespon, "penerbangan KL1160 boarding di Gothenburg 17.45, transit dan ganti pesawat KL809 di Amsterdam pukul 20.50, dilanjutkan dengan transit di Kuala Lumpur pukul 16.20, tiba dengan pesawat yang sama di Jakarta 17.25 sore."

"Good," katanya, "Kalau begitu bolehkah saya jemput kamu pukul 2 siang dan kita makan di lapangan golf Öjersjö sebelum aku mengantarmu ke bandara?"


“Baiklah,” aku tak berniat mendebatnya lagi.

“OK, now you should get back to sleep. You will need it,” katanya.

“Thank you,” tutupku.



juve, storia di un grande amore

  Ketika di menit menit akhir pertandingan Buffon kembali memungut bola dari gawang untuk ketiga kalinya, hp saya makin riuh berbunyi tanda banyaknya pesan yang masuk ke inbox saya. Dan deretan kalimat ucapan “selamat” bertubi tubi dari segala penjuru, beberapa di antaranya dengan bumbu gambar dan emoticon yang sadis.

    Dinihari tadi mungkin bukan harinya juve dan harinya saya. main di kandang pada leg pertama perdelapan final, juve harus mengakui ketangguhan madrid dengan skor telak 0-3. Meski ada leg kedua nanti di kandang madrid, tetapi rasanya peluangnya cukup berat. Bahkan sang ilcapitano, Buffon dalam laman resmi UEFA menyatakan bahwa kemungkinan besar Juve tak akan lolos ke tahap selanjutnya. 
bagi saya, dinihari tadi adalah kali pertama dalam beberapa tahun terakhir, bisa menonton siaran langsung juve pada saat dinihari. Bukan karena saya sudah berpaling hati ke lain klub, tapi karena bu menteri kominfo yang di rumah, membatasi jam tayang televisi di malam hari. Salah satu yang dilakukan bu menteri kominfo untuk menegakan aturan itu adalah membacakan “peringatan pemerintah menonton televisi kemalaman bisa menyebabkan kantuk esok hari, masuk angin, telat subuh, telat mandi, telat ngantor, gangguan kehamilan, Impo***** dan bla bla bla. Biasanya saya malas untuk bersilat lidah untuk hal hal seperti ini, toh ini juga untuk kebaikan saya. Kebetulan saja, sejak minggu lalu bu menteri kominfo lagi saya ungsikan ke Bandung karena anak anak libur sekolah. Sehingga dari sore sebelumnya, saya sudah kabar kabari teman teman yang saya tahu  madridista (pendukung madrid) untuk sama sama bangun dan nonton siaran langsung Juve Madrid (tentu saja dengan sedikit  bumbu  provokasi).
Apesnya, kali ini Juve kalah di kandang. Kalimat kalimat horor melalui wa sudah mulai saya terima sejak  pertandingan baru berjalan tiga menit saat Ronaldo membuat gol pertama. Teror  itu semakin menjadi ketika  Ronaldo  membukukan gol keduanya, pada sepuluh menit awal babak kedua. 
Penderitaan saya ternyata berlanjut sampai sore harinya, beberapa teman masih terus "menghibur" saya dengan memposting aneka komen dan meme  terkait kekalahan Juve . Ada yang meledek saya dengan pertanyaan "ngapain atau kenapa jadi Juventini"? 

duh.... 
kecintaan pada sebuah klub bola memang aneh dan penuh misteri. Tak tahu bagaimana datangnya, tetiba saja kita senang menonton, mencari berita, mengumpulkan pernak pernik berbau klub atau ungkapan kecintaan lain. Kalau ada teori dari jawa tengah, bahwa timbulnya cinta muncul karena kebiasaan bertemu, witing trisno jalaran soko kulino, maka teori itu tidak berlaku saat saya memulai menjadi Juventini. Pada masa itu, RCTI menyiarkan langsung maupun tunda  hampir semua pertandingan tim tim besar Seri A Italia secara bergantian, tidak hanya pertandingan Juve. Kalau misalnya kecintaan itu muncul karena performa juventus, Pada masa itu juve juga gak bagus bagus amat, dalam beberapa kesempatan Juve kalah bertanding, bermain jelek dan tidak enak ditonton. 

Menjadi Juventini juga tidak bisa dipaksakan. Bak kisah Siti Nurbaya, saya pernah mencoba mencekoki tiga anak laki laki saya Damar, Surya dan Lintang dengan virus Juventini. Saya belikan kaos hitam putih Juve, Saya pasang poster juve, sprei bergambar juve, berharap mereka akan mengikuti jejak saya. 
Tapi begitu ngerti sepakbola , anak saya pertama malah lebih memilih menjadi pendukung Chelsea dan anak kedua memilih menjadi pendukung Manchester City. 

Mungkin ada yang nyinyir, ini mah juventini kelas kroco?
Masing masing juventini mungkin punya level fanatisme yang berbeda beda. Ada yang menunjukannya dengan selalu berusaha menyaksikan semua siaran pertandingan juve,(bahkan mungkin bagi yang berpunya,  berusaha nonton langsung ke stadion), hoby berburu pernak pernik berbau juve, bergabung di group juventus fans club. sementara  saya mungkin kategori yang biasa biasa saja. Beli pernak pernik Juve, kalau pas punya duit saja, nonton siaran langsung kalau situasi memungkinkan saja, rasa penasaran saya akan hasil pertandingan cukup terpuaskan  dengan berselancar ke web-nya juve, media oline lain maupun nungguin berita di televisi. Meski begitu sepengetahuan saya, para juventini punya kesamaan dalam satu hal, yaitu  juve menang atau kalah, bermain bagus atau jelek, promosi atau degradasi tetap menjadi juventini, tidak berpaling ke klub sepakbola lain. 

Di kampungnya sana,
Juventini mengungkapkan kecintannya dengan berbagai cara. Membuat yel dan koreografi dukungan sepanjang pertandingan, memasang spanduk dan bendera bendera besar klub di setiap sudut stadion, menyanyikan mars dan lagu pemompa semangat agar juve menjadi yang terbaik. Di bagian lain belahan bumi, ada ribuan atau bahkan jutaan juventini yang tidak hadir di stadion, tetapi mempunyai kecintaan dan harapan yang sama (dalam kadar yang berbeda termasuk saya). Cerita tentang kecintaan dan harapan inilah yang tertuang dalam  lagu "juve, storia di un grande amore". lagu yang yang selalu dinyanyikan oleh para supoter sebelum pertandingan kandang berlangsung. Dalam bahasa Indonesia, judul lagu ini di terjemahkan sebagai juve, kisah cinta yang besar.

Begitulah, 
sekian lama menjadi Juventini saya juga bisa belajar dan bisa memahami kalau ada teman teman lain yang ternyata memilih menjadi madr****** pendukung sang juara liga champion,  atau memilih menjadi ro*******, pendukung klub yang seingat saya baru tiga kali jadi juara seria A dan belum sekalipun pernah jadi finalis champion(mohon maaf kalau saya salah). Karena keliatannya menjadi pecinta dan pemuja, kadang tak perlu punya alasan.
 
Bekasi, 5 April 2018