Merayakan Kebohongan

Dirum : Kenapa judulnya itu Urug?
Urug : Lagi musim!

Dirum : Musim bagaimana Urug? Lagi pula masa sesuatu yg buruk dirayakan. Mbok ya kalau mau merayakan itu merayakan kebaikan.

Urug : Itulah Dirum. Jika kita merayakan kebaikan dengan melakukan hal-hal baik, maka keburukan dirayakan dg melakukan hal-hal buruk.

Dirum : Maksud lo? Eh, maksud Urug?

Urug : Jika kita melihat orang melakukan satu hal buruk lalu banyak orang membullynya bahkan merendahkannya. Bukankah artinya itu kita telah menambahkan keburukan?

Dirum : Hal buruk kan memang rendah Urug dan membully orang yg melakukan keburukan itu biar orang itu kapok. Semacam sanksi sosial lah gitu.

Urug : Nah, ada dua hal sebenarnya disitu kan. Perbuatan buruk dan yang melakukan perbuatan itu. Yang kamu katakan tadi adalah kamu benci perbuatan buruk dan benci juga pelakunya. Kamu mempersempit ruang bagi pelaku untuk memperbaiki kelakuannya jika begitu Dirum.

Dirum : Apa maksud Urug kita mesti seperti kutipannya Mahatma Gandhi itu, 'Bencilah dosa, Sayangilah orang yang berdosa'

Urug : Kamu pikirkanlah Dirum dan renungkan. Lagi pula memangnya kamu tidak pernah berbohong. Coba aku tanya, 'Sudah berapa kali hari ini kau berbohong pada Tuhan?'

Dirum : Lho?

Urug : Ya coba cek saja. Berapa kali kamu memujinya Maha Pengasih dan Penyayang juga Maha Besar tapi ketika kau ketemu kenyataan yg tak sesuai harapan kamu kesal dan pesimis. Kau sering mengucap syukur pada-Nya tapi tak berbagi. Bukankah kata-katamu telah menjadi kebohongan jika begitu.

Dirum : @#$&@@..

J1018

Gempa Bumi



Tapak-tapak tua berbekas di atas alas
Telah lama menghuni pongah berdiri
Peran penjaga bumi jatuh terjerembab dalam kerusakan
Gumpalan tanah yang jadi moyang dipakainya tumpuan kemaksiatan

Ingatkah engkau pada masa penciptaan
Malaikat sempat tak setuju penunjukan dirimu
Watak perusak jadi alasan ragu
Sang Khalik membelamu karena Dia yang Maha Tahu

Acuhmu masih saja meninggi saat petunjuk jelas menerangi
Larangan tetap kau daki, perintah beraninya kau kangkangi
Lirih nasihat tak lagi mempan
Teriakan peringatan tak jua menggetarkan

Kini penggenggam bumi bertindak
Al Malik menurunkan setitik kuasa yang dipunya
Membolak balik lempengan daratan
Mengangkat yang di bawah, meruntuhkan atribut lambang jumawa
Air asin pun diajaknya beranjak
Menggulung segala apa yang diajak
Sang Raja sejak lama telah berkata,
Musibah alam semesta adalah andil tangan manusia

Bukan...bukan hanya Palu - Donggala
Bukan pula waktu silam bagian barat nusa tenggara
Tapi seluruh insan di negeri Indonesia
Semua karena kalian, seluruhnya karena kita
Mereka jadi akibat teguran keras kepada kita
Mereka jadi akibat balasan atas dosa kalian

Apakah kini kalian hanya berdiri bersedih hati
Bermodal muka sedih yang tak tentu dari hati
Membiarkan mereka di sana menderita sendiri
Jadi penebus banyaknya dosa-dosa kita di sini
Bergerak dan bangun lah...
Ulurkan tangan suapkan bantuan
Sebagai permintaan maaf kita pada mereka
Yang luluh lantak oleh desingan teguran atas kesalahan masing-masing kita
Dan yang pasti, karena kita semua utuh bersaudara.

Mimpi Yang Tak Sempurna

Sejumput mimpi tercecer di akhir lelap

Saat telinga tergagap gawai memekak

Terduduk dalam gelap, kupaksa kantuk mendekat

punguti mimpi yang terserak

Ada kamu di situ

Ada aku tentu

lalu gelap

Terkilas stasiun yang dingin

dengan roda-roda besi yang bisu dalam hening

Ada kamu di situ

Ada aku tentu

bayangan hitam memekat

Dahulu kita tidak berjarak

meskipun kita tidak selalu dekat

Dahulu kita tidak berjarak

walaupun badan tersekat-sekat

hati sudah terikat

Ada kamu di situ

Ada aku tentu

bibirmu mengukir kata

mataku menatap hampa

sia-sia

karena tak juga kutemukan makna

dari mimpi yang tak sempurna



Jakarta, 01102018

Berbagi 7 Rindu

Rindu (1)
Rindu adalah tentang mengingat
Jika engkau mengatakan itu berat,
mungkin karena engkau belum merasakan
beratnya melupakan

Rindu (2)
Bagi pikiran, sepi adalah soal jumlah
Bagi hati, sepi adalah tentang keterikatan
Pada hati yang sepi, panggilan rindu nyaring berbunyi

Rindu (3)
Rindu yang murni itu dirasakan
Sedangkan rindu yang kau tuliskan
adalah rindu yang telah terkontaminasi pikiran

Rindu (4)
Jika rindu hanya tentang keinginan untuk bertemu
maka ia akan hilang saat pertemuan datang
Tetapi ternyata tidak begitu
Karena setiap kali kau bertemu
Sesungguhnya kau bukan hanya melepaskan
Tetapi juga sedang menjemput lebih banyak kenangan

Rindu (5)
Seperti juga cinta, rindu tak berhutang apa-apa pada kata
Katalah yang menerima banyak dari mereka

Rindu (6)
Rindu tiba ketika kenangan yang merasa sepi
membutuhkan kenangan sejenis untuk menemani

Rindu (7)
Rindu adalah perasaan
Jarak dan waktu adalah kesadaran
Dan pertemuan adalah tentang
seberapa besar perasaan mempengaruhi kesadaran

JANGAN LUPA (JALAN) PULANG

Dalam satu sesi ghibah di kantin, tiba-tiba topik obrolan beralih tentang seorang pejabat yang terkenal alim dan aktif dalam komunitas keagamaan tapi juga terkenal "lincah" dalam mencari tambahan penghasilan. "Ada apa yaaaa...?" tanya gue menirukan Dian Sastro dalam film Aruna dan Lidahnya. Maksud gue, kok bisa sesuatu yang sangat berlawanan bisa berjalan seiring. Tidak terlihat tanda-tanda penurunan semangat beribadah, pun, tidak sedikitpun ada risih untuk tetap "lincah" dalam mencari peluang menambah tabungan. "Justru itu bro!" sergah temen gue. "Dengan ketaatan beliau beribadah, beliau tahu betul caranya untuk tobat, gak kayak lo". Sebuah pernyataan yang menyebabkan kami ngakak bareng.

Di tahun 80-90 an, Abang gue paling senang berkendara ke Jakarta saat liburan. Perjalanan dari Palembang ke Jakarta saat itu paling cepat dapat ditempuh dalam waktu 15-18 jam. Di Jakarta biasanya Abang gue itu berkeliling mengunjungi kerabat yang kebetulan tinggal di Jakarta atau bertandang ke rumah teman-teman kerjanya. Selain muter-muter Jakarta, biasanya juga kami ke Bandung atau Cirebon. Semua dilakukan dengan berkendara. Saat itu kami belum kenal teknologi GPS, handphone juga belum jamannya. Namun tanpa itu semua, Abang gue dengan pede-nya nyetir kesana-kemari hanya berbekal alamat ataupun rambu-rambu jalan. Abang gue seolah-seolah sangat hapal jalanan di Jakarta, Bandung ataupun Cirebon. Karena penasaran, gue sempet nanya gimana Abang gue bisa menghapal jalanan di Jakarta, yang menurut gue sangat banyak dan membingungkan. Sambil tertawa Abang gue menjawab "ya pokoknya ikutin jalan aja, kalo buntu atau salah jalan ya tinggal balik lagi". "Yang penting kita ingat jalan yang sudah kita lewati, jadi nggak bingung kalau mau pulang" lanjut Abang gue.

Sebuah pertanyaan yang paling sering gue terima ketika obrolan tentang kota kelahiran gue, Palembang, adalah "sering pulang ke Palembang?" atau "kapan terakhir pulang ke Palembang?". Sebuah pertanyaan yang lazim dan gue pun sering melontarkan pertanyaan yang sama ke lawan bicara gue. Sebuah pertanyaan yang mendefinisikan bahwa setiap orang yang merantau pasti akan pulang ke tempat dari mana dia berasal. Orang Palembang pasti pulang ke Palembang, orang Medan pasti pulang ke Medan, orang Kalimantan pasti pulang ke Kalimantan, dan seterusnya dan seterusnya. Dulu, pada saat awal gue akan merantau, Almarhum Bapak saya cuma berpesan "cari istri orang Jawa, kabari kalo udah nikah atau mau nikah, dan jangan lupa pulang".

Jangan lupa pulang. Sebuah pesan sederhana yang sarat akan makna. Setiap orang pasti punya tempat, orang, moment atau satu titik untuk pulang. Jangan lupa pulang. Sebuah pesan yang mengingatkan kita bahwa sejauh apapun kita pergi, kita tetap harus pulang. Entah secara harfiah ataupun bukan. Apakah kita sudah menuju ke arah yang benar, atau kita telah menyasar entah kemana, tetap jangan lupa pulang, jangan lupa jalan pulang. Perjalanan pulang  tidak selamanya linier dengan perjalanan berangkat. Adakalanya lebih lama atau bahkan lebih cepat. Sebuah perjalanan yang tidak dapat kita pastikan waktunya, pun, tidak dapat kita pastikan apakah kita punya cukup waktu. Untuk pulang, kita hanya perlu kesadaran bahwa kita harus pulang. Kemanapun kita melangkah, apapun yang sudah kita kerjakan, ingatlah selalu untuk tetap pulang.

***

Jakarta, 01102018

Mati


Banyak manusia takut berdiri di atas tanggal berpulang
Tak pernah ada kata siap
Tak ada yang mau untuk jalan duluan
Tangan menengadah senantiasa panjatkan doa
Semua menggantungkan harap berumur panjang

Gelapnya bawah tanah jadi momok imaji
Belum lagi kotak bekal belum terisi
Rentetan pertanyaan malaikat dihafal tiap hari
Bisa-bisa hanya menguap dalam perut bumi

Menangis bergidik saat terbersit dalam renungan
Kelak surga atau neraka jadi teman keabadian
Hitungan amal tampak tak sebanding dengan tingkah berandal
Pertobatan seringnya berasa sambal

Tapi heran,
Kini banyak orang berlama-lama dalam mati
Meskipun sempat dihidupkan kembali
Suara azan lantang berkumandang
Terdengar di telinga, meremangkan mata
Seolah lenyap hingga tertutup fajar

Tapi heran,
Kini banyak anak muda berlama-lama dalam mati
Meskipun sempat dihidupkan kembali
Hardikan orang tua bak bisikan pelan
Sampai-sampai
mentari turut ikut membangunkan

Mereka puas dengan surga sebatas kotak empuk dari kapuk
Lalai atas perintah yang didapuk
Otot kawat tulang besi tak berdaya lawan kantuk
Tak sadar keberadaan neraka bisa membuatnya terantuk
Siksa pedih menghajar hingga meringkuk
Surga abadi jauh meninggalkan di ujung ufuk

Angin. Hujan. Salju


Angin. Hujan. Salju.

Itulah tiga hal yang bisa membuat semua orang menghentikan kegiatannya tanpa kehadiran rasa bersalah.

Seperti saat ini ketika Missy melihat seorang ibu berjuang mempertahankan payungnya yang bengkok tertiup angin kencang. Missy sendiri juga sedang berjuang mempertahankan pijakan kakinya yang doyong terombang-ambing hembusan udara dari delapan penjuru. Kedua tangannya penuh menggenggam kantong plastik seberat 3 kilogram berisi telur, beras, susu, dan sayuran. Dipasrahkannya payungnya untuk mengapit di ketiak kirinya ... sementara ia berpikir bila harus melepaskan salah satunya, manakah yang harus terbang lebih dahulu: payung, jaket ... atau sayuran, telur dan susu? Saat inipun ia juga bingung mencari cara untuk merogoh kantong mantelnya yang berisi dompet dan kunci elektronik. Tanpa kunci ia tidak dapat membuka pintu untuk masuk dan menghangatkan badannya di dalam. Kedua tangannya sudah penuh dengan payung dan kantung belanja berisi bahan makanan. Bila dilepaskannya barang-barang itu untuk terbawa angin, ia bisa saja membuka kunci gedung ini .... tapi apa gunanya berada di dalam rumah dengan kebasahan dan kelaparan.

Musim gugur tersohor dengan merah dan jingganya daun maple berguguran, atau ... ranggasan pohon dengan ranting-ranting menjulang bak jari-jemari lentik yang menggapai langit lembayung yang merona. Tidak banyak yang memperingatkan tentang seringnya kejadian hujan mendadak diiringi angin kencang ... atau pemandangan orang-orang dan sepeda tergelincir di jalan berbatuan.

Tentu saja ketika Jake dan Nicholas bertanya apakah ia betul-betul kerasan belajar di tempat ini, Little Missy hanya bisa terheran-heran dengan skeptisisme mereka, "Kok bisa?" Sebab baginya semua terasa indah-indah saja. Sambil berjalan Jake menadahkan tangannya ke tetesan hujan di udara sementara Nicholas berkomentar sarkastik, "Like this weather? Weeeaaather? Wet! See!?" Missy hanya bisa tertawa karena ia tahu di belahan dunia lainnya ada kota dengan 10 juta penduduk yang kenyang dengan banjir tahunan. 

Perlukah ia menceritakan kepada mereka tentang orang berselancar dan mengayun perahu karet di jalanan Jakarta? Atau bagaimana kalau ia bercerita tentang Jaguar yang mogok di "kolam" banjir di Bunderan HI? Ia tahu kalau Ella dan Christine tidak tertarik kisah-kisah semacam ini, karena bagi mereka Jakarta tidak sefamiliar Paris dan London tempat liburan rutin di musim panas. Untuk kedua gadis ini, Little Missy hanyalah satu lagi orang kere dari dunia ketiga yang "beruntung" untuk bisa hadir di tengah ruang kelas mereka. Meski banyak teman-temannya memandangnya dengan kasih-sayang ... sejujurnya ia merasa lebih banyak porsi kasihan daripada sayang.

Tapi Missy tidak menceritakan kepada siapapun tentang kesukaannya pergi ke luar ruangan ketika salju mulai menebal. Ia senang melihat jejak sepatu boots nya terbenam di hamparan “permadani” putih. Kebiasaan konyol yang lahir setelah kejadian di suatu petang ketika ia menyiapkan makan malam di dapur. Tak seperti biasanya, suasana di luar jendela terasa senyap. Padahal biasanya ia mendengar gemerisik pohon-pohon dan hembusan angin menyertai rintik hujan. Kali ini ia tidak mendengar apapun .... dan kesenyapan inilah yang memaksanya untuk beranjak ke jendela. Dan ia nyaris tidak melihat apa-apa. Kecuali warna putih dan abu-abu.  

Dibukanya slot kunci jendela untuk melihat ke jalanan di bawah. Dari ketinggian delapan lantai, hampir semua tertutup warna putih ... kecuali satu atau dua mobil yang melintas perlahan. Sepertinya hanya benda-benda bergerak saja yang tidak tertutupi dengan warna putih. Dan ketika ia memberanikan diri untuk merogohkan tangannya ke luar jendela ... ia melihat butiran-butiran putih berkilauan jatuh di jemarinya lalu menghilang sekejap mata. 

Butir-butir salju hanya menetap di tempat yang dingin dan beku. Di tubuh manusia, seperti telapak tangan Missy ... ia akan berganti wujud menjadi butiran air. Missy melihat telapak tangannya mulai basah karena lelehan salju. Sesaat ia merasa sedih karena menyaksikan keindahan yang hilang begitu saja tanpa bekas. Dirogohnya kembali tangannya ke dalam kantung piyama. Di dalam sini terasa lebih hangat. Dan kering. Namun pikirannya tak bisa lepas dari fananya kristal-kristal salju tadi. 

Untuk mengobati kesedihannya, Missy berfilsafat sendiri, 

"Apakah mungkin ini artinya tidak semua keindahan di dunia ini harus dimiliki? Apakah kita hanya perlu untuk mengetahui saja? 

Apakah usaha kita untuk mempertahankan hal-hal yang dicintai bisa menjadi awal dari kemusnahannya sendiri?"

Setelah capek berfilsafat di dapur, Missy mengalihkan pandangannya dari jalan di bawah ke kompleks gedung di seberang sana. Beberapa jendela juga terbuka seperti jendelanya. Ia melihat satu sosok tinggi yang sedang berdiri di dekat kaca jendela sambil menengadahkan kepala mencari arah muasal turunnya kristal-kristal putih itu. Dan ketika kepala itu tegak kembali ... ia tersentak melihat Missy, lalu beranjak kembali ke dalam.

Jarak yang Men-ce-kam

Diksi cebong dan kampret dipakai rasanya bukan tanpa alasan. Kalau melihat meme-meme yg beredar ada sebuah konsep yg mendasarinya. Yang satu menyindir soal otak, satunya tentang cara melihat. Apa pun itu, tujuannya sama, menyindir dengan bumbu yg rada menghina.

Soal menyebut orang dengan diksi binatang ini, saya jadi teringat masa remaja dulu. Saat teman yg lewat kadang disapa oleh teman lainnya yg sedang nongkrong dengan pertanyaan, 'Mau kemana lu Nyet?' Lalu teman yg ditanya itu sambil sedikit tertawa enteng menjawab, 'mau ke warung depan Nyuk'. Tidak ada yg marah dengan sebutan itu, karena memang satu sama lain bukan sedang menghinakan tetapi begitulah keakraban yg ada di antara mereka. Hati sudah dekat, kata tak lagi jadi penyekat.

Saya bukan sedang mengedepankan keakraban model begitu, hanya ada kenyataan seperti itu dalam pergaulan kita. Yang akrab tanpa membawa-bawa penghuni kebun binatang juga banyak. Saya hanya ingin menggambarkan bahwa keakraban membuat hidup lebih enak, apapun pilihan kata pergaulannya.

Nah, kembali pada cebong dan kampret, seringkali dalam penyebutannya disingkat menjadi bong dan pret seraya menyimpan satu suku katanya masing-masing. Bong-pret dan pret-bong pun kerap kali bersahut-sahutan.

Jangan bicara keakraban disini, kadang yg saling menyahut itu adalah orang yg tidak saling mengenal. Coba bayangkan, menggunakan diksi binatang untuk menyebut orang yg tidak kita kenal? Yang sudah kenal saja bila tidak akrab mana berani kita menyebutnya. Jadi, bagaimana mungkin bisa saling mendekat jika sebutan yg digunakan justru menegaskan jarak?

Maka berhentilah menggunakan sebutan-sebutan itu. Tetapi, jika tetap mau juga menggunakannya akrabkanlah dulu antara dua kubu agar tone yg terdengar bukan lagi sindiran atau hinaan tetapi sebentuk kedekatan. Karena jika tidak bong dan pret hanyalah yg tampak di permukaan sementara satu suku kata masing-masing tersimpan dalam diam.

Dan suku kata masing-masing yang diam itu adalah ce dan kam. Perlahan tapi pasti entah mengapa, sebutan yg menyindir dan rada menghina itu selain menciptakan jarak juga rasanya semakin membuat situasi jadi mencekam.

Jika jarak saja sudah bikin kita 'cape', apalagi jarak yang men-ce-kam.

J2018