Rasa Sakit Yang Indah

Membaca karya sastra dari berbagai sumber, baik dalam bentuk puisi, pantun, pupuh, gurindam, prosa maupun dalam bentuk lainnya membuat saya merenung, mencoba memahami apa yang hendak disampaikan oleh para penulis. Mencoba mencari pesan Tuhan yang ingin disampaikan lewat berbagai tulisan tersebut.

Ketika metafora disampaikan dari bentang bumi makro, maka saya pun mencoba merenunginya dalam bentang bumi mikro saya. Matahari, Bulan, Bintang, dapatkah saya melihat semua itu dalam bumi mikro saya? Ataukah masih tertutup awan yang kelabu sehingga saya belum mampu menyaksikannya? Apakah semua itu karena uap-uap yang menggulung membumbung tinggi menyesakkan dada karena ukurannya telah melebihi dari yang sudah ditetapkan Tuhan?

Untuk hal-hal tertentu, penyampaian secara mutasyabihat memang lebih pas dibandingkan bila kita sampaikan secara muhkamat. Berbagai pesan dapat kita sampaikan tanpa menyakiti seseorang. Teguran yang disampaikan dalam balutan kata indah, kadang mampu membuat seseorang merenung dan menyadari kekeliruannya dari tulisan tersebut. Perubahan yang berasal dari dalam diri tentunya akan lebih ajeg, dibandingkan dengan perubahan yang berasal dari luar diri.

Ujung pena memang kadang lebih tajam dari ujung belati. Tusukannya mampu menembus ke lubuk hati paling dalam bila dapat ditujukan dengan tepat. Kekuatan kata-kata yang dituliskan dengan sepenuh hati akan mampu mencapai hati pembacanya. Tertusuk untuk kemudian tersadarkan adalah rasa sakit yang indah.

Jakarta, 7 November 2018


Berproseslah

Bila benturan dalam diri masih sering terjadi
Dampaknya mengemuka ke luar diri
Sulit untuk bisa menyumbang solusi
Yang ada hanyalah menjadi  pencetus kelahi

Mari sudahi dengan mengenal diri
Mengenal jati diri dan mengenal Illahi Robbi
Mana mungkin bisa menyelesaikan tugas
Bila tak kenal Sang Pemberi Tugas

Bila tak segera berproses, kapan kita akan mulai
Waktu berjalan terus berlari
Bak anak panah terlepas dari busurnya, tak dapat ditarik kembali
Bila tak dipeduli, sesal kemudian tak berarti

Bila tak mampu berproses sendiri
Mintalah bantuan dari sang ahli
Bukan berarti berdiam diri
Seolah semua bisa dikerjakan sendiri

Bila mahar dan amal sudah mencukupi
Tentu ada masanya dipertemukan dengan sang ahli
Mendapat petunjuk illahi Rabbi
Agar berjalan lalu mendaki

Siapa mencari akan mendapati
Siapa berupaya hasil diberi
Siapa tak peduli kerugian menanti
Siapa hidup sesuka hati kegamangan menyelimuti


Jakarta, 7 November 2018

Ilmu Laduni

Ilmu laduni ilmu yang tinggi
Diberikan Allah kepada hamba yang disukai
Bukan hanya mengajarkan teori
Pengamalannya harus dipenuhi

Yang dituntut adalah diri sendiri
Bukan menuntut ke luar diri
Terus mengupayakan perbaikan di dalam diri
Suatu saat bangkit dan menerangi

Penjajah takut pemegang ilmu ini
Perkembangannya dihabisi
Devide et impera digencarkan
Agar terpecah persatuan

Kelipatan 7 abad adalah tonggak
Awal dari suatu kebangkitan
Satu hati penerang 1000 manusia
Bagi yang sudah bangkit dan tercerahkan

265 juta penduduk Indonesia
Memerlukan 265 ribu orang penerang
Agar Indonesia bangkit dari keterpurukan
Yang sudah berkelindan, perlu diterjang


Jakarta, 7 November 2018

Under The Same Sky



One afternoon, 

a silver haired man wearing a black suit
 walking alone in the city center
 around Central Station. 

I was invisible to him, 
while he was right in front of me.

The sky had different shades. 

On the right it was dark and gloomy,
on the left it was bright and blue

So my dear,
it is the same with you and me.

We all live in the same world, 
but our lives have different colors.

🌷

Radiokopi

Ini bukan sejenis istilah kedokteran, hanya gabungan kata radio dan kopi. Teman menikmati hari di Sabtu pagi ini.
Betapa ternyata, hanya dengan melalui dua indra, lidah dan telinga, sudah bisa membawa suasana yg berbeda. Pagi 2018 hari ini serasa menjadi pagi pertengahan 1990-an. Hanya secangkir kopi, radio dan aku yang menatap lepas ke jendela.
1990-an, era dimana TV belum menjadi kotak yg begitu menarik dan provokatif menyita waktu kita. Sementara gadget yg kini nyaris merampas kuasa TV bahkan mungkin baru hanya berupa purwarupa. Sebuah era yg jauh lebih tenang dibanding sekarang.
Itulah yg aku rasakan pagi ini. Menyeruput kopi seraya membiarkan radio memutarkan lagu apa saja yg mereka mau. Mataku bebas dari belenggu apa yg harus kulihat atau kubaca. Sesuatu yg tak bisa dilakukan jika kita berteman TV atau gadget. Radio memberi kita kebebasan melakukan hal yg ingin kita lakukan tanpa saling mengganggu sedangkan TV dan gadget begitu menuntut banyak perhatian.
Sebuah ketenangan yg hadir pagi ini dan ingin kusimpan dalam tulisan sebelum ia terenggut oleh gadget karena ingin membaginya dilaman medsos ini. Lalu terbitlah ironi karena aku membagi ketenangan di tempat yg menjadi salah satu sumber keramaian.
Ah, biarlah soal ironi ini, kuserahkan pada kopi untuk menjawabnya.

J061018

Bohemian Rhapsody, Sisi Kelam Sang Legenda

       Siapa sih yang nggak kenal grup band Queen yang ngehits di tahun 80-90 an. Anak-anak 80-an kayak gue pasti kenal semua lagu-lagunya.
       Makanya pas diajak nonton film Bohemian Rhapsody, tanpa pikir panjang gue langsung mengiyakan. Gue pikir pasti banyak lagu-lagu hits Queen yang bakal dinyanyiin. Rami Malek berperan sebagai Freddie Mercury. Si Rami ini bener-bener apik deh berperan sebagai Freddie Mercury. Walau awalnya gue masih mengingat-ngingat seperti apa gaya dan tampang Freddie Mercury dulu.
       Awal pertemuan Freddie dengan Brian May dan Roger Taylor adalah ketika grup band Smile kehilangan vokalisnya. Disitulah dimulainya pertemanan mereka sampe mereka membentuk grup band Queen sampe akhirnya John Deacon gabung belakangan.
       Menurut gue sih jalan awal mereka menapak karir sampe bikin album Bohemian Rhapsody nggak begitu rumit diceritakan, hanya sekali penolakan oleh label.
       Yang menarik adalah jalan hidup Freddie yang agak berbeda dari manusia biasa. Sifat arogan dan selalu merasa paling istimewa membawa Freddie berbeda dengan anggota grup band lainnya.
       Memiliki Mary, wanita yang sangat dicintainya tidak membuat hidup Freddie  menyenangkan. Tapi Mary tidak berhasil mengisi ruang hati Freddie. Hidupnya kesepian dan kosong. Akhirnya hubungan mereka hanyalah hubungan pertemanan yang manis. Freddie menghadiahi lagu Love of My Life untuk Mary.
       Sampai puncaknya adalah ketika Freddie ditinggalkan teman-temannya karena Freddie sering melanggar kesepakatan dan tanpa persetujuan anggota Queen dia bersolo karir. Saat itulah Paul menjadi manajernya yang sekaligus merusak hidup Freddie sampai akhirnya tak semua ada batasnya.
     Secara umum, film ini sangat menarik. Semua pemeran anggota band Quen sangat menjiwai perannya masing-masing. Khusus untuk Rami Malik, dua jempol dari gue karena dia  bisa membuat gue berpikir bahwa yang dilihat di layar adalah Freddie Mercury.
       Rami membuat film ini hidup dengan aktingnya yang menawan. Freddie seolah masuk kedalam dirinya. Gue nggak ngerti juga gimana itu caranya dia nyanyi sampe benar-benar mirip dengan Freddie Mercury.
       Tangis gue pecah ketika Freddie tampil di konser Live Aid yang ditujukan untuk pengumpulan dana bagi Ethiophia di Stadion Wembley, Inggris. Entah kenapa gue seperti melihat Freddie Mercury yang mencoba bangkit di saat-saat akhir hidupnya. Gue merasa si Freddie ini lagi berusaha memperbaiki kembali hidupnya yang dirusak Paul. Pandangan matanya menyiratkan penderitaan ketika menyanyi lagu itu. Adegan paling menyentuh buat gue.
       Gue juga kagum dengan kejelian sutradara menghadirkan Konser Live Aid di Stadion Wembley seolah nyata. Gue merasa hadir di sana.
      Akhirnya gue berkesimpulan sendiri bahwa banyak megabintang yang hidupnya kesepian sehingga mereka sering bertingkah aneh. Mereka dipuja jutaan manusia tapi mereka selalu merasa kesepian sehingga mereka terpeleset dalam kehidupan yang jauh dari normal, dan  membawa mereka ke akhir kehidupan yang dini. 
       Secara keseluruhan, film ini gue beri bintang empat . Sangat menghibur dan membuat gue bernostalgia  kembali dengan lagu-lagu Queen yang apik.
         Mama just killed a man
         Put the gun against his head
         Pulled my trigger, and now he's dead
         Mama, life had just begun
         But now I've gone and thrown it all                 away
         Mama, ooo
         Didn't mean to make yoy cry
         If I'm not back again this time                           tomorrow
         Carry on, cary on, as if nothing really             matters

         Too late, my time has come
         Sends shives down my spine
         Body's aching all the time
         Goodbye everybody, I've got to go
         Gotta leave you behind and face the               truth
         Mama, ooo (anyway the wind blows
         I don't want to die
         I sometimes wish I'd never been born           at all


Jakarta, 2 November 2018
       
   
     
   
      

Jadi Majikan Itu Berat


Tiba-tiba handphone yang gue pegang bernyanyi lagu Indonesia Raya. Suaranya nyaring banget sampe semua orang di sekeliling gue langsung melirik gue. Gue cuma senyum kecil aja ke arah mereka. Jiwa nasionalisme gue emang nggak ada duanya. Kubaca di layar, Pak John. Biasanya Pak John bawa berita baik kalo nelpon.
“Telpon penting buat masa depan gue,” ujar gue ke temen-temen gue di ruangan.
“Siap, Pak!”
Gue tutup telpon. Rasanya gue pengen lompat-lompat atau manjat pohon kalo perlu, tapi gue masih punya rasa malu walau sedikit. Pak John nelpon kalo ada proyek baru buat gue yang bayarannya gede. Hampir mendekati bayaran si Princess sekali manggung. Ada orang tajir minta perusahaan gue jadi WO anaknya. Gede-gedean banget pestanya. Kebayang kan pundi-pundi rupiah bakalan masuk rekening gue.
Gue harus gerak cepat menemui orang yang dibilang Pak John. Gue pencet handphone, mau menelpon si Bewok sopir yang baru gue pekerjakan dua bulan. Nama aslinya Jarkasih, tapi gue lebih seneng manggil dia Bewok karena mukanya yang brewokan.
Satu kali dering nggak diangkat, dua kali nggak tetep nggak ngangkat. Tiga kali, empat kali sampe sepuluh kali telpon gue nggak diangkat si Bewok. Gue mulai kesel sekaligus panik. Ini proyek penting buat gue juga buat anak buah gue. Pertaruhan nama perusahaan, time is money dong.
Sekali lagi gue mencet keypad telpon, si Bewok baru ngangkat. “Ya, Bos.”
“Lo dimana, Bewok? Gue telpon kok nggak ngangkat?” suara gue kayaknya langsung naik delapan oktaf.
“Maaf, Pak. Saya lagi ngopi tadi ngantuk banget. Semalam kucing di rumah berantem sama kucing tetangga, jadi saya harus misahin dulu.”
“Cukup ceritanya. Lo sekarang ke mobil. Jemput gue di lobby!”
“Tapi abisin dulu kopinya, ya.”
“Kagak ada, sekarang juga lo jemput gue di lobby. Kalo bisa tu kopi lu siram ke muka lo, biar lo melek,” mendidih rasanya kepala ini mendengar jawaban si Bewok. Obat darah tinggi kayaknya nggak cukup kalo cuma satu yang kuminum.
Gue lari ke lobby kantor sambil celingukan nyari mobil gue. Semenit, dua menit sampe sepuluh menit si Bewok belum dateng juga. Rasanya dulu pas sekolah maksud dari pelajaran matematika bukan buat hal-hal kayak gini deh.
“Pak!” Gue balik badan, muka gue langsung panas. Si Bewok lagi jalan dengan santai ke arah gue.
“Lo kan harusnya udah bawa mobil ke depan muka gue, Wok. Kenapa lo masih santai di sini?”
“Lha, saya kan udah bilang kalo saya mau ngabisin kopi dulu biar nggak ngantuk. Bapak sih nggak ngerasain ngantuknya kalo lagi nyetir, apalagi abis begadang. Bapak sih enak tinggal tidur di mobil,” si Bewok ngeloyor dari hadapan gue. Saat itu gue nggak sanggup berkata-kata saking emosi. Kayaknya gue butuh ambulans deh buat ngangkut gue ke rumah sakit jiwa.

Dengan menahan marah, gue ikutin si Bewok ke tempat parkir. Gue buka pintu mobil dan duduk di belakang. Namanya juga gue majikan, ya harus duduk di belakang. Kalo gue duduk di depan gue takut disangka pacarnya si Bewok.
“Enak ya Pak kerja kantoran,” si Bewok membuka obrolan sambil nyetir.
“Enaknya gimana?” Mata gue fokus ke layar ipad. Gue lagi bikin proposal WO yang akan gue tangani.
“Tangan bersih dan tinggal duduk di belakang aja. Kemana-mana disopirin. Tiap bulan gaji gede.”
Gue masih terus ngetik, biar sampe tempat yang dituju proposalnya udah jadi.
“Saya mah pegel jadi sopir. Belum lagi ngantuknya. Apalagi nih, kalo lagi enak-enaknya ngopi tau-tau ditelpon sama majikannya. Padahal kan si sopir minum kopi itu demi kepentingan majikannya, biar nggak ngantuk pas nyetir,” sopir gue yang ini emang terkenal bawel. Emak-emak aja kalah bawelnya.
“Mau tukeran tempat ama gue?” setengah sebel gue tanya.
“ Ya mau dong, Pak,” spontan si Bewok jawab.
“Ya udah, coba lo pikirin gimana caranya supaya lo nggak telat ngasih gaji ke gue sebagai sopir lo.”
“Ya gampang Pak. Tiap tanggal satu langsung kasih aja ke saya. Saya kan dapet duit dari kantor.”
“Trus cara dapetin duitnya gimana?” sambung gue.
“Ya kerja.”
“Kerjanya gimana?”
“Nulis-nulis, merintah-merintah, ketemu orang, makan-makan di restoran,” enteng banget si Bewok jawab pertanyaan gue.
“Yang ditulis apa? Yang diperintahin apa? Yang diomongin apa pas ketemu orang? Yang bayar makannya siapa?” gue masih kejar terus. Walau kalau dipikir sih gue kayak orang gila ngeladenin si Bewok.
“Ya pekerjaan, Pak.”
Kayaknya si Bewok udah bingung mau ngomong apa lagi. Gue senyum sendiri dalam hati. Sayangnya nggak ada pentungan yang bisa gue pukulin ke kepalanya si Bewok. Urusan sama polisi masalah nanti deh.
“Gue tanya deh, dulu waktu lo sekolah ngapain aja?”
“Saya seringnya bolos, Pak. Saya cuma kuat sampe kelas 1 SMA.”
“Setelah itu ngapain?”
“Ya main sama teman, ngabring sana ngabring sini, ”gue senyum, lebih tepatnya menyeringai.
“Gue itu dari SMP udah dipaksa belajar sama bapak gue. Pulang sekolah masih disuruh jagain adik gue,” tangan gue masih licah ngetik sampe akhirnya gue tersenyum puas. Proposal awal gue selesai.
“Masuk SMA ya gitu juga. Terus-terusan disuruh belajar sambil jagain warung biar bisa kuliah di tempat bagus,” sambung gue. Si Bewok mulai diem.
“Kuliah gue di luar kota. Duit kiriman pas-pas an. Kadang gue puasa Nabi Daud biar ngirit duit kiriman. Siang malam gue belajar biar cepet lulus dan gampang nyari kerja sampe badan gue kurus kering. Stress gue. Waktu seumur gue, lo masih main kesana kemari, kan?”
“Iya, Pak.”
“Makanya lo jangan gampangin posisi gue sekarang. Gue juga pernah kok di posisi lo sekarang tapi gue seringnya ngelakuin kerjaan tanpa nunggu disuruh atau ditelpon bos gue.”
Rasanya gue puas ngeliat si Bewok diem sambil mikir, itupun kalo dia punya pikiran. Banyakan nggak pake mikir kalo ngerjain sesuatu.
“Sekarang kalo lo masih kayak gini ya susah gue dapet duit buat bayar gaji lo. Belom kalo lo ngutang terus nggak bayar. Bini lo nangis-nangis minjem duit juga karena duit belanjanya lo abisin buat nyawer,” gue langsung ceramahin si Bewok.
“Iya, Pak. Saya janji nggak susah lagi deh kalo Bapak suruh,” ujar si Bewok.
“Ya gue terima janji lo. Harus sigap kalo kerja sama gue, biar kontrak kita manjang,” gue coba mengultimatum si Bewok.
“Iya Pak.”
Saat itu gue merasa bahwa gue berhasil menyadarkan si Bewok. Gue mikirnya dia nggak bakalan males lagi.
*****
“Pak, saya mau minjem duit dulu buat beli baju seragam bocah,” tau-tau si Bewok ada didepan meja gue.
“Bukannya kemaren udah gue kasih?”
“Kemarin duitnya abis buat bayar iuran mancing, Pak.”
Kepala gue langsung ngeluarin bintang-bintang muter.

Jakarta, 29 Oktober 2018

Suara Sunyi

Suara Sunyi

Detak jam pada malam
Detak jantung pada keheningan

Suara-suara tak sembunyi
Mereka hanya butuh sunyi

Diam..
Diamlah..
Semakin banyak kau diam
Semakin banyak yg kau dengar

Sunyi..
Sunyilah..
Semakin dalam kesunyian
Semakin suara tak dibutuhkan

Mengerti tanpa bunyi,
Kesunyian yang agung

J1018