CURANG ATAU MATI?



Selalu ada cerita berbeda dari sebuah lomba. Pun demikian dengan perhelatan Bank Jateng Borobudur Marathon (BJBM) 2018 yang baru berakhir hari minggu 18-11-2018 kemarin. Cerita-cerita yang selalu menarik untuk dicerna, ada drama, banyak tawa, suka ria, namun selalu ada duka. 

Cerita-cerita para pelari yang seru, dari mulai persiapan sampai dengan hari H. Ibarat orang pacaran bertahun-tahun yang akhirnya menjadi sah dengan ijab kabul yang hanya 10-15 menit. Demikian pula lomba, persiapan berbulan-bulan akan dituntaskan dalam kisaran 1 sampai 7 jam saja.

Pengalaman batin orang per orang boleh berbeda, tapi kelegaan ketika menyentuh garis finish tentunya sama, euforia pun bertebaran di udara.

Saya pribadi tidak ikut gelaran BJBM 2018, tapi adrenalin yang sama juga saya rasakan ketika melihat unggahan-unggahan teman-teman pelari di media sosial. Ikut merasakan kesakitan ataupun kebahagiaan yang mereka rasakan.

Ketika viral kabar ada seorang peserta BJBM 2018 yang pingsan hanya beberapa meter menjelang garis finish, lalu kemudian meninggal di rumah sakit, seketika euforia yang ada menjadi ungkapan duka yang mendalam. Ungkapan duka yg lalu menjadi pengingat diri bahwa lari adalah olahraga yg tidak main-main. Lari memang membuat tubuh kita sehat tapi untuk berlari yang baik kita butuh tubuh yang sehat.

Lari adalah olahraga yang demanding. Ibarat sebuah logika IF-THEN yg tak ada habisnya. Sekedar contoh, jika kita tidak enak tidur, maka kita juga tidak akan enak berlari. Jika kita tidak makan dengan baik maka lari kita pun tidak akan baik. Sehingga lari itu adalah sebuah siklus: lari baik-istirahat cukup-makan sehat dan bergizi.

Lalu kemudian, rasa duka yang belum usai digantikan dengan caci maki karena ada seorang peserta BJBM 2018 yang dengan bangga mengunggah kecurangannya yang membonceng sepeda motor untuk memperpendek jarak lari. Unggahan yang menyakitkan karena ribuan orang lainnya harus tertatih-tatih menahan sakit dan perih  demi menjunjung sportivitas olahraga ini. Tidak sedikit pula yang harus pulang tanpa medali karena mencapai garis finish melebihi waktu yg ditetapkan panitia.

Curang atau mati, adalah 2 hal yang mungkin akan selalu ada dalam setiap lomba.  Ada yang curang agar tidak mati, ada yang mati karena tidak mau curang.

Curang atau mati bukanlah pilihan yang harus dijalani. Seseorang yang aktif berolahraga haruslah memiliki jiwa sportif, tidak hanya dalam menjalani lomba, tapi juga dalam kehidupan sehari-harinya. Curang adalah hal yang haram, dalam bentuk apapun. 

Kematian adalah takdir, sudah tertulis di lauhul mahfuz jauh sebelum kita dilahirkan. Semua sepakat akan hal ini. Adapun penyebabnya hanyalah syarat yang tak dapat dipilih oleh manusia, hanya mampu berdoa untuk mendapatkan akhir usia yang baik.

Ketika kematian menghantui kegiatan olahraga lari, terlepas dari takdir, sebagai pelari kita harus mampu mengantisipasi penyebab-penyebab kematian saat berlari. Ketika kondisi kesehatan tidak memungkinkan, lari bukanlah satu-satunya olahraga yang dapat dilakukan, masih banyak olahraga lain sebagai pilihan. Hal ini yang bahkan oleh seorang pelari berpengalaman pun sering diabaikan. Cek kesehatan terutama jantung dan kekuatan tulang tetap harus dilakukan, karena akan selalu ada anomali dan hal-hal lain di luar kontrol kita.

Terlepas dari itu, kehidupan saat ini membutuhkan kedewasaan dan kecerdasan yang baik untuk menyaring semua informasi yg ada. Dunia ini baik-baik saja sampai kita mulai membanding-bandingkan. 

Ketika kita mulai membandingkan diri kita, kemampuan kita dengan orang lain, tanpa sadar timbul dengki dan motivasi negatif yang tidak terukur: yang penting saya mampu lebih baik dari dia, yang penting saya lebih hebat dari dia. Lupa bahwa kondisi tiap orang berbeda, lupa bahwa setiap orang hidup dalam zona yang berbeda-beda pula.

Kecurangan yang dilakukan salah seorang peserta BJBM 2018 tadi juga tidak terlepas dari hal tersebut. Keinginan untuk mengunggah foto diri lengkap dengan medali dengan caption “biar kayak orang-orang”, sudah mengalahkan akal sehat dan menafikkan jiwa sportivitas-nya. Hal ini jelas salah dan melanggar aturan yang ada.

Curang atau mati bukanlah pilihan. Namun kita jangan lupa, bisa jadi kita ikut andil membuat orang curang ataupun mendorong orang untuk mati.  


Introspeksi, saling mengingatkan orang-orang terdekat kita, teman-teman komunitas kita, followers akun media sosial kita, bahwa sesungguhnya kita berlari dengan motivasi, kondisi dan tujuan yang berbeda-beda. Medali, podium atau apapun itu hanyalah bonus duniawi. Yang terpenting dan utama adalah bagaimana kita mensyukuri nikmat sehat dan kuat yang diberikan Allah SWT dengan tidak mencurangi diri kita dan orang lain, dengan tidak menyiksa diri sampai mati. Wallahu a’lam 🙏🏻

Herang Caina Beunang Laukna

Pepatah Sunda mengatakan
Herang caina beunang laukna
(Bening airnya, dapat ikannya)
Tujuan tercapai, tanpa mengeruhkan suasana

Kritik disampaikan dengan cara santun
Tujuan yang tulus untuk membangun
Bukan untuk mematahkan semangat
Apalagi menghina upaya dan tekad

Kritik disampaikan melalui seni
Pesan tersampaikan, hati tak tersakiti
Bila tak digubris, tak perlu resah
Tugas kita hanyalah menyampaikan

Teladan kita adalah Rasulullah
Tugas Rasul pun hanyalah menyampaikan kebenaran
Bukan untuk memaksakan kehendak
Maka orang pun sukarela mengikuti nasihatnya

Jakarta, 13 November 2018
Tantangan puisi bertema “Kritik” dari Komunitas Sastra Kemenkeu


Rasa Sakit Yang Indah

Membaca karya sastra dari berbagai sumber, baik dalam bentuk puisi, pantun, pupuh, gurindam, prosa maupun dalam bentuk lainnya membuat saya merenung, mencoba memahami apa yang hendak disampaikan oleh para penulis. Mencoba mencari pesan Tuhan yang ingin disampaikan lewat berbagai tulisan tersebut.

Ketika metafora disampaikan dari bentang bumi makro, maka saya pun mencoba merenunginya dalam bentang bumi mikro saya. Matahari, Bulan, Bintang, dapatkah saya melihat semua itu dalam bumi mikro saya? Ataukah masih tertutup awan yang kelabu sehingga saya belum mampu menyaksikannya? Apakah semua itu karena uap-uap yang menggulung membumbung tinggi menyesakkan dada karena ukurannya telah melebihi dari yang sudah ditetapkan Tuhan?

Untuk hal-hal tertentu, penyampaian secara mutasyabihat memang lebih pas dibandingkan bila kita sampaikan secara muhkamat. Berbagai pesan dapat kita sampaikan tanpa menyakiti seseorang. Teguran yang disampaikan dalam balutan kata indah, kadang mampu membuat seseorang merenung dan menyadari kekeliruannya dari tulisan tersebut. Perubahan yang berasal dari dalam diri tentunya akan lebih ajeg, dibandingkan dengan perubahan yang berasal dari luar diri.

Ujung pena memang kadang lebih tajam dari ujung belati. Tusukannya mampu menembus ke lubuk hati paling dalam bila dapat ditujukan dengan tepat. Kekuatan kata-kata yang dituliskan dengan sepenuh hati akan mampu mencapai hati pembacanya. Tertusuk untuk kemudian tersadarkan adalah rasa sakit yang indah.

Jakarta, 7 November 2018


Berproseslah

Bila benturan dalam diri masih sering terjadi
Dampaknya mengemuka ke luar diri
Sulit untuk bisa menyumbang solusi
Yang ada hanyalah menjadi  pencetus kelahi

Mari sudahi dengan mengenal diri
Mengenal jati diri dan mengenal Illahi Robbi
Mana mungkin bisa menyelesaikan tugas
Bila tak kenal Sang Pemberi Tugas

Bila tak segera berproses, kapan kita akan mulai
Waktu berjalan terus berlari
Bak anak panah terlepas dari busurnya, tak dapat ditarik kembali
Bila tak dipeduli, sesal kemudian tak berarti

Bila tak mampu berproses sendiri
Mintalah bantuan dari sang ahli
Bukan berarti berdiam diri
Seolah semua bisa dikerjakan sendiri

Bila mahar dan amal sudah mencukupi
Tentu ada masanya dipertemukan dengan sang ahli
Mendapat petunjuk illahi Rabbi
Agar berjalan lalu mendaki

Siapa mencari akan mendapati
Siapa berupaya hasil diberi
Siapa tak peduli kerugian menanti
Siapa hidup sesuka hati kegamangan menyelimuti


Jakarta, 7 November 2018

Ilmu Laduni

Ilmu laduni ilmu yang tinggi
Diberikan Allah kepada hamba yang disukai
Bukan hanya mengajarkan teori
Pengamalannya harus dipenuhi

Yang dituntut adalah diri sendiri
Bukan menuntut ke luar diri
Terus mengupayakan perbaikan di dalam diri
Suatu saat bangkit dan menerangi

Penjajah takut pemegang ilmu ini
Perkembangannya dihabisi
Devide et impera digencarkan
Agar terpecah persatuan

Kelipatan 7 abad adalah tonggak
Awal dari suatu kebangkitan
Satu hati penerang 1000 manusia
Bagi yang sudah bangkit dan tercerahkan

265 juta penduduk Indonesia
Memerlukan 265 ribu orang penerang
Agar Indonesia bangkit dari keterpurukan
Yang sudah berkelindan, perlu diterjang


Jakarta, 7 November 2018

Under The Same Sky



One afternoon, 

a silver haired man wearing a black suit
 walking alone in the city center
 around Central Station. 

I was invisible to him, 
while he was right in front of me.

The sky had different shades. 

On the right it was dark and gloomy,
on the left it was bright and blue

So my dear,
it is the same with you and me.

We all live in the same world, 
but our lives have different colors.

🌷

Radiokopi

Ini bukan sejenis istilah kedokteran, hanya gabungan kata radio dan kopi. Teman menikmati hari di Sabtu pagi ini.
Betapa ternyata, hanya dengan melalui dua indra, lidah dan telinga, sudah bisa membawa suasana yg berbeda. Pagi 2018 hari ini serasa menjadi pagi pertengahan 1990-an. Hanya secangkir kopi, radio dan aku yang menatap lepas ke jendela.
1990-an, era dimana TV belum menjadi kotak yg begitu menarik dan provokatif menyita waktu kita. Sementara gadget yg kini nyaris merampas kuasa TV bahkan mungkin baru hanya berupa purwarupa. Sebuah era yg jauh lebih tenang dibanding sekarang.
Itulah yg aku rasakan pagi ini. Menyeruput kopi seraya membiarkan radio memutarkan lagu apa saja yg mereka mau. Mataku bebas dari belenggu apa yg harus kulihat atau kubaca. Sesuatu yg tak bisa dilakukan jika kita berteman TV atau gadget. Radio memberi kita kebebasan melakukan hal yg ingin kita lakukan tanpa saling mengganggu sedangkan TV dan gadget begitu menuntut banyak perhatian.
Sebuah ketenangan yg hadir pagi ini dan ingin kusimpan dalam tulisan sebelum ia terenggut oleh gadget karena ingin membaginya dilaman medsos ini. Lalu terbitlah ironi karena aku membagi ketenangan di tempat yg menjadi salah satu sumber keramaian.
Ah, biarlah soal ironi ini, kuserahkan pada kopi untuk menjawabnya.

J061018

Bohemian Rhapsody, Sisi Kelam Sang Legenda

       Siapa sih yang nggak kenal grup band Queen yang ngehits di tahun 80-90 an. Anak-anak 80-an kayak gue pasti kenal semua lagu-lagunya.
       Makanya pas diajak nonton film Bohemian Rhapsody, tanpa pikir panjang gue langsung mengiyakan. Gue pikir pasti banyak lagu-lagu hits Queen yang bakal dinyanyiin. Rami Malek berperan sebagai Freddie Mercury. Si Rami ini bener-bener apik deh berperan sebagai Freddie Mercury. Walau awalnya gue masih mengingat-ngingat seperti apa gaya dan tampang Freddie Mercury dulu.
       Awal pertemuan Freddie dengan Brian May dan Roger Taylor adalah ketika grup band Smile kehilangan vokalisnya. Disitulah dimulainya pertemanan mereka sampe mereka membentuk grup band Queen sampe akhirnya John Deacon gabung belakangan.
       Menurut gue sih jalan awal mereka menapak karir sampe bikin album Bohemian Rhapsody nggak begitu rumit diceritakan, hanya sekali penolakan oleh label.
       Yang menarik adalah jalan hidup Freddie yang agak berbeda dari manusia biasa. Sifat arogan dan selalu merasa paling istimewa membawa Freddie berbeda dengan anggota grup band lainnya.
       Memiliki Mary, wanita yang sangat dicintainya tidak membuat hidup Freddie  menyenangkan. Tapi Mary tidak berhasil mengisi ruang hati Freddie. Hidupnya kesepian dan kosong. Akhirnya hubungan mereka hanyalah hubungan pertemanan yang manis. Freddie menghadiahi lagu Love of My Life untuk Mary.
       Sampai puncaknya adalah ketika Freddie ditinggalkan teman-temannya karena Freddie sering melanggar kesepakatan dan tanpa persetujuan anggota Queen dia bersolo karir. Saat itulah Paul menjadi manajernya yang sekaligus merusak hidup Freddie sampai akhirnya tak semua ada batasnya.
     Secara umum, film ini sangat menarik. Semua pemeran anggota band Quen sangat menjiwai perannya masing-masing. Khusus untuk Rami Malik, dua jempol dari gue karena dia  bisa membuat gue berpikir bahwa yang dilihat di layar adalah Freddie Mercury.
       Rami membuat film ini hidup dengan aktingnya yang menawan. Freddie seolah masuk kedalam dirinya. Gue nggak ngerti juga gimana itu caranya dia nyanyi sampe benar-benar mirip dengan Freddie Mercury.
       Tangis gue pecah ketika Freddie tampil di konser Live Aid yang ditujukan untuk pengumpulan dana bagi Ethiophia di Stadion Wembley, Inggris. Entah kenapa gue seperti melihat Freddie Mercury yang mencoba bangkit di saat-saat akhir hidupnya. Gue merasa si Freddie ini lagi berusaha memperbaiki kembali hidupnya yang dirusak Paul. Pandangan matanya menyiratkan penderitaan ketika menyanyi lagu itu. Adegan paling menyentuh buat gue.
       Gue juga kagum dengan kejelian sutradara menghadirkan Konser Live Aid di Stadion Wembley seolah nyata. Gue merasa hadir di sana.
      Akhirnya gue berkesimpulan sendiri bahwa banyak megabintang yang hidupnya kesepian sehingga mereka sering bertingkah aneh. Mereka dipuja jutaan manusia tapi mereka selalu merasa kesepian sehingga mereka terpeleset dalam kehidupan yang jauh dari normal, dan  membawa mereka ke akhir kehidupan yang dini. 
       Secara keseluruhan, film ini gue beri bintang empat . Sangat menghibur dan membuat gue bernostalgia  kembali dengan lagu-lagu Queen yang apik.
         Mama just killed a man
         Put the gun against his head
         Pulled my trigger, and now he's dead
         Mama, life had just begun
         But now I've gone and thrown it all                 away
         Mama, ooo
         Didn't mean to make yoy cry
         If I'm not back again this time                           tomorrow
         Carry on, cary on, as if nothing really             matters

         Too late, my time has come
         Sends shives down my spine
         Body's aching all the time
         Goodbye everybody, I've got to go
         Gotta leave you behind and face the               truth
         Mama, ooo (anyway the wind blows
         I don't want to die
         I sometimes wish I'd never been born           at all


Jakarta, 2 November 2018