Semburan Kopi Menjelang Ujian

      Dulu, ketika saya masih kecil sampai remaja, saudara dari kampung datang dan pergi ke rumah orang tua saya di Bandung adalah hal yang biasa. Hilir mudik setiap saat dengan berbagai macam urusan.
      Salah satu orang yang datang adalah saudara yang saya juga nggak ngerti seperti apa hubungan kekerabatannya, sebut saja Ujang. Yang pasti orang ini datang ke Bandung dengan maksud akan menjalani ujian penerimaan mahasiswa baru di PTN yang ada di Bandung. Istilah ujian itu adalah UMPTN. Saat itu saya masih jadi mahasiswa semester 4.
      Pada saat yang sama, adik saya menjalani ujian yang sama dengan si Ujang. Setiap malam saya lihat adik saya belajar terus agar bisa lolos saringan yang lumayan ketat. Saya tahu, karena kami tidur sekamar. Saya nggak berani ganggu kekhusyuan adik saya.
      Sampai suatu malam ketika saya dari kamar mandi, saya lihat pintu belakang terbuka. Tadinya niat saya mau menutup pintu. Tak sengaja saya lihat si Ujang sedang berdiri di teras belakang. Kepalanya menengadah ke langit. Saya penasaran si Ujang lagi ngapain, makanya saya intip dari balik pintu.
      Saya lihat si Ujang menyemburkan minuman dari mulutnya ke langit. Setelah itu, dia komat kamit nggak jelas. Tegukan kedua, saya nggak bisa lagi menahan rasa penasaran saya. Saya hampiri si Ujang.
     "Jang, lo ngapain malam-malam?"
      "Ini Teh, kata Ajengan*) harus minum kopi terus disembur ke atas biar lulus ujian."
      "Kopi apaan?" saya penasaran.
      "Kopi dari bahan buku soal UMPTN yang dibakar terus dicampur air panas," saya langsung ngakak keras. Nggak sanggup saya menahan geli.
      "Belegug**)!" saya cuma berani memaki dalam hati.
      "Namanya juga ihtiar, Teh," sepertinya si Ujang paham apa yang saya ucapkan dalam hati.
      "Kumaha sia weh***)," saya langsung masuk kedalam rumah sambil terus ngakak.
      Saya masuk kamar, saya masih tetap ngakak. Adik saya ngomel-ngomel karena suara ketawa saya mengganggu belajarnya.

Setelah Pengumunan Hasil Ujian

      "Lulus nggak, Jang?"
      Si Ujang menggeleng lemas sambil mengoyak koran dengan tangannya. Disaat yang sama adik saya sedang tersenyum karena namanya tertera di pengumuman kelulusan.
      "Dicoba lagi tahun depan, Jang. Belajat yang serius. Jangan nyembur kopi," ujar saya sambil menahan tawa.
      "Aing****) ditipu!" si Ujang berlalu dari hadapan saya.

Jakarta, 18 Desember 2018
*) Ajengan adalah guru ngaji, cuma seringkali jadi semacam "orang pintar" tempat bertanya atau berobat
**) Bego
***) Terserah lu
****) Gue
***)

Terima Kasih

Terima kasih adalah kata yang tidak asing bagi kita. Kata yang sederhana, sepele, bahkan saking sepelenya terkadang dalam satu hari kata tersebut dapat dihitung dengan jari terucap dari mulut kita. Coba saja hitung sendiri kalau tidak percaya 😊, dapat angka 10 saja sudah bagus banget.

Sesederhana dan se-sepele itu kah kata terima kasih? Kata yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti mengucap syukur/membalas budi setelah menerima kebaikan. Kata yang masuk dalam prioritas kosa kata yang kita ajarkan ke anak-anak kita.

Jujur gue baru kepikiran dengan kata terima kasih karena belakangan ini gue lebih sering menggunakan alat transportasi umum untuk berangkat ataupun pulang kantor. Lalu lintas yang makin padat, harga BBM dan tarif tol naik terus, cuaca sedang tidak bersahabat untuk gue yang tidak suka gowes hujan-hujanan adalah beberapa alasan gue akhirnya memilih naik bis setiap harinya. Alasan lainnya, dan mungkin ini jadi yang utama, adalah gue sekarang bisa mengantarkan 2 orang putri cantik gue ke sekolah masing-masing. It's heaven. Lalu apa hubungannya transportasi umum dengan terima kasih?.

Jadi pada saat gue kuliah di negeri kangguru, offcourse tentu saja gue kemana-mana naik public transport a.k.a nge-bis dan/atau nge-tram. Mobil hanya dipakai untuk saat-saat yang secara hitung-hitungan akuntan tidak ekonomis untuk pake angkutan umum. Saat-saat naik angkutan umum itulah gue memperhatikan kebiasaan penduduk lokal ataupun orang-orang yang sudah lama tinggal disana. Dari mulai menunggu, naik, di dalam kendaraan dan pada saat turun. Menunggu kendaraan umum disana pastinya di halte/stasiun atau di titik-titik yang diperlakukan sama seperti halte/stasiun, antrian jelas sudah menjadi budaya yang melekat dalam kondisi apapun. Pada saat naik, yang pertama kali dilakukan adalah mengucapkan salam dan berbasa-basi ke Pak/Bu Supir "good morning-afternoon-evening, how are you?"  lalu nge-tap atau memasukkan koin ke tempatnya. Di dalam kendaraan, orang-orang akan memilih tempat duduk sesuai kondisi dirinya. Tidak ada yang akan menempati tempat duduk/ruang untuk orang-orang penyandang disabilitas, orang-orang tua, wanita hamil atau orang yang bepergian dengan anak-anak balita. Kalaupun semua tempat yang disediakan untuk orang-orang tersebut sudah terisi semuanya, mereka juga dengan sukarela memberikan tempatnya jika masih ada lagi penumpang yang membutuhkan. Nah, pada saat turun, mereka akan "berteriak" ke Pak/Bu Supir "thank youuuuu" dengan berbagai ekspresinya. Maksud gue, terkadang mereka mengucapkan itu seperti mesin penjawab telpon yang sudah terprogram, datar, tapi ya tetep bilang "thank you".

Sebagai newbie di negeri orang, pastilah kebiasaan-kebiasaan tersebut gue ikutin. Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjuang, bukan?. Gak cuma ucapannya yang gue ikutin, bahkan ekspresi ala-ala mesin penjawab telpon tadi juga kadang gue ikutin hehehe. Ya, saat sedang capek banget, pusing banget ataupun cekak banget.

Sekarang, kebiasaan mengucap terima kasih pada saat turun kendaraan umum itu gue praktekkan di Jakarta. Kalau kebiasaan ngucap salam atau basa-basi nanya kabar tentunya tidak. Bayangkanlah gue naik bis terus sok akrab bilang "pagi Bang, apa kabarnya nih?", bisa-bisa abangnya langsung nanya "margamu apa lae? sok akrab kali kau ku lihat, tak ada duitmu kah?". hihihi, yang bermarga jangan tersinggung ya...peace

Dan ternyata saudara-saudara, umumnya pak supir dan kondekturnya reaksinya terkejut menerima ucapan terima kasih dari gue. Mungkin mereka mikir jangan-jangan gue tadi gak bayar atau bayarnya kurang hahaha. Nggaklah, mereka bereaksi seperti itu karena memang sangat jarang sekali penumpang yang begitu turun di tempat tujuannya mengucapkan terima kasih kepada mereka. Dari pengalaman gue, apabila ucapan terima kasih gue keraskan, biasanya ada 1-2 orang yang mengikuti mengucapkan terima kasih juga. Selebihnya, yah cuek bebek sambil sibuk janjian dengan abang-abang ojek kesayangan melalui gawainya masing-masing.

Gue pribadi bisa membayangkan betapa capeknya mereka. Coba perhatikan raut wajah lelah mereka, terutama untuk perjalanan di malam hari. Mereka harus konsentrasi penuh membawa kendaraan dengan se-aman, senyaman dan secepat mungkin demi para penumpang yang sudah tak sabar bertemu orang-orang dikasihi, orang-orang yang penat seharian untuk merebahkan diri mereka ke kasur empuk di kamar yang sejuk, orang-orang yang bahkan terkadang harus mereka bangunkan karena tertidur dengan nyenyaknya sampai tidak sadar jika sudah sampai di terminal tujuan. Gue juga gak peduli dan maklum kalau mereka bahkan tidak menjawab ucapan terima kasih gue, karena tanpa itu pun gue tau ucapan itu sedikit banyak memberikan energi positif untuk mereka. Paling tidak mereka tau, masih ada orang yang menghargai profesi mereka. Syukur-syukur jika energi positif  itu terbawa sampai mereka sendiri bertemu dengan keluarga mereka. Energi yang mungkin akan menggantikan penat mereka dengan harga diri.

Terima kasih yang gue ucapkan saat turun kendaraan umum tentunya sangat sedikit jika sehari gue hanya 3-4 kali turun kendaraan umum. Untuk memperbanyak omzet, ucapan itu akhirnya gue berikan juga ke Pak Satpam yang membantu gue nyeberang di depan kantor, bahkan kalau sempat baca, ucapan itu gue tambahin dengan nama mereka. Lumayan kan kalau sehari gue 4 kali menyeberang jalan. Akhirnya, sekarang gue mengeksplorasi sebanyak mungkin ha-hal yang membuat gue berterima kasih, sekecil apapun itu, dari mulai membuka mata sampai mengistirahatkan mata. Semoga, mudah-mudahan, hal ini menjadi hitungan amal baik gue di hari akhir nanti, Aamiin YRA.


Gadog, 28112018 



CURANG ATAU MATI?



Selalu ada cerita berbeda dari sebuah lomba. Pun demikian dengan perhelatan Bank Jateng Borobudur Marathon (BJBM) 2018 yang baru berakhir hari minggu 18-11-2018 kemarin. Cerita-cerita yang selalu menarik untuk dicerna, ada drama, banyak tawa, suka ria, namun selalu ada duka. 

Cerita-cerita para pelari yang seru, dari mulai persiapan sampai dengan hari H. Ibarat orang pacaran bertahun-tahun yang akhirnya menjadi sah dengan ijab kabul yang hanya 10-15 menit. Demikian pula lomba, persiapan berbulan-bulan akan dituntaskan dalam kisaran 1 sampai 7 jam saja.

Pengalaman batin orang per orang boleh berbeda, tapi kelegaan ketika menyentuh garis finish tentunya sama, euforia pun bertebaran di udara.

Saya pribadi tidak ikut gelaran BJBM 2018, tapi adrenalin yang sama juga saya rasakan ketika melihat unggahan-unggahan teman-teman pelari di media sosial. Ikut merasakan kesakitan ataupun kebahagiaan yang mereka rasakan.

Ketika viral kabar ada seorang peserta BJBM 2018 yang pingsan hanya beberapa meter menjelang garis finish, lalu kemudian meninggal di rumah sakit, seketika euforia yang ada menjadi ungkapan duka yang mendalam. Ungkapan duka yg lalu menjadi pengingat diri bahwa lari adalah olahraga yg tidak main-main. Lari memang membuat tubuh kita sehat tapi untuk berlari yang baik kita butuh tubuh yang sehat.

Lari adalah olahraga yang demanding. Ibarat sebuah logika IF-THEN yg tak ada habisnya. Sekedar contoh, jika kita tidak enak tidur, maka kita juga tidak akan enak berlari. Jika kita tidak makan dengan baik maka lari kita pun tidak akan baik. Sehingga lari itu adalah sebuah siklus: lari baik-istirahat cukup-makan sehat dan bergizi.

Lalu kemudian, rasa duka yang belum usai digantikan dengan caci maki karena ada seorang peserta BJBM 2018 yang dengan bangga mengunggah kecurangannya yang membonceng sepeda motor untuk memperpendek jarak lari. Unggahan yang menyakitkan karena ribuan orang lainnya harus tertatih-tatih menahan sakit dan perih  demi menjunjung sportivitas olahraga ini. Tidak sedikit pula yang harus pulang tanpa medali karena mencapai garis finish melebihi waktu yg ditetapkan panitia.

Curang atau mati, adalah 2 hal yang mungkin akan selalu ada dalam setiap lomba.  Ada yang curang agar tidak mati, ada yang mati karena tidak mau curang.

Curang atau mati bukanlah pilihan yang harus dijalani. Seseorang yang aktif berolahraga haruslah memiliki jiwa sportif, tidak hanya dalam menjalani lomba, tapi juga dalam kehidupan sehari-harinya. Curang adalah hal yang haram, dalam bentuk apapun. 

Kematian adalah takdir, sudah tertulis di lauhul mahfuz jauh sebelum kita dilahirkan. Semua sepakat akan hal ini. Adapun penyebabnya hanyalah syarat yang tak dapat dipilih oleh manusia, hanya mampu berdoa untuk mendapatkan akhir usia yang baik.

Ketika kematian menghantui kegiatan olahraga lari, terlepas dari takdir, sebagai pelari kita harus mampu mengantisipasi penyebab-penyebab kematian saat berlari. Ketika kondisi kesehatan tidak memungkinkan, lari bukanlah satu-satunya olahraga yang dapat dilakukan, masih banyak olahraga lain sebagai pilihan. Hal ini yang bahkan oleh seorang pelari berpengalaman pun sering diabaikan. Cek kesehatan terutama jantung dan kekuatan tulang tetap harus dilakukan, karena akan selalu ada anomali dan hal-hal lain di luar kontrol kita.

Terlepas dari itu, kehidupan saat ini membutuhkan kedewasaan dan kecerdasan yang baik untuk menyaring semua informasi yg ada. Dunia ini baik-baik saja sampai kita mulai membanding-bandingkan. 

Ketika kita mulai membandingkan diri kita, kemampuan kita dengan orang lain, tanpa sadar timbul dengki dan motivasi negatif yang tidak terukur: yang penting saya mampu lebih baik dari dia, yang penting saya lebih hebat dari dia. Lupa bahwa kondisi tiap orang berbeda, lupa bahwa setiap orang hidup dalam zona yang berbeda-beda pula.

Kecurangan yang dilakukan salah seorang peserta BJBM 2018 tadi juga tidak terlepas dari hal tersebut. Keinginan untuk mengunggah foto diri lengkap dengan medali dengan caption “biar kayak orang-orang”, sudah mengalahkan akal sehat dan menafikkan jiwa sportivitas-nya. Hal ini jelas salah dan melanggar aturan yang ada.

Curang atau mati bukanlah pilihan. Namun kita jangan lupa, bisa jadi kita ikut andil membuat orang curang ataupun mendorong orang untuk mati.  


Introspeksi, saling mengingatkan orang-orang terdekat kita, teman-teman komunitas kita, followers akun media sosial kita, bahwa sesungguhnya kita berlari dengan motivasi, kondisi dan tujuan yang berbeda-beda. Medali, podium atau apapun itu hanyalah bonus duniawi. Yang terpenting dan utama adalah bagaimana kita mensyukuri nikmat sehat dan kuat yang diberikan Allah SWT dengan tidak mencurangi diri kita dan orang lain, dengan tidak menyiksa diri sampai mati. Wallahu a’lam 🙏🏻

Herang Caina Beunang Laukna

Pepatah Sunda mengatakan
Herang caina beunang laukna
(Bening airnya, dapat ikannya)
Tujuan tercapai, tanpa mengeruhkan suasana

Kritik disampaikan dengan cara santun
Tujuan yang tulus untuk membangun
Bukan untuk mematahkan semangat
Apalagi menghina upaya dan tekad

Kritik disampaikan melalui seni
Pesan tersampaikan, hati tak tersakiti
Bila tak digubris, tak perlu resah
Tugas kita hanyalah menyampaikan

Teladan kita adalah Rasulullah
Tugas Rasul pun hanyalah menyampaikan kebenaran
Bukan untuk memaksakan kehendak
Maka orang pun sukarela mengikuti nasihatnya

Jakarta, 13 November 2018
Tantangan puisi bertema “Kritik” dari Komunitas Sastra Kemenkeu


Rasa Sakit Yang Indah

Membaca karya sastra dari berbagai sumber, baik dalam bentuk puisi, pantun, pupuh, gurindam, prosa maupun dalam bentuk lainnya membuat saya merenung, mencoba memahami apa yang hendak disampaikan oleh para penulis. Mencoba mencari pesan Tuhan yang ingin disampaikan lewat berbagai tulisan tersebut.

Ketika metafora disampaikan dari bentang bumi makro, maka saya pun mencoba merenunginya dalam bentang bumi mikro saya. Matahari, Bulan, Bintang, dapatkah saya melihat semua itu dalam bumi mikro saya? Ataukah masih tertutup awan yang kelabu sehingga saya belum mampu menyaksikannya? Apakah semua itu karena uap-uap yang menggulung membumbung tinggi menyesakkan dada karena ukurannya telah melebihi dari yang sudah ditetapkan Tuhan?

Untuk hal-hal tertentu, penyampaian secara mutasyabihat memang lebih pas dibandingkan bila kita sampaikan secara muhkamat. Berbagai pesan dapat kita sampaikan tanpa menyakiti seseorang. Teguran yang disampaikan dalam balutan kata indah, kadang mampu membuat seseorang merenung dan menyadari kekeliruannya dari tulisan tersebut. Perubahan yang berasal dari dalam diri tentunya akan lebih ajeg, dibandingkan dengan perubahan yang berasal dari luar diri.

Ujung pena memang kadang lebih tajam dari ujung belati. Tusukannya mampu menembus ke lubuk hati paling dalam bila dapat ditujukan dengan tepat. Kekuatan kata-kata yang dituliskan dengan sepenuh hati akan mampu mencapai hati pembacanya. Tertusuk untuk kemudian tersadarkan adalah rasa sakit yang indah.

Jakarta, 7 November 2018


Berproseslah

Bila benturan dalam diri masih sering terjadi
Dampaknya mengemuka ke luar diri
Sulit untuk bisa menyumbang solusi
Yang ada hanyalah menjadi  pencetus kelahi

Mari sudahi dengan mengenal diri
Mengenal jati diri dan mengenal Illahi Robbi
Mana mungkin bisa menyelesaikan tugas
Bila tak kenal Sang Pemberi Tugas

Bila tak segera berproses, kapan kita akan mulai
Waktu berjalan terus berlari
Bak anak panah terlepas dari busurnya, tak dapat ditarik kembali
Bila tak dipeduli, sesal kemudian tak berarti

Bila tak mampu berproses sendiri
Mintalah bantuan dari sang ahli
Bukan berarti berdiam diri
Seolah semua bisa dikerjakan sendiri

Bila mahar dan amal sudah mencukupi
Tentu ada masanya dipertemukan dengan sang ahli
Mendapat petunjuk illahi Rabbi
Agar berjalan lalu mendaki

Siapa mencari akan mendapati
Siapa berupaya hasil diberi
Siapa tak peduli kerugian menanti
Siapa hidup sesuka hati kegamangan menyelimuti


Jakarta, 7 November 2018

Ilmu Laduni

Ilmu laduni ilmu yang tinggi
Diberikan Allah kepada hamba yang disukai
Bukan hanya mengajarkan teori
Pengamalannya harus dipenuhi

Yang dituntut adalah diri sendiri
Bukan menuntut ke luar diri
Terus mengupayakan perbaikan di dalam diri
Suatu saat bangkit dan menerangi

Penjajah takut pemegang ilmu ini
Perkembangannya dihabisi
Devide et impera digencarkan
Agar terpecah persatuan

Kelipatan 7 abad adalah tonggak
Awal dari suatu kebangkitan
Satu hati penerang 1000 manusia
Bagi yang sudah bangkit dan tercerahkan

265 juta penduduk Indonesia
Memerlukan 265 ribu orang penerang
Agar Indonesia bangkit dari keterpurukan
Yang sudah berkelindan, perlu diterjang


Jakarta, 7 November 2018

Under The Same Sky



One afternoon, 

a silver haired man wearing a black suit
 walking alone in the city center
 around Central Station. 

I was invisible to him, 
while he was right in front of me.

The sky had different shades. 

On the right it was dark and gloomy,
on the left it was bright and blue

So my dear,
it is the same with you and me.

We all live in the same world, 
but our lives have different colors.

🌷