Obrolan Pagi di KRL

Seperti biasa, awal hari di dalam sepekan, para pekerja, pelajar, pengusaha dan pengguna kereta commuter line (cl, dibaca : ce – el) selalu bergegas untuk naik cl yang sedang singgah di peron. Saat itu Senin pagi masih menunjukan pukul 05.45 WIB (Waktu Indonesia di Bekasi). Ada yang berlarian hingga saling bersenggolan dengan penumpang lain, ada juga yang masih berjalan santai karena ingin duduk di kereta dengan jadwal berikutnya. Saat itu ada 2 kereta yang parkir di peron dengan jadwal keberangkatan yang berbeda, kereta dengan jadwal berangkat jam 06.02 dan 06.30. Para pengguna kereta hari itu sangat antusias sekali dalam menyambut aktifitas yang akan dilakukan. Entah kebetulan, saya jadi ikut antusias menyambut hari saat itu. Dengan langkah tegap ala pasukan baris – berbaris, saya memantapkan langkah naik cl dengan jadwal 06.02 WIB.

Hari itu memang tidak seperti beberapa hari sebelumnya. Kereta yang biasa saya singgahi di gerbong ke-3 dari arah belakang tidak terlalu ramai, namun hari itu sangat padat hingga para pengguna pun saling bersentuhan satu dengan yang lain. Bahkan biasanya banyak pengguna dalam kondisi berdesakan masih bisa melihat gawai mereka, saat itu pun sangat sulit untuk meraih gawai itu. Makanya ada istilah ketika kereta api saat mudik lebaran itu belum berbenah, ada penumpang yang saling berhimpitan, berdesakan dan bergumul dengan penumpang lain. Namun saat itu, tidak separah saat kereta api saat mudik, namun suasananya hampir mirip dengan itu. Beberapa stasiun terlewati hingga dalam perjalanan ada obrolan yang cukup menggugah hati nurani saya hingga saya menuangkan sedikit kisah ini.

Obrolan ini dimulai dari seorang bapak, yang rambutnya sudah memutih semua, tetapi kalau bicara soal mengajar dan pelajaran hidup, saya kalah jauh dengan bapak ini. Selain bapak itu, ada seorang anak muda, sambil memegang gawainya, meski kondisi di kereta berdesakan, anak muda itu masih lihai memainkan jari jemarinya untuk mencoba memaksimalkan fitur di handphone-nya. Anak muda ini pun ternyata sudah mengenal bapak tadi dan mulai lah obrolan ini terjadi.

“Bagaimana kabar bapak dik ?” tanya si bapak dengan ramahnya. Karena si bapak dengan bapaknya anak muda itu pernah satu tempat kerja.

“Baik pak. Bapak masih kerja dengan usahanya sendiri” jawab Anak Muda  sambil melihat gawainya yang sedang ramai perpesanan. 

Kereta di stasiun kranji dan obrolan masih berlanjut.

“Bapak mau kemana? bukannya bapak sudah pensiun?” Anak Muda  bertanya kembali.

“Iya benar dik. Saya sebenarnya sudah lama pensiun, sekitar 10 tahun lalu. Alhamdulillah saya masih diberikan kesehatan dan kesempatan untuk mengajar. Kebetulan hari ini saya harus mengajar di *** (salah satu sekolah kejuruan) sampai jam 11 siang. Setelah itu bapak kembali ke rumah bantu ibu berjualan di depan rumah. Alhamdulillah, selama seminggu, ada 3 kali jadwal mengajar dari tempat yang berbeda. Kalau soal uang dari mengajar jauh berbeda saat saya belum pensiun. Tetapi mengajar ini menstimulus otak agar tetap beraktifitas setelah pensiun. Makanya kalau kamu sudah selesai sekolah (saat itu, Anak Muda ini masih sekolah D3), kalau bisa lanjut lagi hingga sarjana, biar tidak seperti Bapak ini, yang hanya lulusan D3. Nanti kamu turun dimana dik ? tanya si Bapak kembali.

Kereta sudah menyentuh stasiun Klender Baru dan obrolan berlanjut dan masih banyak penumpang yang naik dari stasiun tersebut.

“Saya turun di stasiun Manggarai pak. Kalau Bapak turun dimana?”

“Saya turun di Jatinegara, setelah itu saya lanjut naik ojol (ojek online) ke kampus *** Kalau kamu sendiri mau kemana ?”

“Saya dari manggarai sambung kereta ke arah UI pak. Kalau menuju arah sana, penumpangnya relatif tidak ramai dan padat. Karena jadwal kuliah saya selalu berlawan dengan orang berangkat kerja. Tetapi kalau pulang kuliah, pasti padat saat ke arah Bekasi.

“Si abang masih kuliah ?”

“Sudah lulus pak, tapi gak mau kerja kantoran. Katanya mau punya usaha sendiri, gak enak kalau diperintah-perintah atasan. Kalau gak ada atasan, bisa bebas berkreasi dan beraktifitas. Padahal emak sudah menginginkan agar si abang kerja dulu. Jika sudah ada modal, baru silahkan buka usaha sendiri. Sifatnya mirip dengan bapak . Meski gak bekerja seperti orang kantoran, bapak  selalu berangkat pagi sebagai pemborong bangunan. Kadang juga mengerjakan pekerjaan listrik rumah dan orderannya lumayan banyak. Terkadang kalau pelanggan sudah kenal beliau soal kelistrikan, mereka tetap minta tolong dibantu meskipun hari libur. Untungnya, bapak  ringan tangan dan siap membantu ornag lain yang dalam keadaan sulit. Kerjaannya sampai sore hari, setelah itu disambung dengan buka konter (counter) hape sampai jam sepuluh malam. Setiap hari dan alhamdulillah, anak-anaknya masih bisa sekolah seperti saya meski masih D3.”

“Bapak berarti otaknya cerdas, apalagi ilmunya soal kelistrikan. Ilmu kelistrikan selalu berkembang terus. Kenapa gak coba melamar seperti Bapak agar bisa mengajar juga di bidang yang sama dengan saya?”

“Wah saya kurang tau pak…”

Kereta berhenti di stasiun Klender, tinggal satu stasiun lagi hingga Bapak itu turun di stasiun Jatinegara.

“Nak, pesan Bapak, jika sudah selesai kuliah ini, jangan lupa lanjutkan sekolah hingga sarjana. Karena kalau kau ambil seperti yang Bapak lakukan sekarang, gak banyak orang yang mau berkecimpung. Apalagi soal mesin disel kapal, gak banyak orang berminat. Mesin disel kapal dan kendaraan itu memang berbeda. Kalau mesin disel kendaraan itu hidupnya gak terlalu lama dan cenderung berada di jalanan yang rata. Kalau mesin disel kapal itu harus hidup minimal selama 18 jam dan berhadapan dengan air laut yang cenderung korosif. Dengan keilmuan yang Bapak miliki, banyak kampus yang ingin memakai jasa Bapak, meski sudah cukup tua dan gak oke lagi soal penampilan. Tetapi mereka menghargai pengetahuan yang Bapak miliki. Dan ilmu perkapalan ini, masih kurang peminatnya, makanya orang seperti Bapak yang dipakai terus jasanya. Jadi karena ilmunya kamu juga soal perkapalan meski D3, kalau bisa lanjutkan sampai lulus sarjana ya. Baik, salam untuk bapak ya, kalau bapak  ingin mengajar, hubungi saya ya. Stasiun Jatinegara sudah dekat dan sampai ketemu lagi ya. Assalamu’alaikum”

Tak berapa lama lagi, kereta cl sudah memasuki peron jalur dua stasiun Jatinegara. Banyak penumpang yang akan melanjutkan perjalanan. Ada yang keluar dari stasiun dan ada yang melanjutkan ke peron lima, naik cl tujuan stasiun Kampung Bandan melewati stasiun Duri, Tanah Abang, Manggarai dan menuju stasiun Bogor.

“Baik pak, salamnya nanti saya sampaikan ke bapak . Wa’alaikumussalam.” 

Sementara saya mencoba mengambil hikmah dari cerita tadi, namun kandas karena kereta tiba di stasiun Manggarai. Setelah berhenti sejenak, akhirnya ce-el melanjutkan perjalanan, dan si Anak Muda sudah bergegas ke peron 5 menuju stasiun UI. Saya masih di dalam ce-el sambil menanti kereta singgah di stasiun Gondangdia. Setelah beberapa lama kereta tiba dan saya bergegas naik kopaja dan duduk sejenak setelah lama berdiri di ce-el. 



Kisah ini dapat di lihat pada laman berikut : 

Menjelang Pesta di Negeri Mimpi

Di negeri mimpi
Lintasan hari mulai Hiruk pikuk oleh imaji dan narasi narsis bertumpuk
Di sela panji dan bendera partai  berbagai bentuk,
Adu ide dan gagasan semata barang lapuk

Rakyat bisa sejenak laksana raja,
Lupa penat dan nestapanya masa,
Terbuai bujuk rayu mendayu
Kandidat kandidat gelap mata,
halalkan cara demi suara

Mereka
berlomba mengaku saudara,
Bemanis sapa seumpama kawan dekat,
Berebut cepat menjalin rantai kerabat,
Beradu muslihat untuk sepakat

Sesaat  ternampak lamat
Perih kenangan lima tahun terlewat,
Ketika  janji manis serupa hikayat

Jika bukan karena hak dan kewajiban
Sebagian rakyat mungkin telah mual,
Pesta itu sekedar mengulang ritual
kampanye penuh bual  berjejal,
Puja puji diri bertebaran bagai iklan kecap para penjual,
"Kamilah kandidat paling bermoral,
Memilih kami takkan menyesal"

Seolah  rakyat  kaum bebal,
Yang tak pernah menganggap hianat sebagai soal,
Jelang pesta rakyat di rangkul,
Habis pesta rakyat ditinggal,

Jika bukan karena hak dan kewajiban
Sebagian rakyat  mungkin telah muak,
Karena syahwat kekuasaan,
tubuh tubuh uzur berlaku bak kanak kanak,
hilaf setitik lawan jadi amunisi cela yang semarak,
Amal budi diri jadi ajang riya ke halayak,

Seolah rakyat tak pernah menyimak,
Tingkah tingkah nan tamak ,
Angkara muka yang bergejolak,
Serupa benar, tak pernah sempurna
tertutup  kata dan citra  yang dipermak

Di negeri mimpi
Lintasan hari mulai hiruk pikuk oleh,
Imaji dan narasi narsis bertumpuk,
Memancang pada setiap ujung gang,
Memenuhi setiap celah ruang,

Entah dari mana mereka datang?

(stasiun cakung, 31 Jan 19)

Purnama perigee



Semalaman,
katanya purnama semakin dekat,
sinarnya benderang

tapi aku tak tahu,
mungkin karena,
semalamam,
cahayamu mengalahkannya

#tetehnumaketiung
(Ujung Harapan, 20 Febr 2019)

Barang bawaan,

Seorang teman bercerita,
Barang bawaannya ditinggal di bandara,
Karena ongkos bagasi pesawat lebih mahal dari harganya

teman yang satu lagi bercerita,
Barang bawaannya ditinggal di stasiun kereta,
Karena dimensinya melebihi kotak batasan masuk kereta

Seorang teman yang satu,
tak lagi bisa cerita,
barang bawaannya
ditinggal di dunia,
Karena hanya tubuh berbalut kafan yang masuk keranda


Juanda, nunggu kereta sore ini

Toga Ke-Empat

Pagi itu, Depok dianugerahi gerimis. Saya sebut anugerah, karena gerimis selalu berhasil menghadirkan suasana hati yang seimbang dalam proporsi yang sempurna. Gerimis pagi itu terjadi pada Sabtu, Dua Februari 2019. Gerimis yang menjadi saksi penyematan toga ke-empat yang berhasil disematkan di kepala. Seperti ketiga toga sebelumnya, toga kali ini pun diperoleh dengan segala perjuangan dan pengorbanan: moril, materil, emosi dan waktu. Selalu ada kisah naik-turun yang menyertainya. Tidak hanya cerita tawa, tapi juga  keterpurukan karena ketiadaan data, jenuh dengan berbagai jenis literatur, bahkan amarah saat lalai menyimpan hasil olah data dan jaringan listrik padam.
Toga ini menjadi penyempurna dari segala pergulatan akademis di berbagai levelnya. Toga ke-empat ini seperti hidangan penutup, yang menyempurnakan sajian menu makan malam romantis bersama kekasih hati.  
Senang…, pasti!!!
Bangga…, apalagi!!!
          Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Euforia tersebut berhenti di hari ketiga. Setelah pertanyaan jahil muncul di kepala “Setelah Doktor, trus napa?”
       Sebagai manusia yang dilengkapi syahwat berupa eksistensi diri dan pengakuan lingkungan, saya juga tidak luput dari kepemilikan ekspektasi yang kadang melampaui kursi langit. Ada arogansi “merasa berhak” atas sesuatu yang mulai menggoda diri. Ekspektasi dan arogansi yang terus tumbuh hampir tanpa kendali. Hingga…, kitab Adam Smith yang ditulis pada tahun 1776 berhasil menghancurkan semua pondasi negatif yang sudah mulai mengeras. Membaca kembali kitab suci para ekonom ini, menarik kembali pada kesadaran bahwa akan selalu ada “kekuatan tak terlihat” yang dapat merubah sesuatu.
Jika, Eyang Smith menyatakan bahwa terdapat “invisible hands” yang akan menyeimbangkan pasar. Saya mengadopsinya bahwa selalu ada “invisible constraints” yang dapat menggagalkan keinginan. Ya…keinginan, bukan tujuan apalagi cita-cita. Karena keinginan adalah sebuah subjektivitas, sedangkan tujuan atau cita-cita merupakan objektivitas. Perbedaannya terletak pada rasionalitas ukuran yang digunakan. Subjektivitas tidak dapat dilihat relevansi logisnya, it’s all about  individual's preference.
Kesadaran ini sangat berharga karena dapat mengendalikan ekpektasi dan membunuh arogansi yang tidak perlu. Kesadaran ini pun perlu dibagi, bahwa sekolah itu untuk membentuk cara berfikir kritis sehingga meningkatkan kinerja. Sekolah itu untuk menuntut ilmu, dan….
Ilmu dipelajari, (bukan) untuk promosi;
Ilmu dipelajari, (bukan) untuk kaya;
Ilmu dipelajari, (bukan) untuk menangan;
Ilmu dipelajari, (bukan) untuk populer;
.
.
. 
Ilmu dipelajari, untuk diamalkan…        

Baby Blues

Aku tertegun melihat dua garis pada alat testpack yang berada dalam genggaman. Waw, ternyata aku hamil lagi, padahal anakku yang pertama masih berusia lima bulan. Saat itu juga aku baru dua bulan aktif kembali bekerja. Berbagai perasaan berkecamuk di hati.
“Kok bisa gue hamil?” Waktunya nggak tepat,” aku hanya bisa garuk-garuk kepala yang emang gatel sih karena udah seminggu  nggak ketemu shampoo.
Beberapa hari kemudian kuulangi lagi tes nya, hasilnya tetap sama. Aduh, benar-benar surprise yang nggak bikin bahagia. Kebayang kerepotan yang akan kualami punya dua anak bayi. Saat itu aku merasa malu dengan kondisiku. Yang agak menolong, saat itu aku sedang menjalani tugas diluar kantorku. Aku ditugaskan membantu konsultan, jadi aku bisa menyembunyikan kehamilan dari teman-temanku.
Waktu itu, setiap ditanya teman-teman kantor tentang badanku yang membesar, aku hanya menjawab kalau aku memang gemuk karena banyak makan. Paling teman-teman berpikir, berapa banyak makanan  yang dikonsumsi sampai badanku bengkak begitu. Namun seiring berjalannya waktu aku mulai bisa menerima kehamilanku karena aku bagaimanapun juga memilki anak ada sebuah amanah dari Sang Maha Kuasa yang harus kujaga.
Teman-temanku di kantor kaget ketika aku datang ke tempat kerja yang semula untuk meminta kembali cuti melahirkan. Sebagian menyesalkan kenapa aku tak memberitahu mereka, tapi ya mau bagaimana lagi, semua sudah terlanjur. Yang kesal mungkin atasanku karena waktu itu harus mencari penggantiku sampai aku selesai menjalani cuti melahirkan. Si konsultan masih ada waktu beberapa bulan untuk menyelesaikan kontraknya.
Akhirnya tanpa ada yang menunggui, aku bisa melahirkan anak yang kedua. Pada saat itu suamiku harus menjadi narasumber di sebuah seminar. Untungnya seminar itu diadakan di kota Bandung, jadi dia tak perlu mondar-mandir dari Jakarta ke Bandung. Sampai sesaat sebelum persalinan, suamiku masih menungguiku, sayangnya sampai waktu dia harus berangkat ke tempat seminar. Aku merasa tak masalah menjalani proses persalinan sendiri. Persalinan berjalan lancer tanpa kesulitan berarti. Tak lama setelah si kecil lahir, ibuku datang ke klinik membuatku merasa lebih lega.
Saat-saat selanjutnya adalah saat yang paling berat buatku, terlebih ketika suamiku harus kembali ke Jakarta untuk bekerja. Aku memilih menjalani cutiku di Bandung karena ada orang yang bisa mendampingi di Bandung. Itulah saat aku merasakan kebingungan karena tak tahu harus berbuat apa untuk mengurus kedua anakku yang masih sangat kecil. Mencari pengasuh anak bukan hal mudah saat itu. Jadi, selama dua bulan masa cuti, aku mengurus kedua anakku sendiri. Untunglah Bapak dan Ibu masih sehat kala itu, jadi masih ada yang bisa menjaga anakku yang sulung.
Sama seperti anakku yang pertama, Anin, saat memiliki anak yang kedua, Cita aku kesulitan mengeluarkan air susu ibu (ASI). Stres melanda terlebih pada saat itu di media sedang digalakkan pemberian ASI kepada bayi. Berhari-hari kucoba memberikan ASI tapi gagal. Segala makanan yang dianjurkan untuk memberi ASI kulahap tanpa kecuali. Mulai dari daun katuk, susu, sampai makanan-makanan yang kata orang adalah ASI booster. Sayang tak berhasil. Perasaan sedih melanda karena banyak kudengar orang membicarakanku dan menyebutku malas memberi ASI kepada anak-anakku. Segala rumor menakutkan tentang kondisi anak yang tidak mendapatkan ASI diceritakan kepadaku sampai aku kesal. Kupikir tak seorang ibupun yang tak ingin memberikan yang terbaik kepada anaknya.
Saat itu aku merasa semua orang menudingku sebagai ibu yang jahat kepada anaknya karena tidak memberikan ASI. Mereka tak tahu betapa tertekannya diriku setiap ada tetangga yang datang menengok bayi. Setiap orang yang datang selalu memberi saran apa yang harus kulakukan agar ASI ku keluar. Maksud mereka sebenarnya baik, cuma saran mereka malah membuatku tambah tertekan. Akhirnya setelah berusaha selama seminggu, aku memutuskan untuk memberi anakku susu formula dengan penuh.
Rasa sedih yang kualami semakin menghebat. Mungkin bagi orang lain mengurus dua anak adalah hal yang biasa, tapi entah kenapa saat itu aku merasa mendapatkan beban yang amat berat. Rasanya ingin selalu menangis. Itu kualami selama seminggu, walaupun tak ada masalah serius menimpa anak-anakku, aku selalu bersedih, dan itu terjadi setiap hari. Kupikir karena aku merasa bersalah karena tak bisa memberikan ASI kepada anak-anakku, tapi lama-lama kok jadi melankolis yang tak jelas penyebabnya. Perasaan itu membuatku tersiksa.
Belakangan setelah kucari tahu aku baru tahu bahwa apa yang kurasakan itu adalah hal wajar yang dialami seorang ibu yang baru melahirkan. Rupanya aku terkena sindrom baby blues. Menurut apa yang kubaca di sebuah buku, sindrom baby blues adalah kondisi gangguan mood yang dialami ibu setelah melahirkan. Baby blues merupakan bentuk yang lebih ringan dari depresi post natal. Katanya sih ini hal yang normal dan banyak ibu mengalami sindrom ini setelah melahirkan.
Akhirnya, buat ibu-ibu yang akan melahirkan jangan merasa bersalah bila kedatangan sindrom baby blues. Nanti akan berlalu juga kok seiring waktu, apalagi jika kita memeluk bayi mungil yang lucu dan menggemaskan. Juga buat yang lain, jangan suka membandingkan ibu melahirkan satu dengan yang lainnya karena proses yang dialami setiap ibu akan berbeda-beda. Ketika menengok orang yang habis melahirkan, berilah semangat dan hiburlah si ibu agar ibunya tetap ceria. Bagi yang sulit mengeluarkan ASI, dicoba terus jangan putus asa. Kalau ada indikasi medis tak dapat menyusui, jangan membandingkan dengan orang lain, semangati diri sendiri bahwa apapun yang kita berikan, itulah yang terbaik untuk anak kita.
Jakarta, 1 Februari 2019

Warisan

 “Jon, lu ngoyo banget nyari duit. Buat apaan? Sesekali nikmatin hidup dong” kuteguk kopi hitam panas kesukaanku. Kulihat Jono sedang meniup-niup kopinya yang masih panas.
“Gue ini harus kerja keras. Gue nggak mau istri dan anak-anak gue susah nanti. Makanya gue kerja, nabung, terus beli properti yang banyak, biar mereka hidupnya lebih mudah nanti.”
Memang sih, dari semua temanku, Jono ini paling banyak memiliki harta. Mungkin bila kami berdua sudah nggak ada, Jono akan tenang karena anak-anaknya sudah memiliki harta warisan masing-masing. Sampai setua ini, aku nggak memiliki apa-apa selain rumah yang kutinggali saat ini.
Jono memang kaya dari segi properti yang dimilikinya tapi kalau kami bertemu, akulah yang selalu membayari makan atau minum. Aku merasa kualitas hidupku lebih baik darinya. Aku masih bisa bercengkrama dengan istri dan anak-anakku selepas pulang kerja. Aku banyak menghabiskan penghasilanku untuk membiayai pendidikan anak-anakku dan keponakan-keponakan, bantu orang tua, piknik, nonton, dan membeli buku. Penghasilanku juga sebagian disisihkan untuk meningkatkan kualitas anak-anakku seperti keterampilan bahasa dan olah raga. Kalupun aku meninggal dunia hari ini aku yakin mereka dapat mandiri dengan keterampilan hidup yang mereka miliki. Pokoknya penghasilan seimbang dengan  pengeluaran. Tidak banyak yang ditabung dan dibelikan properti.
“Kalo gue sih, sampe rumah udah jam sepuluh malam. Mana sempet ketemu istri dan anak-anak. Nggak apa-apalah, yang penting mereka tahu kalau gue kerja siang malam buat mereka juga,” ujar Jono seolah mencari pembenaran.
“Ya memang cara hidup orang beda-beda, Jon. Kalau gue sih nggak punya apa-apa buat diwariskan ke anak-anak gue. Gue cuma bisa bekalin mereka pendidikan aja, biar mereka bisa mandiri. Kalaupun nanti ada harta gue yang tersisa ketika gue meninggal gue minta dibagi sesuai syariat Islam. Terus gue akan saranin ke mereka kasih aja ke orang lain yang lebih membutuhkan.”
Iya kalo anak-anak kita mandiri. Kalo kagak? Jaman sekarang, To, sarjana aja susah nyari kerja. Kalau gue sih udah gue siapin mereka properti yang bisa di jadiin modal usaha. Warisan dari gue,” sanggah Jono.
“Lha, kita kan musti yakin kalau anak-anak kita bakal mandiri dan bisa nyari duit sendiri,” aku masih berkukuh dengan keyakinanku.
“Lu tahu kan Jacky Chan, dia nggak mewariskan harta ke anaknya. Hartanya buat berbuat baik ke orang. Atau yang nyiptain Honda, sama sekali nggak ngasih harta. Anaknya bisa bertahan hidup. Mungkin malah ngikutin cara hidup orangtuanya berbagi buat banyak orang,” kucoba memberikan pandangan lain ke Jono.
Jono hanya diam sambil menyeruput kopinya yang mulai dingin. Aku tahu di kepalanya masih banyak yang dipikirkannya. Kekhawatiran bahwa nanti anak-anaknya akan sulit mencari penghidupan kalau dia meninggal nanti. Kami berpisah dengan pemikiran masing-masing.
*****
“Ketemuan yuk!” suara Jono terdengar berat ketika berbicara di ujung telpon.
“Kapan?” tanyaku.
“Nanti malam.”
“Di Cafe Melati ya, gue tunggu jam delapan, “ aku tutup telpon.
Malam hari aku bertemu Jono di Cafe Melati. Seperti biasa Jono memesan secangkir kopi hitam panas. Minuman itu memang kesukaannya sejak kami berteman waktu sekolah dulu.
“Gue bingung, To,” mata Jono seperti sedang menerawang jauh.
“Anak gue yang paling gede minta gue jual salah satu rumah. Katanya dia butuh buat usaha. Padahal sebelumnya udah gue kasih tanah. Dia jual, hasilnya gue nggak tahu kemana, padahal rumah yang dia minta itu buat adiknya yang nomor dua. Si sulung merasa gue nggak berlaku adil, warisan yang dia dapet nggak sebanyak yang buat adik-adiknya.”
“Lha, lu kan belum mati, Jon. Kok udah ngomongin bagi-bagi warisan aja.”
Aku mengingat pernah berkata kepada anak-anakku, “Bapak nggak akan pernah ngasih kalian warisan. Selain karena harta Bapak nggak banyak, Bapak lebih senang membiayai kalian sekolah, kemanapun yang kalian inginkan. Kalau kalian menyelesaikan sekolah dengan hasil yang baik,  sudah cukup buat kalian survive. Kalau ada harta yang tersisa ketika Bapak, bagilah secara syariat Islam. Cuma akan lebih baik kalau harta dari Bapak itu dikumpulkan untuk membantu pendidikan anak-anak yang tidak mampu.”
Saat itu anak-anakku hanya mengangguk. Walaupun belum mengerti benar, setidaknya mereka memahami nanti. Mereka tidak akan mengharapkan warisan atau mengharapkan aku cepat mati. Aku yakin mereka kan mengingat itu sampai mereka dewasa nanti.
“Kalau kalian ingin memiliki rumah atau kendaraan, carilah dengan cara yang benar dan bermartabat. Bekerjalah dengan baik untuk mendapatkannya,” sambungku.
“To, Danto!” lamunanku buyar ketika Jono menggoyangkan tanganku.
“Ya...ya, gue denger kok.”
“Kayaknya anak-anak gue ngarepin banget gue mati.”
Baru kali ini kulihat wajah Jono menunjukkan rasa tidak percaya diri. Biasanya dia selalu yakin dengan prinsip hidupnya bila berdebat denganku. Malah, dia sering menasehatiku untuk menyisihkan sebagian penghasilanku untuk membeli properti agar kelak hidup anak-anakku nggak sulit.
“Ya enggaklah, Jon,” aku mencoba menghiburnya.
“Ah empat anakku itu berkelahi terus meributkan properti-propertiku, padahal aku masih berdiri didepan mereka.”
Aku diam saja mendengar curahan hati Jono. Kepedihan dan sedikit keputusasaan terpancar di matanya. Aku kasihan melihatnya. Saat itu, aku merasa menjadi orang yang beruntung dengan cara hidupku selama ini walaupun aku nggak memiliki harta. Aku merasa bebas dari masalah perebutan properti karena anak-anaku sibuk kuliah dan sekolah. Tak ada seorangpun diantara anakku yang suka membicarakan tentang properti yang kami miliki, sepertinya mereka juga nggak kepikiran sama sekali. Mereka selalu berharap aku dan istriku selalu sehat agar bisa terus mendampingi mereka.
Aku dengar hanya anak bungsu Jono saja yang terus berkuliah, sedangkan ketiga kakaknya tidak ada yang bisa menyelesaikan kuliah. Anak tertua Jono  hanya bersekolah sampai tingkat SMA, kemudian menikah. Selama pernikahannya, Jono lah yang membiayai hidup anak itu beserta istrinya, karena dia tidak memiliki pekerjaan tetap.
Pernah kutanyakan kepada Jono, kenapa anak sulungnya itu tidak melanjutkan sekolahnya. Jawaban Jono membuatku berpikir bahwa memiliki banyak harta tidak selalu membuat hidup lebih mudah.
“Nggak apa-apa, nanti dia bisa bikin usaha sendiri. Bisa memakai jatah rumah dan tanah miliknya.”
Seperti biasanya saat itu aku debat pola pikir Jono, “Jon, kalau lu didik anak lu begitu, anak lu nantinya bakalan nunggu kapan waktunya lu mati. Anak lu nggak bakalan mau kerja keras karena lu manjain dia dengan harta benda,” keras suaraku saat itu.
“Enggaklah,  nggak mungkin dia begitu. Malah dia bakalan berterima kasih karena gue udah nyiapin segalanya buat bekal hidupnya.”
“Terserah lu!” suaraku semakin meninggi.
“Gue mesti gimana ya, To?”
“Sebagai Sarjana Hukum, gue diajarin di kampus bagaimana pembagian harta waris baik menurut hukum Islam, hukum adat, maupun hukum barat. Masing-masing sistem hukum itu mengatur pembagian harta waris agar ahli waris mendapatkan bagian secara adil.” Jono mendengarkan penjelasanku dengan serius.
“Secara Islam, waris itu adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris yang sudah meninggal dunia. Kalau lu masih hidup namanya hibah.”
“Lha, gue kan belum mati, masak gue udah disuruh bagi-bagi harta warisan.”
Aku pengen bilang, “Kan gue sering bilang ke lu kalau harta yang lu kumpulin satu demi satu itu bakalan jadi rebutan anak-anak lu, didepan mata lu yang masih sehat. Anak-anak lu jadi ngarepin lu mati!”, tapi beraninya cuma dalam hati saja.
Sejak saat itu, aku nggak pernah ketemu lagi sama Jono. Pertemuanku dengan Jono adalah ketika kudengar kabar kalau Jono masuk rumah sakit. Tubuhnya penuh selang. Ternyata itu pertemuanku terakhir kalinya dengan Jono. Dia tak kuat lagi menanggung ganasnya penyakit yang dideritanya.
Terakhir kudengar anak sulung Jono dilaporkan ke polisi oleh adik-adiknya karena memalsukan surat tanah dan bangunan ketika akan menjual aset yang diwariskan Jono. Masing-masing pihak merasa berhak atas harta itu. Tak ada yang mau mengalah. Tak ada lagi kerekatan hubungan kekeluargaan diantara mereka. Mereka terlanjur manja dan menggantungkan hidupnya pada harta peninggalan Jono. Kasian Jono.
Sebagai muslim, aku akan menggunakan hukum Islam dalam mendapatkan dan memberikan warisan. Ada ilmu Faraid untuk menghitung porsi pembagian warisan.
“Apabila nanti ada pembagian waris, aku akan memberikan bagianku kepada ahli waris yang tidak beruntung hidupnya atau  dalam keadaan sulit,” berkali-kali aku katakan itu kepada seluruh keluargaku. Aku berharap tidak ada seorangpun ahli waris yang menaruh curiga kepadaku dan pembagian warisan berjalan damai.
Aku membayangkan anak-anakku akan hidup dengan pola sama denganku. Modal sekolah yang cukup, berkarya, tidak kekurangan, bisa mengongkosi hidupnya secara layak. Harapanku mereka dapat berbagi dengan orang lain. Tidak mengharapkan harta waris dan tidak memberi warisan yang besar. Begitu seterusnya ke cucu dan cicitku kelak.


*ditulis bersama Purnomo

Dua Peron di Stasiun



Seolah berdekatan
Tapi sebenarnya terpisahkan
Saling menyadari kehadiran
Tapi tak pernah menunjuk arah yang sama,.

Seperti itukah,
Kita waktu itu
Dik

(jurangmangu, 8 febr 2019)