Demi Masa (3), Pegawai Baru

Pukul 22.00

Tina membaca ulang pekerjaannya. Matanya terasa berat karena dari sore ia fokus mengerjakan tugas yang dititipkan oleh Ponco kepadanya. Dibawanya kertas kerja yang telah diselesaikannya ke cubicle Adnan.
Setelah dipersilakan, Tina duduk menghadapi Adnan. Kertas yang dipegangnya beralih ke tangan Adnan.
“Pak, boleh saya bicara dulu?” tanya Tina.
“Boleh-boleh aja sih, cuma kan ini udah larut, kamu nggak pengen pulang?”
“Ah, Bapak. Biasanya juga nggak peduli kok saya pulang malam  atau bahkan pagi,” sindir Tina
“Hehehe, ya nggak gitu juga kali,” Adnan tertawa kecil.
“Oke…oke, apa yang mau dibicarakan?” sambung Adnan.
“Masalah sensitif sih pak. Bapak jangan marah ya…..,” Tina agak ragu melanjutkan bicara.
“Kamu hamil?” mata Adnan melotot ke arah Tina.
“Makanya jangan bergaul bebas gitu, Tin. Nanti jadi aib semuanya. Kan saya juga…..,” belum sempat Adnan melanjutkan omongannya Tina memotong perkataan Adnan.
“Ya Allah, Pak. Tega ya Bapak nuduh sembarangan. Amit-amit jabang bayi,” tangan Tina mengetuk-ngetuk meja.
“Gini-gini rumah saya deket mushola, Pak.”
“Lha apa hubungannya?” jidat Adnan yang udah penuh kerutan alami semakin berkerut.
“Bapak sih. Fokus pak ke masalah. Ini udah malam juga,” Tina menarik nafas sejenak.
Suasana hening karena semua pegawai sudah meninggalkan kantor, menyisakan mereka berdua. Adnan memandang Tina, menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulut Tina.
“Gini Pak, akhir-akhir ini kan sering banget nih saya pulang malam, padahal kan saya juga punya kehidupan lain selain kantor. Saya juga pengen bersosialisasi dengan keluarga dan juga pacar saya, tapi kok ya sekarang ini kerjaannya jadi dobel gitu. Saya kewalahan, Pak.”
Tina terdiam sesaat. Tangannya mempermainkan pulpen yang dipegangnya. Adnan masih diam, menunggu kalimat selanjutnya.
“Di sisi lain, Mas Ponco kok enak bener ya. Sering ijin dan nggak pernah selesai kalau dikasih tugas, tapi penilaian kinerjanya selalu bagus. Parahnya lagi, dia mendapatkan bonus atas pekerjaan yang tidak dikerjakannya. Bukan soal bonusnya sih Pak, tapi kejadian tadi pagi bikin saya sedikit terganggu,” terang Tina.
Tina merasa lepas dari beban yang dirasakannya sejak pagi saat Ponco memamerkan jumlah bonus yang didapatnya. Tina mengharapkan Ponco bisa berlaku tegas terhadap Ponco.
“Gini ya, Tin. Mungkin karena kamu belum menikah jadi kamu nggak paham,” ujar Adnan.
Raut wajah Tina berubah dari plong menjadi bingung kemana arah pembicaraan Adnan. Ia merasa tak hubungannya antara status pernikahannya dengan kondisi yang terjadi di ruang kerjanya saat ini.
“Kenapa Ponco tetap mendapatkan haknya penuh walau dia nggak perfom akhir-akhir ini?”
“Ya mana saya tahu….,” suara Tina meninggi.
“Kamu nih emang tukang ngebut ya, sukanya ngegas kalo bicara. Sabar.”
“Langsung aja ke pokok masalah, Pak,” wajah Tina cemberut.
“Ponco itu punya istri dan anaknya banyak. Bayangin kalau dia nggak dapet bonus? Ya mereka nggak bisa dapet tambaha. Siapa tahu dia perlu buat bayar sekolah atau bayar utang atau juga dia pengen sesekali nyenengin istrinya.”
Tina melongo mendengar perkataan Adnan. Ia heran dengan pola pikir atasannya itu.
“Terus Bapak nggak kasihan sama saya?” tanya Tina.
“Kamu kan belum punya tanggungan apa-apa, Tin. Toh kamu dapat juga kan?”
“Pak, mohon maaf banget bukan saya lancang. Tapi tolong Bapak resapi, apakah orang yang sehari-harinya tidak bekerja tapi dia selalu dapat keuntungan, apakah bisa dikatakan kantor ini sehat?”
“Sudahlah Tin, berbaik sangka aja. Bekerja ikhlas aja ya. Udah malam ini. Pulanglah, langsung tidur biar pikiranmu jadi tenang,” ujar Adnan.
“Bukan soal ikhlas atau tidak ikhlas, juga bukan soal saya iri dengan bonus yang didapat Mas Ponco, saya ingin kantor ini jadi tempat kerja yang nyaman buat semua pegawai, Pak.” Tina berdiri dari kursi.
“Saya pamit ya, Pak.”
“Oya, Tin kayaknya besok bakalan datang pegawai baru. Lumayan lah walau jumlahnya nggak sesuai yang kita minta, minimal bisa bantu kamu, biar kamu nggak stress. Oya kamu jadi mentornya ya, sampai dia bisa kerja,” senyum Adnan diujung kalimat bikin Tina tambah sebal.
“Kenapa bukan Ponco sih, Pak?”
“Nggak bakalan bener dan nggak ada discuss ya.”
“Hmm,” Tina keluar cubicle Adnan dengan perasaan kesal.
“Sampai jumpa besok, Tin. Take care,” teriak Adnan ketika Tina sudah mengambil tasnya. Tina tidak menyahut salam Adnan, hanya mengangkat tangan kanannya dari belakang diatas punggungnya. Ia berjalan keluar ruangan meninggalkan Adnan sendirian.
“Anak itu terlalu idealis, tapi apa yang diomongin bener juga sih. Gue juga nggak puas dengan  si Ponco. Cuma kalo ngotak ngatik si Ponco alamat bos besar marah nanti,” Adnan bergumam dengan perasaan tak menentu.
*****
Keesokan Harinya, Pukul 08.00

“Selamat pagi, Bu.”
Tina kaget ketika ada seorang perempuan muda yang keluar dari cubicle Adnan.
“Pagi, kamu siapa?” tanya Tina sambil menghampiri perempuan itu.
“Sebelumnya mohon maaf lahir dan batin, perkenalkan nama saya Priscilla Adinata, biasa dipanggil Cilla. Saya pegawai baru yang ditugaskan di divisi ini untuk membantu Bu Tina,” ujar Cilla dengan logat Jawa yang masih medok.
Tina meneliti Cilla dengan seksama. Cilla berperawakan mungil. Lumayan rapi penampilannya. Hijabnya senada dengan pakaian yang dikenakannya. Sikapnya antara malu atau takut berhadapan dengan Tina yang kelihatan sangar pagi itu.
“Kamu nggak usah takut gitu lihat saya. Saya nggak galak kok. Kamu lulusan dari mana?” tanya Tina.
“Sebelumnya mohon maaf lahir batin, bolehkah saya duduk. Dari pagi saya belum sarapan, minumpun tak sempat sehingga saya agak lemas pagi ini.”
Cilla berkata dengan pelan dan lambat membuat Tina melongo. “Mudah-mudahan anak ini cuma ngomongnya aja yang lambat bukan kerjanya,” doa Tina dalam hati.
“Duduk deh, kamu duduk didepanku aja. Lain kali sebelum kerja, perutmu harus udah full, jangan kerja dalam kondisi lemes, nanti nggak konsentrasi. Oya, panggil aku mbak Tina aja nggak usah formal-formalan manggil Ibu, oke?” Cilla duduk di kursi yang ditunjukkan Tina.
“Bu, eh Mbak, apa saya boleh menyimpan tas diatas meja?”
“Ya simpan aja, itu kan mejamu. Selama kamu bekerja di sini, mejamu itu wilayah kekuasaanmu. Kalau mau minum minta gelas ke Mamang Jajang, OB di sini. Nah galon di sebelah sana,” Tina menunjukkan tempat menyimpan galon.
“Terima kasih banyak, Mbak Tina. Mohon maaf lahir batin kalau saya merepotkan.”
“Ngapain sih kamu minta maaf melulu sama aku. Kan kita baru ketemu, dosamu belum banyak ke aku.” Cilla tersenyum dan meletakkan tasnya diatas meja.
Tina memberikan beberapa bahan untuk dipelajari Cilla. Ia mulai mengajari Cilla bagaimana membuat surat penawaran sederhana kepada klien perusahaan mereka.
Sampai akhirnya Tina membiarkan Cilla bekerja sendiri. Tugasnya sendiri harus segera diselesaikan dalam waktu dekat. Tina berusaha konsentrasi sambil menunggu hasil kerja pertama dari Cilla.
Tak terasa sudah dua jam waktu berlalu dan Cilla belum juga menyerahkan hasil pekerjaannya. Tina berdiri menengok ke arah Cilla.
“Mohon maaf lahir batin Mbak Tina, belum saya kerjakan. Ada tulisan yang ndak terbaca. Saya takut sekali mengganggu Mbak Tina yang sedang kerja,” suara Cilla pelan dan terdengar ketakutan.
“Masya Allah, cobaan apa lagi ini?” Tina berteriak ke arah Cilla.

(Bersambung)
*Tokoh dan Peristiwa Hanya Fiktif

Tiba Tiba Saja Rabu Pagi Tiba

Tiba tiba saja rabu pagi tiba,
Baru sejenak rasanya selasa,
Siang nanti pun bisa jadi tak lama
Tiba tiba saja senja
Tiba tiba saja malam
Tiba tiba saja  hari, minggu, tahun terlewat
tanpa tanda,
tanpa baca

Tiba tiba saja,
Kita berduka,
Tentang bermusim waktu tersia


Sutikno Slamet, 14 Agustus 2019

Demi Masa (2)

Pukul 17.00

“Tin, gue tunggu di kafe  Mawar ya.”
“Iya Mas, segera meluncur,” Tina mengambil  tasnya. Ia bercermin ke ponselnya sambil menambahkan gincu di bibirnya.
“Yup, aku udah cantik.  Wait for me, Mas Agung  sayang…..,” Tina beranjak dari tempat duduknya.
“Tina…..,”
“Ya, Pak?” Tina berbalik mendengar Adnan memanggil namanya.
“Kamu jangan pulang dulu ya. Bantu saya selesaikan laporan penjualan. Walau ini sudah agak terlambat, nggak apa-apa yang penting laporan selesai. Bahannya sudah saya email ya. Pak Charles udah marah-marah. Please.”
Kedua tangan Adnan dikatupkan di dada pertanda ia sangat membutuhkan bantuan. Tina merasa serba salah. Sudah sering ia membatalkan janji dengan Agung, kekasihnya karena banyaknya tugas yang diberikan Adnan kepadanya. Sebagian besarnya adalah menyelesaikan pekerjaan yang ditinggalkan Ponco, teman kerjanya.
“Memangnya Ponco ke mana, Pak?” antara kesal dan bingung Tina bertanya kepada Adnan.
“Dia nggak masuk hari ini karena mengantar istrinya ke kampung.”
“Hmmmm…..,”Tina menarik nafas panjang.
“Oya, saya sudah pesan makanan lewat ojol ya. Kopi kesukaanmu juga sekalian. Jadi kamu bisa konsentrasi ngerjain laporannya.”
“Aku nggak minta,” Tina bergumam pelan.
Dengan lunglai Tina duduk kembali. Tina menyalakan kembali komputernya. Tangannya gemetar menulis pesan kepada Agung. Ia tak berani menelpon langsung kepada Agung.

Mas, maaf ya aku nggak jadi ke kafe. Ada kerjaan mendadak yang harus selesai hari ini.

Tina membuka email dengan terpaksa. Jari-jarinya menari diatas keyboard dengan lincah. Sesekali matanya melirik ponselnya menunggu balasan pesan dari Agung. Sampai sejam tak ada balasan dari Agung. Tina tahu kalau Agung marah padanya. Akhirnya Tina pasrah dan tenggelam dengan laporannya.
Malam Hari, Pukul 23.00
Perfect, Tin. Kamu memang luar biasa. Cepat dan teliti. Nggak ada kesalahan sekecil apapun. Terima kasih ya, kamu menyelematkan tim kerja kita.”
“Sama-sama, Pak,” jawab Tina tak bersemangat.
“Saya boleh pulang, Pak?”
“Iya. Sekali lagi terima kasih ya, Tin. Hati-hati di jalan. Ini udah larut.”
“Yaelah, anak TK juga tahu kalau jam sebelas itu udah larut. Mana besok tetep harus ngabsen pagi pula,” ujar Tina dalam hati dengan perasaan kesal.
“Permisi Pak,” Tina keluar dari ruangan Adnan dan berjalan menuju lift. Suasana sudah gelap dan sepi. Tak ada seorangpun yang berada di ruangan itu selain dirinya dan Adnan.
*****

“Tin….,”
Tina yang sedang bergegas dalam gelap malam, badannya. Ia kaget mendapati Agung berlari menyusulnya.
“Dari tadi kupanggil, nggak noleh. Serius amat sih, neng,” ujar Agung.
“Mas ngapain di sini malam-malam?” tanya Tina.
“Emangnya nggak boleh jemput pacar?” Agung balas bertanya.
“Bukan begitu, kupikir Mas marah karena dari sore nggak jawab pesanku.”
“Gue emang marah. Ngeselin tau, udah janji berulang-ulang selalu nggak ditepati,” Agung pura-pura marah sambil berjalan disamping Tina.
“Maaf, Mas. Ponco nggak masuk hari ini padahal laporan belum selesai……,”
“Nah kan lagi-lagi kamu ngerjain kerjaan orang. Kamu susah sendiri. Makanya jangan terlalu rajin jadi orang, akhirnya kan kamu selalu kebagian cuci piring,” Adnan memotong perkataan Tina.
“Bukan gitu, Mas. Kan kalo laporan penjualan nggak selesai nama baik timku tercemar. Tetep aja yang kena semprot Pak Charles semuanya bukan cuma si Ponco,” jawab Tina.
“Bilangin sama bosmu, harus tegas apalagi ngadepin pegawak yang kayak Ponco. Jangan juga karena kamu nggak pernah nolak kerjaan jadinya kamu yang dikerjain terus. Emang yang punya urusan si Ponco doang?” ujar Agung.
“Iya, iya lain kali aku bilangin ke Pak Adnan. Bawel banget sih, Mas,” balas Tina sambil tertawa.
 Di malam yang gelap itu mereka berjalan meninggalkan kawasan kantor. Tak berapa lama mereka menaiki taksi yang akan mengantarkan pulang.
*****

Beberapa Hari Kemudian, Pukul 7.30

“Tin, lu dapet transferan berapa?”
Ponco mencegat Tina di pintu ruangan kerjanya. Saat itu Tina baru saja datang.
“Apaan sih? Belum duduk udah nanya yang aneh-aneh aja.”
Tina mendorong Ponco yang menghalangi jalannya. Ia meletakkan tas di kursinya, kemudian pergi ke luar ruangan.
“Mau ke mana, Tin?” tanya Ponco.
“Toilet, mau ikut?” Tina berlalu dari hadapan Ponco.
“Jangan lama-lama ya,” ujar Ponco sambil  nyengir.
*****

“Jadi berapa, Tin?”
Tina menghela nafas. Ia membuka buku agendanya, mengecek apa yang harus dikerjakannya hari ini.
“Tin!”
“Ni orang ya, pagi-pagi udah ganggu orang. Bukannya kerja,” ujar Tina kesal.
“Nih jumlah transferan gue,” Ponco memperlihatkan pesan singkat di ponsel yang diterimanya dari bank. Jumlah yang tertera di pesan itu membuat mata Tina terbelalak. Seketika, ia mengecek ponselnya. Tina berusaha menahan diri sejenak.
“Wow, ternyata masih gedean gue. Tenang Tin, nanti gue beliin kopi susu dari kafe langganan lu,” ujar Ponco dengan gembira.
Tina menunduk. Betapa dunia tak adil baginya. Hanya karena Ponco lebih senior dia mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, padahal jumlah yang tertera di ponselnya Ponco adalah hasil kerja kerasnya.
Hatinya tambah kesal mendengar Ponco terus nyerocos di telpon menanyakan jumlah bonus kepada pegawai dari unit lain. Air mata menetes di pipinya.
“Astaghfirullah al adzim. Kenapa harus kecewa? Semua ada takarannya. Tenang Tin, ikhlasin aja. Rejeki nggak selalu datang dalam bentuk sms banking,” Tina mencoba menenangkan hati. Akhirnya ia memutuskan untuk bekerja kembali dan berusaha melupakan percakapannya dengan Ponco.
*****

Pukul 16.30
“Tin, gue email kerjaan. Nitip ya. Tolong selesaikan. Deadline besok. Sedikit lagi kok. Besok gue mau survey lapangan di luar kota hehehe. Pulangnya gue beliin kopi ya. Bye!,”
“Eh aku punya kerjaan lain….,” belum selesi Tina bicara, Ponco sudah pergi meninggalkannya.
“Ya Allah, cobaan kok nggak berhenti datang.”
Tina membuka email yang dikirim Ponco. Rasa kesal semakin memuncak karena ternyata apa yang dikerjakan Ponco baru sedikit bukan tinggal sedikit lagi.
“Tin, jangan lupa ya kerjaan si Ponco besok pagi sudah harus dikirim ke Pak Charles. Kopi otewe.”
Mendengar suara Adnan dari balik cubicle, Tina menangis sejadi-jadinya.

*Tokoh dan peristiwa hanyalah fiktif.



Membaca lagi Rendra

Ketika terjadi ketidakadilan, orang-orang akan bertanya. Saat ketidakadilan justru dipertontonkan tanpa sedikit pun kepedulian, orang-orang tidak hanya bertanya tapi akan menunjukkan ketidaksukaan dalam berbagai bentuknya.

Saat pertanyaan-pertanyaan yg ada tidak menemukan jawabnya, ketika tekanan justru yg menjadi jawaban, ruang baru akan tercipta.

Pertanyaan yg diajukan boleh saja membentur keadaan namun ia tidaklah mereda. Ia akan tumbuh di kebon belakang lalu pada saatnya menjelma hutan. Ia terus hidup di alam bawah sadar, tercebur ke kali mengalir lalu menjadi ombak di samudra.

Suara-suara yg diteriakkan memang memekakkan telinga namun ia jelas bentuknya. Jawablah, jangan melengos darinya. Dan lebih berhati-hatilah dengan suara-suara yg dikumpulkan dalam hati karena ia akan menjadi energi yg bukan lagi melahirkan kata namun tindakan.

Dan sesungguhnya ketidakadilan itu rapuh karena ia berdiri di atas kaki-kaki yg tidak utuh. Tak ada keseimbangan maka janganlah heran jika ia selalu dihantui kekhawatiran akan jatuh.

Setiap orang bisa berkata memiliki niat baik, namun jika keadaan tidak berubah menjadi lebih baik, mengulangi apa yg dikatakan Rendra, pertanyaan itu kembali mengemuka :

'Niat baik Saudara untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak yg mana?

J1019

Pantun pembuka


Penumpang berjejal naik semua,
Menuju  bintaro lewati maja
Salam kenal adik semua
Saya hartanto dari dja

Berkali kali  terasa mual
Ketiak dari pasar ketemu muka
14 kali menurut jadwal,
Hendak Belajar ilmu pbk

Tak pernah sempat kami terlelap
Berdiri rapat tak bisa kemana
Dari awal saya berharap,
Ilmu manfaat, nilainya A

Pintu terbuka segera turun,
Didesak penumpang dari belakang
Temu pembuka saya berpantun
Benak senang tak jadi tegang

Cerita ini tak terelakan,
Jamak di temu lintas stasiun
Adik disini saya silakan
Siapa mau berbalas pantun


Bintaro, 5 oktober 2019
(Pantun di pembuka perkuliahan semester ganjil 19/20)

Perjalanan adalah Tujuan


Catatan Perjalanan Menuju Jamselinas Palembang

Bulan September adalah bulannya Jambore Sepeda Lipat Nasional atau dikenal sebagai Jamselinas. Tahun 2019 adalah Jamselinas ke-9. Ide gowes menuju Jamselinas 9 awalnya dimulai oleh Om Diki Rahman sang kompor api biru dari Cilegon. "Ayolah Om In, sekalian pulang kampung," ajaknya saat itu. Saya sih iya-iyain aja, secara sudah terbayang betapa jauhnya jarak Lampung ke Palembang. Makin mendekati hari H, om Diki pun mulai aktif japri-japri rute dan ‘teaser’ penggoda 😃. Iman saya pun mulai goyah, apalagi ada pilihan start dari Tanjung Karang. Istri mulai dilobi agar visa gowes keluar. "Malu lah Mi, masak wong Palembang gak hadir acara di Palembang," begitu alasan saya waktu mohon ijin gowes Jamselinas 9 ini. Singkat cerita, ijin pun diberikan. Peserta yang awalnya saya sendiri yang berencana ‘nebeng’ rombongan SCAM om Diki akhirnya bertambah. Para senior turing ID Dahon yaitu Mang Dewa, Koh Handoko Candra, dan Makcan Lily menunjukkan militansinya, harus gowes dari Jakarta. “Nanggung amat!” ujar Mang Dewa. “Yo wis,” akhirnya saya pastikan total 10 orang peserta dimana 3 goweser akan start dari Jakarta dan 7 goweser dari Bakauheni.

Etape 1 (Jakarta-Merak) dimulai Senin 9-9-2019: Pukul 6.30 pagi rombongan Mang Dewa, Koh Handoko, dan Makcan mulai bergerak mengayuh pedal dari kantor Blibli.com selaku sponsor acara gowes Jakarta-Palembang. Target perjalanan gowes hari pertama adalah sejauh kurang lebih 147 km sampai Merak, menyebrang Selat Sunda, lalu mencari penginapan di Bakauheni untuk kemudian bergabung dengan 7 goweser lainnya. Kami pun memantau perjalananan 3 turinger militan melalui komunikasi di grup WA. Etape 1 ini benar-benar menjadi ujian kebulatan tekad untuk Mang Dewa, Koh Handoko dan Makcan Lily. Cuaca panas, jalanan yang padat kendaraan ditambah musibah pecah ban-pun dialami mereka secara bergantian. Bahkan Makcan harus mengganti ban luar karena ban yang lama sudah tidak dapat digunakan lagi. Akibatnya, jadwal molor, waktu digunakan untuk beristirahat. Tim Jakarta baru tiba di Merak nyaris bersamaan dengan Bis Damri yang saya tumpangi dari Bekasi. Bis Damri menyeberang ke Bakauheni, saya tersadar terlanjur sendirian di ujung Pulau Sumatera. Tim Cilegon yang menunggu Tim Jakarta di Merak akhirnya juga memutuskan untuk menginap di Merak dan baru menyeberang keesokan harinya.

Etape 2, (Bakauheni - Tanjung Karang) Selasa 10-9-2019: . Akibat terlanjur menyeberang sendiri, saya akhirnya ‘berpetualang’ di Bakauheni. Tiba pukul 2.30 dini hari, tidak membuat saya jeri. Bakauheni sekarang sudah berbeda 180 derajat dari Bakauheni puluhan tahun yang lalu. Saya pun akhirnya berpindah-pindah tempat tongkrongan; mulai ibu-ibu penjual popmie pinggir jalan, pos satpam, warung nasi padang sampai akhirnya tertidur di terminal eksekutif. Cukup lama saya berkelana sendiri di pelabuhan, sampai akhirnya total 9 goweser menginjakkan kaki di Bakauheni pukul 9.30 pagi. Setelah bertukar kangen dengan Om Diki dan Makcan selesai, kami-pun mulai mempersiapkan diri dan mulai gowes dari pelabuhan ke arah Tanjung Karang berjarak 89km. Keluar dari pelabuhan kami langsung dihadang oleh tanjakan tinggi. "Tenang aja" kata Om Diki menghibur Makcan. "Tanjakannya cuma ini kok yang tinggi, nanti ada lagi menjelang Kalianda tapi Cuma kayak flyover." Matahari benar-benar obral siang itu. "Empat puluh satu derajat Mak!" konfirmasi Om Prayuda Agniyana saat Makcan bertanya suhu saat itu. Kami pun memutuskan untuk ishoma di sebuah warung makan di desa Sukamaju. Menu ikan goreng, sayur asem plus telor asin pun tandas kami santap. "Telor asin ini enak," kata Makcan. "Bermanfaat sebagai sumber garam agar tidak kram," lanjutnya lagi. Selepas ishoma, ‘drama’ pun terjadi. Kondisi jalanan yang rolling membuat kami ‘khilaf’. Kami bagai anak-anak PAUD bertemu perosotan. Belum lagi "gowes nebeng angin truk" ala om Yudha dan Kang Agus 'ajay' Jayadi di belakang pantat-pantat truk lintas Sumatera. Saya pun terbawa ugal-ugalan. Sampai menjelang turunan panjang menuju Tarahan, saya sadar bahwa Makcan Lily tertinggal di belakang. Kang Darsono Eno yang biasanya mengawal Makcan pun ternyata ikut balap liar. Benar saja, Makcan marah besar. "Kalian ini turing kok kayak ngejar COT sih!?" teriaknya. Sebagai satu-satunya perempuan di tim gowes, wajar kalau Makcan marah. Setelah kejadian itu, kami pun tersadar dan mulai menjaga pace agar rombongan tidak terpecah. Menjelang waktu maghrib, kami tiba di perbatasan Kota Bandar Lampung. Semangat kami mengayuh ke arah penginapan di tengah kota untuk beristirahat dan menyiapkan diri di Etape-3 esok hari.
Etape 3: (Tanjung Karang-Menggala) Rabu, 11-09-2019: Kami tidak memulai awal, rencana start jam 7.30 pagi mundur. Ternyata beberapa anggota rombongan masih harus sarapan dan mengisi angin ban sepeda masing-maisng. Jalanan kota Tanjung Karang mulai ramai dengan aktivitas warga. Kami gowes beriringan menuju ke arah Menggala melalui jalur lintas timur, rencana menempuh jarak 115 km. Jalur lintas timur ke arah Menggala relatif datar sehingga kami dapat melaju dengan cukup kencang di rute ini. Satu-satunya kendala adalah cuaca panas sepanjang perjalanan tanpa payung awan. Saat ishoma, kami optimalkan untuk mendinginkan suhu tubuh dan memejamkan mata sejenak. “Lumayan untuk modal melanjutkan perjalanan,” usul saya ke tim. Kami juga mulai mencari informasi lebih lengkap mengenai daerah yang akan kami lalui, mengingat daerah Menggala cukup rawan terutama jika sudah masuk gelap. Rasa lelah yang mulai melanda terbayar dengan keramahan warga yang menyemangati kami di sepanjang jalur gowes. Bahkan Kang Eno berhasil mendapatkan satu termos air panas dari rumah warga untuk menyeduh kopi saat mata kami mulai kiyip-kiyip membutuhkan kafein. "Coba gowes di Jawa, dicuekin kita," komentar Mang Dewa. Di satu titik, satu angkot penuh berisi anak SMA meminta kami untuk berfoto bersama, yang tentunya kami penuhi dengan suka cita. Gak pake lama, follower IG Om Diki langsung bertambah. Harapan mulai terbit ketika dari jauh sudah terlihat satu bangunan tinggi dan tower SUTET. “Kalo sudah ada tower, biasanya disitu ada kota,” optimisme Kang Eno muncul. Kami pun mempercepat kayuhan karena tak lama lagi adzan maghrib akan mengumandang. Alhamdulillah rombongan kami tiba di Hotel Sarbini sebelum gelap mulai pekat. “Aman Pak,” tegas Bapak pemilik warung makan depan hotel menjawab pertanyaan kami untuk konfirmasi kondisi jalan ke arah Tulang Bawang. “Tapi baiknya Bapak menginap di sini saja dahulu karena kondisi jalanan gelap, tidak ada penerangan dan kendaraan cenderung ngebut dan ugal-ugalan saat malam,” lanjut si Bapak. Malam itu, sambil mengistirahatkan badan, kami pun mendiskusikan rencana perjalanan Etape 4. Semangat kami sama: Perjalanan ini harus mementingkan keselamatan dan keamanan. Terbayang kebiasaan Om Alwis Darwis yang selalu menyempatkan diri video call dengan si buah hati dan istri kesayangan yang sedang hamil. Dengan semangat itu muncul opsi untuk loading sampai ke titik aman untuk kemudian gowes lagi. Opsi lainnya Etape 4 full loading sampai ke Kayu Agung agar kami bisa lebih cepat sampai Palembang. Pilihan opsi ini membuat Kang Diki tidak bisa tidur. “Temen-temen masih kuat dan masih ingin gowes Om,” curhatnya pada saya. Mendengar itu saya pun segera ambil keputusan. “Ok Kang, besok kita akan tetap gowes, berangkat lebih pagi dan kita akan mampir ke Polsek Simpang Pematang untuk konfirmasi kondisi rute yang akan kita lewati”. Ide silaturahmi ke Polsek ini sudah dikomunikasikan dengan Om Rano Prayonda dari SeLPi (SEPEDA LIPAT PALEMBANG). Kebetulan Pak Yanto, Kapolsek Simpang Pematang adalah kakak kandung Om Rano.

Etape 4 (Menggala-Lubuk Seberuk) Kamis, 12-09-2019: Memulai gowes saat matahari masih belum muncul ternyata benar-benar menyegarkan. Hembusan angin dingin yang menerpa kami menambah semangat memulai hari. Kami pun membentuk peloton yang cukup rapat. Tidak boleh ada yang tertinggal jauh. Kalau pun terpisah, kami usahakan tetap terbagi dalam 2 peloton. Tanjakan yang lumayan tinggi diikuti rolling tetap membahagiakan kami namun kami tetap sadar untuk tidak khilaf sebagaimana Etape 2. Tidak terasa hampir 30 km kami jalani dengan penuh canda tawa bahagia sampai perut mulai menagih jatah sarapannya. Kami pun mampir ke warung nasi uduk yang cukup ramai di pagi itu. Benar saja, nasi uduk-nya enak. Kami pun sarapan dengan lahap. Setelah kenyang, dan Kang Diki menyelesaikan absen pagi di mini market terdekat, kami pun segera melanjutkan perjalanan. “30km lagi ya,” ingat Kang Diki yang langsung diamini kami semua. Matahari mulai tinggi. Kang Diki dengan sabar menjaga pace di depan rombongan. Sementara Om Alip dan Om Yudha menjadi sweeper di belakang. Kami pun perlahan mulai memasuki daerah Mesuji. Tak jauh dari sebuah mini market tempat mengisi bidon, berdiri tugu lambang kota Mesuji dengan semboyannya “Bumi Ragab Begawe Caram”. Saya yang penasaran dengan arti semboyan itu lalu bertanya pada petugas mini market. “Intinya Bhineka Tunggal Ika Pak” jelasnya. “Wah pas banget nih,” seru saya ke teman-teman. Kami harus terus bersatu dan berada dalam satu rombongan, apapun yang akan kami hadapi di depan. Belum sampai jam makan siang, kami tiba di Polsek Simpang Pematang. Sesuai arahan Om Rano, kami beristirahat sejenak di sana. Ternyata Pak Yanto, selaku Kapolsek telah menunggu kedatangan kami. Kami pun dijamu dengan suguhan nasi padang yang ueeenaaakkkk sekali. Goweser gak boleh kelaparan kata Pak Yanto. Pak Yanto bercerita bahwa sebenarnya beliau semalam telah menunggu kami sampai pukul 12 malam. Hanya saja beliau yakin kami pasti tidak akan berani gowes di tengah malam gelap gulita seperti itu. Beliau meyakinkan bahwa kondisi Mesuji aman dan kondusif. Walaupun demikian beliau telah menyiapkan pengawalan untuk kami sampai ke perbatasan. Setelah cukup beramah tamah di Polsek kami pun melanjutkan pergowesan. Kesigapan panitia Jamselinas IX patut diacungi jempol. Info adanya peserta yang gowes menuju Palembang ternyata sudah diketahui semua aparat keamanan di jalur yang kami lalui. Kami pun mendapat pengawalan di belakang maupun di depan rombongan seperti yang dijanjikan Pak Yanto. Alhamdulillah berkat pengawalan tersebut kami berhasil dengan selamat melewati perbatasan Mesuji tanpa ada sedikit pun gangguan keamanan. Sisa perjalanan kami lalui dengan perasaan lega, rasa kebersamaan dan kekeluargaan pun semakin erat di antara kami. Saking eratnya saya pun tidak sungkan mencarikan calon pendamping hidup Om Alip di setiap mini market yang kami singgahi . Akhirnya kami tiba di Lubuk Seberuk saat hari masih terang, beristirahat untuk menyiapkan diri di etape terakhir esok hari. Etape ini benar-benar menorehkan kesan yang sangat mendalam bagi kami.
Etape 5 (Lubuk Seberuk – Kayu Agung – Jakabaring, Palembang) Jumat, 13-09-2019: Tim SCAM memang luar biasa. Ketika saya keluar dari kamar jam ½ 6 pagi, semua sepeda sudah siap. Pannier sudah terpasang rapi, teman-teman pun sudah siap dan berjersey merah seragam Etape terakhir. Di etape ini kami anggota bertambah, yaitu Om Sahrie dari Cilegon yang datang malam itu bersama Om Ghafur dan Om Azhier dengan menggunakan mobil. Om Sahrie akan ikut gowes bersama kami, sedangkan Om Ghafur dan Om Azhier akan mengawal dengan mobil. Alhamdulillah. Kabar gembira juga datang dari Makcan. “Nanti kita sarapan di km-30 kemudian akan dikawal oleh Tim Waskita Karya sampai Kayu Agung”. Kami pun semakin semangat mendengar informasi bahwa di Kayu Agung akan disiapkan makan siang, lalu setelah makan siang dan Sholat Jumat kami akan gowes ke Palembang melalui jalan Tol Kayu Agung – Palembang yang masih dalam Tahap Konstruksi. Lagi-lagi ini berkat bantuan Tim Waskita. “Alhamdulillah ya Iko,” kata Makcan. Kami mensyukurinya. Semua ini berkat pertemanan sesama pesepeda, salah satunya Om DOP yang merupakan salah satu Direksi PT Waskita. Etape 5 ini benar-benar pemuncak perjalanan. Jamuan makan enak, bekal minum dan buah-buahan berlimpah, kawalan lengkap dengan tim medis serta liputan drone benar-benar berkah bagi kami. Perjalanan sudah menuju akhirnya, kekeluargaan dan persaudaraan makin erat. Kelelahan yang terakumulasi seolah hilang tergantikan kelegaan bahwa titik finish akan segera tiba. Kelegaan bahwa kami semua dapat tiba dengan sehat walafiat. Kelegaan bahwa kami dapat mengabarkan semua berita baik dan hikmah yang kami dapat kepada keluarga yang kami tinggalkan. Karena gowes tanpa hambatan di jalan tol, kami pun tiba di Jakabaring lebih cepat dari perkiraan. Om Ferry Usnizar dan Om Harun Hudari Dok dari SelPi yang berencana menyambut kami bahkan belum ada di posisi. Kami pun langsung menuju tempat panitia yang sudah ramai pendaftaran ulang dari seluruh pesepeda lipat Indonesia. Kehadiran muka-muka gosong kami menjadi kejutan yang dinanti panitia. Kami pun didapuk om Cahyo Pribadi untuk sekedar menyampaikan sedikit kesan selama perjalanan. "adek-adek tim medis sudah siap siaga nih om Iko" sambut Om Cahyo, "tapi alhamdulillah semua sehat ya" lanjut beliau. Euforia pun terjadi, namun tidak ada kata lain yang terucap selain Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah yang telah menjaga kami sepanjang perjalanan. Jamuan pempek dan traktiran pindang oleh Om Ferry, Om Harun dan Om Ikmal menjadi ucapan selamat datang Wong Kito kepada tim gowes kami. Alhamdulillah…Alhamdulillah…Allahu Akbar, begitu banyak yang kami dapat dari perjalanan ini. Semoga semua membawa berkah bagi kami dan semua yang bisa menarik manfaat dari catatan perjalanan ini. Bukan jauhnya jarak atau lamanya perjalanan tapi seberapa banyak kita mendapat manfaat dari perjalanan itu, karena “Perjalanan adalah tujuan.” (Diki Rahman, 2019).

Monyet penari, ular penjaga dan tuannya


Ada hikayat,
Tentang monyet penari dan ular penjaga,
Oleh tuannya mereka dibawa berkeliling kota,dari pasar ke pasar,
dari kerumunan ke kerumunan,
sang monyet terus menari dan sang ular mengawasi,
Begitu seterusnya hampir tanpa henti

Senja hari,
Saatnya tuan berbagi rejeki,
Di hitung tuang isi pundi pundi,
Sejumput buat penari,
bagi penjaga  saku bernas terisi

Wahai tuan,
Tak salahkah kau buat kini
Aku lah yang lelah menari
Kenapa pada ular ,
Hadiah pundi penuh isi

Wahai monyet penari,
Tak menari tak berarti berdiam diri,
Pada kata kata dan bisa sang penjaga
Ku pastikan langkah gemulaimu tanpa terhenti,
maka wajar saja, jika padanya jatah lebih harus ku bagi

Wahai tuan,
Tidakkah dia tak bisa menari,
Tak kan mungkin dia mengerti
Kapan langkah gemulai meniti,
Kapan langkah harus berhenti

Wahai penari,
Tak perlu menari untuk menjadi ular,
Dia telah dilahirkan dengan bisa dan kata, kalau sesekali dia juga bisa menari, mungkin hanya kebetulan,
Tuhan tak kehilangan keadilan,
Hanya karena monyet penari dan ular penjaga terlahir  berbeda

Sejak saat itu
Monyet penari tak pernah lagi bercita cita menjadi ular penjaga
Mungkin selama tuannya masih yang sama

(Jelang Pulang, 25 Sept 2019)

catatan  : habis baca tulisan tentang perhitungan gaji, kesamaan tokoh dan cerita hanya kebetulan

Aku Menyukai Senyummu di Hari Senin



Aku menyukai senyummu di hari senin;
Magis-menghipnotis tenang-menhanyutkan, sekalipun mungkin saja senyum itu bukan untukku


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Juga tentang betapa deras cerita-cerita mengalir dari bibirmu, meliuk-liuk seperti pemotor di negeri +62, bahkan di celah terkecil sekalipun


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Atau hari-hari dimana kita tidak pernah bertemu sebelumnya.
Ketenanganmu, kekuatanmu, keteguhanmu adalah akumulasi kecerdasan buah karya Beliau yang mengagumkan


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Bahkan lebih lama kunanti daripada hujan yang tak kunjung hadir di Ibukota


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Apapun alasannya

-udah lama, 2019-