Fort de Kock 1938





Apabila kami bertemu, tidak pernah sebentar. Bermula dari ide 1 aktivitas, diakhiri dengan banyak aktivitas sepanjang hari. Aku dan sepupuku. Kami terhubung bukan hanya karena kerabat, namun juga karena 'nyambung' ketika membicarakan topik-topik anti mainstream. 

"Kamu seperti nenek. Sudah pernah ada yang bilang?" Tanyanya sambil memeluk kantong belanja IKEA yang penuh dengan piring, bantal, dan pernik-pernik kantor.

"Benarkah?" Tanyaku balik. Hampir tak percaya.

Sepanjang hidup, aku sudah kenyang dicela atau sekali-sekali dipuji. Tapi tidak untuk yang satu ini. Diumpamakan seperti nenek adalah idealisme yang tak terbayangkan. Meski aku hanya sempat bertemu dengannya 1 tahun di awal hidupku.

Saat itu, dari sepotong foto lusuh terlihat nenek menyalakan sebatang lilin mungil di atas semangkuk puding buatannya dan aku tanpa gigi tertawa tergelak-gelak kesenangan melihat hadiah ulang tahun dari nenek tersayang. Ia adalah seseorang yang selalu mengingat tanggal ulang tahun semua anak, mantu dan cucu-cucunya. Catatan kecil tersimpan rapi di mejanya, dan bila jarak terlalu jauh memisahkan, nenek akan selalu mengirimkan surat kepada yang berulang tahun ... sekadar mengingatkan bahwa ia tak lupa dengan hari istimewa mereka.

Ia yang kukagumi bukan hanya karena lemah lembut, tapi juga berani. Ketika serdadu Belanda datang untuk menggeledah rumah dan memburu kakek yang sudah bersembunyi di hutan belantara, nenek dengan tenang menerima dan berbicara dengan serombongan laki-laki berbayonet* itu. Niat semula untuk meluluh lantakkan rumah berubah seketika saat mereka mendengar nenek bicara dalam bahasa Belanda mengatakan perbuatan ini hanya akan sia-sia belaka, sebab apa gunanya mengirimkan pasukan untuk menyerang seorang ibu rumahtangga dan anak-anak kecil? Satu tentara memberanikan diri untuk berpamitan dengan nenek sambil menyembunyikan pedangnya di sabuk belakang. Bahkan seorang penjajah pun mempunyai rasa hormat.

Di zaman internet ini, tentukah mudah menelusuri masa lalu dan masa depan apabila kita bisa menemukan sumber yang tepat. Trend teknologi, proyeksi perekenomian regional dan global, sampai dengan perkembangan geopolitik dapat kita telusuri. Demikian juga halnya dengan masa lalu kita sendiri. Masa lalu yang tidak ingin aku tanyakan kepada siapa-siapa, kecuali dari riset mandiri.

Aku punya kebiasaan buruk. Apabila ingin mengenal seseorang, aku tidak bertanya. Tapi aku meng-google. Hampir semua orang di kantor sudah pernah aku google. Dan kini waktunya aku meng-google nenekku. Dengan sedikit perasaan pesimis tentunya. Sebab apa yang akan google katakan tentang seorang ibu rumah tangga di tahun 1940-an? 

Ternyata banyak.

Google mengatakan bahwa salahsatu dari seabrek kegiatan nenek dan kakek adalah menulis di sebuah surat kabar lokal yang beredar sejak sebelum zaman kemerdekaan Indonesia. Di surat kabar itu, tertulis banyak hal-hal menarik mengenai kondisi masyarakat sehari-hari. Ketika jumlah penduduk belum sebanyak saat ini, adalah hal biasa untuk menulis di surat kabar bukan hanya tentang opini organisasi pemuda, laporan keuangan pemerintah lokal, puisi, cerpen, alamat orang kampung di Jakarta, bahkan sampai dengan kabar siapa yang baru lahir, siapa yang baru meninggal, siapa menikah dengan siapa, dan siapa yang ditangkap Belanda tapi diantarkan beramai-ramai oleh penduduk satu desa karena simpati dengan perjuangannya. 

Semakin aku meng-google, semakin aku merasa berkecamuk di dalam dada ... sebab di balik sikap sabar, tenang, dan anggun dengan baju kurung dan selendangnya, nenek menyimpan banyak pengalaman hidup dan rahasia ... yang mungkin aku tak sanggup menanggungnya.

*Bayonet : pucuk senapan berujung pisau








Kopi (badarawuhi (3))



Dia,

Yang
Padamu
Mengikat
Setia,
Menyecap
Pahit
dan
Manismu
Untuk
Selalu
Terjaga,
Melintas
Masa

Sementara,
Aku
rela
sela
di antaranya,

Yang
terbiasa
Oleh
Pahitmu
Semata

menikmati
setiap
Reguk
yang
Memantik
Bahagia

Mungkin,
Kau ahlinya,
Untuk
Membuat
Tak ada
Yang akan  terluka

Karena
kau dengan gula pemanis
kau dengan pahit semata

Terseduh
Pada
Cangkir
dan waktu
Berbeda

(Ujung harapan,  Oktober 2019)



Kuburanku


Ini adalah kuburanku
Yang ku gali sejak bertahun-tahun lalu
Dengan riuh tawa dan derai air mata palsu
Dalam episode kehidupan semu

Kuburanku tampak kusam
Tergilas pedihnya kemarau panjang
Tertampar panasnya mentari dan hembusan bayu yang menghempas dedaunan kering
Dari sebuah pohon sekarat di sisi kuburanku

Tak ada yang sudi melihat kuburanku
Selain aku
Karena ia terus memanggilku
Dengan suara paraunya yang sumbang di dengar

Entah kapan hujan bertamu ke kuburanku
Membasahi tanah merah di sekelilingnya
Mengusir debu yang menyelimuti
Yang dengannya kelak rerumputan dan pepohonan menghijau

Akankah senyum kan mengembang
Dari para peziarah yang datang
Menatap kuburanku
Yang didalamnya bersemayam jasadku
Seraya berdoa; semoga RahmatNYA tercurah kepadamu



Pesona Separo Agama (2)


Kelam shubuh perlahan berganti terang, pertanda pagi kan menjelang. Jauh di ufuk timur, mentari tampak mendaki cakrawala, menebar kehangatan. Cahaya kuning keemasan perlahan menembus jendela kaca. Kerlap-kerlip terhalang dedaunan Mangga. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar deru motor dan mobil silih berganti. Sesekali diselingi suara penjual gorengan, berlalu lalang, menjajakan pisang memutari komplek Pandega Marta. 

Bagi sebagian orang, melanjutkan tidur di pagi akhir pekan adalah kenikmatan yang tiada duanya. Apalagi kalau hujan, bersembunyi di balik selimut tebal sungguhlah nikmat Tuhan paling hakiki. Namun tidak bagi Izzam, Fattah, dan Ardi. Dua tahun mereka ditempa. Tak hanya diajari aqidah, fiqih, dan tafsir, melainkan juga shiroh. Saban hari ditausiahi bagaimana Nabi dan para sahabat memulai pagi, keutamaan berlama-lama di masjid sembari menunggu waktu syuruq, dan sebagainya. Tak heran ketika mata begitu berat, selalu saja terngiang di benak mereka QS. Al Jumu’ah ayat 10 yang sering digaungkan asatidz (jamak dari kata ustadz) saat mendapati beberapa santri tidur waktu kajian. Faidzaa qudiyatis sholaatu fantasyiru fil ard. Tatkala telah kau tunaikan sholat, maka bertebaranlah di muka bumi untuk mencari karunia Allah. 

Izzam melirik pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukan pukul 06.10, 2 jam menjelang kepulangan. Awalnya pemuda tanggung itu berencana pulang bersama teman-temannya Minggu malam, dan tiba di Jakarta Senin pagi. Namun karena satu dan dua hal, Izzam terpaksa pulang lebih awal. Hatinya tak karuan. Mei selalu saja memenuhi isi kepalanya. Sehingga berlibur pun sepertinya sia-sia. Meski 2 malam, kerinduan yang sekian lama bersemayan dalam relung hatinya pada kota penuh kenangan itu setidaknya tersampaikan. 

Ga sarapan dulu, Zam?” ujar Fatah.
kuy, aku kangen makan di Palanta”, celetuk Izzam sembari memasukkan potongan terakhir celananya ke dalam tas.
“rumah makan Padang itu? Emang udah buka?”, sahut Ardi dari kamar sebelah.

---

Gimana kerja di Ibu Kota, Zam?”, tanya Ardi mencomot sembarang topik.
“Berat, orangnya pada gak ramah. Belum juga lampu ijo, udah pada tin tin”, jawab Izzam sembari menyantap potongan lontong sayur yang Ia pesan.
“Yaudah tinggal resign toh”, usul Fattah.
“gila aja, ente kira gampang masuk kemenkeu?”, sanggah Ardi. Fattah terkekeh.

Usai membayar sarapan, mereka beringsut keluar menuju parkiran. Langit tampak redup. Cahaya mentari perlahan ditutupi awan. Berganti wajah, menyisakan langit kelabu. Sesekali Izzam mendongak langit. Beberapa tetes hujan jatuh membasahi lensa kacamatanya. Padahal satu jam yang lalu, cerah langit begitu menjanjikan.

“Mau hujan nih, aku naik gocar aja ya ke Lempuyangan?”
“Lah ga mau dianterin?”, tanya Fattah.
“Tau nih sok-sok an, biasanya dulu juga nyusahin pas mondok”, ejek Ardi.
“Yaudah, tapi gue gak tanggung jawab ya kalo lo pada kehujanan”, ujar Izzam dengan gaya bicara anak kota. 
anjaay!”, sahut Fattah dan Ardi bersamaan.

Lempuyangan mulai tenggelam dalam rutinitas. Kereta silih berganti berhenti. Seberapa banyak yang turun, sebanyak itu pula yang naik. Dari kejauhan terlihat tukang parkir melambaikan tangan, ngode kalau masih ada slot kosong. Satu dua mobil terlihat hanya menurunkan penumpang, lantas tancap gas meninggalkan pintu masuk stasiun. Di kios-kios seberang stasiun, beberapa anak terlihat antusias menatap langit. Sembari memegang payung, berharap hujan segera turun. 

Izzam melirik angka di jam digital Fattah, sudah hampir pukul 8 pagi. Tak lama lagi kereta Mataram Premium yang akan Ia tumpangi menuju Senen segera masuk. Setelah berbasa-basi, Izzam melangkah, mengambil antrian mencetak tiket. Tadinya Fattah dan Ardi bersikukuh menemani hingga Izzam naik kereta. Namun karena langit semakin padam, Izzam memaksa mereka untuk kembali. Meski Ardi berdalih Ia punya 2 jas hujan yang bisa dipake mereka pulang. 

Pemuda berdarah Minang itu langsung masuk ke ruang tunggu keberangkatan begitu selesai mencetak tiket. Setelah menunjukkan KTP, penjaga loket check-in mempersilahkannya masuk. Rintik hujan terdengar semakin keras dari langit-langit platform stasiun. Anak-anak yang sedari tadi memegang payung, mencak-mencak tertawa, menendang air. Satu dua anak terlihat mengiringi Ibu-Ibu umur 40an menuju pintu masuk, sesaat kemudian mendapat beberapa lembar uang 2000an. Sepertinya Fattah dan Ardi kehujanan, batin Izzam. Ia meluruskan kaki, menaikan resleting jaket, menghalau dingin musim hujan bulan Maret, menunggu jemputan. 

Tepat pukul 8.10, kereta yang akan ditumpangi Izzam merapat. Semenjak launching pertengahan tahun 2017 lalu, begitu sulit mendapatkan tiket KA Mataram Premium, apalagi weekend. Wajar saja, meski tergolong kelas ekonomi, kereta ini layaknya eksekutif. Meski rapat, setiap penumpang mendapatkan kursinya masing-masing. Sandaran kursi pun bisa diatur sesuai selera. Izzam pun beranjak, bersama penumpang lainnya, menuju gerbong masing-masing. Gerbong 9, nomor kursi 1B. Begitu tercetak di tiket yang digenggam Izzam. Dekat toilet memang, tapi tidak ada pilihan lain. Kursi satu-satunya yang tersisa untuk keberangkatan pagi ini.

Kereta melaju pelan. Perlahan menambah kecepatan. Roda besi kereta terdengar merangkai irama setiap kali melewati bantalan rel. Izzam mengeluarkan gawai dari saku dalam jaketnya. Membuka kontak, lantas menelpon seseorang. Seseorang yang begitu Ia sayangi. Seseorang yang bahkan tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di Bogor beberapa waktu lalu. 

“Assalamualaikum”, salam Izzam.
“Waalaikumussalam, Abang. Jadi pulang hari ini?”, tanya wanita paruh baya di seberang telepon. 
“Jadi Bunda, insyaAllah Maghrib nyampe Jakarta”
“Yaudah, fii amanillah ya, Ayah Bunda selalu mendoakan”

Izzam menutup panggilan. Jendela kereta terlihat semakin kabur, terhalang ratusan rintik hujan yang menerpa kaca. Dinginnya AC membuat kaca bagian dalam menjadi berembun. Izzam sekali lagi melihat gawai pintarnya. Mencari menu musik, memilih playlist. Mengotak atik, lantas memilih tilawah QS. Ar Rahman Ustadz Hanan Attaki. Ia yakin, ketika ruhiyah terasa gersang, maka lantunan ayat suci bagaikan oase di tengah padang pasir. Tak butuh waktu lama, pemuda kelahiran Maret 23 tahun silam itu pun terlelap. Berharap mimpi bertemu Tuhan, melepas gundah yang selama ini membebani hatinya.

Izzam tersentak. Di sebelahnya berdiri 2 orang berpakaian resmi dan bertopi. Masih sedikit linglung. Sejenak kemudian kesadarannya kembali, ternyata pemeriksaan tiket. Dan yang berada di sampingnya adalah Masinis dan pihak keamanan kereta. Setelah memeriksa tiket, dengan senyum ramah Masinis mengembalikan tiket Izzam, kemudian berlalu. Izzam mengantongi kembali tiket yang sudah dilobangi tersebut. Melirik Alexandre Christie di pergelangan kirinya. Pukul 12.40. Sudah waktunya Dzuhur.

Usai melaksanakan jamak-qoshor dzuhur dan ashar, Izzam beranjak ke bagian restoran kereta. Memesan nasi goreng dan air mineral. Biasanya ada pegawai kereta yang menawarkan makanan, minuman, bahkan bantal dan selimut kepada para penumpang. Tapi tak mengapa. Sedikit berjalan di gerbong kereta sepertinya tak begitu buruk, toh dari tadi kerjaannya cuma tidur, gumam Izzam. Selepas membayar pesanan, Izzam kembali ke kursi. Meski tak begitu lapar, tapi metabolisme tubuhnya menghendaki pemuda tersebut untuk makan. Apalagi nasi goreng di tangannya kelihatan begitu enak. Begitu tutup kotak dibuka, kepulan asap menjalar keluar, menggoda setiap hidung yang mencium sedapnya.

Tiba-tiba saja smartphone Izzam bergetar. Ragu-ragu Ia mengeluarkan hp dari saku jaketnya. Dua hingga tiga pesan masuk dalam waktu bersamaan, memenuhi layar depan telepon pintar Izzam. Mei. Pemuda tersebut terdiam. Tangan kanannya masih memegang sendok plastik. Itu adalah suapan terakhirnya. Naas, lahap makannya seketika kandas.

Assalamualaikum, Zam
Mei mau nelpon
Lagi senggang kah?

“Waalaikumussalam, bisa, 5 menit lagi ya”, tulis Izzam singkat.

Segera Ia rapikan kotak makan siangnya, menempatkan di bawah kursi kereta, menenggak Le Minerale 600 ml. Sejenak kemudian, handphone Izzam kembali bergetar. Panggilan masuk. Mei.

“Halo, Assalamualaikum”, sapa Mei di seberang telepon.
“Waalaikumussalam”, jawab Izzam ramah.
“Mei tidak mengganggu kan?”, tanyanya berbasa-basi.
Nggak, lagi di kereta juga, habis dari Jogja. Mei mau ngomong apa?”
“Masalah yang kemaren, waktu kita ketemu Bogor. Zam, tau ga? Kenapa setiap kali Mei dan Ibu ke Jakarta, kita selalu bertemu?”

Izzam terdiam, membiarkan Mei melanjutkan.

“Tiga kali kita bertemu, dan tidak satupun yang kebetulan, Zam. Izzam tau siapa yang minta Mei dan Ibu ke Jakarta? Tek Eni dan Tek Lis”

Pemuda tanggung itu beranjak meninggalkan kursi. Beralih pada celah gerbong. Bersandar, menatap awan. Mentari di langit Purwokerto mulai condong. Bayang kereta memanjang seiring tergelincirnya matahari ke arah Barat. Hamparan sawah terlihat sejauh mata memandang. Satu dua petani asik menyiangi, sebagian yang lain melepas penat di pondok tengah sawah. Izzam menarik napas panjang. Hatinya meringis, tak terima.

Ya Tuhan, benarkah? Kenapa?



------------------
Bersambung, InsyaAllah.

Demi Masa (3), Pegawai Baru

Pukul 22.00

Tina membaca ulang pekerjaannya. Matanya terasa berat karena dari sore ia fokus mengerjakan tugas yang dititipkan oleh Ponco kepadanya. Dibawanya kertas kerja yang telah diselesaikannya ke cubicle Adnan.
Setelah dipersilakan, Tina duduk menghadapi Adnan. Kertas yang dipegangnya beralih ke tangan Adnan.
“Pak, boleh saya bicara dulu?” tanya Tina.
“Boleh-boleh aja sih, cuma kan ini udah larut, kamu nggak pengen pulang?”
“Ah, Bapak. Biasanya juga nggak peduli kok saya pulang malam  atau bahkan pagi,” sindir Tina
“Hehehe, ya nggak gitu juga kali,” Adnan tertawa kecil.
“Oke…oke, apa yang mau dibicarakan?” sambung Adnan.
“Masalah sensitif sih pak. Bapak jangan marah ya…..,” Tina agak ragu melanjutkan bicara.
“Kamu hamil?” mata Adnan melotot ke arah Tina.
“Makanya jangan bergaul bebas gitu, Tin. Nanti jadi aib semuanya. Kan saya juga…..,” belum sempat Adnan melanjutkan omongannya Tina memotong perkataan Adnan.
“Ya Allah, Pak. Tega ya Bapak nuduh sembarangan. Amit-amit jabang bayi,” tangan Tina mengetuk-ngetuk meja.
“Gini-gini rumah saya deket mushola, Pak.”
“Lha apa hubungannya?” jidat Adnan yang udah penuh kerutan alami semakin berkerut.
“Bapak sih. Fokus pak ke masalah. Ini udah malam juga,” Tina menarik nafas sejenak.
Suasana hening karena semua pegawai sudah meninggalkan kantor, menyisakan mereka berdua. Adnan memandang Tina, menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulut Tina.
“Gini Pak, akhir-akhir ini kan sering banget nih saya pulang malam, padahal kan saya juga punya kehidupan lain selain kantor. Saya juga pengen bersosialisasi dengan keluarga dan juga pacar saya, tapi kok ya sekarang ini kerjaannya jadi dobel gitu. Saya kewalahan, Pak.”
Tina terdiam sesaat. Tangannya mempermainkan pulpen yang dipegangnya. Adnan masih diam, menunggu kalimat selanjutnya.
“Di sisi lain, Mas Ponco kok enak bener ya. Sering ijin dan nggak pernah selesai kalau dikasih tugas, tapi penilaian kinerjanya selalu bagus. Parahnya lagi, dia mendapatkan bonus atas pekerjaan yang tidak dikerjakannya. Bukan soal bonusnya sih Pak, tapi kejadian tadi pagi bikin saya sedikit terganggu,” terang Tina.
Tina merasa lepas dari beban yang dirasakannya sejak pagi saat Ponco memamerkan jumlah bonus yang didapatnya. Tina mengharapkan Ponco bisa berlaku tegas terhadap Ponco.
“Gini ya, Tin. Mungkin karena kamu belum menikah jadi kamu nggak paham,” ujar Adnan.
Raut wajah Tina berubah dari plong menjadi bingung kemana arah pembicaraan Adnan. Ia merasa tak hubungannya antara status pernikahannya dengan kondisi yang terjadi di ruang kerjanya saat ini.
“Kenapa Ponco tetap mendapatkan haknya penuh walau dia nggak perfom akhir-akhir ini?”
“Ya mana saya tahu….,” suara Tina meninggi.
“Kamu nih emang tukang ngebut ya, sukanya ngegas kalo bicara. Sabar.”
“Langsung aja ke pokok masalah, Pak,” wajah Tina cemberut.
“Ponco itu punya istri dan anaknya banyak. Bayangin kalau dia nggak dapet bonus? Ya mereka nggak bisa dapet tambaha. Siapa tahu dia perlu buat bayar sekolah atau bayar utang atau juga dia pengen sesekali nyenengin istrinya.”
Tina melongo mendengar perkataan Adnan. Ia heran dengan pola pikir atasannya itu.
“Terus Bapak nggak kasihan sama saya?” tanya Tina.
“Kamu kan belum punya tanggungan apa-apa, Tin. Toh kamu dapat juga kan?”
“Pak, mohon maaf banget bukan saya lancang. Tapi tolong Bapak resapi, apakah orang yang sehari-harinya tidak bekerja tapi dia selalu dapat keuntungan, apakah bisa dikatakan kantor ini sehat?”
“Sudahlah Tin, berbaik sangka aja. Bekerja ikhlas aja ya. Udah malam ini. Pulanglah, langsung tidur biar pikiranmu jadi tenang,” ujar Adnan.
“Bukan soal ikhlas atau tidak ikhlas, juga bukan soal saya iri dengan bonus yang didapat Mas Ponco, saya ingin kantor ini jadi tempat kerja yang nyaman buat semua pegawai, Pak.” Tina berdiri dari kursi.
“Saya pamit ya, Pak.”
“Oya, Tin kayaknya besok bakalan datang pegawai baru. Lumayan lah walau jumlahnya nggak sesuai yang kita minta, minimal bisa bantu kamu, biar kamu nggak stress. Oya kamu jadi mentornya ya, sampai dia bisa kerja,” senyum Adnan diujung kalimat bikin Tina tambah sebal.
“Kenapa bukan Ponco sih, Pak?”
“Nggak bakalan bener dan nggak ada discuss ya.”
“Hmm,” Tina keluar cubicle Adnan dengan perasaan kesal.
“Sampai jumpa besok, Tin. Take care,” teriak Adnan ketika Tina sudah mengambil tasnya. Tina tidak menyahut salam Adnan, hanya mengangkat tangan kanannya dari belakang diatas punggungnya. Ia berjalan keluar ruangan meninggalkan Adnan sendirian.
“Anak itu terlalu idealis, tapi apa yang diomongin bener juga sih. Gue juga nggak puas dengan  si Ponco. Cuma kalo ngotak ngatik si Ponco alamat bos besar marah nanti,” Adnan bergumam dengan perasaan tak menentu.
*****
Keesokan Harinya, Pukul 08.00

“Selamat pagi, Bu.”
Tina kaget ketika ada seorang perempuan muda yang keluar dari cubicle Adnan.
“Pagi, kamu siapa?” tanya Tina sambil menghampiri perempuan itu.
“Sebelumnya mohon maaf lahir dan batin, perkenalkan nama saya Priscilla Adinata, biasa dipanggil Cilla. Saya pegawai baru yang ditugaskan di divisi ini untuk membantu Bu Tina,” ujar Cilla dengan logat Jawa yang masih medok.
Tina meneliti Cilla dengan seksama. Cilla berperawakan mungil. Lumayan rapi penampilannya. Hijabnya senada dengan pakaian yang dikenakannya. Sikapnya antara malu atau takut berhadapan dengan Tina yang kelihatan sangar pagi itu.
“Kamu nggak usah takut gitu lihat saya. Saya nggak galak kok. Kamu lulusan dari mana?” tanya Tina.
“Sebelumnya mohon maaf lahir batin, bolehkah saya duduk. Dari pagi saya belum sarapan, minumpun tak sempat sehingga saya agak lemas pagi ini.”
Cilla berkata dengan pelan dan lambat membuat Tina melongo. “Mudah-mudahan anak ini cuma ngomongnya aja yang lambat bukan kerjanya,” doa Tina dalam hati.
“Duduk deh, kamu duduk didepanku aja. Lain kali sebelum kerja, perutmu harus udah full, jangan kerja dalam kondisi lemes, nanti nggak konsentrasi. Oya, panggil aku mbak Tina aja nggak usah formal-formalan manggil Ibu, oke?” Cilla duduk di kursi yang ditunjukkan Tina.
“Bu, eh Mbak, apa saya boleh menyimpan tas diatas meja?”
“Ya simpan aja, itu kan mejamu. Selama kamu bekerja di sini, mejamu itu wilayah kekuasaanmu. Kalau mau minum minta gelas ke Mamang Jajang, OB di sini. Nah galon di sebelah sana,” Tina menunjukkan tempat menyimpan galon.
“Terima kasih banyak, Mbak Tina. Mohon maaf lahir batin kalau saya merepotkan.”
“Ngapain sih kamu minta maaf melulu sama aku. Kan kita baru ketemu, dosamu belum banyak ke aku.” Cilla tersenyum dan meletakkan tasnya diatas meja.
Tina memberikan beberapa bahan untuk dipelajari Cilla. Ia mulai mengajari Cilla bagaimana membuat surat penawaran sederhana kepada klien perusahaan mereka.
Sampai akhirnya Tina membiarkan Cilla bekerja sendiri. Tugasnya sendiri harus segera diselesaikan dalam waktu dekat. Tina berusaha konsentrasi sambil menunggu hasil kerja pertama dari Cilla.
Tak terasa sudah dua jam waktu berlalu dan Cilla belum juga menyerahkan hasil pekerjaannya. Tina berdiri menengok ke arah Cilla.
“Mohon maaf lahir batin Mbak Tina, belum saya kerjakan. Ada tulisan yang ndak terbaca. Saya takut sekali mengganggu Mbak Tina yang sedang kerja,” suara Cilla pelan dan terdengar ketakutan.
“Masya Allah, cobaan apa lagi ini?” Tina berteriak ke arah Cilla.

(Bersambung)
*Tokoh dan Peristiwa Hanya Fiktif

Tiba Tiba Saja Rabu Pagi Tiba

Tiba tiba saja rabu pagi tiba,
Baru sejenak rasanya selasa,
Siang nanti pun bisa jadi tak lama
Tiba tiba saja senja
Tiba tiba saja malam
Tiba tiba saja  hari, minggu, tahun terlewat
tanpa tanda,
tanpa baca

Tiba tiba saja,
Kita berduka,
Tentang bermusim waktu tersia


Sutikno Slamet, 14 Agustus 2019

Demi Masa (2)

Pukul 17.00

“Tin, gue tunggu di kafe  Mawar ya.”
“Iya Mas, segera meluncur,” Tina mengambil  tasnya. Ia bercermin ke ponselnya sambil menambahkan gincu di bibirnya.
“Yup, aku udah cantik.  Wait for me, Mas Agung  sayang…..,” Tina beranjak dari tempat duduknya.
“Tina…..,”
“Ya, Pak?” Tina berbalik mendengar Adnan memanggil namanya.
“Kamu jangan pulang dulu ya. Bantu saya selesaikan laporan penjualan. Walau ini sudah agak terlambat, nggak apa-apa yang penting laporan selesai. Bahannya sudah saya email ya. Pak Charles udah marah-marah. Please.”
Kedua tangan Adnan dikatupkan di dada pertanda ia sangat membutuhkan bantuan. Tina merasa serba salah. Sudah sering ia membatalkan janji dengan Agung, kekasihnya karena banyaknya tugas yang diberikan Adnan kepadanya. Sebagian besarnya adalah menyelesaikan pekerjaan yang ditinggalkan Ponco, teman kerjanya.
“Memangnya Ponco ke mana, Pak?” antara kesal dan bingung Tina bertanya kepada Adnan.
“Dia nggak masuk hari ini karena mengantar istrinya ke kampung.”
“Hmmmm…..,”Tina menarik nafas panjang.
“Oya, saya sudah pesan makanan lewat ojol ya. Kopi kesukaanmu juga sekalian. Jadi kamu bisa konsentrasi ngerjain laporannya.”
“Aku nggak minta,” Tina bergumam pelan.
Dengan lunglai Tina duduk kembali. Tina menyalakan kembali komputernya. Tangannya gemetar menulis pesan kepada Agung. Ia tak berani menelpon langsung kepada Agung.

Mas, maaf ya aku nggak jadi ke kafe. Ada kerjaan mendadak yang harus selesai hari ini.

Tina membuka email dengan terpaksa. Jari-jarinya menari diatas keyboard dengan lincah. Sesekali matanya melirik ponselnya menunggu balasan pesan dari Agung. Sampai sejam tak ada balasan dari Agung. Tina tahu kalau Agung marah padanya. Akhirnya Tina pasrah dan tenggelam dengan laporannya.
Malam Hari, Pukul 23.00
Perfect, Tin. Kamu memang luar biasa. Cepat dan teliti. Nggak ada kesalahan sekecil apapun. Terima kasih ya, kamu menyelematkan tim kerja kita.”
“Sama-sama, Pak,” jawab Tina tak bersemangat.
“Saya boleh pulang, Pak?”
“Iya. Sekali lagi terima kasih ya, Tin. Hati-hati di jalan. Ini udah larut.”
“Yaelah, anak TK juga tahu kalau jam sebelas itu udah larut. Mana besok tetep harus ngabsen pagi pula,” ujar Tina dalam hati dengan perasaan kesal.
“Permisi Pak,” Tina keluar dari ruangan Adnan dan berjalan menuju lift. Suasana sudah gelap dan sepi. Tak ada seorangpun yang berada di ruangan itu selain dirinya dan Adnan.
*****

“Tin….,”
Tina yang sedang bergegas dalam gelap malam, badannya. Ia kaget mendapati Agung berlari menyusulnya.
“Dari tadi kupanggil, nggak noleh. Serius amat sih, neng,” ujar Agung.
“Mas ngapain di sini malam-malam?” tanya Tina.
“Emangnya nggak boleh jemput pacar?” Agung balas bertanya.
“Bukan begitu, kupikir Mas marah karena dari sore nggak jawab pesanku.”
“Gue emang marah. Ngeselin tau, udah janji berulang-ulang selalu nggak ditepati,” Agung pura-pura marah sambil berjalan disamping Tina.
“Maaf, Mas. Ponco nggak masuk hari ini padahal laporan belum selesai……,”
“Nah kan lagi-lagi kamu ngerjain kerjaan orang. Kamu susah sendiri. Makanya jangan terlalu rajin jadi orang, akhirnya kan kamu selalu kebagian cuci piring,” Adnan memotong perkataan Tina.
“Bukan gitu, Mas. Kan kalo laporan penjualan nggak selesai nama baik timku tercemar. Tetep aja yang kena semprot Pak Charles semuanya bukan cuma si Ponco,” jawab Tina.
“Bilangin sama bosmu, harus tegas apalagi ngadepin pegawak yang kayak Ponco. Jangan juga karena kamu nggak pernah nolak kerjaan jadinya kamu yang dikerjain terus. Emang yang punya urusan si Ponco doang?” ujar Agung.
“Iya, iya lain kali aku bilangin ke Pak Adnan. Bawel banget sih, Mas,” balas Tina sambil tertawa.
 Di malam yang gelap itu mereka berjalan meninggalkan kawasan kantor. Tak berapa lama mereka menaiki taksi yang akan mengantarkan pulang.
*****

Beberapa Hari Kemudian, Pukul 7.30

“Tin, lu dapet transferan berapa?”
Ponco mencegat Tina di pintu ruangan kerjanya. Saat itu Tina baru saja datang.
“Apaan sih? Belum duduk udah nanya yang aneh-aneh aja.”
Tina mendorong Ponco yang menghalangi jalannya. Ia meletakkan tas di kursinya, kemudian pergi ke luar ruangan.
“Mau ke mana, Tin?” tanya Ponco.
“Toilet, mau ikut?” Tina berlalu dari hadapan Ponco.
“Jangan lama-lama ya,” ujar Ponco sambil  nyengir.
*****

“Jadi berapa, Tin?”
Tina menghela nafas. Ia membuka buku agendanya, mengecek apa yang harus dikerjakannya hari ini.
“Tin!”
“Ni orang ya, pagi-pagi udah ganggu orang. Bukannya kerja,” ujar Tina kesal.
“Nih jumlah transferan gue,” Ponco memperlihatkan pesan singkat di ponsel yang diterimanya dari bank. Jumlah yang tertera di pesan itu membuat mata Tina terbelalak. Seketika, ia mengecek ponselnya. Tina berusaha menahan diri sejenak.
“Wow, ternyata masih gedean gue. Tenang Tin, nanti gue beliin kopi susu dari kafe langganan lu,” ujar Ponco dengan gembira.
Tina menunduk. Betapa dunia tak adil baginya. Hanya karena Ponco lebih senior dia mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, padahal jumlah yang tertera di ponselnya Ponco adalah hasil kerja kerasnya.
Hatinya tambah kesal mendengar Ponco terus nyerocos di telpon menanyakan jumlah bonus kepada pegawai dari unit lain. Air mata menetes di pipinya.
“Astaghfirullah al adzim. Kenapa harus kecewa? Semua ada takarannya. Tenang Tin, ikhlasin aja. Rejeki nggak selalu datang dalam bentuk sms banking,” Tina mencoba menenangkan hati. Akhirnya ia memutuskan untuk bekerja kembali dan berusaha melupakan percakapannya dengan Ponco.
*****

Pukul 16.30
“Tin, gue email kerjaan. Nitip ya. Tolong selesaikan. Deadline besok. Sedikit lagi kok. Besok gue mau survey lapangan di luar kota hehehe. Pulangnya gue beliin kopi ya. Bye!,”
“Eh aku punya kerjaan lain….,” belum selesi Tina bicara, Ponco sudah pergi meninggalkannya.
“Ya Allah, cobaan kok nggak berhenti datang.”
Tina membuka email yang dikirim Ponco. Rasa kesal semakin memuncak karena ternyata apa yang dikerjakan Ponco baru sedikit bukan tinggal sedikit lagi.
“Tin, jangan lupa ya kerjaan si Ponco besok pagi sudah harus dikirim ke Pak Charles. Kopi otewe.”
Mendengar suara Adnan dari balik cubicle, Tina menangis sejadi-jadinya.

*Tokoh dan peristiwa hanyalah fiktif.



Membaca lagi Rendra

Ketika terjadi ketidakadilan, orang-orang akan bertanya. Saat ketidakadilan justru dipertontonkan tanpa sedikit pun kepedulian, orang-orang tidak hanya bertanya tapi akan menunjukkan ketidaksukaan dalam berbagai bentuknya.

Saat pertanyaan-pertanyaan yg ada tidak menemukan jawabnya, ketika tekanan justru yg menjadi jawaban, ruang baru akan tercipta.

Pertanyaan yg diajukan boleh saja membentur keadaan namun ia tidaklah mereda. Ia akan tumbuh di kebon belakang lalu pada saatnya menjelma hutan. Ia terus hidup di alam bawah sadar, tercebur ke kali mengalir lalu menjadi ombak di samudra.

Suara-suara yg diteriakkan memang memekakkan telinga namun ia jelas bentuknya. Jawablah, jangan melengos darinya. Dan lebih berhati-hatilah dengan suara-suara yg dikumpulkan dalam hati karena ia akan menjadi energi yg bukan lagi melahirkan kata namun tindakan.

Dan sesungguhnya ketidakadilan itu rapuh karena ia berdiri di atas kaki-kaki yg tidak utuh. Tak ada keseimbangan maka janganlah heran jika ia selalu dihantui kekhawatiran akan jatuh.

Setiap orang bisa berkata memiliki niat baik, namun jika keadaan tidak berubah menjadi lebih baik, mengulangi apa yg dikatakan Rendra, pertanyaan itu kembali mengemuka :

'Niat baik Saudara untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak yg mana?

J1019