Cerita Daun dan Cinta (cuma fiksi)

Gayung berwarna hijau menyala itu masih tergenggam erat olehku, saat tiba-tiba tubuh ini mematung memandang beberapa sentimeter di depan sana. Dedaunan yang sebelum berangkat kerja kemarin masih tampak malu-malu, kini sudah gagah membentangkan lembaran hijaunya. Mungkin saat itu orang-orang yang sedang lewat bisa melihat betapa mulutku menganga tak berdaya. Kulihat ada seekor semut yang ikut merayakan dengan berlari-lari kegirangan di atas permukaan daun-daun yang menjuntai.

Aku memang baru pertama kali menanam pohon dari usia dini. Bibitnya pun diperoleh dari hasil kondangan salah satu rekan kantor istri. Aku benar-benar takjub melihat sebuah tumbuhan yang dari dulu kuanggap makhluk hidup paling tidak lucu, pagi ini membuktikan bahwa mereka benar-benar hidup. Mereka menampilkan suguhan pagi tentang cerita dedaunan dari kecil hingga benar-benar berbentuk daun. Air yang kusiramkan ke tanah tadi benar-benar jadi minuman segar untuk menopang pertumbuhan mereka. Ah, tak terasa kudengar hati ini berbisik, "benar-benar norak saya".

Bisa kurasakan sesaat kemudian pipiku tertarik beriringan dengan suara gelak tawa pelan. Aku yang masih berdiri membeku malah melanglang ke dalam sebuah lamunan. Pikirku, daun-daun yang tumbuh ini mirip sekali dengan cinta. Dua-duanya sama-sama tumbuh perlahan dari tidak ada hingga tampak nyata. Daun yang menghijau itu menunjukkan pohon jambunya masih hidup. Begitu pula dengan cinta yang menjadi tanda seorang manusia masih bernafas. Belum lagi saat hujan turun, daun-daun ini hanya bisa pasrah dibasahi air hujan. Identik sekali dengan cinta saat turun hujan, hanya bisa pasrah dibasahi oleh derasnya kenangan.

Saat masih larut dalam belaian dedaunan cinta, tiba-tiba tercium wangi bawang yang sedang ditumis. Tak lama kemudian aroma telur yang digoreng menambah semerbak hingga ke halaman. Bebauan itu seketika membuatku kembali dari lamunan menjemput kenyataan. Sepertinya sang cinta memanggilku dengan caranya. Aku tahu hidangannya belum tentu nikmat, tapi yang pasti cintanya akan ikut tertelan dan melekat di relung hati yang bersekat.

"Baik cinta, aku segera datang!" teriakku setengah lantang menyambut panggilan sedapnya bawang dan wanginya telor dadar.

"Ih, siapa yang panggil om!" tak dinyana anak kecil sebelah rumah yang bernama Cinta sudah ada di belakangku. Entah sudah berapa lama dia berdiri di situ. Aku sama sekali tak menyadari keberadaannya. Maklum kami tinggal di rumah kontrakan yang jarak dengan rumah tetangga seperti amplop dan perangko. Jadi bukan hal yang mengherankan jika orang tiba-tiba sekelebat muncul, bahkan kadang makhluk tidak menempel tanah juga sesekali nimbrung.

Sontak aku tersenyum bingung dan sambil menggaruk kepala mencoba menjelaskan kepadanya, "Eh iya, bukan, om sedang bicara sama tante di dapur."

"Dari tadi aku gak denger ada suara tante manggil," balasnya polos, "lagian sejak kapan tante Lilis ganti nama jd Cinta om?"

Otakku yang sudah terbuai campuran daun cinta dan telor dadar seolah tak mampu lagi mencari jawaban yang tepat untuk Cinta. "Hmm, ngga jadi kok sekarang namanya uda jadi tante Lilis lagi," jawabku sekenanya.

"Om, om, pagi-pagi uda ga jelas aja, pantes pake baju aja masih kebalik," selorohnya sambil menunjuk kaos singletku yang bagian dalamnya kukenakan di luar.

Dari tadi malam aku memang sudah sadar kaos singletku terbalik, tapi karena menjelang tidur jadi kubiarkan saja. Tak kusangka gara-gara itu, pagi ini aku di-bully anak kelas dua SD. "Ini memang sengaja dipakai kebalik, supaya bagian dalamnya ga kotor," kucoba memberikan argumen yang sedikit ilmiah.

"Ngeles aja om, kaya babang gojek," jawab Cinta sambil melengos pergi. Tak lupa dia kibas-kibaskan uang dua ribu yang dia bawa untuk jajan sebagai tanda perpisahan.

"Urusan telor dadar kenapa jadi ribet banget gini," sungutku dalam hati, "apes bener dah."

- berlanjut insya Allah -

Pohon Pinus




Pinus tak bosan dengan pertanyaan klise, seperti
"mengapa daunnya tidak seperti daun?" atau
"mengapa pohonnya tidak menghasilkan bunga dan buah?" atau
"mengapa dahannya tidak bisa dipanjat?" atau
"mengapa bentuknya aneh tidak bisa untuk berteduh?"

Pohon pinus tahu ia tidak perlu
menghiraukan pertanyaan-pertanyaan itu
sebab takdirnya memang bukan begitu
Sebab masanya bukan di situ

Ketika tiba masanya di musim dingin
Ketika semua berubah putih dan membeku
Pohon pinus hadir memberikan arah
dengan warna gelap yang kontras, postur bagai safety cone
tinggi menjulang ia jadi penanda jalan

Dahan pinus tak membentang seperti beringin
yang mampu menahan derasnya hujan
Namun ia adalah seumpama benteng
Menahan beku dan bisingnya angin dari utara

Sejak lama pohon pinus memahami takdirnya
untuk dapat dicintai dan dimengerti
tak perlu ia berubah lembut dan ceria seperti pohon ceri
atau dramatis dan atraktif seperti pohon maple

Sejak semula, pohon pinus memahami
untuk dapat dicintai dan dimengerti
Ia hanya menjadi dirinya sendiri

Pohon Maple




Semula ku tak tahu namanya
Ku hanya tahu, ia cantik dan misterius
Daun-daunnya seperti nyala api
merah, kuning, dan jingga

Ia temanku ketika berjalan pulang
setapak berbatuan di musim gugur,
kala surya mulai enggan beranjak keluar
jendela rumah-rumah berhias temaram cahaya lilin


Hidupnya menarik, tidurnya nya pun demikian
Pohon kayu berdahan kuat menjulang hitam,
tempat burung gagak bertengger dan bersarang
di bawah kelabu langit, berlapis awan tebal ...
dedaunan merah itu terbang menari di angkasa
bagai sayap laron yang patah di musim hujan

Semula ku tak tahu namanya
Getahnya emas transparan dan beraroma harum
tersaji di olesan roti dan pancake hangat,
lebih ringan dan lebih lembut dari tetesan madu
 


Bisakah aku sepertinya, pohon maple
selalu kuat dan dan tenang
meski diterpa badai dan
hujan angin kencang

Bisakah aku sepertinya, pohon maple
selalu indah dan berfaedah
di tengah lelah dan ketidakpastian

Pohon Cherry




Pink dan Putih
seperti pipi anak kecil
bunga-bunga di pohon cherry
bermekaran

Wanginya lembut dan samar bedak bayi
Pertanda musim semi menjelang
Hiburan untuk yang masuk angin meriang
kala rintik hujan dan serbuk sari beterbangan

Bunga, daun, dan buah cherry
simbol harapan dan segala kemungkinan

Pohon cherry, almond, dan sakura
Ku tak bisa bedakan,
meski hidup beda benua
buahnya pun juga tak sama

Pohon cherry, almond, dan sakura
Bagaikan kita, umat manusia
Dari luarnya terlihat serupa
Meski sebenarnya hidup berbeda

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN PATAH HATI


Lelaki ini duduk gelisah di sudut gelap ruangannya. Hari masih dini. Mesin presensi belum berfungsi. Tak terhitung kali lelaki ini menatap gawainya. Membaca lagi pesan singkat petang kemarin “besok kita jumpa ya, pengen ngobrol”. Pesan singkat yang membuat lelaki ini mengutuk bulan menjadi mentari. Menggebah ayam untuk segera bernyanyi. Dikuatkan jarinya memulai sapa. “hai, aku sudah di sini”. Centang satu. Lama. Sementara, lift mulai bekerja. Mengangkut pekerja yang datang dengan penuh asa. Derap langkah diiringi suara tawa dan canda mulai menggema. Hari sudah memulai hitungannya. Masih centang satu. Lelaki ini hanya bisa menghela; Mungkin benar, cinta itu tak lagi berharga.[1].

Perempuan itu bukanlah makhluk bumi paling indah. Tapi lelaki ini tergila-gila padanya. Baginya perempuan itu sangat istimewa. Namun jangan ditanya mengapanya. Baik? banyak yang lebih baik; Cantik? ah, semua perempuan juga cantik kalau kamu sedang jatuh cinta. Lalu apa?. Lelaki ini dan Perempuan itu tidak pernah tahu. Awal mula, tahun berapa, bagaimana dan setumpuk kata tanya takkan berjawab. Lelaki ini dan perempuan itu tidak pernah berkomitmen cinta. Tidak pernah. Lelaki ini ada ketika perempuan itu meminta. Perempuan itu pun bersedia tatkala lelaki ini lelah. Tak mungkin menyalahkan waktu, tak mungkin menyalahkan keadaan[2]

Masih centang satu. Lelaki ini sedih tapi tak peduli. Tak mengapa, ini tak hanya sekali dua.  Lambat sang waktu berganti, endapkan laraku disini, coba tuk lupakan bayangan dirimu yang selalu saja memaksa tuk merindumu[3] Bertahun bersama membuat lelaki ini terbiasa. Bagai 4 musim yang silih berganti; terkadang panas membara bagai mentari namun bisa membeku layaknya salju, sejuk semilir angin berhembus namun tak jarang berguguran bagai daun layu.

Sudah kukatakan, aku ini tak sendiri[4] Perempuan itu berkata. Lelaki ini hanya tertawa. Ini bukan cinta kan? Perempuan itu ganti terbahak. Mungkin ini memang jalan takdirku, mengagumi tanpa dicintai[5] batin lelaki ini. Sabarlah. Musim dingin akan berlalu, selalu begitu. Dia bilang “kau harus bisa seperti aku, yang sudah biarlah sudah[6] Lelaki ini kecut.

Centang dua. Lelaki ini tak sadar meloncat gembira. Tak hirau tatap aneh rekan sekerja. Tik tok tik tok tik tok. Hanya centang dua. Tidak berbalas sapa. Lelaki ini mulai patah hatinya. Aku hanyalah manusia biasa. Bisa merasakan sakit dan bahagia[7] siang beranjak senja. Aku menyayangimu, tapi lagi-lagi kau sakitiku[8]. Apa ini akhir kisah?

Lelaki ini mengulang hari, berharap balas sapa walau telah lewat masa. Kuawali hariku dengan mendoakanmu, agar kau selalu sehat dan bahagia disana. Sebelum kau melupakanku lebih jauh, sebelum kau meninggalkanku lebih jauh[9]. Mengetik. Lelaki ini tersentak. “kamu jadi pergi? Ini aku bawakan coklat dan kopi”. Lelaki ini tersenyum. Dipungutnya serpihan hati yang terserak. Disatukannya lagi. Tak sempurna, tapi tetap bentuk hati.

Jakarta, 20122019





[1] Kekasih bayangan, Cakra Khan
[2] Melepasmu, Drive
[3] Terendap laraku, Naff
[4] Kedua, Drive.
[5] Cinta dalam hati, Ungu
[6] Mudah saja, Sheila On 7
[7] Cinta karena cinta, Judika
[8] Salah apa aku, ILIR7
[9] Pemuja rahasia, Sheila On 7

AKU (TAK) INGIN JADI PNS

ngiiing...ngiiing…

Rasanya sudah belasan kali telepon pintar Izzam bergetar. Ia tahu itu panggilan masuk, namun begitu enggan untuk beranjak dari kasur kusam yang sudah Ia tiduri selama 4 tahun terakhir. Di lantai dasar asrama, samar-samar terdengar gelak tawa para santri. Berebut bermain tenis meja. Turnamen kecil-kecilan setiap akhir pekan. Siapa saja yang keluar sebagai pemenang, berhak tidak piket selama seminggu. 

Kamar ukuran 3x3 meter itu perlahan sumuk. Kipas angin kecil yang sedari tadi tengok kanan-kiri tak kuasa melawan rambatan panas mentari yang kian meninggi. Izzam melirik dinding, jam setengah 10 pagi. Perlahan Ia duduk, bersender pada dinding, lantas merenggangkan kaki dan tangannya sembari menguap. Ah, sepertinya pemuda tanggung itu kelamaan tidur. 

ngiing...ngiiing…

Gawai Izzam kembali bergetar. Sekali, dua kali, tiga kali, lantas mati. Sejurus kemudian kembali bergetar. Huft. Enggan sekali rasanya berdiri. Entah kenapa, semakin lama tidur, tubuhnya justru semakin lelah. Dengan merangkak dan sedikit mengangkat tubuh, susah payah Ia menggapai hape yang berada di atas meja belajarnya. Begitu malas. Padahal, meja belajar tersebut berada tepat di sebelah kasurnya, yaah meski sedikit agak tinggi.

"Halo, Assalamulaikum"
"Ha ndak ka ba angkek telpon Bunda bujaang?", omel wanita paruh baya di seberang telepon. 
"Mbok salamnya dijawab dulu, Amaaay"
"Oh iya, hehe. Waalaikumussalam. Ha jadi kenapa telpon Bunda ga diangkat dari tadi?"
"Tadi ketiduran Nda, habis kajian, nyampe kamar langsung tepar. Hehe"
"Ondeh mandeh anak bujaaang.. @&_+#;'!#)#/&+*;:......", celoteh Emak Izzam tanpa henti.

"Hmm, sepertinya tausiah ini akan lama", gumam Izzam. Dari dulu Bunda memang begitu, paling jengkel kalau mendapati anak-anaknya cuma bermalas-malasan apalagi tidur-tiduran di pagi hari.

Izzam beringsut, mencari udara segar. Masih mengenakan sarung, Ia beralih ke jemuran di ujung lorong asrama. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah kusut Izzam. Sesekali memainkan poninya yang sudah panjang. Semenjak menyandang gelar "pengangguran" 7 bulan lalu, Ia tidak sekalipun memangkas rambutnya. 

"Sampun Mas turu ne?", sapa Sigit dari ruang perpustakaan. Akhir-akhir ini pemuda kelahiran Karanganyar yang merupakan teman sekamar Izzam itu terlihat sering me-murajaah hapalannya. Meski usia mereka terpaut 2 tahun, tapi semangat hijrah Sigit jauh melebihi izzam.
Izzam melambai tangan mengabaikan, kemudian berlalu.

"Jadi apa yang ingin Abang lakukan sekarang? Udah 7 bulan semenjak kelulusan Abang", tanya Bunda.
Izzam terdiam sejenak, menatap biru langit tanpa awan, menggapai patahan hanger yang tergeletak di lantai, sembari memukul-mukul ringan salah satu tiang jemuran. 
"Bunda ingin abang melakukan apa, Nda?", Jawab Izzam.
"Bunda terserah Abang. Ingin jadi apa Abang, itu hak nya Abang. Ayah Bunda cuma bisa mendoakan dan mendukung Abang"
"Abang buntu, Nda"
"Cerita lah Nak"
“Abang ingin kerja Nda, pengen di perusahaan atau kantor pengacara”
“Terus?”, tanya Bunda di kejauhan.
“Kemaren Abang di telpon Kak Tua, beliau menyarankan lanjut kuliah. Kak Tua bilang, memulai karir dengan gelar master itu akan membuat karir cepat naik. Tapi Abang khawatir, Nda. Perusahaan BUMN misalnya, mereka ga butuh gelar master di bagian legal-nya. Buat apa mempekerjakan lulusan S2 kalau mereka bisa mendapatkan fresh graduate S1 dengan bayaran lebih murah. Coba lihat Bang Rul, dia lulusan S2 di kampus ternama. Tapi, begitu sulit baginya mendapat pekerjaan. Abang udah bilang sama Kak Tua, untuk saat ini yang Abang butuhkan hanyalah pengalaman. Setidaknya nanti dengan pengalaman itu, Abang punya posisi tawar yang lebih tinggi jika apply kerja di tempat lain. Kalau garis tangan Abang baik, toh mungkin saja perusahaan tempat Abang bekerja mau memberi beasiswa untuk lanjut kuliah S2. Banyak kok Nda kakak tingkat Abang yang seperti itu. Abang tidak ingin menjadikan S2 sebagai pelarian atas status pengangguran Abang saat ini Bunda. Tapi Kak Tua kayaknya ga sependapat dengan Abang”
“Emang Kak Tua bilang apa?”, tanya Bunda penasaran.
“Kak Tua bilang kalau Abang seperti hidup ga berTuhan, Nda”
“Eh, kok?”, sela Bunda.
“Soalnya abang begitu mengkhawatirkan hal-hal yang sudah dijamin oleh Allah, Nda. Kak Tua bilang jauh sebelum ruh kita dihembuskan, suratan takdir kita baik rezeki, jodoh, dan kematian sudah tertulis di lauhul mahfudz. Allah pasti tidak akan pernah mengecewakan hamba-Nya. Tapi Ndaa..", Izzam berhenti sejenak, nafasnya sedikit menderu, mencoba mengendalikan diri, kemudian melanjutkan.

"Beritahu Abang, Nda. Salahkah Abang jika takut tidak mendapatkan pekerjaan karena minimnya pengalaman, sementara gelar Abang sudah S2? Salahkah Abang jika ingin membalas sedikit dari jasa Bunda melalui gaji yang nanti Abang terima? Abang tidak ingin terus-terusan membebani Bunda dengan UKT yang begitu mahal. Memang Abang dapat tawaran beasiswa 50% untuk program internasional setelah lulus kemaren, tapi itu tetap saja berat Bunda. Belum lagi adek yang masih kuliah. Abang ingin meringankan beban Ayah dan Bunda. Salahkah Abang Bunda?”

Rasanya begitu banyak hal yang mengganjal di hati pemuda berdarah Minang tersebut. Di saat para santri asik dalam hiruk-pikuk turnamen, tertawa, saling membuli dan menyombongkan diri setiap memperoleh poin, Izzam tertunduk lesu di pojok lantai 2 asrama. Pikirannya melayang, melesat jauh ke masa lalu, memutar kembali potongan kenangan lama. 

Kembali Ia saksikan, bagaimana perjuangan Ayah dan Bunda menguliahkannya. Potongan demi potongan kisah terputar otomatis dalam benak Izzam, layaknya film dokumenter. Momen pahit ketika Ayah jatuh, kehilangan pekerjaan disaat Izzam tengah berada di tahun akhir bangku SMA. Dua tronton yang saat itu menjadi sumber penghasilan utama Ayah raib, terlilit utang. Kapal tambang emas di hulu Sungai Batang Hari yang karam, lapuk dimakan air dan lumut sebab lama tak beroperasi terhalang izin pemerintah setempat. Kebun karet, yang dirampas begitu saja oleh pemuka adat, berdalih bahwa tanah tersebut adalah milik kaum. Padahal, Tuhan menjadi saksi telapak tangan Ayah, Bunda, dan Izzam yang melepuh karena terlalu lama memegang parang dan cangkul saat membuka lahan. Belum lagi perjuangan Bunda yang tak terbilang, menjadi tulang punggung kedua semenjak Ayah jatuh. Bunda yang rela menanam sendiri sayuran di belakang rumah, menjahit sendiri baju sekolah yang sobek, berjualan makanan ringan sembari mengajar murid SD, demi menabung untuk membayar uang kuliah putra-putrinya. 

"Abang..", sapa Bunda lembut. Izzam diam, menunggu Bunda melanjutkan kalimatnya.
“Kekhawatiran abang itu suatu hal yang wajar, Nak. Bunda pun ketika seumur Abang juga mengkhawatirkan hal yang sama. Justru Abang sekarang beratus kali lebih beruntung dari Bunda. Abang lulus dari universitas yang cukup bagus, nilainya pun bisa dikatakan memuaskan. Sementara Bunda? Bunda hanya lulusan sekolah keguruan, Nak. Untungnya dulu orang-orang pada gak suka jadi guru, jadi Bunda bisa lulus. Bunda ga begitu pintar, Nak.  Dulu profesi guru itu selain gajinya kecil, juga ga begitu dipandang oleh masyarakat. Abang tahu ga? Sebenarnya setelah Abang lahir, dulu Bunda sempat mau berhenti menjadi guru. Namun karena permintaan almarhum nenek, Bunda akhirnya bertahan. Ayah pun juga mendukung penuh. Bunda ingat betul pesan Ayah waktu itu, boleh jadi suatu saat nanti usaha Ayah jatuh, dan ketika hal itu terjadi anak-anak Bunda tidak terlantar sekolahnya. Dan qadarullah, kondisi kita sekarang persis seperti yang di bilang Ayah waktu itu kan? Artinya Abang, memang Allah sudah mengatur semuanya, tapi perlu diingat, beras tak akan menjadi nasi kalau tidak ditanak. Tawakal tanpa ikhtiar itu sia-sia, Abang. Pun sebaliknya, ikhtiar tanpa tawakal itu sombong. Nah tugas kita selaku hamba, menyeimbangkan keduanya”

“Jadi menurut Bunda, Abang harus bagaimana?”, tanya Izzam.
“Abang udah istikhoroh?”
“Belum, Nda”
“Istikhoroh lah, Nak. Setiap kali Abang akan memilih apapun, entah itu pekerjaan, sekolah, atau calon istri, selalu lah libatkan Allah. Nanti Allah akan kasih kode-kode biar Abang ambil jalan ini atau itu”
“Bagaimana Abang bisa tahu kalau itu kode dari Allah, Nda?”
“Hm.. mungkin saja dari mimpi, masukan-masukan dari Ustadz Abang, dorongan dari sahabat-sahabat Abang, dan dari keluarga juga tentunya”
“Jadih, Nda. Semoga nanti malam Abang bisa terbangun dini hari”, patuh Izzam.
“Tapi, Bang. Menurut Bunda, setiap peluang-peluang yang ada sekarang, coba lah. Karena ketika Abang memutuskan tidak mencoba, persentase keberhasilan Abang itu nol. Namun ketika Abang mencoba, persentase keberhasilannya menjadi 50-50. Ini yang tadi Bunda bilang ikhtiar, Nak”
“Maksud Bunda?”
“Abang coba saja semuanya, sembari Abang masukin lamaran ke berbagai perusahaan atau kantor pengacara, abang juga nyiapin berkas untuk S2 Abang. Mana yang nanti diterima, berarti itu yang terbaik kan?”
“Baik Nda, insyaAllah”
“Satu lagi, hmm… kalau boleh jujur, besar harap Bunda agar Abang ikut CPNS tahun ini. Kalau Abang tertarik. hehe”, ujar Bunda dengan sedikit bercanda.

“Abang sama sekali tidak bercita-cita jadi PNS, Nda”

(bersambung)

PegawaiBaru, catatan tahun lalu.

Rapuh



Pernahkah kau merasa walau sekilas..
Ketika cintamu tak terbalas..
Jalan yang kau hadapi terlihat ganas..
Kering, keras dan panas..
Pohon-pohon meranggas tampak beringas..
Seperti akan melumat dan menindas..
Tubuh terseok lemas..
Jiwa menjadi kerdil dan malas..
Daya terasa sangat terbatas..
Tak beda lagi antara samar dan jelas..
Memohon memelas..
Meradang meremas..
Inginkan yang pintas..
Segera melintas..
Hati yang rapuh akan kandas

Rapuh, 02122019

Sebuah kisah di hari jemuah

Ini bukan gibah di hari jemuah,
Hanya mencoba mencatatkan kisah,
Mungkin bisa jadi sejarah,
Yang kelak di kenang dengan indah
Atau sekedar menjadi sampah

Syahdan suatu ketika,
Manakala maharaja telah bertitah,
terpaksa atapun suka cita
Hamba dan kawula tak kan bisa menyanggah,
Dan bergegas  jalani lampah

Pun sabdanya tentang bagaimana jabatan harus dibedah,
dari gemuk struktur,
Menjadi fungsional pada banyak cacah

Semua mahapatihpun berlomba lomba menjadi penterjemah,
Mungkin berbeda ujaran tapi sama arah,
Bagaimana sabda terimplementasi sampai ke bawah,
Kadang sesekali mungkin mencari celah,
agar sabda tak disanggah,
Tapi tak membuat susah,
Birokrat di level bawah

Konon telah banyak musyawarah,
Bagaimana Hitung hitungan ditelaah,
Bagaimana kompensasi untuk jabatan yang musnah
Bagaimana prosedur murah dan mudah
Bagaimana payung hukum digubah,
agar dikemudian hari tak sisakan masalah

Di sudut rumah,
Obrolan pejabat fungsional pun menjadi meriah,
sebagian merasa sumringah
jabatan  yang disandang terlihat gagah,
Merasa senior atau telah menang selangkah

Sebagian menjadi resah,
akankah semua pertanda masa depan cerah ?
Atau akankah hanya sekedar mengulang sejarah,
sebuah judul baru pada suramnya kisah

Bisa jadi,
perekrutan dan naik jenjang tak ada lagi punya marwah,
Seperti dulu pada zaman prasejarah,
konon ada berulang kisah,
ketika mengatasnamakan amanah,
jabatan birokrat dibagi bagi,
Untuk mereka yang mungkin sedarah atau satu daerah,
Untuk mereka yang mungkin pernah satu kampus atau sekolah,
untuk mereka yang mungkin pernah satu masjid, gereja, pura atau madrasah,
Untuk mereka yang mungkin pernah jadi kawan melepas lelah,
Untuk mereka yang dulu pernah bersama sama menjalani  jadi kacung terbawah
Untuk mereka yang mungkin sekedar  bisa ngomong cas cis cus basa basa susah, 
namun  menyihir pendengar hingga terperangah,

Ah....
Bahkan yang parah,
Konon berkali kali pernah,
seleksi dan uji kompetensi hanyalah drama murah,
Yang perlu figuran agar kompetisi nampak meriah,

pertandingan dikemas seolah tak mudah,
agar mereka yang mendapatkan amanah,
punya legitimasi yang mewah,
bukan semata kompetensi tapi proses yang penuh hikmah

Namun nyatanya pemenang  dari awal telah dipilah,
Peluit akhirpun ditiup saat kompetisi masih di tengah,
Ketika  kontestan lain belumlah kalah

Mungkin itu kecemasan yang salah,
Karena kini zaman telah jauh berubah,
pemegang amanah adalah orang orang kompeten dan ahli ibadah,
sistem telah dibangun oleh mereka untuk tak lagi ada ruang dan celah,
Bagi kebijakan yang memihak kepentingan pribadi dan kelompok yang tidak sah

Cerita cerita zaman prasejarah,
mungkin membuat telinga mereka memerah,
tapi hati mereka yang bersih
akan memetiknya sebagai pelajaran dan  hikmah,
untuk senantiasa  bersiap berbenah

Yaaa sudahlah,
Di barat langit telah memerah
Sudah saatnya kita pulang ke rumah,
Tempat di mana tubuh  kita yang lelah,
Menemukan tempat rebah
Negeri dimana kita bisa membingkai mimpi 
dan harapan paling indah

(Sutikno Slamet lantai 3, 221119)