Kisah Cinta Anak Manusia


Tanpa monyet dan tanpa pisang
Kisah ini selalu menggoda hingga terngiang
Kasmaran dua sejoli rindu terbalut
Tidak ada genggaman dan dekapan dalam kalut

Tapi itulah sejoli yang dirundung cinta
Tanpa harus ada sebab kenapa saling suka
Bel sekolah menjadi tanda pengingat berdua
Tanpa ada Romeo dan Juliet sejoli tetap ada

Tak mudah bermuram durja dan serampah
Tanpa rasa dan gundah yang melimpah
Siapapun tak berani mengundang dengan gegabah
Pantang mundur sebelum merekah

Hati senang dibalut rindu tanpa cela
Berkorban jiwa dan raga tanpa bela
Pasangan sejoli yang memiliki dunia
Berikrar demi sebuah cinta yang fana

Kubikel Jakarta, 31 Desember 2019


Puisi ini dapat dilihat pada laman : 


Senja di akhir tahun

Hiruk pikuk sudut kota melupakan jejakmu
Tak terasa rindu sudah membelenggu
Sikap santai saja tak mampu menghapus pilu
Karena rindu ingin bertemu dengan mu

Ada harapan baru di bekasi
Meski saya bukan orang yang selalu memberi
Hinakah diri ini untuk dapat memelukmu kini
Ada hasrat yang dalam untuk berlari dalam diri

Senja di kota Jakarta ini membuncah rasa
Ingin selalu berdua dengan nya
Tapi suasana yang membentengi asa
Tanpa sadar bahwa diri ini sudah tua

Sekalipun senja tetap indah di akhir tahun
Banyak impian dan senang yang akan berayun
Siapa sangka adik yang kutunggu masih tabayun
Tanpa harus menghilangkan rasa dan diri yang semakin manyun

Senja masih tetap indah di kota tua
Berasa diri dalam kubikel yang tak ternoda
Sayangnya dikau tetap disana
Tanpa harus bersua dan bertatap muka

Doa saya untuk adinda yang aduhai
Meski diri ini tak lagi bohai
Namun semangat untuk bertemu dan berkata “hai”
Pembatas fana tetap menjadi mahligai

  
Kubikel Jakarta, 31 Desember 2019


Puisi ini dapat dilihat di laman : 


Renungan Senja di Bekasi

Tidak biasa jalanan sepi dari hiruk pikuk dan lalu lalang kuda besi dan mesin kaleng menuju Bekasi. Dalam lamunan, ku bergumam, apakah ini sudah waktunya ? Entah atau kah ini pertanda ? Tak ada yang bisa kujawab dengan sempurna lamunan itu sembari kutunggangi kuda besi ini menuju kota kedua dari hdupku, Bekasi.

Banyak yg terlintas dalam kepalaku saat itu, pikiran pekerjaan, non pekerjaan, non keduanya, dunia fana, dunia antah berantah, entah saya berpikir apa saat itu sehingga lupa isinya pikiran saya apa saat itu. Sekelebat teringat wajah teduh almarhum ibuku. Apakah ini pertanda akau akan segera menyusul beliau jika tidak fokus di atas kuda besi ini? Entah.

Lamunan ku semakin jauh kedalam sambil ku pelototkan mata ini agar tidak menabrak seseorang atau sesuatu. Kupacu si kuda besi dengan kecepatan bawah batas normal, jika seandainya saya terantuk dalam lamunan dampaknya tidak terlalu parah. Bayangan saya paling masuk ke selokan, dengan beberapa bagian mungkin memar dan biru.  
  
Kuingat beberapa kejadian ke belakang, apa yang telah saya lakukan terhadap orang-orang terdekat ? Apakah saya terlalu keras ? Apakah saya terlalu mengurusi urusan mereka ? Ataukah saya masih pantas menjadi pimpinan dan imam mereka ? Atau kah ada petunjuk lain ? Entah dan tak ada yang lebih mengetahui dari Sang Khalik.

Banyak pikiran yang melintas dalam pikiran ku. Banyak pertanyaan yang akan aku tumpahkan tetapi tak sanggup diriku untuk meluapkan. Teringat wajah lucu anak pertama ku saat lahir di akhir bulan September 2002 di Kendari. Betapa senangnya kami ketika pindah rumah dari Jakarta ke Bekasi 1987 ketika aku masih bercelana biru dan berbaju putih. Sebuah kota yang tidak pernah kami pikirkan menjadi second home town setelah Jakarta. Kota yang dulunya merupakan tempat “jin buang anak” Bayangkan seorang jin aja membuang anaknya di Bekasi apalagi kita yang manusia dan akhirnya kita menjemput impian di kota itu.

Tiba-tiba pikiran saya meloncat sekelebat pindah ke tempat lain. Saat perkelahian pelajar semasa SMA kami menjadi sebuah “mata pelajaran” khusus setelah pulang sekolah. Teringat suasana kumpul setelah bel sekolah memanggil untuk pulang dan sekumpulan anak manusia berkumpul memulai gendering perang. Terkadang jika diingat kembali, saya merasa sedikit silly dan unfaedah (kamus anak alay) saat itu. Perang sesama tetangga sekolah, yang kami pun tak tahu sebab musabab nya tetapi kami menikmati moment itu.

Setelah sekian lama pikiran saya loncat dari waktu ke waktu, akhirnya saya pun tiba kembali di persinggahan sementara bersama istri dan anak-anak kami. Setelah melewati itu semua, saya sangat bersyukur bahwa saya masih diberikan kesempatan untuk menikmati hidup sebagai perantara menuju persinggahan akhir di akhirat nanti.


kisah ini dapat dilihat di laman 

365 hari kita


Seperti kanak kanak,
mata terlelap seusai terompet terakhir berbunyi, dan nyala petasan terakhir berpendaran,
Dalam lamat cahaya dan mata yang sepat, masih berusaha memahat
"ini kutulis harapan dan cita cita untuk setahun mendatang"

Lalu seperti kanak kanak,
Tetiba  suatu sore kita terperanjat
Tukang terompet,  petasan, jagung muda dan arang bakar berteriak sekelebat,
Menawarkan dagangan yang mereka muat,
" mari mari, tidakkah kita bersiap wahai penghuni bumi, nanti malam tahun akan lagi berganti"

Tak seperti kanak kanak,
Kita bertanya "kenapa sudah tahun baru lagi?
Kenapa waktu melesat begitu cepat?untuk setahun waktu terlewat,
"apa saja telah  ku buat?"

semua seperti dejavu
Bagai keledai pandir dan dungu,
Terperosok berulang pada lubang satu
Setiap akhir tahun mengutuki waktu

Apa mungkin  kita  jauh tersesat,
Oleh  muslihat dunia yang menjerat
harapan dan cita di awal tahun di catat,
Di pegang erat serupa amanat,
tapi laku lampah jarang sependapat

Kita kerap terbuai akan nikmat sesaat, kita kerap menoleh pada sorak sorai yang ramai
Hingga di simpang jalan kita hilang arah,
mana tujuan
mana gangguan,
mana mudarat
mana manfaat

Kalau suara petasan di telinga,
Dan pendar cahaya kembang api,
adalah satu satunya  cara
Membuat kita tersadar akan banyak waktu telah  tersia,

Maka sebelum terlambat,
Sebelum tubuh makin berkarat
Sebelum nafas menjelang sekarat
Nyalakan saja petasan di tepi telinga,
Pendarkan saja kembang api di ujung retina,
agar sepanjang tahun kita selalu terjaga

(stasiun juanda, akhir tahun 2019)
























Payungnya, Pak! Payungnya, Bu!

Wahai, kawan
Sore ini awan mendung menghiasi langit Jakarta
Sesekali kilat menyambar bersahutan
Pepohonan melambai dihempas bayu

Tahukah kau, kawan
Seiring datangnya hujan, aku melihat keceriaan menghiasi wajah anak-anak yang berkerumun di halaman sebuah stasiun kereta
Sambil membawa payung aneka warna, mereka menawarkan jasa

Payungnya Pak, Payungnya Bu

Aku ingin bercerita kepadamu, kawan
Tentang masa kecilku yang mirip dengan mereka
Ceria di kala hujan tiba
Karena membayangkan uang jajan nampak di depan mata

Singkat cerita, suatu sore aku dan kawan-kawan berdiri di trotoar sebuah jalan
Menunggu angkutan kota berhenti di hadapan
Sebuah payung erat dalam genggaman
Sedangkan tubuh, basah oleh air hujan

Betapa bahagianya aku, kawan
Ketika ada seseorang yang memakai jasa ojek payungku
Ku ikuti langkahnya hingga tiba di sebuah halaman rumah
Kemudian menerima sejumlah uang yang diberikan

Tentu saja saat itu aku menggigil kedinginan,
Bibir membiru, kulit jari keriput oleh dinginnya air hujan
Tapi aku dan kawan-kawan senang
Karena sore itu, kami mendapat banyak uang jajan

Demikian ceritaku, kawan
Kuharap kaupun Bahagia di saat hujan tiba
Seperti bahagianya anak-anak yang menjajakan jasa ojek payung
Demi mendapatkan pundi-pundi uang jajan





Panggilan Dari Abah


“Belum pulang, Mbak?” tanyaku pada Mbak Sandra.
“Belum,” jawab Mbak Sandra.
Mbak Sandra adalah pegawai senior yang berada pada ruangan yang sama denganku. Sebagai pegawai yang belum terlalu lama bekerja, aku harus ramah kepada semua pegawai senior di kantor.
Saat itu suasana kantor sudah sepi. Tersisa aku dan Mbak Sandra saja di ruangan. Waktu telah menunjukkan jam 19.50. Kebetulan aku mendapat tugas tambahan dari Pak Bayu, atasanku sehingga aku pulang agak malam.
“Aku pulang duluan, Mbak Sandra. Pekerjaanku udah selesai.” Aku pamit kepada Mbak Sandra yang masih asyik memandangi monitor komputernya.
Tubuh Mbak Sandra berbalik kepadaku yang berdiri di samping kursinya. Sekilas kulihat layar komputer Mbak Sandra. Wajah seorang artis yang kukenal terpampang di layar monitor.
“Mbak Sandra nonton sinetron Terperangkap Cinta Tukang Siomay Yang Aneh?” tanyaku.
“Iya, ngisi waktu pulang,” Mbak Sandra tersenyum kecil.
“Kirain Mbak kerja.”
“Enggaklah. Kerjaanku udah selesai tadi.”
“Kok nggak pulang aja?” tanyaku.
“Hari ini kan tanggalnya ganjil, sedangkan nomor mobilku genap. Jadi kutunggu sampai malam,” jawab Mbak Sandra.
“Oh ….”
“Kamu ngapain pulang jam segini. Sepuluh menit baru bisa dihitung lembur. Sayang lho.”
“Nggak apa-apa, Mbak. Kerjaanku udah selesai kok. Aku pamit, ya.”
Aku mengambil tas dan ke luar dari ruangan. Sebentar lagi AC akan dimatikan oleh teknisi. Aku tak mengerti kenapa Mbak Sandra betah berada di dalam ruangan sendiri.
                                    ***
“Kamu ngapain pulang ke kos? Mending nunggu di kantor aja. Ada temannya. Di tempat kos kan sendirian, bengong,” ujar Mbak Sandra. Saat itu aku bersiap pulang.
Kupikir, seharusnya saat ini Mbak Sandra juga pulang karena hari ini tanggal genap, jadi cocok dengan nomor kendaraannya. Namun, walaupun hari ini tanggal genap, Mbak Sandra tetap berada di kursinya. Sedikitpun tak nampak tanda-tanda ia  bersiap pulang.
Kuperhatikan sejak aku masih anak baru sampai aku jadi kakak bagi pegawai-pegawai baru, Mbak Sandra selalu pulang malam. Alasan yang dikemukakan selalu sama, menghindari ganjil genap. Pertanyaan sering muncul di kepala, apakah setiap hari nomor kendaraan Mbak Sandra selalu berbeda dengan aturan ganjil genap? Misterius memang.
“Iya sih, Mbak. Di kamar kos-an aku sendirian. Ada sih yang dikerjakan, belajar Bahasa Inggris,” jawabku.
“Nah, kan. Udah pulang malam aja. Kan bisa pake komputer kantor. Lumayan hemat kuota,” sambung Mbak Sandra.
Dipikir-pikir benar juga sih apa yang dikatakan oleh Mbak Sandra. Setiap malam aku tidur sendirian. Selain itu kuota  internet cepat sekali habis karena aku selalu membuka  akun YouTube untuk belajar Bahasa Inggris. Aku lakukan itu tiap malam sebelum tidur, agar aku bisa mengikuti seleksi beasiswa sekolah di luar negeri.
Akhirnya aku mengikuti saran Mbak Sandra. Kusimpan tasku kembali di atas meja. Aku duduk dan menyalakan komputer yang sudah kumatikan tadi. Kubuka YouTube dan mulai belajar Bahasa Inggris di komputer.
Saking asyiknya belajar, aku sampai lupa waktu. Aku tersadar ketika Mbak Sandra pamit kepadaku.
“Emangnya udah jam berapa, Mbak?” tanyaku
“Jam sebelas, Neng.” Mbak Sandra tersenyum kecil.
“Ya ampun! Perasaan baru sejam aku belajar,” ujarku kaget.
Kumatikan komputer. Baru sekarang terasa hawa panas di dalam ruangan. Kuambil tas dan ke luar mengikuti Mbak Sandra dari belakang. Ruangan benar-benar sudah gelap karena lampu-lampu sudah dimatikan.
“Tuh kan, kamu keasyikan. Paket datamu utuh pula,” ujar Mbak Sandra.
Pintu lift terbuka. Kami berdua masuk ke dalamnya. Mbak Sandra senyum-senyum melihatku.
                                                                 ***
Sebulan berlalu, aku masih tetap dengan kebiasaanku pulang malam setiap hari. Aku belajar Bahasa Inggris dengan menggunakan fasilitas kantor. Tak ada seorangpun yang menegurku. Terlebih Mbak Sandra, Ia malah mendukungku. Kami berdua jadi dekat karena seringnya kami pulang bersama ketika kantor sudah sepi.
“Pulang malam terus nih. Banyak kerjaan?” Sapta bertanya padaku. Sapta adalah teman satu ruangan tapi berbeda bagian denganku.
“Uh … iya. Aku selalu diberi kerjaan tambahan, jadi aku sering menyelesaikannya sampai malam,” jawabku ragu.
“Setiap hari?” tanya Sapta.
“Eh … iya.”
“Hati-hati, jaga kesehatan!” ujar Sapta. Ia berlalu dari hadapanku.
Saat Sapta datang, aku sedang menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Pak Dody, atasanku. Mataku mengantuk karena semalam aku kurang tidur karena pulang kemalaman.
HP-ku berbunyi. Rupanya  ada pesan masuk. Aku mengambil HP yang berada di samping keyboard komputer.
Pesan dari: Bank Antariksa
Pada rekening anda ada dana masuk sebesar Rp2.000.000 untuk pembayaran lembur bulan Oktober 2019.
Mataku terbelalak kaget membaca pesan yang masuk. Aku heran kenapa aku bisa mendapat uang lembur sebanyak itu. Aku terdiam dan berpikir, dari mana staf Bagian Keuangan menghitung pembayaran uang lembur buatku?
“Kamu udah dapat uang lembur, Nis?” Tiba-tiba Mbak Sandra berdiri di sampingku.
“Iya, Mbak. Kok dapat uang lembur banyak ya? Aku kan nggak lembur?” tanyaku heran.
“Ya nggak apa-apa lah. Itu kan rejekimu tiap hari pulang malam,” jawab Mbak Sandra dengan entengnya.
“Tapi, aku kan nggak kerja …,” ujarku bingung.
“Terima aja. Memangnya kenapa aku sering pulang malam, ya karena lumayan pemasukan setiap bulannya,” jawab Mbak Sandra tanpa merasa bersalah.
Jadi, dari jaman dulu Mbak Sandra begini? Pulang malam, nonton sinetron atau film di YouTube memakai fasilitas kantor, setelah itu mendapat SMS Banking di awal bulan. Hatiku bergolak. Disebabkan oleh sikap lemahku, aku melakukan sesuatu yang bodoh .
“Ya udah ya, aku mau ke bank dulu. Uangnya mau kupindah ke rekening lain buat bayar cicilan mobil.”
Aku hanya terpaku mendengar perkataan Mbak Sandra. Uang lembur yang diterimanya setiap bulan dipakainya untuk membeli mobil. Berarti Mbak Sandra sudah melakukan hal ini selama bertahun-tahun. Setahuku tak pernah sekalipun Mbak Sandra pulang malam untuk menyelesaikan pekerjaannya. Monitor komputernya selalu berisi tayangan sinetron atau film.
Batinku bergolak. Sebulan ini aku menghabiskan kuota kantor hanya untuk kepentingan pribadi. Bahkan, aku mendapat bayaran uang lembur di akhir bulan. Betapa Aku tak punya rasa malu.
Tuut … tuut …tuut
Abah calling
Dengan cepat kusambar HP. Entah kenapa kalau Abah menelepon, tabu bagiku menundanya. Aku selalu kangen mendengar suara Abah yang lembut.
“Halo, Assalamualaikum Abah. Apa kabar?”
“ Waalaikum Salam warrahmatullahi wabarakatu.” Abah selalu menjawab salamku dengan lengkap.
“Kabar Abah baik. Gimana kerjaannya, Neng? Mudah-mudahan Eneng*) selalu betah ya kerja di Jakarta,” sambung Abah.
“Eneng betah, Bah. Sayangnya Eneng belum bisa pulang ke rumah. Maaf, ya,” balasku. Ada rasa haru yang tertahan di dada setiap mendengar suara Abah.
“Nggak apa-apa, yang penting Eneng selalu sehat.
“Iya, Bah.”
“Abah juga pesan, Eneng jangan bikin macam-macam di kantor. Pikirin kerjaan aja. Kerja yang benar. Jangan pernah ambil sesuatu yang bukan haknya Eneng. Nggak ada keturunan Abah yang begitu.”
Suara Abah yang tegas menyentak kesadaranku. Aku heran, sepertinya Abah selalu punya insting kalau aku berbuat sesuatu yang tak baik.
“Neng … Neng. Kok diam saja?”
“Eh … iya, Bah. Eneng denger kok,” jawabku agak gugup.
“Udah, ya. Abah mau ke pasar dulu sekalian jalan-jalan biar tetap sehat. Ingat pesan Abah. Assalamualaikum.”
Abah mengakhiri percakapan. Aku terdiam sejenak. Perasaanku tak enak setelah bercakap-cakap dengan Abah.
“ Waalaikum salam,” jawabku pelan. Kututup HP dan kuletakkan kembali di atas meja kerjaku.
Aku terdiam sejenak, menyesali apa yang kulakukan sebulan belakangan ini. Aku merasa sudah mengkhianati kepercayaan yang diberikan kantor kepadaku. Aku juga merasa sudah mengkhianati perasaan bangga Abah memiliki anak sepertiku. Air mata menetes di pipiku. Aku benar-benar menyesal. Ya Allah, ampuni aku.
                                                                ***
            “Nisa, kok tumben udah mau pulang?” tanya Mbak Sandra yang melihatku mengambil tas.
            “Aku mau pulang, Mbak. Belajar di rumah aja.”
            “Kenapa?” tanya Mbak Sandra.
            “Aku nggak mau menggunakan barang yang bukan hakku. Aku juga nggak mau mendapatkan uang dengan cara nggak baik, Mbak. Aku akan lembur kalau memang ada tugas kantor yang harus kuselesaikan,” jawabku tegas.
            “Ah, sok idealis.”
            “Nggak apa-apa, Mbak. Lebih baik aku dibilang sok daripada setiap hari aku dihantui perasaan bersalah. Emangnya Mbak enggak?” sindirku.
            Mbak Sandra terdiam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Aku sudah tak peduli lagi. Mudah-mudahan dia bisa segera kembali sadar bahwa apa yang dilakukannya selama ini tidak benar dan merugikan organisasi.
            Aku berjalan meninggalkan ruangan dengan perasaan tenang dan damai. Taka da lagi ketakutan yang membebani pikiranku.

SELESAI

*) Eneng: Panggilan untuk anak perempuan dari Suku Sunda         

Pagi adalah...

Pagi adalah jembatan
Menghubungkan harapan dengan kenyataan
Meski tak selamanya kenyataan sesuai keinginan
Namun pagi adalah sebuah jembatan yang harus dilewati

Pagi adalah inspirasi
Menjadi kekuatah imajinasi para pecinta seni
Lukisan alam yang patut disyukuri
Permulaan hari yang menyimpan sebuah misteri

Pagi adalah anugerah
Sesiapa yang bersyukur, ia kan bahagia
Sesiapa yang tak bersyukur, sesaklah ia
Karna pagi adalah jawaban dari setiap doa

Selamat pagi
Semoga keberkahan senantiasa menyertai


31122019

Kopi dan Kenangan

Kopi dan kenangan
Melebur dalam angan tak berkesudahan
Nikmati saja apa yang ada di hadapan
Karena hidup tak melulu sesuai harapan!

Kopi dan kenangan
Ibarat aku dan kamu dalam persimpangan jalan
Membisu dalam sendunya tatapan
Merangkai rindu yang terlepas dalam genggaman

Kopi dan kenangan
Ibarat genangan yang hadir selepas hujan
Maki yang terlontar oleh lisan sebagian
Tak sedikit yang mengucap kesyukuran

Kopi dan kenangan
Pahit dan manisnya dapat dikendalikan
Seperti hasrat yang berkelindan
Hasrat mencintaimu........iya kamu!