Senja stasiun kereta


Senja
Stasiun kereta
Pesanmu datang
Memulai cerita

Senja
Stasiun kereta
Bayang mu riang
Menemani setia

Senja
Stasiun kereta
Hari cemerlang
Tertutup sempurna

Senja
Stasiun kereta
Sadarku datang
Mengejarmu hampa

Senja
Stasiun kereta
Kaupun terbang
Hati ku luka

Senja
Stasiun kereta
Aku berjuang
Untuk melupa



Senja
Stasiun kereta
Aku terkenang
Ribuan senja stasiun kereta

Waktu dan tempat
Terlahir ribuan kata

(stasiun sentiong, 10 jan 2010)










Day 10 in 2020

Sudahi saja ...

Fana



Tidakkah  sesak sesekali  hadir,
Umur bergulir, kepala kian pandir
Hakekat hidup lalai di pikir,
dunia persingahannya para musafir

Beruntai  nikmat runtut mengalir,
Tiada terhitung semenjak lahir
Pada waktunya menemu akhir
Esok atau lusa tiada tertaksir

Tapi Langkah kerap tersesat
Karena hati melegam pekat
Bebal membaca tanda isyarat
Dunia menipu pencari nikmat

manisnya dunia hanya sesaat,
Saat mati semua tamat
Tapi lelarian sepanjang hayat
Sibuk mengejar harta dan pangkat

Semoga bukan di ujung sekarat,
Hati berdetak  untuk mengingat
Gemerlap dunia  takkan manfaat
Menebus berat janji akherat

































Suatu Tempat (hanya) Kita yang Tahu


Pagi berkabut.

Udara desa Pariangan memang selalu sejuk, tak terkecuali pada musim panas. Desa yang terletak di Minangkabau ini sangat indah, bahkan termasuk dalam sepuluh desa terindah di dunia versi Easemytrip bersama Desa Penglipuran di Bali. Desa yang selalu diselimuti ketenangan dan hijaunya lembah ngarai Gunung Marapi.

Kabut yang turun perlahan melintasi lereng mengingatkanku setahun lalu. Saat itu Raina masih cantik, tak ada duanya. Memang banyak gadis di desa ini yang cantik, tapi Raina berbeda. Setidaknya di hatiku.

Raina yang selalu mengoleskan sepotong pinang merah pada bibirnya, “Sebagai pengganti lipstick…” katanya, yang mebuatku tertawa terbahak, 

“Kampungan….” kataku kala itu.

Tapi dia tak peduli, dia malah asik mengoleskan beras yang telah ditumbuknya dan diberi sedikit air pada wajahnya, “Sebagai pengganti bedak…” katanya lagi. 
“Tanpa efek samping dan... gratis” senyumnya merekah, yang membuatku mengagumi dalam hati wajahnya yang semakin bersinar.

“Gimana kalo kita menikmati secangkir kopi? Di tempat biasa.. “, ujarku yang disambut dengan anggukan Raina.

Kami berlari menuruni bukit.  Pasir berhamburan diantara sela-sela kaki kami, sepasang muda mudi dari sebuah desa indah yang tumbuh bersama.

-------

Saat ini aku berdiri di hadapan Raina,

Dan hampir sama sekali tak mengenali wajahnya, sisa-sisa jahitan bekas operasi masih membekas. Dan di dalam batinnya, luka dari musibah kebakaran itu tampaknya masih berdiam disana. Aku tahu itu dari sikap Raina yang menundukkan wajahnya dalam-dalam ketika aku menatapnya.

“Hai, apa kabar?”

Suaranya pelan dan ragu.

“Beginilah keadaanku sekarang… seorang gadis yang tak bisa lagi menggunakan lipstick dan bedak..." 
Ia menghela nafas, dan melanjutkan dengan suara yang nyaris tak terdengar,
"karena kulit separuh wajahnya hilang dan diganti dengan segumpal daging  pahanya”

Bibirnya mencoba membentuk sebuah senyuman. Pasrah.

Sesaat aku terdiam, menimbang dalam hati, hari-hari lampau separuh dari perjalanan hidup kami. Raina yang selalu menyenangkan dengan tingkah lugunya yang membuatku tertawa, walau sering kali menjengkelkanku juga. Perlahan ribuan kenangan menari-nari menutup hatiku dari wajahnya.

Lalu setitik butiran bening mengalir di pipi Raina.

“Oh..  jangan menangis, Raina. Tak akan kubiarkan lagi air mata kepedihan membasahi hati dan matamu. Aku ada disini karena aku menyayangimu. Apa dan bagaimanapun kamu. Aku jatuh cinta pada sepotong hati yang murni, bukan pada seorang dewi yang begitu sempurna. Setahun sudah kamu menghindariku, dan aku tak akan mengijinkan hal itu lagi. Percayakan hatimu padaku Raina, dan akan kubawa kau ke suatu tempat, yang hanya kita yang tahu.”  Suara angin berdesir syahdu …

“Tempat biasa…”,  kataku penuh perasaan.

Uluran tanganku memintanya,

Raina menyambut tanganku, tersenyum dan menyeka air matanya…. dan kami berlari kembali, menuruni tebing pasir,  di desa terindah tempat kami tinggal.

-------

(terinspirasi lagu "somewhere only we know" Keane)

I'm a schizophrenia [1]


Dibilangnya kami tak waras

Dibilangnya kami tak waras
udzur usia bermain futsal
Tak peduli lututnya lemas
Libur sekali rasa menyesal

Dibilangnya kami orang gila,
Mencari kata bersusah susah
Padu padankan bait dan sela
Agar ungkapan terbaca indah

Apakah  kata yang setara
Akan tertuju untuk semua
Para lelaki pencari gembira
Jalani pilihan laku berbeda

pemancing, penyanyi atau pelari
Penggemar tumbuhan atau binatang
Masing masing punya sendiri
Bagaimana cara mencari senang

Pemancing  ke pasar membeli ikan
Ikan di tuang ke dalam kubangan
Melempar pancing dari tepian
Tertawa bahagia umpan dimakan

Nafas  terengah bercucur keringat
Lima putaran setiap hari
Beban pikiran makin memberat
Menjadi hilang dengan berlari

Lelaki berjalan menenteng kandang
murai dan jalak di latih berkicau
Akhir bulan turun gelanggang
Burungnya diam hatinya risau

Lelaki lain berjingkrak jingkrak
Speaker berdentam dentam bergetar
Lepaskan penat yang makin sesak
Musik berakhir kembali segar

Kian banyak kita berkeliling
Terlihat banyak  ragam pilihan
Untuk sejenak redakan pusing
Masalah hidup yang jadi beban



















Mencari Cinta Yang Tak Termiliki

tak henti-henti orang bercerita tentang cinta,

berkesah pada hujan,

mengeluh tentang kenangan,

tak lelah...

saat jaga berangan, waktu lelap memimpi

sibuk mencari apa yang sudah tertulis di hati tapi 


tak mampu dimiliki.


Jakarta, 07012020