SEKOLAH TUA

Aku tiba di sekolah tua...
Bangunannya tak ikut renta,
Tetap agung seperti saat pertama ikut upacara,
Lapangan basketnya masih lebar,
Jumlah ringnya lebih dari dua,
Bel sekolah juga tetap nyaring,
Saat fajar menyingsing, dan kala senja memicing.

Aku tiba di sekolah tua...
Gurunya cuma berdua, Pak Lapar dan Bu Dahaga,
Kepala sekolahnya belum berganti, Pak Iman,
terkadang ada di ruangan tapi sulit ditemui,
Preman di pintu gerbang juga masih membuat resah, Bang Nafsu,
Sering memaksa bolos sekolah atau sekadar menguras uang saku

Aku tiba di sekolah tua...
Kurikulumnya hanya sampai hilal kembali tersenyum simpul,
Belajarnya juga tergantung ingin hadiah yang mana,
Sepuluh hari sebelum kelulusan diadakan pesta,
Malamnya bersulang air wudu,
Dilanjut bergerak gemulai di atas rukun sembahyang,
Lalu berdendang tenang irama tilawah dan zikir,
Semalam suntuk tak boleh pulang,
Murid yang beruntung, dapat voucer belanja sesukanya,
beli satu dapat seribu

Aku pulang dari sekolah tua...
Disambut ramai api penggoda,
kembali mengajak hura-hura setelah keluar penjara,
Agar saat kurir online mengantar ijazah takwa,
Rumah kosong tak ada yang menerima,
Kemudian mengirim pesan singkat lewat ponsel:
Paket silakan diambil langsung ke sekolah tua,
Nanti ketika tahun ajaran baru dibuka,
Dengan syarat, usia mau mengantar ke sana.

Lelaki Ini Dan Perempuan Itu Dan Waktu Yang Tak Mau Berhenti


Hujan. Lagi. Namun tak seramai tadi. Pasukan tirta terjun lembut bagai prajurit berparasut. Mendarat lalu berebut mencari lubang semut. Lelaki ini memejamkan matanya. Menangkap hening, mencoba menyerap hembusan nafas-nafas yang mendengkur halus. Mendengarkan derap kaki kelabang yang tergopoh menghindar tenggelam.

Layar monitor itu masih kosong. Hanya tertulis Document1-Word. Dan kursor yang tak lelah berkedip menggoda. Sesekali terlihat mencela “ayooo…mana tintamu? Hentakkan jemarimu…tidakkah kau lihat aku sudah menunggu lama?”. Lelaki ini tak acuh. Diraihnya cangkir kopi, sial tinggal tetesan terakhir. Cangkir ketiga dalam 3 jam 25 menit ini. Bercak coklat kehitaman membekas. Lelaki ini sedetik tergidik, membayangkan bercak yang sama di lambungnya.

Lelaki ini masih terdiam di kelengangan. Tak ada angin, hujan pun sudah sudah lelah turun. Menyisakan gigil dan petrichor. Tadinya lelaki ini ingin membuat puisi. Menyamarkan rasa dalam kata-kata berima. Mengisyaratkan cinta dibalik kata-kata penuh makna. Makin dicoba makin buntu rasanya. Saat diam kata-kata indah menyeruak kepala. Saat tertumpah yang keluar sumpah serapah. 4 jam 5 menit. Malam sudah 2/3. Satu dua suara mulai terdengar. Lelaki ini sungguh berharap waktu berhenti. Agar dapat menyelesaikan puisi ini sebelum pagi. Dilemaskannya jemari, dikerutkan kening memicing mata. Harus selesai sebelum pagi. Layaknya janji Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang. Tepat sebelum ayam tetangga berbunyi, puisi itu jadi. Lelaki ini menghembus nafas lega. Diregangkan punggungnya, rebah seadanya mengusir lelah.

***
Disudut lain kota. Perempuan itu terjaga denting lembut gawai di atas meja. Jam 04.12. Setengah kantuk dibacanya pesan masuk : Aku Rindu. Selarik senyum tipis, lalu kembali menyuruk ke balik selimut. Menghangatkan diri menenangkan hati di sela dengkur kekasih hati.

Jakarta, 06052020


HINGGA KINI

Kini...
Mencandai penatmu bisa virtual,
Mendengarkan kisah dan kesahmu juga bisa virtual,
Bahkan menyesap hembus napasmu bisa virtual.

Tapi hingga kini...
Mencintaimu masih saja susah sinyal.

TEH MANIS

Menantu ibuku mengaduk tawarnya secangkir teh panas,
Memutar-mutar debar jantung menantu ibunya,
Siluetnya membayang di balik toples suvenir kondangan,
Pusara semut busung lapar yang mati mengenaskan.

Sambil menggendong perut melendung,
buah pertumpahan desah,
Dia berkata: sudah ribuan kali kuaduk, manisnya tetap tak turut,
Terang saja, manisnya sudah lama kugadaikan di KUA.

Dompetku yang kusuruh berangkat menebusnya,
Dicegat polisi, ditilang karena tak pakai masker,
Bukan apa-apa, maskernya sudah dikembalikan kepada pengupahnya.

Akhirnya dompetku masuk penjara,
Kasihan, tapi katanya malah dikasih makan,
agar tak mendobrak jeruji yang keras dan anyep,
Dijaga sipir bernama satire.
Ah sudahlah, lama-lama mereka juga jadi kawan lama.

Biarlah di sini kami berbulan madu,
Dengan secangkir teh manis tanpa gula bercumbu,
Dia merayu dengan puisi kekasih:
Tersenyumlah sayang, biar nanti bisa kusimpan
Untuk secangkir teh sebelum fajar.
Ah, dunia serasa milik mertua.

KOLAK PISANG

Kerlap kerlip lampu kuota,
Menerangi potongan pisang yang berjejal,
Menembus kemacetan semangkuk kuah kelapa dan gula jawa
Diiringi klakson bersahutan dari toa-toa parau musala

Kepulan asap bosan keluar dari knalpot bising terlarang,
Menggeber rindu melahap jarak yang tak berjarak,
Menyalip senja yang biasanya sampai rumah duluan,
Memboncengkan isi kerajaan, di atas sadel sempit kontrakan

Kelak saat mudik dan pulang kampung sudah sama,
Berjejal pantat truk bertato corona di pantura:
Piye enak jamanku tho?


It always seems impossible until it's done

Cinta Dalam Semangkuk Sup Kaki Sapi


Kuperhatikan dengan segenap konsentrasi langkah demi langkah Syarif, orang yang telah mendampingiku mengarungi kerasnya kehidupan selama puluhan tahun. Aku mencoba menahan perasaan sedih karena melihatnya berjuang mencapai tempat yang telah ditentukan oleh terapis yang biasa dipanggil ke rumah.
Masih lekat dalam ingatanku betapa gagahnya Syarif berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendorong roda yang penuh dengan sayuran dari satu rumah ke rumah yang lain tanpa lelah. Impiannya hanya ingin membuat anak-anak kami mengenyam pendidikan yang tinggi. Bukan untuk kebaikannya sendiri tapi untuk kebaikan anak-anak kami sendiri.
Tak pernah ada kata lelah dalam kamusnya saat itu. Ia hanya ingin yang terbaik untuk keluarganya.
Saat ini ia sedang berjuang meraih kembali apa yang dulu dimilikinya, yaitu pijakan kakinya agar kuat kembali menjelajah dunianya tanpa merepotkan orang lain.
Kuusap air mata di pipi agar Syarif bisa melihatku semangat mendampinginya melewati hari-hari yang sangat berat baginya. Aku ingin ia kembali ceria seperti dulu walaupun langkahnya semakin terbatas.
                                        ***
“Kang, jangan terlalu capek gitu dong. Biar saja aku yang masak,” ujarku melihat Syarif sibuk meracik bumbu untuk memasak sup kaki kegemaran anak-anak kami yang berjumlah tiga orang.
“Nggak apa-apa. Aku bahagia melihat keceriaan mereka menyedot tulang sumsum sapi yang kumasak. Itulah masa yang membahagiakan bagiku. Ketika mereka makan lahap, itu bagaikan sebuah persembahan istimewa sebagai ucapan terima kasih atas jerih payahku menyediakan makanan bergizi bagi mereka,” terang Syarif sambil terus meracik bumbu.
Sesekali aku membuka panci, memastikan apakah kulit kaki sapi yang menempel di kaki sapi itu sudah empuk. Sambil menunggu kulit sapinya matang, kucuci beras dan kutanak nasi di kompor.
“Mudah-mudahan, ketika anak-anak pulang sekolah, sup kita sudah jadi ya, Bu.” Aku hanya mengangguk. Syarif selalu bersemangat ketika memasak untuk anak-anak.
Betapa aku beruntung memiliki suami yang sayang kepada keluarganya. Walaupun hidup kami pas-pasan tapi Syarif selalu berusaha menyisihkan uang untuk menyajikan makanan penuh gizi bagi keluarganya.
                                                        ***
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
Aku menjawab salam ketika kudengar suara ketiga anakku serempak memasuki rumah. Mereka bertiga berlarian dan berebut memelukku.
“Ayah di mana, Bu?” tanya Nina sulungku yang duduk di bangku kelas enam SD.
“Di dapur.”
“Pasti lagi masak sup kaki sapi, wanginya enak banget,” ujar Dita ceria. Ia adalah anakku yang kedua dan masih duduk di kelas lima SD.
“Hore, makan enak lagi!” teriak Amir, si bungsu terlihat gembira mendengar ucapan kakaknya.
“Ayo ganti baju dan salat Dzuhur dulu, abis itu kita makan siang bareng!”
Mendengar perintah ayahnya, mereka bertiga berlari ke kamar. Setelah itu mereka melakukan salat Dzuhur bersama-sama. Aku tersenyum bahagia melihat perkembangan mereka bertiga yang tak pernah menyusahkanku dan Syarif. Sekali lagi peran Syarif sangat besar menjadikan anak-anak seperti sekarang ini.
“Nah supnya sudah siap!”
Syarif muncul dari dapur membawa semangkuk besar sup kaki sapi yang dimasaknya tadi. Aku menuangkan nasi dari dandang ke tempatnya. Asap masih mengepul dari nasi dan sup kaki sapi yang dimasak Syarif. Baunya sangat sedap di hidung sehingga membuat perut meronta-ronta ingin segera mencicipi makanan favorit keluarga.
Tiba-tiba Amir tersedak. Syarif menyodorkan gelas berisi minuman kepada Amir.
“Makannya pelan-pelan. Tunggu sampai dingin dulu!” tegur Syarif lembut.
“Iya, Ayah,” jawab Amir.
“Ayah, supnya enak pake banget lho,” puji Nina.
“Iya, Yah,” timpal Dita sambil menyendok kembali sup ke dalam mangkuknya.
“Alhamdulillah kalau kalian suka. Cuma maaf, ya. Ayah tak bisa sering-sering memasak sup kaki sapi, soalnya harus kumpulin uang dulu. Kaki sapi mahal.”
“Nggak apa-apa kok, Yah. Nina ngerti kok. Makan dengan tempe goreng juga enak kok, asal kita barengan begini.”
Syarif tersenyum mendengar ucapan Nina. Aku memandangi suami dan anak-anakku dengan perasaan yang sulit dilukiskan. Tak ada lagi yang kuminta selain Syarif dan anak-anak selalu sehat agar kami bisa selalu membagi cinta kepada anggota keluarga.
                                        ***
Aku ingat, betapa bahagianya Syarif ketika menyaksikan wisuda ketiga anak kami. Walau berusaha menahan keharuan, aku menyaksikan Syarif selalu mengusap air mata yang menetes ketika Nina, Dita, dan Amir maju ke depan memakai toga untuk menerima ucapan selamat dari rektor.
Begitu juga ketika satu per satu anak-anak kami menikah, Syarif selalu berusaha tegar walau aku tahu ia sedih melepas anak-anak yang sangat dicintainya meninggalkan rumah. Akulah saksinya ketika malam-malam Syarif mengusap-usap foto ketiganya.
Cintanya yang dalam, membuat Syarif tak ingin merepotkan anak-anak. Ia tak pernah meminta apapun dari mereka walau berulang kali ketiga anak kami menanyakan apa yang diinginkan ayahnya. Jawabannya selalu sama, “Kebahagiaan Ayah itu adalah ketika melihat kalian bahagia.”
Bahkan Syarif tetap berjualan sayur, walau anak-anak sudah memintanya istirahat. Segala biaya hidup kami akan ditanggung mereka tapi Syarif bersikukuh dengan alasan, “ Ayah bosan kalau nggak melakukan apa-apa.”
Akhirnya sebagai jalan tengah karena kekhawatiran anak-anak, Syarif membuka warung sayuran di rumah. Itu pun setelah melalui bujuk rayu yang tak sebentar sampai Syarif luluh. Aku tak bisa memaksanya untuk berhenti berjualan karena itu adalah hiburannya apalagi anak-anak sudah tidak ada lagi yang tinggal serumah dengan kami.
Sampai suatu ketika, Haji Darmin, pemilik kios daging di pasar mendatangi rumah. Dengan nafas terengah-engah ia memanggil namaku. Saat itu, aku sedang membereskan warung sambil menunggu Syarif datang dari pasar membawa belanjaan sayur untuk dijual.
“Aisyah … Aisyah!”
“Ada apa Pak Haji?” tanyaku kaget. Tak biasanya Haji Darmin mendatangi rumahku ketika Syarif tidak berada di rumah.
“Syarif … Syarif ….”
“Ada apa dengan Kang Syarif?” tanyaku mulai risau.
“Syarif jatuh di pasar ….”
“Jatuh gimana?” tanyaku panik.
“Ya jatuh ke bawah, pingsan! Dibawa orang pasar ke RSUD ….”
Belum selesai Haji Darmin menjelaskan, aku masuk ke dalam rumah. Kuambil tas yang tergantung di tembok. Setelah itu aku memesan ojek online. Rasanya waktu berjalan lambat sampai akhirnya ojek datang.
                       ***
Anak-anak memindahkan Syarif ke rumah sakit yang lebih besar dengan alasan agar ayahnya bisa mendapatkan penanganan yang lebih baik. Saat itulah Syarif tak berdaya menolak keputusan anak-anak.
Siang malam, aku mendampingi Syarif yang terbaring tak berdaya karena terkena stroke. Sering kali kulihat Syarif memandangi wajahku, kemudian ia akan meneteskan air mata.
“Maafkan aku, ya! Aku merepotkanmu.”
“Kang, jangan bicara gitu. Aku ikhlas kok. Bertahun-tahun Akang menyayangiku dengan tulus, masak karena ini Akang harus minta maaf. Aku yang harus minta maaf, nggak bisa jaga Akang dengan baik.” Aku berusaha tegar agar Syarif tenang. Kuusap tangan keriput Syarif. Dalam hati aku berjanji akan selalu menjaganya.
Janji itu kutunaikan dengan mendampinginya melalui hari-hari yang sungguh berat dan melelahkan bagi Syarif. Seringkali aku tak sanggup menahan tangis ketika melihatnya tertatih-tatih mencoba berjalan selangkah demi selangkah seperti yang kulihat hari ini.
Seperti hari ini ketika terapis datang ke rumah untuk melatih gerak Syarif, aku menemaninya untuk memberi semangat padanya. Walau kutahu Syarif harus berjuang keras untuk kembali bisa berjalan.
Tak ingin kuperlihatkan kesedihan melihatnya berjuang mengikuti petunjuk terapis. Walaupun langkah Syarif berat tapi yang kulihat saat ini adalah semangat yang sama dengan  puluhan tahun yang lalu ketika Syarif berkeliling kompleks perumahan menjajakan sayur.
         ***
Hari demi hari, Syarif semakin pulih. Aku berusaha ceria mendampinginya menjalani terapi demi terapi agar ia tetap bersemangat. Sampai akhirnya Syarif dapat berjalan kembali setelah satu tahun menjalani terapi walau masih harus menggunakan tongkat.
“Aki … Aki!” suara cucu-cucu kami menciptakan senyum indah di wajah Syarif. Satu per satu cucu kami yang berjumlah lima orang dipeluknya dengan cara yang sama ketika ia memeluk anak-anak.
“Kalian main dulu, ya! Aki sama Nini mau masak dulu sup yang enak buat kalian. Mau kan?”
“Mau, Aki!” serempak anak-anak dan cucu-cucu kami menjawab
Aku membantu Syarif melakukan sesuatu yang sudah lama tak dilakukannya. Saat itu kulihat semangat Syarif memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang dicintainya. Aku melihat Syarif yang sama dengan yang kulihat puluhan tahun yang lalu.
Kebahagiaan semakin bertambah ketika anak, menantu, dan cucu berebutan mengambil sup kaki sapi dari mangkuk besar. Kutatap wajah Syarif yang ceria. Hatiku tergetar oleh cinta yang kembali timbul di usia senja kepada seorang laki-laki yang pandai memasak sup kaki sapi.

                                        SELESAI

Taat Maklumat

Pedang terhunus, pistol terendus
Sigap mengintai, tak kenal lalai
Serentak beranjak, membentangkan tegak
Perang tak kunjung usang, kian luas mengembang

Pasukan bersorak maju, berharap hapuskan pilu
Nahas mereka kembali tersedu, kenyataan memilih tetap sendu
Bukan tidak gigih dalam berjuang, memang lawan di luar jarak pandang
Menyerang gesit jasad yang sakit, berpindah tempat jejak tak sempit

Berdiam dalam sangkar jadi pusaka, senjata mujarab agar tak mengganda
Sayangnya banyak tak percaya, berlagak anti putus asa
Ada merasa belum rela, abai demi lapar dan dahaga
Tak sepenuhnya mereka salah, tapi banyak tabib mulai lelah

Peluh menyentuh sekujur tubuh, terenyuhnya perantara sembuh
Ingin rasanya sekadar menyeka, apalah daya tak menyentuh muka
Tawa canda mengalirkan lega, masker rapat membuat tak bisa
Bersandar sejenak hilangkan penat, apa lacur harus berganti hazmat

Baiknya kita ulurkan tangan, maksimal meski tak bersentuhan
Memaku laku di balik tembok, selepas ayam jantan berkokok
Tatap kaca mengganti tatap muka, menghemat langkah menghentikan masa
Bersama merapal seragam damba, tengadah dua tangan dalam esa

Ini serius bukan sebuah gurau, agar sandal-sandal kembali ke surau
Biar puing celengan pecah, kembali dihuni rupiah
Menghibur gedung-gedung memandang lengang, pulihkan garang menatap lalu lalang
Mendinginkan cemas yang lama memanas, terangi senyuman menyunggingkan ikhlas

Kini memang terasa berat, suratan nasib tak bersekat
Tergeraklah sedikit berkhidmat, sebelum hujan lekatkan karat
Mungkin telah melanda kebosanan, merindukan lekuk tubuh jalanan
Bisa jadi justru bumi sedang jemu, lama terjamah ingin dan ego semu

Coba tangkupkan kedua tangan, wujud sesal dalam pertobatan
Tak jua merasa paling benar, cukup ketakwaan jadi ikrar
Mari berpelukan dalam ikhtiar, semoga dunia sudi berbinar
Enyahkan walau setitik kikir, hapuskan sombong agar tak mampir

Mudah-mudahan Sang Raja mengabulkan pinta, menurunkan bahagia dan tawa menggema