ROHINGYA; Para Pencari Suaka

Sembilan puluh empat nyawa
Terombang ambing di tengah samudera
Di sebuah perahu kusam nan renta
Tertiup angin ombak menggurita

Lapar dahaga mendera
Isak tangis para balita
Kecemasan yang menyiksa
Ajal mendekat jarak sedepa

Mereka adalah anak manusia
Terampas hak asasi kemanusiaannya
Karena ulah penguasa durjana
Demi nafsu dunia

Entah berapa lama menahan asa
Menanti takdir yang akan diterima
Terpasrahkan semua kepala Penggenggam Jiwa
Hingga pertolongan itu tiba

Adalah nelayan Aceh menjadi perantara
Menjemput rezeki dipertemukan dengan pengungsi Rohingya
Terpanggil rasa peduli pada sesama
Memberi pertolongan tanpa jeda

Duhai, Aceh lon sayang
Duhai, Rohingya malang
Doaku, doa kami tak berbilang
Kelak, keadilan kan terbentang


Ahad, 28062020


LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN GUGATAN MASA LALU


Lelaki ini terperenyak. Sederet aksara bersungkup rahasia menggugat bayangannya. Menyeret paksa luka-luka lama, menggenangi diri dengan darah basi. Menggurati hati yang bahkan sudah tidak ada spasi. Lelaki ini tak tahu lagi. Harus tertawa geli atau menangis sedih. Cinta coba-coba, mencumbu nafsu di sudut-sudut kota adalah masa lalu yang sudah terbingkai rapi. Terpajang di bilik-bilik sunyi patala[1]. Menggugahnya tak ubah memicu daiwi astra[2], akan menghancurkan bahkan yang tak berdosa. 

*
"Ini kupat tahu paling enak se-Asia Tenggara" bual Perempuan itu lucu. Lelaki ini hanya tertawa. Mana ada kupat tahu diperingkat layaknya sekolah. Kupat tahu itu mungkin bukan yang terenak seperti bualannya, tapi menikmatinya akan selalu dirindui bertahun-tahun setelahnya. "Coba lihat tumpukan bunga-bunga ungu itu!" Perempuan itu sudah berpindah lagi. Cepat sekali layaknya gonta ganti kanal televisi. Dilihat sekilas, tak suka lalu ganti. Lelaki ini cuma geleng-geleng kepala. Cekrek...cekrek...We keep this love in photograph, we made these memories four ourselves[3]. Bagai puzzle yang saling melengkapi. Tuhan menciptakan keindahan Perempuan itu bagai tumbu ketemu tutup dengan hamparan ungu guguran bunga yang jatuh. Lelaki ini membeku, terhipnotis pantulan prisma yang tak terduga. Jalanan kota perjuangan ini memang selalu hangat. Meski tak sehangat dulu saat wedhus gembel masih nyaman berkubang lava. "Keretamu nanti jam berapa?" tanya Perempuan itu, entah yang ke berapa. Lelaki ini hanya membalas dengan tawa, "nanti juga jumpa" sambungnya. Perempuan itu terlihat mempesona, dalam balutan cardigan abu. Kontras dengan rambutnya yang berwarna ungu. "Dingin ya?" tegur Perempuan itu sambil mengurangi suhu pendingin udara. Lelaki ini cuma tersenyum. Kecanggungan merayapi ruangan sempit itu. Seminggu terasa cepat sekali berlalu, menyisakan deru nafas memburu siang malam tak kenal waktu.

*
Lelaki ini masih menatapi gugatan aksara itu. Tidak lupa tapi tidak benar-benar ingat yang mana. Waktu adalah senjata yang ampuh, menggilas angkuh makhluk-makhluk fana. Tak terkecuali rasa. Dibukanya sebuah layar baru, lalu mulai menuliskan kata "Aku adalah sekarang, laluku mungkin sama dengan lalumu, tapi tidak kemana aku akan menuju".


Jakarta, 27062020




[1] Alam bawah
[2] Senjata para dewa
[3] Photograph, Ed Sheeran

Sabtu

Bukan salah waktu
jika punya banyak nama yang berulang
Mungkin itulah cara kita memberi nama
agar sesuatu yang berlalu dan tak bisa kembali
seolah datang lagi

Sabtu, J0620

Renjana nan cela


Hujan Di Bulan Juli

Riana memandangi saldo rekening di layar ponselnya. Senyum lebar mengembang di bibirnya. Sejenak ia menyenderkan tubuh di kursi kerjanya. Ia tak peduli orang lalu lalang di depan kubikelnya. Beberapa orang mengajaknya makan siang di kantin tapi Riana menolaknya. Ia terlalu bahagia hari ini jadi perutnya terasa penuh dan tak perlu diisinya.

“Hei, dari tadi kulihat kamu senyum-senyum sendiri nggak jelas gitu. Ada apa?” tegur Dina. Ia melongok dari belakang kursi Riana.

“Enggak kenapa-kenapa sih. Cuma aku lagi happy aja soalnya apa yang kumimpikan sejak lama akan segera terwujud,” jawab Riana.

“Ke Seoul?” bisik Dina.

“Heeh.” Riana membalikkan kursinya sehingga ia berhadapan dengan Dina.

“Jangan berisik, ya! Aku belum minta ijin sama Bu Tiur. Tahu sendiri kan Bu Tiur kayak gimana orangnya,” pinta Riana.

“Tenang, aku jagonya simpan rahasia penting,” ujar Dina.

“Besok aku mau ambil cuti. Urus visa. Mudah-mudahan semuanya lancar. Nggak sabar rasanya ketemu Bayu. Udah setahun ini kami cuma berbalas email. Dia terlalu sibuk untuk sekedar membalas chat-ku. Apalagi videocall. Aku ingin memberinya kejutan dengan tiba-tiba muncul di Seoul,” terang Riana bersemangat.

“Kamu nggak ngabarin Bayu dulu?” tanya Dina heran. Riana menggelengkan kepalanya.

“Gila, ya! Kalau misalnya pas kamu ke Seoul si Bayu-nya pergi ke kota lain atau pulang ke Jakarta, apa nggak sayang tuh uang dan  tenaga yang kamu habiskan selama ini?”

“Enggak mungkinlah! Bayu nggak akan pulang kalau kuliahnya belum selesai. Ia juga nggak bakalan main-main ke luar kota karena dia bukan tipe yang seneng jalan,” jawab Riana dengan yakin.

“Ya sudahlah, kudoakan semuanya lancar, ya.”

“Terima kasih,ya” ujar Riana.

Bagi Riana waktu sebulan itu rasanya terlalu lama untuk ditunggu. Ia tak sabar ingin segera memeluk Bayu, lelaki yang bertahun-tahun telah mengisi hatinya. Sayangnya sejak tiga tahun yang lalu, Bayu mengucapkan selamat tinggal kepada Riana karena ia akan melanjutkan kuliahnya di Seoul.

Riana sengaja memilih waktu bulan Juli untuk bertemu  karena pada bulan itu Bayu mendapat libur semester sehingga ia dan Bayu bisa menghabiskan waktu berdua lebih tenang tanpa mengganggu waktu belajar Bayu. Riana merasa bangga karena Bayu mendapat beasiswa untuk melanjutkan  S-2 ke Korea Selatan walau sebetulnya ia merasa kehilangan karena selama ini ke mana-mana mereka selalu berdua. Mulai dari berangkat sampai pulang kerja.

Mereka berdua merencanakan pernikahan apabila Bayu telah lulus kuliah. Semuanya telah direncanakan dengan matang oleh Riana dan keluarga Bayu. Riana tak sabar menanti saatnya nanti ketika ia dipersunting oleh Bayu.

“Jangan senyum-senyum sendiri, Non! Aku jadi takut. Ayo ke kantin dulu,  lapar nih,” ajak Dina sambil menggeser kursi ke kubikelnya.

“Ayuk, deh.”

Kali ini Riana tak bisa menolak permintaan temannya itu. Ia mengambil dompet dari dalam tasnya. Kemudian berdiri dan mengikuti langkah Dina menuju kantin. Bahagia mengiringi langkah Riana saat itu.

                                      ***

 

Siang itu cuaca sangat terik. Matahari menyinari bumi dengan segenap kekuatannya. Riana merasa seluruh langkahnya diberkahi karena cuaca cerah yang mendukungnya. Ia memasukkan barang bawaannya ke dalam koper besar yang baru saja dibelinya.

Tak lupa ia membawa beberapa jenis makanan kesukaan Bayu. Riana sudah membayangkan kalau Bayu akan lahap memakan makanan Indonesia yang dibawanya. Sepanjang siang itu Riana terus bendendang riang.

“Na, apa kopermu nggak overweight nanti? Bawaanmu kok banyak banget. Bawa apa saja, sih?” tanya mamanya Riana sambil memeriksa isi koper anaknya.

“Aku bawa makanan kesukaan Bayu, Ma. Lumayan, bisa buat stok juga. Mudah-mudahan sih nggak overweight.”

“Ya terserah kamu, Na. Cuma Mama heran aja, kenapa kamu nggak ngabarin Bayu sih?”

“Kan aku mau kasih surprise, Ma.”

“Mudah-mudahan Bayu bisa menerima surprise dari kamu, Na,” ujar Mama.

“Ah Mama, bukannya dukung aku malah ngomong kayak gitu,” balas Riana kesal.

“Mama kan cuma nanya, nggak ada maksud apa-apa kok. Semua kan harus dibicarakan dengan Bayu. Jangan sampai Bayu malah keganggu dengan kedatangan kamu.”

“Mama! Kok gitu sih? Dukung aja anaknya,” bentak  Riana kesal.

“Ya udah, Mama nggak akan ikut campur lagi.”

Mama keluar dari kamar Riana meninggalkan. Riana  kesal kepada mamanya. Ia merasa mamanya tega kepada dirinya, bukannya mendukung malah bicara yang tidak-tidak. Riana mengepak kembali barang-barang yang akan dibawanya.

                             ***

Riana duduk di bagian depan bis yang akan membawanya ke bandara Soekarno Hatta. Matanya menatap ke arah luar bis. Dalam pikiran Riana tergambar rencana-rencananya untuk menghabiskan musim panas bersama Bayu di Seoul. Ia sudah browsing di internet, beberapa tempat yang akan dikunjunginya berdua. Senyum Riana semakin mengembang ketika membayangkan kegembiraan yang akan dibaginya berdua.

Riana juga membayangkan kalau Bayu akan membicarakan rencananya ke depan menghabiskan waktu denganya. Membeli rumah bersama, memiliki anak dan menjalani masa depan bersama. Rasanya semua indah di mata Riana.

Entah kenapa tiba-tiba hujan turun membasahi bumi. Riana takjub melihat titik-titik air membasahi jendela bisnya. Selama musim kemarau beberapa bulan , inilah pertama kalinya hujan turun membasahi bumi.

Saat turun dari bis di terminal tiga Bandara Soekarno Hatta, Riana berhenti sejenak karena menikmati  aroma tanah yang tersiram hujan setelah sekian lama kering. Riana selalu senang dengan bau itu.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia membuka tasnya dan mengambil ponsel. Rupanya ada pesan dari Sean, teman kuliah  Bayu di Seoul.

Kok bisa nyambung gini? Apakah Sean yang meneleponnya ataukah Bayu yang meminjam ponsel Sean? Atau Bayu punya firasat kalau aku akan datang ke Seoul?

Riana masih ragu membuka pesan yang masuk. Ia takut Bayu mengetahui kalau ia akan datang ke Seoul. Riana berjalan ke arah tempat duduk yang berada di depan pintu masuk bandara. Ia duduk di kursi. Koper yang dibawanya diletakkan di sampingnya.

Berita duka cita

Telah meninggal sahabat kami Bayu Gemilang pada hari ini jam 9 pagi di Solo, Jawa Tengah. Jenazah akan dikebumikan pada jam ….

Seluruh persendian Riana terasa kaku. Ia tak sanggup lagi membaca pesan selanjutnya. Nafasnya terasa berhenti saat itu juga. Riana tak tahu apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Dunianya terasa berhenti seketika.

                                   ***

“Sudah sebulan ini Bayu pulang ke Solo. Ia di rawat di rumah sakit. Maafkan Ibu, Nak. Bayu melarang Ibu memberitahumu. Ibu bertanggung jawab penuh ke kantor karena merahasiakan kabar Bayu sakit.”

“Kenapa, Bu?” suara Riana serak mendengar penjelasan ibunya Bayu.

“Bayu tak ingin kamu sedih, Nak. Dia tak ingin membuyarkan mimpi-mimpimu. Dia sangat mencintaimu, Nak. Sekali lagi maafkan Ibu,” suara ibunya Bayu tercekat menahan tangis.

“Aku merasa dibohongi. Ibu tahu, saya mendapat kabar kalau Bayu pergi pada saat saya sudah di bandara lho, Bu. Saya mau mengunjungi Bayu di Seoul padahal ternyata Bayu sudah ada di Solo. Pikiran Ibu di mana? Salah saya apa, Bu?” Suara Riana bergetar menahan emosi.

“Maafkan, Ibu.”

Riana terduduk lemas di depan pusara Bayu. Hujan mengiringi kepedihan hati Riana. Ia merasa semua orang jahat kepadanya.

Satu per satu orang meninggalkan tempat pemakaman Bayu. Hanya Riana yang tertinggal di sana.

Semua mimpinya kandas begitu saja tanpa bekas. Yang lebih menyakitkan adalah ia sama sekali tak tahu tentang kondisi Bayu selama ini. Pantas saja selama ini Bayu tak pernah mau kalau diminta melakukan videocall dengan Riana.

“Kenapa, Bayu, kenapa?”  tanya Riana sambil terus menangis. Hanya sunyi di tengah rintik hujan yang menemani Riana.

                                        Selesai


Terkurung

Bertahun-tahun kau bebas

Kau bebas pergi ke mana pun yang kau inginkan

Kau bebas mendaki gunung dan menyeberangi lautan luas

Kau bebas pergi melintasi benua

 

Saat itu kau lupa berterima kasih

Kau lena dengan kebebasanmu

Kau abai akan kenikmatanmu

Kau nikmati semua dengan suka cita

 

Saat ini kau terkurung di dalam ruang

Tak bisa lagi kau nikmati kebebasanmu

Apa yang kau lakukan?

Kau sibuk berkeluh kesah tak karuan

 

Berapa lama kau bebas?

Berapa lama kau terkurung?

Kutanya sekali lagi

Apakah waktu bebasmu lebih sedikit daripada waktu terkurungmu

 

Ya, aku tahu jawabannya

Waktu bebasmu lebih banyak daripada waktu terkurungmu

Tapi kenapa kau selalu mengeluh atas apa yang tak kau dapatkan

Dan kau abai berterima kasih atas apa yang telah kau dapatkan

 

Depok, 14 Mei 2020


Berhentilah Sejenak

Berhentilah sejenak teman,
mungkin perjalananmu sudah terlalu jauh
penuh peluh

Bahkan engkau akan tertawa mengenang masa sedihmu yang dulu
di sini, di tempat yang akan membuatmu mudah untuk menguras ingatanmu
tentang banyak hal

Duduklah bersama teman masa lalumu
‎yang akan selalu hadir menemani tawamu

Tetaplah bersama
melawan rasa takut yang terlalu berani menghadangmu


Bogor, 21 Juni 2020

Aku, Ayu ...