(H)Utang

 

Suasana malam semakin hening. Hanya terdengar suara jangkrik yang terus bernyanyi di gelapnya malam Desa Kemuning. Aku menunggu kata pertama yang akan diucapkan oleh Mahmud, saudara sepupuku walaupun dalam hati aku sudah bisa menebak apa keperluan Mahmud mendatangi rumahku malam-malam begini. Upaya Mahmud membelah sepi dan gelapnya malam dari Desa Melati menuju Desa Kemuning adalah perjuangan yang lumayan berat.

“Anak-anak sudah tidur?” tanya Mahmud berbasa-basi. Ia sudah tahu kalau isteri dan anak-anakku sudah tidur semua di jam seperti ini.

“Sudah,” jawabku pendek.

“Mau minum apa? Kopi, teh?” Aku mencoba menawarkan minuman sebagai basa-basi untuk kepantasan percakapan dengan tamu.

“Nggak usah, Mas. Aku sudah ngopi tadi di rumah,” tolak Mahmud.

“Tumben malam-malam ke sini. Ada apa, nih? Keluarga sehat, kan?” tanyaku lagi.

“Alhamdulillah, sehat semuanya.”

Mahmud terdiam. Pandangannya menerawang ke atas langit-langit rumah. Aku pun terdiam, menanti ucapan Mahmud selanjutnya. Suara jangkrik terdengar semakin keras.

“Sebentar lagi kan tahun ajaran baru, Mas ….

Mahmud kembali terdiam. Sepertinya ia ragu untuk melanjutkan pembicaraannya. Aku masih menunggu ucapan Mahmud.

“Si Nabil dan Mitha harus daftar ulang, sedangkan jualanku lagi sepi ini karena ada toko perabot baru yang lebih lengkap di dekat Kantor Kecamatan. Banyak pelangganku yang pindah ke toko itu,” terang Mahmud.

“Berapa yang kamu butuhkan?” tanyaku akhirnya.

Kulihat wajah Mahmud berseri mendengar pertanyaanku. Mungkin pertanyaan itu yang diharapkannya keluar dari mulutku.

“Kalau boleh, aku mau pinjam tiga juta saja, Mas. Nanti kalau tanah warisanku terjual, aku akan segera mengembalikannya. Sekarang sih sudah ada beberapa peminat yang serius, Mas. Aku tinggal menentukan saja mau dikasih ke siapa tanah itu.”

Aku terdiam sejenak. Kupandangi wajah Mahmud yang sepertinya berharap sekali aku memenuhi keinginannya.

“Lagi pula kenapa sih kamu nggak nurut aja sama aku. Kamu itu harusnya memasukkan anak ke sekolah negeri, jadi kamu nggak bingung bayar SPP. Kalau setiap semester begini, kan kamu juga yang repot,” ujarku setengah mengomel.

Mahmud menunduk mendengar ucapanku. Melihat Mahmud seperti itu membuatku iba. Walaupun aku sering kesal dengan perilaku Mahmud, tapi aku sering merasa tak tega terhadap saudara sepupuku yang satu ini.

“Kalau soal uang, aku harus tanya isteriku dulu. Semua uang kami dia yang simpan. Jadi, aku nggak bisa menjanjikan apa-apa ke kamu. Belum lagi, kemarin isteriku nanya pinjaman kamu sebelumnya belum dibayar. Waktu itu kamu juga janji akan segera dibayar kalau motor kamu terjual. Sayangnya, motor kamu entah ke mana, utangmu ke aku nggak terbayar juga. Aku harus bilang apa sama Ranty? Padahal kami juga punya anak yang harus masuk kuliah nih bulan depan,” sambungku. Aku berusaha menolak secara halus permintaan Mahmud.

“Tolong banget, Mas. Kepada siapa lagi aku harus datang kalau bukan ke Mas,” ujar Mahmud dengan wajah dibuat memelas.

“Gini deh, aku bilang dulu sama Ranty. Nah kalau Ranty setuju, baru aku bisa kasih kabar. Sekarang pulang dulu, aku ngantuk. Besok aku harus pergi pagi-pagi, ada rapat guru di sekolah,”usirku.

“Iya, Mas. Aku pamit dulu. Sekali lagi aku minta kebaikan hati Mas untuk menolongku. Kali ini aku nggak ada ingkar janji,” ujar Mahmud.

“Jangan kebanyakan buat janji!” ujarku sedikit kesal.

Kalau kuingat entah berapa kali Mahmud melakukan hal yang sama kepadaku. Padahal dia tahu kalau aku itu tak memiliki banyak harta apabila dibandingkan dengan kakak kandung dan adik kandungnya. Ia lebih sering meminta bantuanku daripada kepada mereka.

Kulepas Mahmud di kegelapan malam. Setelah itu, aku kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu depan. Entah apa lagi alasan yang harus kusampaikan kepada Ranty agar ia bisa mengeluarkan uang tabungan kami. Terlebih yang meminjam uang itu adalah Mahmud, yang sering ingkar janji dan seringkali tidak mengembalikan uang yang dipinjamnya kepada kami.

                                                       ***

“Siapa yang bertamu malam-malam, Mas?”

“Lho, kirain udah tidur,” ujarku mendengar pertanyaan Ranty.

“Aku agak sulit tidur nih. Mahmud, ya? Mau minjem uang, kan? Tiga juta kan?” tanya Ranty seolah menerorku

Dugaan Ranti jarang meleset apabila ada tamu datang ke rumah. Ia bisa menebak apa maksud kedatangan tamu itu ke rumah. Terlebih kalau yang datang Mahmud, Ranty bisa memperkirakan apa keperluan Mahmud bahkan beberapa hari sebelum kunjungannya.

“Kok tahu?” tanyaku pura-pura kaget.

“Ya tahu aja. Soalnya aku ngecek berapa biaya daftar ulang di sekolah Nabil dan Mitha,” jawab Ranty.

“Hehehe, kamu itu tapi bener kok, tadi dia datang ke sini mau minjem uang sejumlah tiga juta. Kita ada uang segitu?” pancingku.

“Ada sih, Mas tapi kan kita juga butuh untuk biaya Amira daftar-daftar ke perguruan tinggi,” jawab Ranty.

“Kalau gitu, kasih aja separuhnya,” pintaku.

“Mahmud itu masih punya utang sama kita sejumlah empat juta rupiah lho. Kita belum ada deklarasi mengikhlaskan. Ini masih mau nambah utang lagi, gimana sih, Mas? Oke lah kita kasih setengahnya tapi kan sama aja nambah utang dia lagi. Kita ini bukan orang kaya, Mas. Nggak bisa lho dia terus menggantungkan pemenuhan kebutuhannya kepada kita. Kakak sama adiknya kan bisa juga dimintain tolong,” ujar Ranty dengan suara agak meninggi.

“Kasian lho si Mahmud itu. Usahanya lagi sepi.” Aku mencoba membujuk Ranty. Bagamana pun, Mahmud adalah saudaraku juga.

“Mas selalu begitu.”

Ranty membaring di tempat tidur dan membelakangiku. Akhir-akhir ini ia memang sering tak ramah kalau ada kunjungan dari saudara-saudaraku. Aku akui, banyak saudaraku selain Mahmud yang sering meminta bantuan kepadaku. Menurutku itu wajar karena aku dianggap orang yang paling bisa diandalkan. Sayangnya, itu membuat Ranty agak kesal.

“Jangan gitulah. Kalau kita bisa bantu, ya dibantu saja. Siapa tahu suatu hari kita yang butuh bantuan mereka,” bujukku.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Ranty. Aku tak tahu apa yang ada di dalam pikiran Ranty mendengar ucapanku.

“Mas, sebelumnya kita udah ngasih pinjaman ke Fauzi lho.” Ranty membalikkan badannya dan menghadap ke arahku.

“Lho Fauzi kan adik kandungku, wajar dong kita bantu. Waktu Si Neneng, sepupumu itu minta bantuan aja kita kasih, kan?” Aku agak kesal juga mendengar Ranty mengungkit bantuan yang diberikan kepada adik kandungku.

“Lho kok jadi bawa-bawa si Neneng, Mas?” tanya Ranty dengan kesal. Ia bangkit dari tidurnya.

“Kamu sih yang pertama bawa-bawa Fauzi,” timpalku.

“Mas itu hitung-hitungan kalau sama keluargaku.”

“Bukannya kamu yang sering hitung-hitungan kalau ada saudaraku yang butuh bantuan?”

Aku mulai marah dengan sikap Ranty. Kenapa ia bisa mengungkit apa yang sudah kuberikan kepada saudaraku sendiri.

“Berapa banyak kukeluarkan uang yang kusimpan sedikit demi sedikit untuk keperluan kita sendiri yang akhirnya diberikan kepada saudara-saudaramu. Apa pernah aku mempermasalahkannya?” tanya Ranty. Mukanya terlihat marah kepadaku.

“Lha barusan apa namanya kalau bukan mengungkit-ngungkit? Kamu itu memang perhitungan kalau sama keluargaku. Beda kalau yang minta bantuan keluargamu pasti kamu akan berikan walaupun jumlahnya banyak. Belum lagi sikap kamu yang sering nggak ramah sama keluargaku.”

Akhirnya aku tak tahan lagi. Aku mengeluarkan unek-unekku kepada Ranty. Kulihat wajah Ranty memerah. Air mata mulai jatuh di pipinya. Saat itu aku agak menyesal juga mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati Ranty tapi rasa ego mencegahku meminta maaf kepada Ranty.

“Mas kok gitu sama aku? Gara-gara si Mahmud kenapa Mas jadi marah sama aku?”

Tangis Ranti pecah. Ia kembali berbaring dan membalikkan badannya membelakangiku. Aku bingung harus berbuat apa. Ketika tanganku hendak membelai rambutnya, egoku mencegahnya.

Akhirnya aku juga membalikkan badan saling memunggungi. Percakapan selesai sampai di situ. Aku cegah diriku membalas ucapan Ranty. Malam itu berlalu dengan perasaan dingin di hatiku. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh Ranty. Kemarahan kami berdua terbawa ke alam mimpi.

                                                            ***

Pagi-pagi ketika aku hendak berangkat ke sekolah, Ranty sudah tak ada di kamar. Kucari ke seluruh sudut rumah, tak kutemukan sosok yang telah menemaniku selama dua puluh tahun itu. Kubuka tudung saji di meja, tersaji sepiring nasi goreng dengan sebuah telur ceplok di atasnya.

“Mama ke mana, Mi? tanyaku kepada Almira yang sedang mencuci piring.

“Nggak tahu, Pa. Tadi pagi udah rapi tapi nggak bilang mau pergi ke mana,” jawab Amira sambil terus mencuci piring.

Ponsel yang kupegang berbunyi. Ada pesan masuk yang ternyata dari Ranty.

Mas, Aku mau pulang ke rumah Ibu dulu. Biarkan aku tenang beberapa hari. ATM kusimpan di meja kerjamu. Silakan kamu beri pinjaman ke Mahmud atau siapa pun. Mau dihabiskan pun uang yang ada di ATM, silakan. Jangan telepon atau kirim pesan. Aku akan pulang sendiri kalau pikiranku sudah tenang.

Aku tak tahu harus berkata apa. Sekesal apa pun aku kepada isteriku, tak pernah sedikit pun terpikir olehku untuk meninggalkannya. Membaca pesan dari Ranty, aku merasa sedih.

“Kenapa, Pa? Kok sedih begitu?” tanya Almira.

“Mama ke rumah Nenek,” jawabku.

“Ya biarin aja, Pa. Kan Nenek itu ibunya Mama, wajar dong Mama pengen nengok,” ujar Almira polos.

Assalamualaikum

Walaikum salam

Dari pintu belakang muncul Mahmud dengan muka yang penuh harap. Ia tersenyum ke arahku.

“Belum berangkat, Mas?” tanyanya.

Aku hanya menatap mukanya dengan kesal.

Bagaimana Mas? Mbak Ranty sudah ngasih kan uangnya?” Aku melotot kepada Mahmud.

“Pulang sana. Jangan pernah balik lagi ke sini. Pikirkan saja urusanmu sendiri!” teriakku sambil menyeret Mahmud ke pintu. Setelah itu kututup pintu dengan keras. Almira hanya melihatku dengan pandangan heran.

                                                          ***

Depok, 11 Juni 2020

R.I.N.D.U

 I miz u soo bad”, ujarmu lalu memelukku erat.

I miz u even more,” aku melepas peluk lalu menatap wajahmu dalam. Ah, tak ada yang berubah, kecuali guratan halus yang samar terlihat di sekitar wajahmu. Lalu kita saling menatap dalam dengan senyum penuh kerinduan. Lagi-lagi, aku masih menemukan hal yang tak pernah berubah, pandangan sayangmu.

How’s life?”, keingintahuanmu terdengar jelas saat melontarkan tanya itu. “Is everything alright?”, tak sabar kau mengejarku lagi dengan pertanyaanmu, kali ini dengan nada khawatir yang kau coba sembunyikan.

“Aku tau kau jawaban apa yang kau harapkan,” aku berujar dalam hati.

Lalu aku mengangguk sambil tersenyum, “Alhamdulillah, as you see, I’m pretty good”, aku berusaha keras menunjukkan raut bahagia di wajahku.

“Owh, syukurlah. Be a good girl ya,” kau mengusap lembut pipiku. Aku dapat merasakan betapa kau sangat merindukanku.

A girl?”, aku terbelalak, dan baru akan melanjutkan, “I am not ...” ketika kau dengan sigap meletakkan telunjukmu di bibirku sambil berkata, “Hey, for me, you will always be a girl”, lalu kau terbahak dan mengusap pelan kepalaku.

Ya, meskipun usia kita hanya terpaut 1 tahun beberapa hari, namun kau selalu menganggapku seperti seorang anak perempuan yang selalu ingin kau manjakan.

Sepertinya aku baru menikmati tawamu beberapa detik ketika tiba-tiba kau berkata,” I should go,” lalu mengecup keningku hangat sejenak sebelum kau dengan tergesa berbalik, melangkah cepat, dan berlalu.

Ada ratusan kata yang ingin kuucapkan, namun tak satupun yang mampu kusuarakan. Aku hanya diam menatapmu menjauh, berharap kau berubah pikiran lalu berbalik berlari kearahku, mendekapku erat dan membisikan kata, “Go with me ...”. Aku mematung, memandangi sosokmu yang semakin menghilang bersama butiran air mata yang mulai luruh.

***

Aku terisak, merasa sangat sesak, lalu terbangun dalam kegelapan malam.

 

 

 

MENGEREK BENDERA

Aku mengerek bendera,

Naik menggapai atap dunia,

Di balik silau sang surya,

Diiringi lamat-lamat berita durja,


Aku mengerek bendera,

Meraih temali menyusuri tiang tinggi,

Tercekat nada rintih air mata,

Berkibar setengah lalu terhenti,


Aku terus mengerek bendera,

Memaksa sekuat daya,

Acuhkan peluh tak reda,

Turun gemericik seirama Indonesia Raya,


Dua orang datang membawa seka,

Berhitung satu, dua, tiga,

Bersama mengantarkan sang saka,

Melihat merdeka dari atas sana.


Kami mengerek bendera.


(Ekpan, 17 Agustus 2020)

Ibu

 Ibu, apa kabar?

Sehatkah di sana?

Apakah Ibu merindukanku?

Seperti aku di sini yang sangat merindukanmu


Aku rindu belaianmu

Aku  rindu semua pertanyaan-pertanyaanmu

Aku rindu masakanmu

Aku rindu kemarahanmu


Ibu, maklumi aku

Hanya Bisa bersapa lewat untaian kata

Lewat layar yang membisu tanpa rasa

Yang sering tak ramah karena tak ada sinyal dan pulsa


Ibu, maafkan aku

Tahun ini sungguh kelabu

Aku terkurung tak berdaya

Tertahan dalam ketidakpastian


Ibu, tersenyumlah

Doakan aku dan seisi penghuni bumi

Agar bisa tabah menjalani semuanya

Agar tetap berjuang dan bertahan


Ibu, tak ada kata yang sanggup melukiskan

Betapa aku khawatir

Betapa ku resah

Dengan keadaan yang membingungkan ini


Ibu, hanya doa yang bisa kupanjatkan

Agar kau selalu sehat dan kuat

Untuk  menyambutku di depan pintu

Ketika semua ketidakpastian ini berakhir


Ibu, bersabarlah

Semuanya hanya ujian yang semakin merekatkan tali kasih kita

Kuingin bumi kembali ceria

Agar aku bisa berlari ke pelukanmu dengan canda dan tawa



Puisi ditulis pada bulan Maret 2020



TEMAN NGOBROL

Suasana masih gelap gulita ketika aku turun dari mobil yang mengantarku sampai di lobi kantor tempatku bekerja. Aku melangkah masuk melewati pintu yang terbuka dengan sendirinya tanpa harus kupencet tombol atau pun kubuka dengan tanganku. Belum ada seorang pun yang hadir di lobi. Hanya ada seorang satpam yang baru bersiap berjaga di meja resepsionis.

Aku mengambil kunci ruangan yang tergantung di bawah meja resepsionis. Kutuliskan namaku di buku sebagai tanda bahwa aku telah mengambil kunci ruangan. Aku masuk ke dalam lift sendirian. Suasana gelap terpampang di depanku ketika lift terbuka. Kepalaku menoleh ke kiri dan ke kanan. Aku sendiri tak tahu kenapa kepalaku harus menoleh ke kanan dan ke kiri seperti seorang pencuri yang sedang memastikan keadaan sekeliling aman dan terkendali.

Aku duduk di sofa yang berada tepat di depan kubikel. Angin dingin pagi menyentuh lembut tubuh ketika kubuka jendela agar sinar mentari bisa leluasa menyentuhku. Sejenak aku terdiam tanpa ada niat menyalakan lampu. Aku masih ingin termenung memikirkan apa yang akan kukerjakan sepanjang hari ini di kubikel.  

Pertanyaan rutin muncul dalam hatiku, apakah aku bisa berkontribusi sepanjang hari ini ataukah aku hanya jadi parasit yang duduk diam di kursi empuk dengan fasilitas modern terkini yang selalu setia menemani hari-hariku di kantor. Tak kutemukan jawaban yang pasti, hanya sebait doa yang bisa kulantunkan agar aku bisa bekerja dengan baik sehingga tak ada rasa malu ketika aku berdiri di depan ATM, mengambil uang gaji bulananku.

Kutatap jam dinding yang tak pernah bosan tergantung di dinding ruang kerjaku. Saat itu, baru ku sadar kalau aku berada di kantor terlalu pagi. Untuk melaporkan kehadiran pun masih belum diperbolehkan. 

Tiba-tiba Donita, teman kerja dari ruangan sebelah muncul di hadapanku. Wajahnya terlihat ceria. Kami berdua larut dalam obrolan seru. Setelah beberapa saat, datanglah Sarah dan Indah yang muncul dari pintu kaca ruang kerjaku. Berempat kami larut dalam obrolan seru. Kami tertawa bersama sehingga membuat suasana pagi itu sangat ceria.

"Aku balik ke ruangan dulu, ya. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan," pamit Donita sambil berdiri dan meninggalkan kami bertiga.

Aku mengiyakan. Tinggallah kami bertiga bercengkrama. Tak berapa lama kedua temanku pamit kembali ke ruangannya masing-masing. Setelah keduanya pergi, rasa kantuk menyerangku. Kupikir tak ada salahnya aku tidur sejenak karena hari masih pagi. Kurebahkan badan di sofa panjang yang empuk. Betapa indahnya duniaku saat itu.

                               *** 

Alarm ponselku berbunyi dengan kencang pertanda aku harus bangun. Aku membuka mata dan melihat sekeliling, ternyata suasana masih sepi, tak ada seorang pun yang berada di ruangan. Cahaya mentari sudah tak malu-malu lagi muncul dan menerangi bumi. Aku masuk ke dalam kubikel dan menyalakan komputer. 

Ponselku berdering. Ternyata Donita yang menelepon.

"Halo Rika, aku lagi di tukang bubur ayam nih, kamu mau? Biar kubeliin," ujar Donita.
 "Bubur yang di mana? Kantin bawah?"tanyaku.
"Bukan. Tukang bubur ayam yang mangkal di depan tempat kos-ku,"jawab Donita.
"Cepet banget gerakanmu, tahu-tahu udah balik ke kos-an aja," godaku.
"Maksudnya apa, ya? tanya Donita. Suara Donita terdengar heran atas ucapanku.
"Tadi kan kita masih ngobrol di ruanganku. Tiba-tiba sekarang udah balik ke kos-an buat beli bubur ayam."
"Aku baru mau berangkat ke kantor, lho," ujar Donita.
"Lha, emangnya aku tadi ngobrol sama siapa? Bercandanya jangan kelewatan, ah," tukasku.
"Aku baru keluar dari kos-an lho. Terus mau mampir ke tukang bubur ayam."
"Beneran kamu belum ke kantor?" tanyaku mulai panik.
"Bener, aku belum ke kantor," jawab Donita memastikan.

Aku menelepon Sarah dan Indah untuk memastikan kalau aku memang mengobrol bersama mereka. Bulu kudukku berdiri ketika mereka menjawab bahwa mereka berdua masih berada di atas bis menuju ke kantor. 

Aku keluar dari kubikel. Kuintip ruang sebelah dari kaca pemisah. Kulihat Pak Sena sudah datang dan sedang menatap komputernya. Perasaanku lega karena akhirnya ada orang lain yang menemani.

Aku berjalan keluar dari ruanganku. Rasanya aku perlu menghirup udara segar. Aku masih belum bisa berpikir tenang dengan kejadian tadi. Aku berjalan menuju lift tanpa ada keinginan menoleh ke belakang.  Mukaku pucat ketika lift terbuka. 

"Selamat pagi, Mbak! Rajin banget pagi-pagi sudah di kantor."


Aku berbalik. Tak ada sepatah pun kata yang keluar dari mulutku. 

"Kenapa, Mbak?" tanya Pak Sena ketika melihatku membalikkan badan. 

Suaranya membuatku ketakutan. Pikiranku buntu. Badanku lemas. Entahlah, apakah saat ini aku berada di dunia nyata atau di dunia lain. Aku ingin lari tapi sendi-sendiku terasa lemas  dan membuatku  tak berdaya.

Jakarta, 6 Agustus 2020

 

Ayat Tanpa Huruf, Tanpa Harakat

Dalam mimpi ku menyelingar
Terlahir sebagai pelukis langit
Yang menjadikan awan sebagai kanvas
Menggambar rasa pada setangkai mawar
Kuntum, mekar, kembang, harum, semerbak, menguning, dan layu

Kau, pun juga aku saling asing
Bak bisu menyenandung sunyi
Memilih lantai sebagai teman
Menanam rasa hingga berkecambah
Menguntum, menjadi sekelopak bunga

Siang itu, pada temanku kau titipkan tanya
Tentang satu jari yang menanti puan
Yang membuat malamku seketika panjang, menduga-duga
Kau kah si penanya?
Ah Tuhan, Kau senang bercanda

Lama sekali kuntum menjadi mekar
Hingga suatu senja di penghujung tahun
Tatkala kudapati jawabmu di dermaga
Saat ku tanya mengapa
Aku sudah menantimu selama ini

Hari berlalu berganti minggu
Minggu perlahan bertukar bulan
Mekarnya mawar indah mengembang
Lamat-lamat kuamati cincin di jemari
Inikah makhluk yang dicipta langit dari rusuk ku?

Kini, perahu penantian perlahan menambat
Pada sebuah dermaga suci bernama sakinah
Berkata tetua, ruqiyah adalah ayat telinga
Sedang istri, ayat hati sang suami
Ialah ayat, tanpa huruf, tanpa harakat



Jakarta, 28 Juli 2020

-----

https://drive.google.com/file/d/1cEUQzDAnwslFDzx1BZfLmIkP88eTZR-y/view?usp=sharing

Satu Dasawarsa


Takbir Kemenangan


Photo: @qbayyinah

Tiada yang lebih indah
Selain lantunan Takbir kemenangan
Terucap dari lisan manusia beriman
Yang hanya mengharap keridhoan Tuhan

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا
"Sungguh, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata."

Tiada  yang lebih indah
Selain sebuah pemandangan
Bershaf-shaf umat dalam lautan barisan
Menggemakan Takbir kemudian sujud dalam kekhusyukan

Tiada yang lebih indah
Dari lelahnya para juru dakwah
Dibalasnya ia dengan pahala berlimpah
Dan syurga yang dijaminkanNYA

Tiada yang lebih pedih
Dari letihnya para penebar kebathilan
Tersia-sia atas segala perbuatan
Untuk memadamkan cahaya Islam
وَٱلَّذِينَ كَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا وَلِقَآءِ ٱلْءَاخِرَةِ حَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْۚ هَلْ يُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

"Dan orang-orang yang mendustakan tanda-tanda (kekuasaan) Kami dan (mendustakan) adanya pertemuan akhirat, sia-sialah amal mereka. Mereka diberi balasan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."

Dan hanya kepada Tuhan Semesta Alam
Semua dikembalikan.


Gunawan/25072020