Desember Yang Mencekam

 


Langit kali ini menghitam

Seolah siap menerkam insan yang terkurung di padatnya jalanan

Bersahutan bunyi klakson kendaraan roda empat

Berebut tempat agar dapat secepatnya berada di depan

 

Saling sikut dan senggol hal yang biasa

Tak ada perasaan bersalah

Seringkali umpatan tak terhindarkan keluar dari mulut insan yang depresi

Tak tahan menanggung kesal yang tak berujung

 

Aku hanya bisa terdiam tak berdaya terkurung di balik kaca

Lengkingan klakson yang bersahutan seolah alunan nada yang sanggup memecahkan gendang telinga

Aku hanya berdiam dalam gelisah

Sesekali badanku bergerak ke kiri dan ke kanan

 

Semakin lama perasaan tak nyaman menggerogoti kewarasanku

Ku mulai berteriak dan menangis

Rasanya ku ingin terbang melintasi benda-benda berjendela itu

Yang semrawut berdesakan di atas aspal basah 

 

Akhirnya air deras mengucur dari langit

Membuatku semakin panik

Dingin seketika melanda sekujur tubuhku

Desember kali ini sungguh kejam melumatku dalam beku

 

Keringat dingin mengucur di dahi

Keresahan semakin melanda

Suasana mencekam semakin nyata

Inilah yang selalu kutakutkan ketika Desember menghampiriku

 

Entahlah kepada siapa ku harus meminta pertolongan

Kegelisahan semakin mendera

Tak hentinya kuusap peluh yang terus bercucuran

Bagaikan air terjun yang turun dalam tubuhku yang membeku

 

Tanpa kusadari pahaku terasa hangat dijalari air

Rok yang kupakai seketika basah

 Bau pesing menyengat di dalam kotak tertutup yang dingin itu

Aku pun bisa bernafas lega

 

Jakarta, 16 November 2020

Jiwa dan Raga Yang Tak Selaras

 

Bulan Desember tahun lalu,

Ku pernah bersumpah

Ku akan selalu mengungkapkan apa  yang sebenarnya ada di dalam hatiku

Aku akan jujur

 

Desember kali ini,

Aku berkata iya padahal kuingin berkata tidak

Aku berkata tidak padahal kuingin berkata iya

Aku berkata suka padahal aku benci

 

Desember kali ini,

Ragaku tetap sama

Tak sanggup ku keluar

Dari belenggu rasa tak nyaman di jiwa

Yaa Rabbanaa

Code blue

Code blue

Ruang perawatan anak


Seketika suara dari alat pengeras suara ruangan memecah kesunyian


Para petugas medis berlarian menuju lokasi yang dituju

Aku hanya terpaku menatap gerak langkah cepatnya

Untaian doa melesat dari bibir, "semoga semua dalam keadaan baik-baik saja."


Beberapa menit kemudian suasana kembali hening 


Hingga terlihat kembali para petugas medis yang tadi berjalan bahkan berlari tergesa


Aku memberanikan diri menanyakan apa yang terjadi kepada salah satu petugas medis

Jawabnya, "satu pasien anak-anak yang sedang dalam perawatan tetiba berhenti detak jantungnya."


Lemas kakiku

Berdebar jantungku

Tak kuasa ku menahan air mata


Ya Rabbanaa....

Mimpi Buruk Karenina

 

Fitra membuka sebuah amplop yang sedang dipegangnya. Matanya terpusat pada satu tulisan besar yang berada di tengah kertas. Kekesalan tergurat jelas di wajahnya. Kemudian kertas itu diremasnya.

Tak ingin berlama-lama di bangunan sekolah bertingkat itu, Fitra melangkah keluar dari sekolah itu. Langkahnya cepat karena menahan kekesalan.

Sesampainya di tempat parkir Fitra masuk ke dalam mobilnya. Ia tidak langsung menyalakan mesin mobilnya melainkan duduk di depan setir. Kemudian ia membuka tasnya dan mengambil ponsel. Dicarinya sekolah-sekolah dasar yang dipikirnya bisa mendaftarkan Karenina, anaknya.

Sudah setengah jam lebih, Fitra berada di dalam mobilnya, namun belum ada satu pun sekolah yang menurutnya cocok untuk Karenina. Dari mulai waktu pendaftaran yang sudah selesai, lokasi yang jauh dari rumahnya sampai biaya yang terlalu mahal baginya.

Perasaan stres mulai menyerang pikiran Fitra. Ia bingung harus ke mana lagi mencari sekolah untuk Karenina. Akhirnya Fitra memutuskan akan mendatangi sebuah sekolah swasta yang letaknya agak jauh dari rumahnya. Ia menjalankan mobilnya meninggalkan gedung megah sekolah itu.

“Selamat pagi, Bu!”  Fitra menyapa seorang perempuan setengah baya yang sedang duduk di sebuah ruangan.

“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” jawab perempuan itu dengan ramah.

“Saya ingin mencari informasi pendaftaran masuk ke sekolah ini, Bu,” ujar Fitra.

“Silakan duduk, Bu!”

Fitra duduk di depan perempuan itu. Ia mulai berbicara tentang kemungkinan anaknya bersekolah di sekolah yang menurut banyak orang adalah sekolah yang paling bagus di daerah tempat tinggalnya. Sayangnya semakin lama ia mendengarkan perkataan perempuan dihadapannya, ia semakin pusing.

“Biaya masuknya sekitar empat puluh juta dan SPP-nya adalah dua juta per bulan. Ibu bisa mendaftarkan anaknya sekarang kemudian lusa bisa ikut tes masuk.”

Fitra tak tahan lagi berada di situ. Ia tak membayangkan mengeluarkan uang segitu banyak untuk pendidikan di sekolah dasar. Belum lagi biaya bulanannya. Gaji Fitra dan Tommy, suaminya akan habis untuk biaya sekolah, transportasi dan cicilan-cicilan saja. Tak akan tersisa untuk makan sehari-hari. Belum lagi tanggungan keluarga mereka berdua. Fitra bergidik membayangkannya.

“Saya pikirkan dulu ya, Bu,” ujar Fitra dengan lemas.

“Ini kesempatan terakhir, lho. Besok pendaftaran sudah kami tutup,” jawab perempuan itu.

“Iya, Bu. Saya permisi!” Fitra pamit setelah bersalaman dengan perempuan itu.

Sampai ia mendatangi sekolah yang keempat, barulah Fitra merasa telah menemukan sekolah yang cocok bagi Karenina. Sayangnya, ia tak dapat memutuskan sendiri. Fitra harus melibatkan Tommy untuk mengambil keputusan. Baginya yang penting adalah ia sudah menemukan calon sekolah bagi Karenina.Itu sudah membuatnya sedikit lega.

                                      ***

“Tom, masak sih Karenina bisa nggak lolos masuk sekolah negeri favorit,” ujar Fitra kesal.

“Ya nggak apa-apa dong. Emang harus ya lolos masuk SD favorit?” tanya Tommy dengan tenang.

“Bukan begitu, Tom. Aku nggak terima aja. Karenina itu cerdas lho. Bahkan waktu di TK, gurunya sering memuji Karenina. Dia juga udah pinter baca,” timpal Fitra.

“Nggak boleh lho masuk SD pake tes. Di TK juga seharusnya nggak perlu diajarin baca tulis,” ujar Tommy.

“Iya sih, tapi kan kita harus mempersiapkan pendidikan Karenina sejak dini, Tom. Biar nanti dia bisa masuk sekolah lanjutan yang bagus.”

“Kali aku nggak sependapat, Fit. Kupikir sih nggak perlu lah Karenina belajar di sekolah favorit dulu. Aku malah pengen masukin Karenina ke sekolah negeri yang di sekitar sini aja,” ujar Tommy.

“Maksudmu SD Melati gitu? Ya ampun Tom, tega banget sih mau sekolahin Karenina di situ. Bangunannya aja jelek gitu mana tempatnya kumuh pula,” tukas Fitra.

Fitra merasa kaget mendengar usul Tommy untuk menyekolahkan anaknya di SDN Melati. Tak ada seorang pun penduduk kompleks perumahan yang mereka tinggali bersekolah di SDN Melati. Kebanyakan anak yang bersekolah di situ adalah penduduk perkampungan yang berada di sekitar tempat tinggal mereka.

“Lho memangnya kenapa?” tanya Tommy masih dengan suara yang datar dan tenang.

“Karenina, Tom. Anak kita satu-satunya sekolah di tempat yang jorok. Kasihan dong,” jawab Fitra dengan kesal.

“Ah menurutku semua sekolah sama aja. Apalagi masih tingkat dasar, pelajarannya pasti sama.”

“Tom, aku nggak setuju! Kasihan Karenina.”

“Kasihan Karenina atau kasihan kamu sendiri?”

“Maksudmu apa, Tom?”

“Sebenarnya yang kamu kasihani itu adalah dirimu sendiri, bukan Karenina. Menurutku sih Karenina akan senang sekolah di mana pun. Yang penting baginya adalah memiliki teman bermain ….”

“Kamu kok menentang aku memberikan yang terbaik bagi anak kita sih!”

Suara Fitra terdengar parau bercampur dengan tangisan yang tertahan di matanya. Ia merasa Tommy tak menghargai upayanya untuk mencari sekolah yang bagus bagi Karenina. Ia merasa telah mengorbankan waktu dan tenaganya demi mencari sekolah. Ia rela mengambil cuti dari kantor padahal ia sebenarnya ditugaskan ke luar kota oleh atasannya. Ia tolak semua itu demi Karenina.

“Gini deh, untuk sekolah dasar, beri aku kesempatan untuk memilihkan sekolah untuk Karenina. Kalau misalnya Karenina tidak senang dengan sekolahnya, maka bolehlah kamu memindahkan Karenina ke sekolah yang bagus menurutmu,” ujar Tommy.

“Tom, kamu kok ngotot sih?” tanya Fitra.

“Lha bukannya kamu juga ngotot?” Tommy balik bertanya.

“Bukan gitu, apa kamu nggak kepengen Karenina tumbuh cerdas dan pintar sehingga nanti dia nggak kesulitan masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi,” terang Karenina. Ia mencoba mempertahankan keinginannya.

“Pengen banget, Fit. Pengen. Satu hal yang perlu kamu ketahui, aku punya alasan kuat menyekolahkan Karenina di SDN Melati adalah biar Karenina punya pengalaman hidup yang berwarna. Ia bisa melihat kehidupan lain. Bukan hanya kehidupan yang didapatnya sekarang. Aku ingin Karenina jadi anak yang tangguh dan juga anak yang peduli dengan sesamanya,” jelas Tommy.

Fitra terdiam sejenak mendengar penjelasan Tommy. Ia tahu maksud Tommy baik tapi ia berpikir apakah sekolah seperti itu tepat untuk Karenina.

“Kalau Karenina di-bully gimana?”

“Di sekolah bagus pun sering ada bullying juga, kok.”

“Tom, please!

“Kali ini aku akan bertahan, Fit,” ujar Tommy ngotot.

“Mama, Papa, kok bertengkar sih?”

Tiba-tiba Karenina muncul di depan mereka berdua. Karenina mengucek-ngucek matanya. Kemudian ia duduk diantara Fitra dan Tommy.

“Karenina kok bangun, sih?” tanya Fitra.

“Karenina mimpi buruk, Ma.”

“Mimpi apa?” tanya Fitra sambil mengusap kepala Karenina.

“Mama dan Papa bertengkar,” jawab Karenina polos.

“Karenina, Mama dan Papa nggak bertengkar kok. Mama dan Papa sedang membicarakan tentang sekolah Karenina setelah dari TK,” ujar Fitra lembut.

Tommy memberi isyarat kepada Fitra agar tidak membicarakan masalah sekolah kepada Karenina. Fitra merasa inilah kesempatan yang bagus untuk mengungkapkannya kepada Karenina.

“Karenina suka kan sekolah yang gedungnya bagus, ruangannya bersih dan temannya yang baik-baik?” tanya Fitra.

“Suka, Ma,” jawab Karenina.

“Kalau sekolah dekat, temannya lebih banyak suka ngga, Nak?” tanya Tommy.

“Karenina juga suka, Pa.”

“Tommy!” bentak Fitra.

“Biar Karenina yang memilih, Fit. Dia pasti tahu lah yang baik untuknya,” balas Tommy.

“Karenina masih kecil, Tom!” balas Fitra.

“Ma … Pa, kok jadi ribut gara-gara Karenina sih?” tanya Karenina polos.

“Nggak kok. Mama sama Papa nggak ribut,” ujar Fitra dengan lembut.

“Gini deh, Papa mau tanya. Karenina mau sekolah di pilihannya Mama atau Papa?”

“Tom, masak Karenina dibawa-bawa ke masalah ini sih. Harusnya kita yang menentukan untuk kebaikan Karenina,” tukas Fitra.

“Ya nggak apa-apa dong biar Karenina udah dibiasakan ngambil keputusan sejak dini,” balas Tommy.

“Karenina, bagaimana jawabannya?” tanya Tommy lagi.

“Karenina bingung, Pa.”

“Tuh kan anaknya bingung. Kamu sih. Udah masuk sekolah yang kucari tadi siang aja!” pinta Fitra.

“Enggak dong! SDN Melati dekat. Kita jadi nggak khawatir,” balas Tommy.

“Nggak bisa, aku nggak mau anakku masuk sekolah negeri!” balas Fitra.

“Lha kamu juga kan produk sekolah negeri, Fit.”

“Tapi aku nggak mau anakku masuk sekolah negeri!”

“ … “

“ … “

Karenina hanya bengong melihat perdebatan kedua orang tuanya. Ia juga tak mengerti apa masalah perdebatannya. Ia pun tak tahu apa yang harus dilakukannya. Akhirnya ia meninggalkan kedua orang tuanya yang terus berdebat dengan suara yang sama-sama kerasnya. Karenina berpikir kalau mimpi buruknya itu ternyata menjadi kenyataan malam ini.

Lelaki Ini dan Perempuan Itu dan Kenangan Tersisa Abu

Perempuan itu berdiri, gelisah. Sejuknya pusat perbelanjaan mewah ini tak juga menenangkan hatinya. Terlihat sekali usaha kerasnya terlihat biasa. Mondar-mandir tak tentu arah. Membuang senyum menjawab sapa pramuniaga. Lelaki ini menatapinya dari jauh. Sudah 5 menit berlalu dari janji temu, tapi dia berusaha memastikan dulu. Pahatan memori bertahun lalu masih lengkap liku ukirnya. Perempuan itu dengan kuncir kuda dan ransel biru muda, kikuk menapaki dunia dewasa penuh serakah. Kasat mata tak banyak yang berubah. Tapi lelaki ini terlalu perasa untuk tak menduga. Perlahan didatanginya perempuan itu. "Assalamu'alaikum", salamnya lirih. Hanya sejengkal di belakang telinga. Perempuan itu terlonjak, menoleh untuk memastikan. "Wa'alaikumussalaam..." jawabnya setengah tercekat. Sedetik jeda sebelum lelaki ini memeluknya, diantara tatap praduga. Perempuan itu membalasnya. Sejenak tersengat karena ini kali pertama sepanjang persahabatan mereka. "Gaya bener lu ngajak ketemuan disini" seloroh perempuan itu menutupi jengah. Lelaki ini terbahak. "Kan elu masih jetlag kebanyakan keju, kalo gue ajak di warung indomie ntar mules lagi" balas lelaki ini tangkas. Lalu mereka tergelak. Ingat masa-masa dimana warung indomie adalah kemewahan yang hakiki. "Cari makan  yuk" lelaki ini memecah suasana. "Masakan itali doyan kan lu? gue punya resto itali favorit disini" lanjut lelaki ini sambil sedikit menarik tangan perempuan itu. Perempuan itu menatap aneh lelaki ini. Sekilat cemburu membersit di matanya. "Gue cewek ke berapa yang lu ajak kesini?" selidiknya. Gelak lelaki ini kembali pecah. Memalingkan beberapa kepala yang ingin tahu kenapa.

***

"Hidup gue hancur" perempuan itu memulai ceritanya. Sisa-sisa salad di piringnya diaduk tak tentu arah. Lelaki ini terkesiap. Tak tahu bagaimana meresponnya. Perlahan disodorkannya tisu untuk menahan titik-titik yang mulai tumpah. Perempuan itu dan lelaki ini sudah bersahabat lama. Persahabatan yang hampir sama tuanya dengan separoh hidup mereka. Tidak ada rahasia di antara mereka, kecuali mungkin rahasia hati yang tak jua mau jujur dibuka. Masih terbayang acara pernikahan yang mewah di gedung yang megah. Wajah-wajah sumringah, penuh cinta dan suka cita. Tak dinyana, bahkan sebelum hari H, sang suami sudah mendua. Lelaki ini bahkan sudah merasa, ada yang tak biasa di pemandangan mata. Tapi suka cita dan bahagia perempuan itu lebih bermakna dibanding rasa yang disangka cemburu semata.

***

Hentakan irama musik menghanyutkan segala lara. Melupakan sejenak duka dan luka. Perempuan itu meluapkan segalanya. Menikmati menit-menit terbebas dari segala nestapa. Merayakan rasa yang dulu dianggap salah. Pun, lelaki ini. Semua tertumpah. Lupa sudah masa-masa yang terjaga. Yang ada hanya sir panas membakar semua etika.


***

"I miss you", lelaki ini mengadu khilaf. Lama. "I don't", balas perempuan itu. Lelaki ini tersenyum. November ini hujan lagi. Setahun? dua tahun? entah sudah berapa lama. Tidak ada tanda-tanda dimana perempuan itu berada. Lelaki ini pun tak memaksa. Ikatan itu sudah cerai berai, tak mungkin dipintal ulang atau sekedar direntang. Benar adanya, semua datang dan pergi, memberi arti yang mungkin sulit untuk dipahami. Tidak ada yang menetap pasti, kecuali takdir yang berjanji.


Jakarta, 06112020


Kangen Emak ...

 

Tuhan Mengambil Dengan CaraNya


Satu per satu diambilNya

Apa yang masih lekat dalam dirimu

Semata karena kasih sayangNya

Untuk orang yang merindu


Beratmu akan terasa ringan
Bila kau ikhlas melepaskannya
Sadar semua hanya titipan
Suatu saat diambil pemilikNya

Milikmu bukanlah sepenuhnya punyamu
Itu hanya rasa yang membelenggu
Fikirmu dipengaruhi perasaanmu
Jangan sampai semua itu mengganggu

Lepaskan dengan ikhlas
Pintu-pintu akan terbuka
Aliran cahaya akan memancar
Aliran ilmu juga terpancar

Lepaskan dengan ikhlas
Agar nol selalu mizanmu
Neraca seimbang, alat ukur yang pas
Adil dan bijak tidaklah semu

Lepaskan dengan ikhlas
Nuranimu akan berkata
Hadapi semua tanpa was was
Yakin dengan tuntunanNya

Lepaskan dengan ikhlas
Berdengung dalam dada bertalu-talu
Melepas rasa yang membelenggu
Butuh kesadaran dan perjuangan

Lepaskan dengan ikhlas
Terus ditanam dalam tindakan
Bukan ucapan di bibir saja
Semua harus dalam kenyataan

Lepaskan dengan ikhlas
Menjadi pondasi hati yang tenang
Menerima ketentuan dan ketetapan
Tanpa gejolak yang tak karuan

Lepaskan dengan ikhlas
Adalah kemenangan
Berperang dalam diri
Untuk meraih sukses hakiki.

Yogyakarta, 29 Oktober 2020




DESIR

Berdesir pagi

Membelaiku tertegun

Menatap angka


Terus bertambah

Naik mendaki hari

Tak kenal henti


Beralih pandang

Pada jalanan lengang

Di waktu lapang


Berjalan tenang

Kerumunan terlarang

Masker menggantang


Di pekuburan

Tukang gali merintih

Peluhnya habis


Di pertokoan

Tukang peti mengeluh

Kayunya tandas


Di rumah sakit

Tukang suntik menjerit

Tak bisa minum


Dibalut baju

Putih tertutup rapat

Masker menutup


Di rumah sakit

Tukang rawat meringis

Tak bisa pipis


Dibalut baju

Putih tertutup rapat

Masker menutup


Di mana-mana

Tukang bantah membebal

Tak bisa mikir


Di mana-mana

Tukang ngeyel membandel

Tak juga sadar


Larisnya kafan

Buah banyaknya dosa

Sikap mereka


-Ekpan-