Lepas

 


Kau bilang ku tak cantik

Beda dengan perempuan perempuan di televisi

Kubuat alisku melengkung dan lebat

Kau tetap bilang ku tak menarik


Kau minta ku tampil cantik

Agar membuatku sedikit indah dipandang mata

Kupulas bibirku dengan gincu merah darah

Kau bilang ku terlalu menor


Kau bandingkan ku dengan Bae Suzy

Yang kau tonton tiap saat

Kupulas wajahku dengan kosmetik dari Seoul

Kau bilang ku lupa usia


Kau bilang ku gendut

Kau minta ku mengurangi makan

Kukurangi takaran MSG-ku

Kau bilang ku terlalu kurus


Ah enyahlah kau 

Aku adalah aku

Bukan brand ambassador kosmetik

Kau tak cukup berharga buatku


Depok, 19 Desember 2020

Gadis Kecil Dan Lelaki Berbaju Putih



 Gadis kecil Itu menutupi kuping dengan rambutnya ketika beberapa temannya menutup hidungnya. Ia meletakkan bola bekel yang sedang dipegangnya. Ia berdiri dari duduknya dan berpamitan kepada teman-temannya bermain. Mukanya bersemu merah menahan rasa malu di hatinya.


Dalam beberapa langkah, ia mendengar teman-temannya berbicara satu sama lain. Pembicaraan yang membuat gadis kecil Itu merasa tersisih dari pergaulan anak-anak seusianya.


 “Kenapa tadi baunya nggak enak sekali ya? Ampun deh, aku nggak sanggup berdekatan dengannya. Lain kali jangan diajak bermain lagi, bikin jijik aja.”


“Bukan aku yang ajak, kok. Dia sendiri yang pengen gabung,” timpal yang lainnya.


Gadis kecil Itu terus melangkah menjauhi tempatnya bergaul bersama teman-temannya. Rasanya tak ada harapan baginya untuk kembali bermain bersama.

Sesampainya di rumah ia langsung masuk kamar. Perasaannya sungguh terluka. Ia ingin sekali bercerita tapi ia tak sanggup bercerita karena merasa tak ada gunanya.


Ditatapnya cermin dengan pandangan nanar. Ia memegang rambut di sebelah telinganya. Rambutnya lengket dan mengering. Tercium olehnya bau yang menyengat. Pantas saja teman-temannya tak mau ia berada di dekat mereka.

Gadis kecil itu semakin murung. Tak terbayangkan bagaimana kalau ia pergi ke sekolah dengan keadaan seperti itu. Tiba-tiba telinganya terasa hangat, ada cairan yang keluar dari telinganya. Diambilnya lap dapur untuk mengusap telinganya. Setelah itu, diam-diam ia mencuci lap Itu.


Kejadian hari itu bagaikan mimpi buruk bagi seorang gadis kecil yang baru berusia delapan tahun. Pikirannya bekerja keras untuk menyelesaikan masalahnya sendiri agar ia bisa menjaga harga dirinya di harapan teman-temannya.

***

Keesokan harinya


Gadis kecil itu membuka lemari pakaian orang tuanya di saat ayahnya sedang bekerja dan ibunya sedang ke pasar. Saat itu ia kebagian masuk sekolah pada siang hari. Diambilnya sebuah kartu dari laci lemari.


Dengan perasaan deg degan gadis kecil Itu naik angkot menuju suatu tempat yang sebenarnya asing baginya. Tubuhnya yang mungil memasuki sebuah bangunan yang sering dikunjungi banyak orang. Kebanyakan orang dewasa yang datang ke sana. Kalau pun ada anak kecil, pasti ada orang dewasa yang mendampinginya.


Gadis kecil itu sempat ditolak di bagian pendaftaran. Orang dewasa yang berada di situ, memintanya datang dengan orang dewasa. Tak habis akal, ia menampakkan mimik kesakitan sambil memegangi kupingnya. Akhirnya, karena kasihan melihat gadis kecil itu, ia diperbolehkan mendaftar. 


Tak lama namanya dipanggil. Ia disuruh menimbang badan dan menunggu dipanggil kembali. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit ia dipanggil masuk. Seorang laki-laki dewasa berbaju putih menyambutku dengan senyum yang ramah.


“ Mana orang tuamu, Nak?” tanya laki-laki Itu dengan ramah.


“Aku datang sendiri, orang tuaku sedang sibuk.” Lelaki berbaju putih Itu mengeryitkan kening heran. Mana mungkin tubuh mungil itu bisa datang sendiri ke tempat orang biasa menyembuhkan penyakitnya.


“Kamu kenapa?” Akhirnya lelaki Itu menyerang.


“Teman-teman meninggalkanku karena kupingku bau,” jawab gadis Itu dengan sedih.


Laki-laki berbaju putih Itu berdiri. Ia memeriksa kuping gadis kecil itu. 

“Apa yang kamu lakukan terhadap kupingmu?”


“Aku tidak melakukan apa-apa, paling kalau kupingku gatal, kukorek pakai peniti atau kertas, atau jepit rambut  hitam,” jawab si gadis kecil.


Di wajah laki-laki itu tergambar senyum yang ditahan ketika mendengar jawaban si gadis kecil. Setelah itu ia mengambil alat dan memasukkannya ke telinga si gadis kecil tanpa perasaan jijik seperti teman-teman si gadis kecil.


“Tahan sebentar, ya! Kotoran di kupingmu akan dibersihkan agar kamu bisa bermain kembali dengan teman-temanmu.” Si gadis kecil mengangguk dan mencoba menahan rasa sakit.


“Setelah ini jangan sekali kali pakai alat alat yang kamu sebutkan tadi untuk mengorek kupingmu. Kan bisa jadi jepit atau penitimu karatan. Kertasmu juga kan kotor. Minta tolong ibumu untuk membersihkan kuping. Jangan masuk terlalu dalam kalau membersihkan kuping, ya!” Gadis kecil Itu mengangguk.


“ Ambil obat di apotek, di sebelah tempatmu mendaftar tadi. Lain  kali datang ke sini bersama orang tuamu, ya.” Lelaki itu menyodorkan kertas yang telah ditulisinya. Si gadis kecil mengambil kertas itu dan keluar dari ruangan.


“Jangan lupa minta ibumu memotong rambutmu, ya.”

Gadis kecil itu mengangguk dan berkata lirih, “Terima kasih, Dok.”


Laki-laki yang ramah itu selalu memiliki tempat di hati si gadis kecil itu karena dialah orang dewasa  pertama yang mempercayai dan tidak menertawakan kesedihan yang dialaminya.


PS:


Gadis kecil yang ‘conge’-an Itu adalah aku. Tempat yang kudatangi adalah Puskesmas Pasundan yang ada di Jl. Pungkur Bandung....


Depok, 4 Desember 2020

Desember Yang Mencekam

 


Langit kali ini menghitam

Seolah siap menerkam insan yang terkurung di padatnya jalanan

Bersahutan bunyi klakson kendaraan roda empat

Berebut tempat agar dapat secepatnya berada di depan

 

Saling sikut dan senggol hal yang biasa

Tak ada perasaan bersalah

Seringkali umpatan tak terhindarkan keluar dari mulut insan yang depresi

Tak tahan menanggung kesal yang tak berujung

 

Aku hanya bisa terdiam tak berdaya terkurung di balik kaca

Lengkingan klakson yang bersahutan seolah alunan nada yang sanggup memecahkan gendang telinga

Aku hanya berdiam dalam gelisah

Sesekali badanku bergerak ke kiri dan ke kanan

 

Semakin lama perasaan tak nyaman menggerogoti kewarasanku

Ku mulai berteriak dan menangis

Rasanya ku ingin terbang melintasi benda-benda berjendela itu

Yang semrawut berdesakan di atas aspal basah 

 

Akhirnya air deras mengucur dari langit

Membuatku semakin panik

Dingin seketika melanda sekujur tubuhku

Desember kali ini sungguh kejam melumatku dalam beku

 

Keringat dingin mengucur di dahi

Keresahan semakin melanda

Suasana mencekam semakin nyata

Inilah yang selalu kutakutkan ketika Desember menghampiriku

 

Entahlah kepada siapa ku harus meminta pertolongan

Kegelisahan semakin mendera

Tak hentinya kuusap peluh yang terus bercucuran

Bagaikan air terjun yang turun dalam tubuhku yang membeku

 

Tanpa kusadari pahaku terasa hangat dijalari air

Rok yang kupakai seketika basah

 Bau pesing menyengat di dalam kotak tertutup yang dingin itu

Aku pun bisa bernafas lega

 

Jakarta, 16 November 2020

Jiwa dan Raga Yang Tak Selaras

 

Bulan Desember tahun lalu,

Ku pernah bersumpah

Ku akan selalu mengungkapkan apa  yang sebenarnya ada di dalam hatiku

Aku akan jujur

 

Desember kali ini,

Aku berkata iya padahal kuingin berkata tidak

Aku berkata tidak padahal kuingin berkata iya

Aku berkata suka padahal aku benci

 

Desember kali ini,

Ragaku tetap sama

Tak sanggup ku keluar

Dari belenggu rasa tak nyaman di jiwa

Yaa Rabbanaa

Code blue

Code blue

Ruang perawatan anak


Seketika suara dari alat pengeras suara ruangan memecah kesunyian


Para petugas medis berlarian menuju lokasi yang dituju

Aku hanya terpaku menatap gerak langkah cepatnya

Untaian doa melesat dari bibir, "semoga semua dalam keadaan baik-baik saja."


Beberapa menit kemudian suasana kembali hening 


Hingga terlihat kembali para petugas medis yang tadi berjalan bahkan berlari tergesa


Aku memberanikan diri menanyakan apa yang terjadi kepada salah satu petugas medis

Jawabnya, "satu pasien anak-anak yang sedang dalam perawatan tetiba berhenti detak jantungnya."


Lemas kakiku

Berdebar jantungku

Tak kuasa ku menahan air mata


Ya Rabbanaa....

Mimpi Buruk Karenina

 

Fitra membuka sebuah amplop yang sedang dipegangnya. Matanya terpusat pada satu tulisan besar yang berada di tengah kertas. Kekesalan tergurat jelas di wajahnya. Kemudian kertas itu diremasnya.

Tak ingin berlama-lama di bangunan sekolah bertingkat itu, Fitra melangkah keluar dari sekolah itu. Langkahnya cepat karena menahan kekesalan.

Sesampainya di tempat parkir Fitra masuk ke dalam mobilnya. Ia tidak langsung menyalakan mesin mobilnya melainkan duduk di depan setir. Kemudian ia membuka tasnya dan mengambil ponsel. Dicarinya sekolah-sekolah dasar yang dipikirnya bisa mendaftarkan Karenina, anaknya.

Sudah setengah jam lebih, Fitra berada di dalam mobilnya, namun belum ada satu pun sekolah yang menurutnya cocok untuk Karenina. Dari mulai waktu pendaftaran yang sudah selesai, lokasi yang jauh dari rumahnya sampai biaya yang terlalu mahal baginya.

Perasaan stres mulai menyerang pikiran Fitra. Ia bingung harus ke mana lagi mencari sekolah untuk Karenina. Akhirnya Fitra memutuskan akan mendatangi sebuah sekolah swasta yang letaknya agak jauh dari rumahnya. Ia menjalankan mobilnya meninggalkan gedung megah sekolah itu.

“Selamat pagi, Bu!”  Fitra menyapa seorang perempuan setengah baya yang sedang duduk di sebuah ruangan.

“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” jawab perempuan itu dengan ramah.

“Saya ingin mencari informasi pendaftaran masuk ke sekolah ini, Bu,” ujar Fitra.

“Silakan duduk, Bu!”

Fitra duduk di depan perempuan itu. Ia mulai berbicara tentang kemungkinan anaknya bersekolah di sekolah yang menurut banyak orang adalah sekolah yang paling bagus di daerah tempat tinggalnya. Sayangnya semakin lama ia mendengarkan perkataan perempuan dihadapannya, ia semakin pusing.

“Biaya masuknya sekitar empat puluh juta dan SPP-nya adalah dua juta per bulan. Ibu bisa mendaftarkan anaknya sekarang kemudian lusa bisa ikut tes masuk.”

Fitra tak tahan lagi berada di situ. Ia tak membayangkan mengeluarkan uang segitu banyak untuk pendidikan di sekolah dasar. Belum lagi biaya bulanannya. Gaji Fitra dan Tommy, suaminya akan habis untuk biaya sekolah, transportasi dan cicilan-cicilan saja. Tak akan tersisa untuk makan sehari-hari. Belum lagi tanggungan keluarga mereka berdua. Fitra bergidik membayangkannya.

“Saya pikirkan dulu ya, Bu,” ujar Fitra dengan lemas.

“Ini kesempatan terakhir, lho. Besok pendaftaran sudah kami tutup,” jawab perempuan itu.

“Iya, Bu. Saya permisi!” Fitra pamit setelah bersalaman dengan perempuan itu.

Sampai ia mendatangi sekolah yang keempat, barulah Fitra merasa telah menemukan sekolah yang cocok bagi Karenina. Sayangnya, ia tak dapat memutuskan sendiri. Fitra harus melibatkan Tommy untuk mengambil keputusan. Baginya yang penting adalah ia sudah menemukan calon sekolah bagi Karenina.Itu sudah membuatnya sedikit lega.

                                      ***

“Tom, masak sih Karenina bisa nggak lolos masuk sekolah negeri favorit,” ujar Fitra kesal.

“Ya nggak apa-apa dong. Emang harus ya lolos masuk SD favorit?” tanya Tommy dengan tenang.

“Bukan begitu, Tom. Aku nggak terima aja. Karenina itu cerdas lho. Bahkan waktu di TK, gurunya sering memuji Karenina. Dia juga udah pinter baca,” timpal Fitra.

“Nggak boleh lho masuk SD pake tes. Di TK juga seharusnya nggak perlu diajarin baca tulis,” ujar Tommy.

“Iya sih, tapi kan kita harus mempersiapkan pendidikan Karenina sejak dini, Tom. Biar nanti dia bisa masuk sekolah lanjutan yang bagus.”

“Kali aku nggak sependapat, Fit. Kupikir sih nggak perlu lah Karenina belajar di sekolah favorit dulu. Aku malah pengen masukin Karenina ke sekolah negeri yang di sekitar sini aja,” ujar Tommy.

“Maksudmu SD Melati gitu? Ya ampun Tom, tega banget sih mau sekolahin Karenina di situ. Bangunannya aja jelek gitu mana tempatnya kumuh pula,” tukas Fitra.

Fitra merasa kaget mendengar usul Tommy untuk menyekolahkan anaknya di SDN Melati. Tak ada seorang pun penduduk kompleks perumahan yang mereka tinggali bersekolah di SDN Melati. Kebanyakan anak yang bersekolah di situ adalah penduduk perkampungan yang berada di sekitar tempat tinggal mereka.

“Lho memangnya kenapa?” tanya Tommy masih dengan suara yang datar dan tenang.

“Karenina, Tom. Anak kita satu-satunya sekolah di tempat yang jorok. Kasihan dong,” jawab Fitra dengan kesal.

“Ah menurutku semua sekolah sama aja. Apalagi masih tingkat dasar, pelajarannya pasti sama.”

“Tom, aku nggak setuju! Kasihan Karenina.”

“Kasihan Karenina atau kasihan kamu sendiri?”

“Maksudmu apa, Tom?”

“Sebenarnya yang kamu kasihani itu adalah dirimu sendiri, bukan Karenina. Menurutku sih Karenina akan senang sekolah di mana pun. Yang penting baginya adalah memiliki teman bermain ….”

“Kamu kok menentang aku memberikan yang terbaik bagi anak kita sih!”

Suara Fitra terdengar parau bercampur dengan tangisan yang tertahan di matanya. Ia merasa Tommy tak menghargai upayanya untuk mencari sekolah yang bagus bagi Karenina. Ia merasa telah mengorbankan waktu dan tenaganya demi mencari sekolah. Ia rela mengambil cuti dari kantor padahal ia sebenarnya ditugaskan ke luar kota oleh atasannya. Ia tolak semua itu demi Karenina.

“Gini deh, untuk sekolah dasar, beri aku kesempatan untuk memilihkan sekolah untuk Karenina. Kalau misalnya Karenina tidak senang dengan sekolahnya, maka bolehlah kamu memindahkan Karenina ke sekolah yang bagus menurutmu,” ujar Tommy.

“Tom, kamu kok ngotot sih?” tanya Fitra.

“Lha bukannya kamu juga ngotot?” Tommy balik bertanya.

“Bukan gitu, apa kamu nggak kepengen Karenina tumbuh cerdas dan pintar sehingga nanti dia nggak kesulitan masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi,” terang Karenina. Ia mencoba mempertahankan keinginannya.

“Pengen banget, Fit. Pengen. Satu hal yang perlu kamu ketahui, aku punya alasan kuat menyekolahkan Karenina di SDN Melati adalah biar Karenina punya pengalaman hidup yang berwarna. Ia bisa melihat kehidupan lain. Bukan hanya kehidupan yang didapatnya sekarang. Aku ingin Karenina jadi anak yang tangguh dan juga anak yang peduli dengan sesamanya,” jelas Tommy.

Fitra terdiam sejenak mendengar penjelasan Tommy. Ia tahu maksud Tommy baik tapi ia berpikir apakah sekolah seperti itu tepat untuk Karenina.

“Kalau Karenina di-bully gimana?”

“Di sekolah bagus pun sering ada bullying juga, kok.”

“Tom, please!

“Kali ini aku akan bertahan, Fit,” ujar Tommy ngotot.

“Mama, Papa, kok bertengkar sih?”

Tiba-tiba Karenina muncul di depan mereka berdua. Karenina mengucek-ngucek matanya. Kemudian ia duduk diantara Fitra dan Tommy.

“Karenina kok bangun, sih?” tanya Fitra.

“Karenina mimpi buruk, Ma.”

“Mimpi apa?” tanya Fitra sambil mengusap kepala Karenina.

“Mama dan Papa bertengkar,” jawab Karenina polos.

“Karenina, Mama dan Papa nggak bertengkar kok. Mama dan Papa sedang membicarakan tentang sekolah Karenina setelah dari TK,” ujar Fitra lembut.

Tommy memberi isyarat kepada Fitra agar tidak membicarakan masalah sekolah kepada Karenina. Fitra merasa inilah kesempatan yang bagus untuk mengungkapkannya kepada Karenina.

“Karenina suka kan sekolah yang gedungnya bagus, ruangannya bersih dan temannya yang baik-baik?” tanya Fitra.

“Suka, Ma,” jawab Karenina.

“Kalau sekolah dekat, temannya lebih banyak suka ngga, Nak?” tanya Tommy.

“Karenina juga suka, Pa.”

“Tommy!” bentak Fitra.

“Biar Karenina yang memilih, Fit. Dia pasti tahu lah yang baik untuknya,” balas Tommy.

“Karenina masih kecil, Tom!” balas Fitra.

“Ma … Pa, kok jadi ribut gara-gara Karenina sih?” tanya Karenina polos.

“Nggak kok. Mama sama Papa nggak ribut,” ujar Fitra dengan lembut.

“Gini deh, Papa mau tanya. Karenina mau sekolah di pilihannya Mama atau Papa?”

“Tom, masak Karenina dibawa-bawa ke masalah ini sih. Harusnya kita yang menentukan untuk kebaikan Karenina,” tukas Fitra.

“Ya nggak apa-apa dong biar Karenina udah dibiasakan ngambil keputusan sejak dini,” balas Tommy.

“Karenina, bagaimana jawabannya?” tanya Tommy lagi.

“Karenina bingung, Pa.”

“Tuh kan anaknya bingung. Kamu sih. Udah masuk sekolah yang kucari tadi siang aja!” pinta Fitra.

“Enggak dong! SDN Melati dekat. Kita jadi nggak khawatir,” balas Tommy.

“Nggak bisa, aku nggak mau anakku masuk sekolah negeri!” balas Fitra.

“Lha kamu juga kan produk sekolah negeri, Fit.”

“Tapi aku nggak mau anakku masuk sekolah negeri!”

“ … “

“ … “

Karenina hanya bengong melihat perdebatan kedua orang tuanya. Ia juga tak mengerti apa masalah perdebatannya. Ia pun tak tahu apa yang harus dilakukannya. Akhirnya ia meninggalkan kedua orang tuanya yang terus berdebat dengan suara yang sama-sama kerasnya. Karenina berpikir kalau mimpi buruknya itu ternyata menjadi kenyataan malam ini.

Lelaki Ini dan Perempuan Itu dan Kenangan Tersisa Abu

Perempuan itu berdiri, gelisah. Sejuknya pusat perbelanjaan mewah ini tak juga menenangkan hatinya. Terlihat sekali usaha kerasnya terlihat biasa. Mondar-mandir tak tentu arah. Membuang senyum menjawab sapa pramuniaga. Lelaki ini menatapinya dari jauh. Sudah 5 menit berlalu dari janji temu, tapi dia berusaha memastikan dulu. Pahatan memori bertahun lalu masih lengkap liku ukirnya. Perempuan itu dengan kuncir kuda dan ransel biru muda, kikuk menapaki dunia dewasa penuh serakah. Kasat mata tak banyak yang berubah. Tapi lelaki ini terlalu perasa untuk tak menduga. Perlahan didatanginya perempuan itu. "Assalamu'alaikum", salamnya lirih. Hanya sejengkal di belakang telinga. Perempuan itu terlonjak, menoleh untuk memastikan. "Wa'alaikumussalaam..." jawabnya setengah tercekat. Sedetik jeda sebelum lelaki ini memeluknya, diantara tatap praduga. Perempuan itu membalasnya. Sejenak tersengat karena ini kali pertama sepanjang persahabatan mereka. "Gaya bener lu ngajak ketemuan disini" seloroh perempuan itu menutupi jengah. Lelaki ini terbahak. "Kan elu masih jetlag kebanyakan keju, kalo gue ajak di warung indomie ntar mules lagi" balas lelaki ini tangkas. Lalu mereka tergelak. Ingat masa-masa dimana warung indomie adalah kemewahan yang hakiki. "Cari makan  yuk" lelaki ini memecah suasana. "Masakan itali doyan kan lu? gue punya resto itali favorit disini" lanjut lelaki ini sambil sedikit menarik tangan perempuan itu. Perempuan itu menatap aneh lelaki ini. Sekilat cemburu membersit di matanya. "Gue cewek ke berapa yang lu ajak kesini?" selidiknya. Gelak lelaki ini kembali pecah. Memalingkan beberapa kepala yang ingin tahu kenapa.

***

"Hidup gue hancur" perempuan itu memulai ceritanya. Sisa-sisa salad di piringnya diaduk tak tentu arah. Lelaki ini terkesiap. Tak tahu bagaimana meresponnya. Perlahan disodorkannya tisu untuk menahan titik-titik yang mulai tumpah. Perempuan itu dan lelaki ini sudah bersahabat lama. Persahabatan yang hampir sama tuanya dengan separoh hidup mereka. Tidak ada rahasia di antara mereka, kecuali mungkin rahasia hati yang tak jua mau jujur dibuka. Masih terbayang acara pernikahan yang mewah di gedung yang megah. Wajah-wajah sumringah, penuh cinta dan suka cita. Tak dinyana, bahkan sebelum hari H, sang suami sudah mendua. Lelaki ini bahkan sudah merasa, ada yang tak biasa di pemandangan mata. Tapi suka cita dan bahagia perempuan itu lebih bermakna dibanding rasa yang disangka cemburu semata.

***

Hentakan irama musik menghanyutkan segala lara. Melupakan sejenak duka dan luka. Perempuan itu meluapkan segalanya. Menikmati menit-menit terbebas dari segala nestapa. Merayakan rasa yang dulu dianggap salah. Pun, lelaki ini. Semua tertumpah. Lupa sudah masa-masa yang terjaga. Yang ada hanya sir panas membakar semua etika.


***

"I miss you", lelaki ini mengadu khilaf. Lama. "I don't", balas perempuan itu. Lelaki ini tersenyum. November ini hujan lagi. Setahun? dua tahun? entah sudah berapa lama. Tidak ada tanda-tanda dimana perempuan itu berada. Lelaki ini pun tak memaksa. Ikatan itu sudah cerai berai, tak mungkin dipintal ulang atau sekedar direntang. Benar adanya, semua datang dan pergi, memberi arti yang mungkin sulit untuk dipahami. Tidak ada yang menetap pasti, kecuali takdir yang berjanji.


Jakarta, 06112020


Kangen Emak ...