Ikan Hiu di Tangkapan Nelayan

Konon, sekelompok nelayan Jepang mengangkut tangkapan mereka ke pasar untuk dijual. Tapi, pagi itu lebih banyak ikan yang tidak laku. Sang Kapten meminta salah seorang anggota kelompoknya untuk menyelidiki kenapa ikan-ikan itu tidak laku terjual.

“Lapor, Kapten. Saya sudah cukup mendapat informasi yang bisa dipercaya,” lapor Sang Anggota.

“Baik, apa itu?” Kapten menjawab tanpa basa-basi.

“Saya mencari informasi dari pedagang yang menjual ikan kita dan sekitar separuh konsumen di pasar ikan ini. Kata mereka, daging ikan tangkapan kita kurang segar, jadi kurang sedap dimakan.”

Kapten berfikir keras,”Mmm … begitu kah? … mungkin karena kita bawa ikan-ikan itu ke darat hanya ditimbun es agar tidak membusuk saja. Tapi, mereka sudah mati. Kamu ada ide apa?”

“Ahh, jika begitu, tempat penampungan yang biasa kita pakai, diberi air saja Kapten. Supaya ikan-ikan tangkapan kita tetap hidup sampai di darat.” Sang Anggota mengusulkan.

“Hmm… Patut dicoba”.

Malamnya, mereka kembali berlayar untuk menangkap ikan dengan perlengkapan yang dimodifikasi. Tempat penampungan yang biasanya diisi dengan timbunan es batu, kini diisi air laut. Ikan-ikan tangkapan mereka tetap hidup. Namanya juga usaha.

Keesokan paginya, ikan-ikan tangkapan mereka terjual lebih banyak dari hasil tangkapan kemarin, tapi tetap tidak habis. Kali ini, Kapten tidak meminta anggotanya untuk mencari tahu. ‘Besok mungkin makin baik,’ ia membatin.

Seperti kemarin, malam hari mereka kembali gigih menangkap ikan di laut. Setelah hasil tangkapan ikan yang jumlahnya lumayan dan mereka hendak kembali pulang, tiba-tiba saja seekor ikan hiu terjebak jala mereka.

 “Awas, hati-hati. Kita pisahkan saja di geladak!” Teriak seorang anggota kapal, yang disetujui anggota yang lain.

“Tidak! Masukkan juga hiu ini ke kolam tangkapan kita. Jadikan satu dengan ikan-ikan hidup yang lain,” Kapten punya pendapat berbeda, dan tentu saja dipatuhi oleh anggota lainnya.

Kedatangan hiu di kolam tangkapan, tentu mengejutkan ikan-ikan yang pada awalnya berenang dengan tenang, nyaris tidak bergerak malahan. Mereka jadi sibuk berenang ke sana dan ke mari demi menghindari kejaran hiu ketika lapar. Gimana ya kalau jadi ikan-ikan itu? Lolos dari kejaran hiu pun, mereka akan berakhir di pelelangan ikan.

Tapi begitu lah legenda yang pernah saya dengar dari seorang kawan yang bernama BungA, sebut saja namanya begitu. Pada saat ikan-ikan itu hanya dimasukkan dalam penampungan yang berisi air laut, mereka berenang dengan tenang, merasa damai-damai saja, karena mungkin belum menyadari perubahan kondisi apa yang akan terjadi.

BungA menganalogikan keadaan ikan-ikan yang tenang berenang itu dengan suasana tempat dia bekerja dulu. Rasa aman, lingkungan nyaris homogen, menciptakan zona nyaman yang cenderung membuat kebanyakan kita, menurut BungA nih yaaa, terlihat kurang semangat bekerja, menyiapkan apa adanya, sering tidak fokus karena merasa ada kesempatan untuk memperbaiki besok atau lusa.

Dengan  kedatangan seekor hiu dalam legenda tersebut, menurut BungA, penutur awal legenda ini hendak menganalogikan suasana yang berbeda saat mereka memiliki Pimpinan yang sangat menuntut tapi ekspresif sekali dalam mengemukakan ketidakpuasan. Bahan rapat harus cepat, data harus akurat, informasi harus kredibel, siap dihubungi 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu, bahkan tampilan tayangan presentasi terlihat tidak ideal pun harus siap menuai kritik pedas.

Saat itu, meski rasanya di bawah tekanan, tapi semua orang terlihat sigap dan antisipatif. Setiap tingkatan manajemen sampai ke staf mawas diri dengan tanggung jawab masing-masing. Menurut BungA lagi, suasana kerja justru lebih bergairah. Tambahan lagi, ikatan persaudaraan sesama mereka jadi lebih kuat karena semua merasa senasib sepenanggungan pernah kena imbas ekspresif sang Pimpinan.

Saya sih tidak sanggup membayangkan situasi kerja seperti yang disebut BungA sebagai bergairah. Pengalaman saya selama 15 tahun, lingkungan saya bekerja terlihat sigap-sigap saja walaupun karakter pimpinan kami sekalem permukaan air laut di pagi buta saat angin malas bertiup. Atasan langsung saya rajin menyiapkan alternatif karena Bos selalu memberi argumentasi sampai dia yakin solusi yang dipilih tepat. Pun, tidak selalu argumen Bos yang akhirnya jadi solusi. Data-data tetap disiapkan tanpa tambahan waktu lembur di kantor, apalagi di rumah. Dokumen yang harus ditanggapi atau diselesaikan tetap siap sesuai jadwal. Kenapa ya? Karena keteladanan kah? Rasa keterlibatan kah?

Oh iya, ikan-ikan yang berhasil dijual kelompok nelayan di awal cerita, kata BungA, jumlahnya jadi lebih sedikit setelah kedatangan hiu. Tapi harganya bisa lebih mahal karena lebih banyak konsumen yang berminat membeli. Daging ikannya jauh lebih segar, kenyal, dan lezat, katanya. Bisa jadi, ikan yang berhasil tetap selamat, adalah ikan-ikan yang paling lincah bergerak menghindar kejaran hiu 🤔. 🌾

Kisah Iteung, Episode Tester Roti

Iteung mah selalu betah kalau berada di mal. Adem banget. Kalau boleh sih mau bawa kasur dan bantal biar dibolehin tidur di mal. Soalnya di rumah nggak punya pendingin ruangan. Cuma punya kipas angin. Itupun baru nyala kalau udah ditepuk-tepuk bagian atasnya sambil dibacain mantra biar nyala. Anginnya pun bercampur sama debu. Iteung males nyuci kipas angin.

Cuma pak Satpam udah melotot duluan waktu Iteung bawa  tenda dan perlengkapan tidur. Padahal cuma semalam Iteung pengen ngerasain tidur di mal yang dingin. Baiklah, Iteung nurut aja deh, daripada pak Satpamnya stress ngadepin Iteung.

Keliling mal rasanya nggak afdol kalo Iteung nggak beli makanan. Buat pencitraan aja kalau udah jalan-jalan di mal. Mau pamer sama ceu Kokom, tetangga sebelah kalau Iteung sudah seperti orang-orang kaya belanja di mal.

Kalau beli baju mah tetep di mang Ujang, tukang kredit dari daerah Singaparna. Jualan mang Ujang mah komplit. Dari mulai daster sampe panci ada. Bisa dicicil sepuluh kali, sehari boleh tiga kali cicilan.

Keluhan mang Ujang adalah, para customer itu kalau mau ambil barang semua muncul didepan rumah. Giliran bayar pada ngumpet, bahkan pura-pura lagi pergi. Kenapa Iteung ngelantur ya?

Di depan toko roti Iteung berhenti sambil celingak celinguk.
"Masuk aja Bunda!" ujar seorang perempuan dengan rok pendek dan celemek putih.
Iteung senyum aja, agak bingung baca nama toko yang susah dibaca dengan lidah Iteung yang terbiasa makan singkong.
"Ada testernya kok, Bunda," sambungnya lagi.
Mendengar kata "tester", alam bawah sadar Iteung langsung bereaksi. Pikiran Iteung menuntun raga memasuki toko roti itu.

"Ini lho, roti isi kacang merah. Paling favorit disini. Coba aja dulu!" si mbak meyakinkan Iteung.
"Biasanya kalau di kampung mah dibikin sayur lho, mbak," ujar Iteung.
Si mbak cuma diam, mungkin kesal juga, ada orang kok noraknya nggak ketulungan.
Iteung nyobain potongan kecil roti. Satu potong belum berasa enaknya. Potongan kedua mulai kerasa kacang merahnya, potongan ketiga baru pas rasanya.
"Iya mbak, enak rotinya," suara Iteung keluar nggak jelas karena mulut masih penuh roti.
"Mau ambil berapa, Bunda?" si Mbak minta kepastian Iteung. Sepertinya Mbaknya pengalaman digantungin sama cowok deh.
"Sebentar...." Iteung melangkah ke sisi sebaliknya.
"Ini rasa apa, Mbak?"
"Rasa orange, Bunda," si Mbak masih sabar.
Iteung ambil tiga potong kecil roti. Rasanya memang enak. Wajah si Mbak mulai prihatin ngelihat Iteung.
Iteung muter lagi nyari roti rasa yang lain. Semuanya enak.
"Kalau ini rasa apa, Mbak?" ini potongan terakhir yang akan Iteung cobain.
"Itu rasa kesal yang tertinggal di hati ," ujar si Mbak sambil cemberut.
"Jangan cemberut Mbak, nanti susah dapet jodoh."
Muka si Mbak tambah serem. Alisnya naik. Baki yang dipegang diayun-ayun.
"Ibu mau beli yang mana?"
"Nggak jadi Mbak. Saya udah kenyang," Iteung tutup wajah pake tas takutnya baki mendarat di kepala Iteung.
Si mbak udah nggak tahan lagi sama Iteung. Iteung digiring keluar dari toko roti.

"Pertanyaan terakhir Mbak. Ada tester minuman nggak?"
Si Mbak menangis keras di pojokan mal sambil garuk-garuk tembok.

Jakarta, 12 Mei 2017



CURCOL SI AKI (Episode I : Hari yang Mengejutkan...)


“Wuaahh...akhirnya selesai juga,” aku menatap tumpukan Kertas Kerja RKA-KL beserta data dukungnya yang telah kutandai bagian-bagian yang memerlukan perbaikan. Juga telah kusiapkan resume perbaikan yang harus dilkaukan. Ini adalah satker terkahir yang belum kuselesaikan. The last but not the least...paling akhir tapi petugas-petugasnya yang paling susah mengerti kalau dijelaskan dan besok adalah batas terakhir penelaahan. Mas Ridho teman sebelahku hanya melirik sambil tersenyum, “Wah, udah siap karnaval nih RKA-KL-nya.”
Mas Ridho sering meledek aku karena kebiasaanku memasang kertas sign it berwarna warni pada bagian-bagian dokumen yang memerlukan perbaikan.

Waktu sudah mendekati pukul 17.00 dan meja segera kubereskan agar tak ber”berkas” lagi. Aku memang lebih suka pulang tepat waktu daripada menunda pekerjaan dan menyelesaikan setelah jam kerja alias lembur. Tiba-tiba perasaanku tidak enak, terasa ada yang memperhatikanku dari sisi sebelah kiri. Kupalingkan wajahku ke kiri dan...benar saja  !! Seraut wajah yang terlihat kusut menatapku dari ruang kaca di sebelah kiri lalu melambaikan tangannya.

“Arrgghhh.. bakalan gagal pulang nih,” kataku dalam hati. Kasubditku tercinta ini memang punya hobi yang agak unik. Beliau suka mengajakku diskusi tentang apa saja menjelang jam pulang, khususnya kalau di mejanya sudah tidak ada lagi konsep nota yang harus diperiksa atau surat masuk yang harus didisposisi. Biasanya aku terselamatkan oleh adzan Maghrib. Beruntunglah aku tinggal di Indonesia tercinta yang adzan maghribnya berkumandang dengan indahnya di kisaran pk.18.00. Tak bisa kubayangkan kalau aku tinggal di Azerbaijan atau Usbekhistan atau negara lain yang waktu sholat maghribnya pada waktu-waktu tertentu baru masuk sekitar jam sembilan malam. Kalau itu terjadi bisa-bisa aku pulang hampir tengah malam.

“Siap Pak, apa yang harus saya kerjakan,” ujarku sambil duduk dihadapannya. 
Hal yang sama yang selalu kukatakan setiap ada panggilan diskusi menjelang petang.  Pak Rusdi hanya menyodorkan selembar surat dan perintahnya singkat, “Baca!”
Kuambil surat tersebut, mataku terbelalak membaca kop surat tersebut. Sebuah surat panggilan permintaan keterangan alias pemeriksaan dari institusi penegak hukum untuk besok pagi !!
“Panggilannya ditujukan kepada Pak Dirjen, hanya Beliau tidak bisa hadir karena masih berada di luar kota. Barusan Pak Direktur minta saya mewakili karena besok Beliau ada rapat yang tidak bisa ditinggalkan,” kata Pak Rusdi menjelaskan.
“ Kasus ini mengenai beberapa kegiatan fiktif yang kejadiannya sekitar 8 tahun yang lalu,” lanjutnya lagi.
“Waktu kejadian itu bahkan saya belum bertugas di sini. Mungkin kamu juga masih baru waktu itu. Coba kamu catat dokumen-dokumen yang perlu saya bawa besok pagi dan tolong kamu siapkan malam ini juga,” kemudian Beliau mendiktekan dokumen-dokumen yang diperlukan.
Panggilan sore ini begitu singkat tetapi berdampak sistemik. Kalau biasanya selesai saat waktu sholat Maghrib dan setelah sholat aku bisa pulang, kali ini pertemuan tidak sampai 10 menit tetapi bisa dipastikan untuk menyelesaikan arahan Beliau butuh waktu cukup lama. Untung saja setiap dokumen selalu aku “scan” dan kubuat pertelaahan agar mudah mencarinya. Juga untuk regulasi-regulasi sudah kubuatkan dalam bentuk file pdf secara tematik berurutan dari tahun ke tahun. Hal ini sudah menjadi kebiasaan pada subdit kami  Alhamdulillah..seluruh dokumen yang diperlukan ada pada arsip digital subdit kami. Sekitar pukul 20.00 semua berkas telah aku copy dan aku letakkan di meja Pak Rusdi.
              
Keesokan paginya ketika aku sedang mempersiapkan rapat penelaahan RKA-KL tiba-tiba terdengar suara, “Ki, ke ruangan sebentar.”
Aku pun bergeas ke raungan Pak Rusdi. Lalu Beliau beranjak dari kursinya sambil berkata, “Ikut saya menghadap Direktur. Bawa itu sekalian !” katanya sambil menunjuk berkas yang telah ku-copy semalam. Aku pun mengikuti Beliau menuju ruang Direktur.
“Memang ini bagian dari tanggung jawab kita dalam membina K/L. Meskipun kita tidak terlibat di dalamnya tetapi secara moral kita tetap bertanggng jawab atas apa yangterjadi di K/L. Dalam melkaukan pembinaan kepada K/L sebaiknya kita tidak hanya memberikan pengertian mengenai sistem penganggaran tetapi juga mengingatkan mereka untuk tidak melakukan pelanggaran. Bisa juga kita kasih contoh kasus-kasus yang pernah terjadi supaya mereka sadar apa akibatnya kalau melakukan pelanggaran. Urusannya bukan hanya dengan auditor tetapi juga dengan penegak hukum. Tidak apa-apa, ini akan jadi pengalaman baru untuk kamu Ki,” kata Direkturku sambil tersenyum menatapku. Aku agak terkejut mendengar perkataan Direkturku tadi. Keterkejutanku pertama, karena ternyata beliau tahu namaku. Aku kira aku tidak dikenal atau bahkan namaku sudah terlupakan karena selama sembilan tahun bekerja aku belum pernah dimutasi sementara teman-temanku yang lain telah mengalami tour of duty, bahkan ada yang telah mengalami 2 kali mutasi. Keterkejutanku yang kedua, karena Beliau menyampaikan arahannya kepadaku bukan kepada Pak Rusdi. Sambil masih agak terkejut disertai sedikit kebingungan juga, aku kembali mendengarkan arahan Direkturku mengenai beberapa hal yang diperhatikan ketika menjawab pertanyaan penegak hukum. Disamping itu Beliau juga menceritakan pengalaman-penaglaman Beliau ketika diperiksa pengeak hukum baik sebagai saksi kejadian maupun saksi ahli.   

Selesai mendapat arahan Direktur aku dan Pak Rusdi kembali ke ruangan dan Beliau meminta aku dan Mas Antok, kepala seksiku, untuk bersiap-siap mendampingi Beliau. Aku masih sedikit bingung, bukan karena harus mendampingi dalam pemberian keterangan / pemeriksaan, tetapi lebih karena hari ini adalah batas akhir penelaahan, sedangkan masih ada 1 satker yang belum kutelaah. Aku tidak berani menyampaikan hal tersebut kepada Pak Rusdi dan berharap Mas Antok yang akan melaporkan. Akan tetapi ternyata hal itupun tak dilaukannya. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku sambil berbisik,” Tenang Bro, biar urusan RKA-KL aku yang beresin. Asal jangan lupa contekannya ditinggal juga. Jangan dibawa!” bisik mas Ridho sambil tersenyum.
“Makasih Mas, gak enak nih jadi ngerepotin,” bisikku setengah mendesis.
“Santai aja, kamu kan juga sering bantuin aku kalau sedang banyak kerjaan. Kita ini satu tim, kita harus saling isi, saling tolong menolong. Nikmati aja perjalananmu,” katanya lagi sambil nyengir kuda.
Aku hanya bisa mengangguk-anggukan kepala sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
Aku berjalan tergopoh-gopoh berjalan mengikuti Pak Rusdi dan Mas Antok sambil membawa berkas yang lumayan berat yang ku-copy semalam. Di lobby sudah menunggu Pak Arham dari bagian Kepatuhan Internal dan Bantuan Hukum yang bertugas mendampingi.
“Pakai mobil saya saja.” Kata Pak Rusdi.
Mengingat aku yang paling junior dan aku pula satu-satunya yang bukan pejabat struktural maka kutawarkan diriku untuk mengemudikan mobil Pak Rusdi. Lengkap sudah tugasku hari ini, angkut-angkut barang  lalu menjadi driver, setelah sebelumnya semalam menjadi tukang foto copy. Mungkin memang ini konsekuensi menjadi pegawai paling junior. (Bersambung)

dendam rindu

lelaki kecil dalam padang bulan
menerjang
menembus hujan.
malam ini dendam rindu harus segera terbalaskan
meski hanya melalui mimpi

Selamat Datang Duniaku

Pagi ini, seperti biasa aku lebih banyak duduk, melihat orang-orang yang tidak pernah kehilangan akal untuk melakukan apa saja. Kebanyakan mereka selalu menggerak-gerakkan mulutnya, lalu ada yang kemudian tersenyum, tertawa atau bahkan menangis. Entah apa yang terjadi ketika bibir mereka sangat sibuk dengan gerakan yang menurutku sama saja, sulit aku pahami maksudnya.

Sebagian dari mereka juga ada yang tidak melakukan apa-apa dengan mulutnya, diam, seperti aku di sini yang hanya bisa menyaksikan mereka dari jarak yang semuanya terasa seperti dari tempat yang jauh.

Beberapa tahun sebelum ini, aku merasa ada yang aneh tentang apa yang aku lihat setiap hari. Apa misteri di balik sesuatu yang nampak sama saja, sekali waktu bisa menimbulkan kemarahan yang luar biasa, tapi di waktu lain bisa berakibat berangkulannya orang-orang dalam suasana keceriaan. Ada perbedaan raut muka yang bisa dikatakan berlawanan, tapi anehnya penyebabnya sama saja, sejauh yang aku lihat.

Ketika air tumpah dari langit, orang-orang berlarian masuk ke rumah dan pada saat ada kilatan cahaya di langit, serta merta orang-orang menutup telinganya sambil memejamkan mata, seperti ada yang dihindari. Tapi aku tidak tahu apa itu.

Aku menjadi penonton satu-satunya dari orang-orang yang semuanya menjadi pemeran utama layaknya dalam sebuah film, tapi ini kejadiannya betul-betul terjadi di sekitarku.

Sekarang, aku sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini, tetapi bukan karena aku sudah tahu tentang misteri di balik mulut-mulut yang bergerak-gerak itu. Aku menyadari bahwa aku sudah pada sampai titik dimana aku tidak perlu mencari jawabannya. Menjalani saja sebagaimana yang aku lakukan setiap hari, seperti ini.

Satu hal yang terasa berat bagiku, aku tidak ditemani lagi oleh siapapun setelah ibu yang setiap hari setia mendampingiku tidak ada lagi.

Aku kangen pelukan hangatnya.

Aku masih teringat kala terakhir ibu memaksaku menirukan sesuatu seperti yang dilakukan dengan mulutnya. Dan aku merasa sudah melakukannya sama persis yang dilakukan ibu kepadaku. Tapi tetap saja aku lihat ada wajah kekecewaan di raut ibu. Aku sudah berusaha dan sudah merasa bisa, tapi apa yang aku lakukan ternyata berbeda menurut Ibu...

Sampai pada saat dimana aku tahu ibu tidak bisa menyembunyikan wajah kepasrahannya, tak lama dari itu aku lihat matanya yang berkaca-kaca dan ibu merangkulku dengan membawa getaran yang menggoncangkan tubuhku. Erat sekali pelukannya dan aku merasakan betul basahnya pundakku dari air mata ibu yang tak terbendungkan lagi. Selamat datang dunia yang selalu diam.

Kutukan Akuntansi


Ini adalah tulisan lama. Kurang lebih 7 tahun lalu, saat gue sedang mengambil program master di University of South Australia. Judul tulisan ini sebenarnya sudah lama ada di hati, tapi motivasi untuk menuliskannya semakin kuat ketika suatu saat gw ngobrol dengan temen dan dia nyeletuk “wah kutukan tuh !” begitu dia dia tau gue sekarang lagi kuliah dengan jurusan Akuntansi (lagi).

Mungkin ada benarnya. Pada saat SMA dulu gue jurusan A3 (ilmu-ilmu sosial), 2 tahun gue belajar Akuntansi sampe pada tahapan yang kalopun lagi tidur pules dibangunin trus ditanya jurnal gue langsung bisa jawab, ibaratnya ngigau aja debit kredit deh. Berlebihan? gak juga karena gue merasa memang harus begitu. Gue dulu sempet di "plot" untuk menjadi the first engineer in family, sehingga satu pertanyaan keras waktu gue milih masuk A3,(milih loh ye bukan dipilihin), dengan tegas gue jawab : "mau masuk STAN !"

Hahaha, mungkin itu jawaban bodoh. Tapi tahun 1992 perjuangan masuk STAN itu begitu berat, tesnya hanya ada di Jakarta, peserta yang ikut puluhan ribu dari seluruh Indonesia untuk memperebutkan jatah sekolah gratis yang cuma sedikit itu, dengan iming-iming "kuliah digaji, lulus langsung kerja" hahaha.

Yah begitulah, singkat cerita, entah karena usaha entah nasib, gue kuliah juga di STAN. Gampang dong, kan gue dah jago Akuntansi? sekali lagi gue katawa hahaha. Entah kenapa gue jadi gak begitu doyan ama Akuntansi begitu di STAN, kerjaan gue cuma jogging muterin kampus jurangmangu, ama latihan Taekwondo trus sekali-sekali pacaran hehehe. Alhasil, 3 tahun kuliah di STAN, Akuntansi gue gak "ngelotok" juga.

Tahun 1998, merupakan kesempatan pertama angkatan gue ikut tes D-IV. D-IV ini merupakan jalur bergengsi (katanya) bagi lulusan STAN. Lulusannya banyak yang menjadi akuntan atau praktisi keuangan ternama. Yang bisa masuk D-IV pun rata-rata waktu D-III mempunyai prestasi dan nilai yang bagus. Waduh, bukan gue banget tuh, prestasi gue selama D-III kan cuma dapet perak kejuaraan Taekwondo antar Universitas se-DKI ama nonjokin preman kampung Sarmili, kagak nyambung sama sekali ama tes masuk DIV.

Mungkin saat itulah gue mulai "dikutuk". Posisi "underdog". Gak belajar, malah browsing internet sampe pagi di kamarnya Nanang (BPKP makasar waktu itu), gue pun ikut juga ujian masuk D-IV. Underdog man, karena di Makasar waktu itu ada Ni Ketut, Nanang, Octa, Acep, Eko, Hadad, dll yang semuanya dulu waktu wisuda DIII jauh didepan gue. Eh, malah untuk instansi DJA se-sulawesi cuma gue yang lulus. Mungkin ini juga hikmah karena dulu lagi panas-panasnya gue berantem ama kepala kantor (maafin gue ya pak Zain).

Sempet gak percaya tuh, kalo gue lulus. Sebulan di Jakarta aja tiap bangun tidur bengong dulu karena takut cuma mimpi bisa ninggalin daerah secepat itu. Sempet ada perasaan "wah gue mampu ternyata" dan sempet ada niat wisuda D-IV di depan Ni ketut hahaha. Temen-temen STAN 92 tentu tau gimana "saktinya" gadis Bali satu ini.

Tapi tekad tinggal tekad, saat D-IV kegiatan gak cuma jogging ama Taekwondo, tapi juga "ngasong" dan naek gunung hihihi. Tiap kali masuk kelas bilang "selamat pagi", dosennya bilang "selamat siang". Baru duduk 5 menit trus dosennya bilang "ya sampai jumpa minggu depan" parah betul L

Mudah-mudahan ini bukan bagian dari kufur nikmat. Begitu banyak temen yang betul-betul serius dan rajin kuliah yang akhirnya harus "drop out". Bahkan ada yang sempet bilang "being accountant is the most important thing in my life". Heh, maafin gue ya temen.

Oh ya, pada saat D-IV itu juga gue sudah berniat buat nerusin kuliah di luar negeri. Tapi kalo waktu itu gue bilang ke temen-temen takutnya nanti Bintaro Plaza sepi hahaha. Belagu mungkin, karena nyatanya kuliah D-IV gue juga pas-pasan. Artinya ya kalo yang lulus 300 orang, gue nomor 299, asal katut kata orang jawa. Biar yang lulus cuma satu asal kita, kata orang Bone. Tapi beneran kok, gue udah pengen kuliah di luar negeri itu dari sejak gue D-IV, tapi tentunya bukan Akuntansi hehehe. Makanya begitu lulus, jadi Akuntan, usaha nyari beasiswanya ya di bidang Marketing, HRM, Public Policy, dan sebagainya, pokoknya NO ACCOUNTING. Percaya atau tidak, bahkan saat sudah lulus tes pun, ada aja yang menghalangi gue buat ke luar negeri. Alhasil Kedubes Australia di Jakarta di bom. Loh apa hubungannya? Iya, kedubes Australia di bom hanya selang beberapa hari setelah gue di tolak ke Australia hahaha.

Akhirnya tahun 2008 gue dapet lagi beasiswa, kali ini dari Depkominfo. Sebenernya masih mau ngambil bidang non Akuntansi, lagi-lagi ditolak. Eh begitu gue pilih Akuntansi...sim salabim..semua lancar kayak jalan tol bekasi - jakarta jam 2 pagi hihihihi. Nah, I am a Master of Professional Accounting now. Hah, hebat kali rupanya. Iya, hebat L tapi gue kok ngerasa gue gak pinter-pinter Akuntansi. 2 tahun di SMA, 3 tahun D-III plus 2 tahun D-IV dan sekarang 1.5 tahun S2; total hampir 9 tahun gue belajar Akuntansi. Boro-boro sedang tidur dibangunin bisa jawab soal Akuntansi, sedang sadar-sesadarnya pun gue belum tentu bisa jawab J.

“Kutukan” ini tentulah bukan sesuatu yang buruk. Bahkan belakangan ini menyadarkan gue untuk bertanggung jawab terhadap “kutukan” tersebut. Perasaan terkurung dalam “kutukan” Akuntansi bagai Malin Kundang yang terkurung batu oleh kutukan ibu-nya pelan-pelan gue hilangkan. Meskipun keinginan untuk menjadi seseorang yang hebat dalam Akuntansi itu belum ada, namun pelan-pelan gue mulai belajar lagi Akuntansi, berani mengajar Akuntansi dan sudah mengurus gelar profesi Akuntan. Energi dan waktu yang gue habiskan sudah sedemikian banyak dan panjang, apapun itu tentunya harus dipertanggungjawabkan. Bahkan keberuntungan pun harus dipertanggungjawabkan.


Mungkin perlu ditambah 4 tahun lagi PhD Accounting ya untuk melepaskan diri dari “kutukan” Akuntansi ini #eeh

Cinta Tak Bertepi


Cinta tak bertepi
Bisu dalam kata, sepi dalam canda
Selaksa pengorbanan tlah terbukti
Terpatri dalam bilur kebahagiaan
Dalam naungan ridho Ilahi

Cinta tak bertepi
Terdiam dalam keabadian
Tertunduk dalam kuasa Ilahi
Menanti panggilan Sang Kholiq
Tuk menyatu kembali dalam surga-Nya


Teruntuk kedua orang tuaku yang cinta mereka tak pupus sampai Sang Khaliq memisahkan dan semoga menyatu kembali di surga-Nya nanti.

Edisi nyekar 09052017

Sang Penggoda



Seyummu adalah keranda emas jiwaku
Hanya memberi sunyi tak bertepi
Matamu adalah belati tak kenal kasih
Menikam hati putih tanpa peduli

Lalu kucoba kobarkan nyali
Nyalakan api di hati
Ternyata engkau matahari

Kutumpahkan air mata di jiwa
Engkau menjelma samudera

Bagimu semua, biasa..
Angin yang tak pernah merasa

E0102