Diplomasi Kuliner








Malam itu untuk pertama kalinya aku bertatap muka dengan sesama pelajar Indonesia yang akan melanjutkan pendidikan tinggi ke Swedia. Duta Besar di Jakarta secara resmi mengundang semua mahasiswa dan alumni untuk makan malam dan halal bihalal di kediamannya pada tanggal 14 Agustus yang lalu. Seperti kata pepatah "lain padang lain ilalang" atau "tak kenal maka tak sayang", inilah kesempatan pertamaku untuk melihat dan merasakan sendiri suasana interaksi masyarakat Indonesia-Swedia.

Kedatanganku disambut oleh petugas keamanan yang sibuk membuat cek list nama-nama undangan di selembar kertas. Dari luar pekarangan, suasana rumah terasa sepi dan steril. Beberapa waktu kemudian aku diantarkan ke teras. Setelah kudorong pintu besar berwarna putih itu, terdengar suara-suara denting gelas, gumaman anak-anak muda yang mengobrol dan tertawa sambil berdiri di dalam kerumunan kecil. Entah kenapa aku seolah seperti lebur ke dalamnya. Suasana ini terasa sedikit aneh, karena semua orang begitu akrab namun banyak juga yang tidak kenal satu sama lain. Kalimat-kalimat yang lazim terdengar olehku adalah, "Hai, namaku XYZ, siapa namamu? Kampus mana? Alumni atau mulai sekolah? Oo ... ini ada teman kita yang satu tujuan dengan kamu. Berangkat kapan? Sudah dapat tempat tinggal?"



Aku hanya menggenggam gelasku erat-erat, sambil tercekat karena aku tahu aku sendirian. Sponsorku bukan Erasmus Mundus, bukan juga Swedish Institute, apalagi belum ada yang namanya LPDP. Bila akhirnya kusebut SPIRIT-pun, aku tidak yakin ada yang bisa langsung paham tanpa perlu tempelan embel-embel WorldBank. Dan aku sedikit kuatir seandainya dianggap 'terlalu tua' untuk kuliah lagi. Kekuatiran yang tidak beralasan karena di sini juga banyak yang usianya jauh di atasku, baik alumni maupun yang mulai kuliah lagi. Semua ada di sini: remaja lulusan SMA, paruh baya pegawai kantoran, mahasiswa S1, S2, S3, ilmuwan, peneliti, pengamat politik, dan engineers.

Di saat aku bersiap untuk mengangkat gelas dan mulai minum, seorang wanita cantik pirang berponi dan bersanggul melintas di belakang punggungku. Ia berdehem-dehem sejenak, mengambil selembar kertas, lalu spontan bergerak ke arah anak tangga yang melingkar di tengah ruangan, melambaikan tangannya mengajak kita semua untuk berkumpul di dekatnya. Mulutku terasa semakin kering dan akupun tidak jadi minum. Bagaimana tidak, inilah duta besar Swedia yang biasanya hanya kulihat di google, wikipedia, atau situs-situs berita.

Jauh dari kesan protokoler, nyonya rumah menyambut semua tamunya dengan ramah dan jenaka tanpa kesan berlebihan. "This is a world record, " ungkapnya menunjukkan kekaguman, 45 orang calon mahasiswa Indonesia yang akan berangkat ke Swedia tahun ini adalah yang terbanyak sepanjang sejarah. Selanjutnya, kalimat-kalimat bernas darinya terasa mengalir seperti air, dan yang paling kuingat adalah, 

"You have a wonderful country, the people, the nature, its resources and the culture. So, if there is any culture you should bring back home from Sweden, it is its culture of innovation," ujarnya sambil tak lupa menyebutkan inovasi-inovasi Swedia yang telah mempemudah kehidupan kita; antara lain, sabuk pengaman, mesin ATM, telepon seluler, kartu chip, mouse komputer, layar monitor, Skype, dan masih banyak lagi.

Pidato pembukaan ini ditutupnya dengan pesan terakhir, "During your study in Sweden, you will repesent Indonesians to the Swedes. Then, when you are finish and going home again, you will represent to Indonesia what is Sweden truly like ... so please do good in everything that you do."

Acara selanjutnya, sambutan dari salah seorang perwakilan Swedish Alumni, lalu diteruskan dengan perkenalan dari masing-masing tamu, kemudian setiap alumni diberikan waktu berbicara beberapa menit untuk membagikan tips atau pengalaman tinggal di Swedia.

Akhirnya tibalah saat yang dinantikan bagi pecinta kuliner sepertiku, yaitu menikmati santap malam masakan tradisional dengan resep asli. Beberapa pinggan cantik tertata di meja oval, dimulai dengan sajian Janssons Temptations a.k.a Janssons Frestelse, yaitu berlapis-lapis kentang panggang, bawang, ikan teri crispy, saus krim, dan keju parmesan. Tersaji di sebelahnya adalah Swedish Meatballs with Lingonberry Jam, yaitu sejenis baso bakar yang gurih berpadu dengan manisnya buah lingonberry. Bagi penggemar daging segar, ada Beef Stew Skåne Style, atau semur daging ala Swedia. Tidak ketinggalan, kebanggaan kuliner Skandinavia: grilled salmon. Ikan panggang nikmat dan kaya omega-3, dengan daging berwarna salem yang begitu harum, lembut, dan mudah sekali lumer di lidah kita.

Kalau saja aku tidak malu dengan isi piringku yang terlanjur ramai, mungkin sudah kupenuhi rasa keingintahuanku terhadap sajian telur ikan mahal dari lautan Baltic yaitu Egg-halves with Toasted Skagen Black Caviar, atau uniknya cita rasa Beet Root, Herring Marinated with Creme Fraiche, dan Mushroom Quiche. Namun demikian, dengan sedikit pembenaran diri bahwa pencuci mulut adalah tidak sama dengan makanan, kupersilahkan diriku mengambil satu piring terakhir demi sedapnya Apple Pie with Vanilla Sauce dan ... tentu saja, renyahnya Blueberry Pie dengan buah asli. Semuanya sedap, semuanya nikmat, dan hatiku tersentuh ketika mendengar bahwa sajian di malam halal bihalal ini adalah sama istimewanya dengan hidangan hari raya Natal di kampung halaman mereka. Sungguh suatu kehormatan bisa menghadiri undangan ini.

Ada suatu kejadian menarik selama makan malam buffet yang berlangsung informal ini. Sewaktu para tamu menikmati hidangan sambil mengobrol, duduk-duduk atau berdiri di ruang tengah, alih-alih ikut makan, duta besar malah sibuk berkeliling membawa mangkuk untuk menawarkan sambal. Tampaknya beliau mempertimbangkan sekiranya lidah kami perlu bantuan selera Indonesia bila masih merasa kurang cocok dengan hidangan internasional yang disajikan. Aku yang sedang sibuk makan di sofa pun tidak luput dari keramah-tamahan ini, dan tampangku yang kaget ditawari sambal oleh seorang bule pun dimaknai sebagai tidak suka yang pedas-pedas, "No? You don't want it? OK, It is alright."

Masih terngiang-ngiang di telingaku nasihat orangtua untuk mendengarkan masukan sebanyak mungkin. Masuk akal, terutama karena inilah pertama kalinya aku akan pergi ke negeri asing ... sekaligus jauh. Naik pesawat terbang ke sana paling cepat 18 jam tanpa transit. Dengan transit, waktunya lebih bervariasi, dari 22 jam sampai 32 jam, bisa-bisa bokongku panas setelah duduk sekian lama. Mengikuti nasihat orangtua, aku mengambil kesempatan untuk mendengarkan saran-saran dari beberapa alumni yang ada. Tidak dipungkiri bahwa acara ini memang serius dan penting, namun sebaiknya aku sadar juga bahwa nuansanya tetap silaturahmi dan keakraban.




Percakapan yang semulanya standar dan lurus-lurus saja, dengan mudahnya menjadi sarana pertemanan dan pertukaran selera humor. Seorang bapak-bapak melihat kerudung yang kukenakan, spontan berkata, "Hati-hati lho, di sana nanti laki-lakinya banyak yang ganteng banget, dan perempuannya banyak yang luar biasa cantik." Kebingungan aku pun berkata, "Terus kenapa jadinya kalau ada yang cantik dan ganteng?" Bapak itu pun melanjutkan sambil terkekeh-kekeh, "Yah, semoga kerudungmu jangan sampai dilepaskan. Asal tahu saja, godaannya luar biasa besar sekali." Oh, iya, batinku ... mudah-mudahan saya mampu menjalaninya.

Pada kesempatan lainnya, aku bertanya kepada beberapa orang perihal pengalaman pribadi dengan penerbangan internasional. Dari penjelasan panjang lebar tentang perbedaan sistem transit bagasi penerbangan internasional dan lokal, hingga ke nasihat untuk tidak kelayapan atau asyik berfoto-foto di luar bandara, akhirnya sampailah ke obrolan santai, dengan canda dan gelak tawa. Ketiga teman baruku tergelak-gelak membayangkan worst case scenario, sekiranya koperku sudah tiba dengan selamat di Swedia sementara akunya sendiri masih berputar-putar tersesat di Amsterdam, Paris, atau Istambul.

Meski menyenangkan, kutahan godaan untuk berlama-lama di kelompok yang asyik ini. Aku sengaja berpindah-pindah grup dan tempat duduk, karena waktuku semakin berkurang dan masih banyak yang belum kuajak bicara. Sampailah pada kesempatan untuk mengobrol dengan beberapa staf kedutaan, mengenai kota-kota yang aman untuk ditinggali, kesan-kesan mereka mengenai Jakarta, hingga tak sengaja menyentuh harga sembako a.k.a sembilan kebutuhan pokok. "Bapak berasal dari Stockholm? Itu kota yang mahal bukan?" kataku. "Tergantung" jawabnya, "yang mahal di sini pun bisa jadi murah di sana". Dengan sekejap, aku jadi tahu bahwa harga ayam satu kilogram atau jus buah satu liter adakalanya lebih murah di Stockholm daripada di Jakarta. Yang masih belum bisa kucerna tapi tak relevan untuk ditanyakan, mengapa harga petai bisa lebih mahal dari daging sapi?

Jarum jam pun bergerak ke angka 9. Aku mulai celingak-celinguk bertanya ke kiri dan kanan, mencari standar atau adab yang paling sopan untuk berpamitan. Tampaknya waktu telah mengizinkan, dan aku pun memulainya dengan bapak-bapak asal Stockholm yang mengobrol denganku tadi. "Ooh" ujarnya, "es-em-pe nih yeee ... sudah-makan-pulang, he he he ... " Bule ini pun tertawa melancarkan sindiran dengan bahasa Indonesia yang sempurna, dan aku hanya bisa melongo menahan malu.

Bagaimanapun, aku tidak tega membuat keluargaku berlama-lama menungguku pulang. Setelah berpamitan kepada semua yang kira-kira kukenali di acara ini, aku pun menutupnya dengan bertemu nyonya rumah. Selain mengucapkan terimakasih atas perhatian, keramahan, dan hidangan yang lezat, kusampaikan bahwa studiku adalah tugas belajar dari instansi. Duta Besar pun memuji tempatku bekerja sebagai pelopor reformasi birokrasi di Indonesia. Selain itu, ia menegaskan sepanjang karirnya di sini tidak pernah mempunyai pengalaman buruk atau melihat hal-hal yang kurang terpuji dari instansiku. Alhamdulillah, betapa bangganya.

Kredit foto: Kedutaan Besar Swedia.

Catatan:

Tulisan ini saya buat beberapa tahun yang lalu. Setelah lama merasa ragu, saya rasa kini adalah momentum yang tepat untuk untuk membagikannya di sini. Beberapa hari belakangan, banyak bermunculan berita mengenai situasi yang semakin memanas di kawasan Timur Tengah, khususnya mengenai aksi boikot-memboikot antara Qatar dan negara-negara tetangganya.

Tak lama setelah jamuan makan malam pada 14 Agustus 2013 itu, masih teringat betapa terkejutnya saya membaca berita bahwa Sang Nyonya Rumah mendapatkan surat tugas mendadak, ditunjuk untuk pindah menjadi Dubes di Qatar sampai dengan sekarang. Awalnya semua terasa tidak relevan. Seperti mutasi biasa. Tapi kini saya baru menyadari bahwa ada sesuatu yang penting terjadi, sehingga mutasi yang terasa mendadak itu kini menjadi masuk akal. Mungkinkah situasi kemelut yang terlalu 'panas' lebih membutuhkan diplomasi yang feminin daripada kekuatan adu otot dan argumentasi?

Selain itu, tulisan ini juga saya buat demi mengobati penyesalan karena semalam tidak memenuhi undangan jamuan buka puasa bersama Dubes Denmark. Saya baru membaca berita, bahwa ia adalah Digital Ambassador pertama di dunia. Pelopor "techplomacy," yaitu suatu strategi baru di bidang kebijakan publik dalam era digital ini, yang (mungkin) akan saya kupas pada tulisan berikutnya.

Gawai


Bentukmu sangat mudah digemari oleh semua kalangan
Bentukmu sangat cepat berubah sesuai dengan jaman dan kebutuhan
Bentukmu sangat fashionable makanya banyak kaum hawa menggemari

Teknologimu berusia sangat pendek hingga setiap saat bisa berubah
Teknologimu menjangkau seluruh dunia bahkan luar angkasa
Teknologimu digunakan untuk kebaikan terkadang ada juga untuk kejahatan

Adanya dirimu dapat melupakan hubungan sosial dan pertemanan
Adanya dirimu memudahkan akses informasi dunia
Adanya dirimu memudahkan travelling dengan ala backpacker

Ketiadaanmu lebih berharga daripada sebuah surat perjanjian pernikahan
Ketiadaanmu dapat mengembalikan langkah yang sudah jauh untuk kembali
Ketiadaanmu dapat menyurutkan status di dunia maya

Namun bagaimanapun bentuk, teknologi, keberadaan dan ketiadaan mu
telah memberikan warna dalam sebuah kehidupan di dunia ini


#terinsipirasigawai
##edisilamunansore

Puisi ini dapat dilihat juga pada laman https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/2017/06/gawai.html

Petualangan Damar – Flashback

Perjalanan jauh yang ditempuh dengan kecepatan tinggi dengan motor hingga menuju tepi pantai di perbatasan kota, telah membuat Damar sadar bahwa segala sesuatunya tidak bisa dilakukan dengan emosi sesaat. Hal ini dilakukan Damar setelah bertengkar hebat dengan sahabat, pasangan hidup, rekan kerja, mantan pacar dan idolanya, Tiara. Hal sepele yang dipertentangkan dalam pertengkaran itu. Damar sekarang cenderung lebih memperhatikan motor tuanya, Vespa 125 (VNA2) diproduksi tahun 1958 dibandingkan dengan dirinya. Terkadang Tiara merasa menjadi seorang diri ketika Damar sedang sibuk dengan si Vespa. Bahkan saat vespanya sedang sakit dan butuh perawatan, Damar rela meluangkan waktunya untuk si vespa, sehingga Tiara pergi sendiri dengan kendaraan keluarga yang dimiliki oleh Damar. Pernikahan Damar dan Tiara telah berjalan kurang lebih 12 tahun lamanya. Mereka dikarunia 2 orang anak. Anak lelaki pertama bernama Pujangga Anak Damara dan sudah duduk di kelas 7 SMP. Anak perempuan kedua bernama Anggria Anak Damara dan masih duduk di kelas 5 SD.

                Jauh sebelum menikah dengan Tiara, Damar adalah seorang anak muda yang penuh dengan petualangan dan berani mengambil tantangan. Latar belakang akademis Damar juga tidak kalah mumpuni. Dia dianugerahi kemampuan otak kanan dan kiri yang seimbang, sehingga Damar tumbuh dan besar dengan banyak teman dan supel serta memiliki kemampuan akademis yang diatas rata-rata. Damar juga hidup dengan serba berkecukupan tanpa kekurangan sedikit pun. Orang tua Damar juga termasuk tokoh yang cukup disegani di kampung sekitar daerah Subang, Jawa Barat. Ayahnya adalah seorang lurah yang baik dan jujur dalam menjalankan amanah sebagai pejabat desa. Ibunya Damar tidak bekerja dan hanya membantu tugas sang suami dalam bekerja sebagai lurah. Orang tua ibunya Damar termasuk keluarga yang cukup kaya dengan hamparan perkebunan teh terhampar luas sekitar daerah Subang.

                Damar tumbuh menjadi seorang pemuda yang berani menerima tantangan dan suka menolong. Sejak kecil hingga sekolah menengah atas, Damar besar di daerah Subang dan berkuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Perjalanan hidup Damar termasuk yang tidak banyak likunya. Damar juga gemar membantu warga sekitar kampungnya yang sedang dalam kesulitan. Damar sangat kenal dengan wilayah di sekitar kampungnya. Damar pun pandai berenang dan senang bermain sepakbola. Jika bermain sepakbola, Damar bermain sebagai posisi winger yang memberikan assist kepada striker. Setelah lulus dari sekolah menengah atas, Damar pergi ke Jakarta dan mendaftar di perguruan tinggi negeri. Damar mengambil jurusan arsitektur dan disinilah dia berkenalan dengan calon partner dan istrinya di kemudian hari, Tiara. Saat kuliah, Damar dan Tiara merupakan sosok yang dikenal baik dan ramah serta menjadi idola diantara teman seangkatannya. Tiara yang tinggi bak peragawati meskipun bukan tapi keramahan dan kecerdasannya telah meluluhkan hati Damar yang tidak mudah jatuh hati kepada wanita.

                Perjalanan Damar dan Tiara berlanjut hingga ke lingkungan pekerjaan. Damar bekerja sebagai arsitek yang menekuni bidang perumahan dan menjadi andalan di salah satu perusahaan di tempatnya bekerja. Tiara juga bekerja di bidang yang sama namun beda perusahaan. Hubungan mereka berlanjut ketika kedua perusahaan melakukan kerjasama atas sebuah project dan disanalah mereka di pertemukan kembali. Damar sebagai head project  di perusahaannya dan sementara Tiara hanya sebagai second assistant atas project perusahaannya. Rasa cinta yang telah ditanam sejak masa kuliah terus tumbuh ketika mereka dipertemukan kembali dalam project yang sama. Akhirnya mereka memutuskan untuk menikah dan memiliki rumah dengan disain yang dikembangkan oleh berdua di wilayah Sentul, Jawa Barat. Pernikahan mereka berdua dikaruniai anak laki-laki dan perempuan. Secara duniawi, kebutuhan mereka sudah lebih dari cukup dan tidak kekurangan sedikitpun. Dari sisi religious, mereka termasuk keluarga yang mengerti batasan-batasan dalam Islam.

                Setelah beberapa tahun menikah, Damar mulai menyukai segala sesuatu yang berbau vintage,  antik dan kuno. Karena falsafah yang ada di benaknya, antik dan kuno itu keren dan gak ketinggalan jaman, masih up to date. Pilihannya jatuh kepada vespa dan motor jenis Norton dan BMW yang model klasik. Diantara beberapa kendaraan yang antik itu, hanya Vespa yang dapat menarik perhatian Damar. Sementara istrinya, berusaha menjadi istri yang baik sambil mencoba bekerja di rumah. Perusahaan Tiara, memperbolehkan pegawainya bekerja di rumah khusus yang perempuan. Karena toleransi ini, perusahaannya memperoleh sertifikasi ramah kepada gender perempuan. Makanya Tiara belum berkeinginan untuk keluar dari perusahaannya.  

***

Kisah ini dapat dilihat di laman : https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/2017/06/petualangan-damar-flashback.html

Antara Pesan Ibunda dan Tanggungjawab Moral

Gaung “ujian nasional’ beberapa minggu terakhir melanda beberapa kota di Indonesia tidak terkecuali Bekasi. Gaung ini berlaku untuk tingkatan sekolah menengah pertama. Setiap pelajar kelas 9 mempersiapkan dengan matang datangnya sudden death  bagi beberapa siswa ini. Meskipun hanya 4 pelajaran yang diujikan yaitu IPA, Bahasa Inggris, Matematika dan Bahasa Indonesia, namun hasil dari “ujian nasional” ini akan merubah 360 derajat semangat, perilaku dan nasib para pelajar ini. Sekolah juga tidak kalah sibuknya mempersiapkan para pelajarnya dalam menghadapi “ujian nasional” ini hingga mempersiapkan beberapa kali try out. Pihak sekolah perlu menjaga kredibilitas berdasarkan tingkat kelulusan para pelajarnya. Makanya pihak sekolah sangat berkepentingan terhadap tingkat kelulusan. Karena jika tingkat kredibilitas ini terjaga, maka sekolahnya bisa menjadi acuan dan pilihan bagi para calon pelajar yang lulus dari sekolah dasar. Meskipun pemerintah menjalankan program wajib belajar 9 tahun, tidak serta merta pihak sekolah dan para pelajar santai menghadapi “ujian nasional”. Sementara para orang tua pelajar tidak mau berspekulasi jika anaknya hanya diterima di sekolah menengah atas yang biasa aja.

            Kisah perjuangan para pelajar ini sangat beragam. Ada yang anaknya diikutkan kursus di lembaga pendidikan tertentu, ada yang mendatangkan guru privat  ke rumah dan ada juga yang biasa-biasa dalam menghadapi “ujian nasional” ini. Diantara para pelajar itu ada seorang bernama si Fulan. Fulan ini termasuk di luar kriteria yang disebutkan tadi. Fulan ini merupakan anak pemulung dengan penghasilan yang biasa-biasa aja. Masuk sekolah aja sudah merupakan prestasi yang terbaik menurut pihak sekolah. Pihak sekolah terkadang merasa iba dengan kondisi di Fulan. Kabar baiknya, pihak sekolah membebaskan segala biaya atas si Fulan ini. Adanya mekanisme subsidi silang diantara orangtua pelajar yang mampu dengan yang tidak mampu cukup membuat pelajar seperti si Fulan tidak terbebani. Selama bersekolah, si Fulan ini mengalami pasang surut dalam mengikuti pelajaran sekolah. Fulan merasa dia tidak harus berada di sekolah ini. Hal yang membuatnya bertahan adalah karena permintaan ibundanya agar tetap bersekolah. Hubungan baik dengan ibundanya menunjukan bahwa Fulan ini merupakan anak yang patuh. Ayahnya yang sibuk menjadi pemulung dengan penghasilan yang tidak menentu, membuat Fulan tidak peduli dengan sekolah. Fulan pun ingin menjadi pemulung jika tidak ditegur ibundanya. Hingga suatu saat, ibundanya mengalami sakit yang tak kunjung sembuh karena masalah biaya berobat. Keluarga Fulan pun tidak ada akses ke Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Sakit ibundanya Fulan tak kunjung sembuh hingga kematian memanggilnya.

Setelah kematian ibundanya ini, si Fulan semakin kuat keinginannya untuk tidak bersekolah. Kegiatan bersekolah Fulan semakin tidak ada wujudnya dan pihak sekolah berkepentingan seperti cerita di awal. Menjaga tingkat kelulusan hingga 100 persen merupakan hal yang menjadi perhatian pihak sekolah. Pihak sekolah mengerahkan segala daya upaya agar si Fulan dapat bersekolah dan mengikuti “ujian nasional” dengan baik tanpa melihat hasil yang baik. Seminggu mendekati “ujian nasional” Fulan pun tak kunjung masuk bersekolah. Hingga terdengar kabar bahwa dia ikut dengan ayahnya menjadi pemulung di daerah Pulogadung, sementara dia bersekolah di Bekasi. Akhirnya diterjunkan pasukan dari sekolah untuk mencari Fulan. Saat masa “ujian nasional” tibapun, Fulan pun tidak hadir dan segala urusan adminsitratif telah diselesaikan pihak sekolah.  Usaha dari pihak sekolah berbuah hasil, Fulan ditanya dan dihimbau agar mau mengikuti “ujian nasional” susulan. Maka Fulan mengikuti ujian itu dengan pengawasan dari pihak sekolah. Selesai sudah mengikuti “ujian nasional” itu, Fulan pun kembali lagi menjadi pemulung. Hasil “ujian nasional” si Fulan pun biasa aja, tapi pihak sekolah memiliki target bahwa anak didiknya lulus semua. Pihak sekolah memang berjuang keras agar anak didiknya lulus dan itu menjadi kredibilitas yang baik bagi pihak sekolah. Namun apa yang membuat pihak sekolah berjuang mati-matian mencari si Fulan? Ibundanya Fulan yang menghadap Kepala Sekolah agar jika dirinya tidak dapat menemani Fulan, mohon dijaga anak lelaki satu-satunya untuk bisa tetap bersekolah dan lulus hingga akhir sekolah usai. Kepala Sekolah sudah memegang janji kepada almarhumah dan akan menepati permintaan ibunda si Fulan. Hingga di momen kepala sekolah menepati janjinya dan kepentingan menjaga kredibilitas sekolah, tidak terbayang oleh saya bagaimana kelanjutan nasib seperti si Fulan hingga ke jenjang berikutnya?

Cerita ini berhenti hingga disini, tetapi masih banyak fulan-fulan lainnya di belahan dunia lain, yang tidak terjangkau oleh sekolah, seperti permohonan ibunda Fulan dan ambigu Kepala Sekolah. Apapun itu, cerita ini merupakan fakta untuk menjadi bahan renungan dan rasa syukur karena kita masih diberikan kesempatan untuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Semoga dunia menjadi lebih baik. 

Tulisan ini dapat juga dilihat di laman : https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/

Monolog : Anak Burung yang Ingin Berenang



Pagi ini cerah.

hemmm....aku baru saja keluar dari lengan mama yang besar, yang telah melindungiku dari udara dingin semalaman.

"Mama, aku lapar...aku ingin makan...mamaa...."

Tiga saudaraku berteriak-teriak riang, teriakan kami itu...sayup....terdengar dari bawah seperti nyanyian alam dari sebuah pohon yg rindang.

"Baiklah......"   mama tersenyum, memandang kami,
"Tunggu sebentar, mama akan cari makan buat kalian"

Mama mengembangkan kedua lengannya, dan pergi...
Setelah mama pergi, kami kembali bernyanyi lagi.

Sepasang kaki besar hinggap di rumah kami,,,.ooh tidak, itu bukan kaki mama...kakinya besar sekali dan....manakah ujungnya.....??
Mataku melihat keatas, dan bertatapan dengan sepasang mata hitam yg tajam menatap kami.
Ketiga saudaraku berteriak ketakutan
dan...
aku terbang...dalam sekejap mata ke angkasa...

"Mau kau bawa kemana aku? turunkan aku, kataku....tau gak sih cengkeraman tanganmu menyakiti aku...."
tapi rontaanku tak berarti apa-apa,

Tiba-tiba aku mendarat di setumpukan jerami empuk
Enak sekali buat merebahkan tubuhku yg sakit ini.....tapi aku ingin mama....

Mataku mencari-cari mama.
"Mamaa dimana..." teriakku, dan aku berjalan....

Berjalan terus....berteriak memanggil mama....

Di kejauhan nampak segerombolan anak-anak dan mamanya sedang berjalan kearahku.
hey...mereka mirip sekali denganku....apakah itu mamaku?
"haloo...kalian mau kemana? bolehkah aku ikut dengan kalian?"
"hai lihat...aku sama seperti kalian, tubuhku kecil, bentuk mulut dan hidungku mirip kan dgn kalian, suaraku.....hey... apakah kalian tidak mendengarkan aku?"

Kakiku berjalan mengikuti langkah mereka.

"Sekarang apa? kalian tak berhenti juga ketika sampai di tepi danau...?"
"ooh baiklah, kalian ingin aku seperti kalian kan?"

Satu persatu anak masuk kedalam air mengikuti mamanya.....dan mereka mengapung di permukaan air...

Akupun bersiap masuk kedalam air, kuceburkan tubuhku ke dalam air, dan bersiap mengambang
Oo...ada yg salah....knp tubuhku tak juga mau mengapung....kucoba lagi dan lagi..

Dan gerombolan itu semakin jauh....hey, tunggu aku....

Kenapa aku tidak bisa? pikirku sedih...
mereka sama seperti aku..kenapa aku tidak bisa seperti mereka?

Aku diam terduduk di tepi danau,

Tapi tunggu dulu.....apa itu berlari menuju ke arahku sambil menjulurkan lidahnya
Matanya liar menatapku, sembari memamerkan taringnya yang runcing
Instingku berkata ini BAHAYA

Tak sadar kaki kecilku berlari menjauhinya, terengah-engah sambil berkata,
aku ingin pulang...aku ingin mama...

Berlari...berlari...peluh mengucur di sekujur tubuhku, kedua lenganku terangkat..
dan wow.....kenapa tubuhku terasa ringan? bumi jauh dibawahku...
lihat, aku bisa terbang...riang aku berputar senang...berputar, naik turun di angkasa...
aku akan mencari mama, teriakku
dengan sayapku ini, aku yakin mama akan kutemukan!!

Terbang tinggi di angkasa, nyanyianku spontan tercipta....

Iya mama, aku tau, memang aku tak bisa seperti anak-anak itik itu, tapi aku punya kemampuan lain yang baru kusadari, dan bisa kukembangkan, Hharapan bertemu mama dengan sayapku ini telah membuat aku kembali bersemangat. Aku terus bernyanyi....
cuuiitt...cuuiit...

Pagi ini tetap indah...kurasa


(Terinspirasi kisah burung kecil di Tom & Jerry).









Ki Dalang Lurah

Marni memandangi wajah suaminya yang berpeluh. Marni memegang dahi suaminya. Hati Marni berdegup kencang karena suhu badan suaminya panas, tapi sedingin es ketika Marni memegang telapak kaki suaminya.
Marni bingung karena hari sudah sangat larut. Hanya bunyi jangkrik yang terdengar. Bunyi jangkrik yang bagi Marni terasa sedang berpesta pora membuat Marni kesal karena dia menganggap jangkrik itu sedang menertawakan ketidakberdayaannya .
Tak seorangpun yang bisa dimintai tolong oleh Marni malam itu. Kedua anaknya sudah tidur sejak sore tadi. Anaknya masih berumur sembilan dan lima tahun, belum bisa membantu Marni. Marni juga tak mau mengganggu tetangganya yang sepertinya sudah terlelap dalam tidur karena kelelahan bekerja sepanjang hari. Saat itu, Marni merasa jadi orang yang paling sengsara di muka bumi. Akhirnya Marni hanya bisa mengompres dahi suaminya. Diulanginya terus sampai ayam berkokok di kala pagi.

***
“Bu… Bapak kenapa, sakit?” tanya Banu anak Marni yang pertama. Marni mengangguk.
“Kamu siap-siap ke sekolah ya, nak. Sebelum sekolah antar dulu adikmu ke rumah Simbah, ya! Ibu harus jaga Bapak,” pinta Marni kepada Banu. Ibu Marni tinggal tak jauh dari rumah Marni. Biasanya kalau Marni berjualan barang kelontong ke pasar pagi sampai siang hari, Ayu, anak kedua Marni dititipkan di rumah ibunya.Siang hari baru dijemput.
“Dibawa ke Puskesmas aja, Bu. Ada Bu Dokter baru, kata temenku Bu Dokter itu baik,” ujar Banu kepada Marni.
Marni teringat cerita Mbak Atikah, tetangganya beberapa hari yang lalu. Mbak Atikah bercerita, waktu sakit, dibawa ke Dalang Bandi, dalang yang terkenal di desa Bojongsari, tempat tinggal Marni. Katanya tak lama setelah meminum air yang diberi doa Ki Dalang, tak lama kemudian anak Mbak Atikah sembuh. Masih kata Mbak Atikah lagi, Ki Dalang melarang sering menasehati warga Bojongsari untuk tidak datang  ke Puskesmas karena menurutnya Dokter di Puskesmas belum berpengalaman mengobati orang sakit. Selain itu datang ke Puskesmas repot karena sering ditanya soal kartu asuransi.
Cerita Mbak Atikah membuat Marni ragu membawa suaminya ke Puskesmas. Marni tak punya kartu seperti yang dibilang Mbak Atikah.
“Iya, nak.Nanti Ibu bawa Bapakmu ke orang yang bisa ngobatin,” jawab Marni kepada Banu.
“Puskesmas ya, Bu!” ujar Banu mengingatkan Marni.
“Iya. Sekarang kamu siap-siap sekolah, ya. Bawa adikmu!”Banu berlalu dari kamar Ibunya. Setelah mengambil tas sekolahnya, Banu menggendong adiknya. Banu mendudukkan Ayu di jok belakang sepedanya. Dengan hati-hati Banu mengayh sepedanya.

***
Pagi hari Bandi sudah bangkit dari tempat tidurnya. Kepalanya terasa sakit karena semalam Bandi mendalang di pesta perkawinan seorang warganya. Bandi terkenal dengan sebutan Ki Dalang Lurah, karena selain menjadi Dalang, beberapa bulan yang lalu Bandi terpilih menjadi Lurah di desa Bojongsari dengan suara mutlak, mengalahkan tetangga seberang rumahnya.
Bandi berjalan menuju ruang tamu. Dengan perutnya yang besar,  Bandi berjalan perlahan-lahan. Dia duduk di sofa ruang tamu seperti kebiasaannya setiap pagi. Rambut panjangnya yang sebagian besar sudah memutih diikatnya dengan karet gelang.
Di meja tamu sudah tersedia segelas kopi hitam dan setoples roti kering kesukaannya. Tak ketinggalan sebungkus rokok di samping gelas kopi menemaninya menikmati pagi .Setiap pagi istrinya selalu sigap menyediakan semua keperluan Bandi tanpa mengeluh.
Bandi menyalakan rokoknya. Asap rokok mengepul dari mulutnya dan memenuhi ruangan tamu rumahnya. Dituangkannya kopi kedalam piring kecil agar kopinya cepat dingin. Piring kecil diangkatnya. Mulutnya menghembuskan udara untuk meniup kopi yang masih panas. “Assalamualaikum,” terdengar suara orang dari balik pintu rumahnya.
“Bu, ada tamu. Buka pintunya!” teriak Bandi kepada istrinya. Dengan tergopoh-gopoh istrinya berlari dari dapur membukakan pintu rumahnya. Bandi masih duduk di kursinya sambil menyeruput kopi dari piring kecilnya.
Seorang wanita yang menggandeng lelaki dengan wajah pucat berpeluh muncul didepan pintu. Istri Bandi mempersilahkan keduanya duduk di kursi yang berada depan Bandi. Kemudian kembali ke dapur. Bandi tak bergerak dari tempat duduknya. Dia mengambil rokok yang masih menyala dari asbak dan mengisap dalam-dalam.
“Ada apa kalian datang kemari?” Bandi bertanya dengan suara berat agar terdengar berwibawa dan meyakinkan lawan bicaranya. Bandi memang mahir menirukan segala jenis suara sejak dirinya terjun ke dunia perdalangan.
“Nganu Ki Dalang Lurah, suami saya sakit. Badannya panas.Sudah dua hari belum turun juga suhu badannya,” ujar perempuan itu dengan nada khawatir.
“Siapa nama suamimu?” tanya Bandi.
“Kardiman, Ki Dalang Lurah.” Kardiman menjawab sambil mengatupkan kedua tangannya di dada karena menggigil kedinginan. Berbanding terbalik dengan peluh yang bercucuran di dahinya.
“Nama sampeyan sendiri siapa?” tanya Bandi kepadaperempuan yang datang bersama Kardiman.
“Marni, Ki Dalang,”jawab perempuan itu.
“Ki Dalang Lurah!” suara Bandi agak meninggi mengingatkan Marni.
Nggih, Ki Dalang Lurah,” suara Marni tergagap.
“Susah lho jadi Lurah. Perjuangannya berat, biaya juga sudah keluar banyak.Tahu ndak?”
Marni hanya menunduk mendengar penjelasan Bandi.
“Jadi, maksudmu datang kesini mau ngobatin suamimu?” tanya Bandi. Marni mengangguk perlahan. Rasa khawatir mulai memasuki hatinya.
“Sebentar,” Bandi bangkit dari duduknya dan berjalan menuju lemari kaca. Di lemari kaca itu terdapat beberapa buah keris yang dipajang. Bandi mengambil salah satunya. Marni melirik suaminya yang sepertinya hanya bisa pasrah menunggu apa yang akan dilakukan Ki Dalang Lurah kepadanya.
Istri Bandi muncul dari dapur dan membawa semangkuk bunga mawar berwarna merah dan putih serta baskom yang berisi air. Bandi menuangkan bunga mawar kedalam baskom. Dicelupnya keris yang dipegangnya kedalam baskom yang berisi air dan telah ditaburi bunga mawar. Marni menahan nafas menunggu kejadian selanjutnya.
Bandi menuang air dari baskom kedalam gelas.Diserahkannya gelas itu kepada Kardiman.
“Minum air cucian keris ini untuk mencuci nasib sial dari badanmu. Besok siang segala sial akan hilang. Badanmu demam karena ada orang yang ndak suka sama kamu. Orang itu sedang mengirimkan penyakit di tubuhmu. Nanti kubawakan sisa airnya di botol. Minum tiga kali sehari saja!” Kardiman meminum air dari gelas yang disodorkan Bandi. Dahi Kardiman berkerut saat meminum air itu, tapi saat ituKardiman hanya bisa pasrah saja.
“Agar kedepan terhindar dari sial, kalian harus menebus sisa air cucian keris ini!” sambung Bandi.
“Berapa ongkos tebusannya Ki Dalang Lurah?” tanya Marni ketika suaminya selesai minum air itu.
“Aku ndak pernah ngasih harga. Seikhlasnya saja.Yang penting cukup buat beli rokok  satu pak,” Marni terkejut mendengar perkataan Bandi. Satu pak rokok itu kan banyak juga. Marni membuka dompet dan menyerahkan dua lembar uang berwarna merah kepada Bandi.
“Satu lagi,” pinta Bandi sambil melirik ke arah dompet Marni. Marni hanya bisa pasrah dan menyerahkan selembar uang berwarna merah kepada Bandi. Padahal uang itu adalah tabungan Marni untuk membelikan Ayu sepatu.
***

“Dokter, tolong suami saya. Badannya panas tinggi dan belum turun juga,”
“Sudah berapa lama badan suami Ibu panas?” tanya Dokter Sita.
“Sudah empat hari, Bu Dokter,” jawab Marni panik.
“Sudah dikasih obat apa?” tanya Dokter Sita kembali.
Marni menggelengkan kepala. Tak mungkin Marni berterus terang bahwa suaminya sudah meminum ramuan dari Ki Dalang.
Dokter Sita memeriksa badan Kardiman. Sesekali ditekannya perut Kardiman dengan ujung jarinya.
“Sepertinya Pak Kardiman terkena demam berdarah, Bu. Tapi perlu cek darah untuk memastikannya. Mudah-mudahan saya salah,” ujar Dokter Sita.
Marni terdiam dan merasa bersalah kepada suaminya.
“Apabila hasil cek laboratorium positif demam berdarah, Pak Kardiman harus segera dirawat di rumah sakit,” lanjut Dokter Sita.
Marni tertunduk lesu. Mirna bingung darimana ia dapat uang untuk membayar rumah sakit.
“Ibu mendaftar saja untuk mendapatkan asuransi kesehatan untuk membiayai pengobatan Bapak.  Kalau Ibu bingung nanti petugas Puskesmas akan membantu Ibu,”
“Terima kasih, Dokter,” ujar Marni lega.
Marni keluar dari ruangan Dokter Sita sambil menggandeng suaminya.
“Bapak Bandi!” terdengar suara Suster memanggil pasien berikutnya.
Terlihat oleh Marni seorang laki-laki setengah baya dengan wajah pucat berjalan tertatih-tatih menuju ruang periksa Dokter Sita. Wajahnya pucat dan tampak tanpa daya. Pandangan matanya kosong dan nanar. Sesekali terdengar suara batuk laki-laki itu. Lutut Marni langsung lemas dihantui perasaan malu dan bersalah kepada suaminya.
Ki Dalang Lurah tak berdaya menghadapi penyakitnya sendiri.
Jakarta, 6 Juni 2017



WE CARE

Pada saat bekerja di hotel Hilton Adelaide, saya pernah mendapatkan training "We care". "We care" ini adalah program kepedulian lingkungan yang dicanangkan oleh jaringan Hilton hotel Australia. Saya tidak tahu apakah program ini merupakan "worldwide program"-nya mereka atau bukan.

"We care" bukanlah suatu program yang rumit, yang butuh banyak dana untuk menjalankannya, sangat sederhana. Pemicunya "hanyalah" keprihatinan terhadap kondisi lingkungan yang banyak tercemar. Keprihatinan akan semakin langkanya sumber daya alam. Kekhawatiran akan kehidupan generasi mendatang. Program ini mungkin bukan murni program internal Hilton hotel dan jaringannya, karena pemerintah Australia juga memiliki kebijakan yang relatif sama. Apa yang dilakukan di Hilton juga dilakukan di kehidupan sehari-hari masyarakat Australia. Suatu pekerjaan yang sangat sederhana, namun butuh kesadaran dan konsistensi yang tinggi. 

Inovasi yang dilakukan di Hilton dengan "We care"-nya antara lain dengan memisahkan sampah menjadi 4 jenis; general waste, paper, bottle/tin, dan recycle, mematikan lampu/ac yang tidak terpakai untuk menghemat daya, menyumbangkan sejumlah dana untuk penghijauan dari setiap tamu yang dengan sukarela meminta agar kamarnya tidak dibersihkan, bekerja sama dengan SA Cycling untuk memfasilitasi setiap tamu yang ingin bersepeda keliling kota, dengan tujuan mengurangi polusi. Fasilitas yang sama diberikan kepada pegawai yang mau berangkat dan pulang kerja dengan bersepeda, sejumlah uang akan didepositkan atas nama pegawai yang bersangkutan untuk kemudian bisa diambil di akhir tahun dan banyak lagi hal-hal sederhana lainnya, seperti "gunakan tangga untuk naik 1 (satu) lantai dan turun 2 (dua) lantai".

Semua inovasi yang dilakukan terbukti mempunyai dampak yang signifikan bagi lingkungan. Kegiatan memisahkan sampah kertas dengan sampah lainnya ternyata mampu mengurangi kerusakan lingkungan akibat sampah kertas sampai dengan 65% ! suatu angka yang cukup luar biasa. Dan itu baru merupakan catatan dari Hilton Adelaide, belum jaringan Hilton lainnya ataupun dari rumah tangga.

Australia bukanlah negara yang gemah ripah loh jinawi, dan itu mereka sadari betul. Upaya-upaya untuk menghemat sumber energi menjadi perhatian utama. Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan dan masyarakat pun dengan kesadaran ikut melaksanakan. Apa yang dilakukan di Hilton tersebut di atas, tentunya juga dilakukan di entitas-entitas lain, pun di masyarakat, dengan cara dan kemasan yang mungkin berbeda. Bagi yang pernah tinggal di sana tentunya sudah sangat terbiasa dengan hal-hal tersebut. Saya dan keluarga pun demikian. 

Seandainya, ya seandainya, ribuan 'putra-putri terbaik bangsa' yang sudah mengenyam pendidikan dan tinggal di Australia ataupun negara-negara lain mengimplementasikan 'pelajaran-pelajaran yang tidak diajari', kayaknya Indonesia akan maju deh. Sebagaimana pesan Bapak Menteri Kominfo (M. Nuh) pada saaat pelepasan penerima beasiswa Kominfo  "nikmati setiap detik yang kalian punya di luar negeri, pelajari semua hal yang bisa berguna bagi negara, tidak hanya gelar Master atau Doktor untuk kebanggaan pribadi". Ya, menjadi seorang Master atau Doktor tidak secara otomatis menjadikan seseorang berguna bagi negara, kontribusi nyata-nya lah yang diperlukan, bukan gelarnya. 

Seandainya, ya seandainya, masing-masing orang "care" dengan negara ini, keberlangsungan hidup anak cucu nanti, dan tidak terlena dengan mantera "gemah ripah loh jinawi", pasti Indonesia akan jadi lebih kaya. Memang masih harus banyak belajar, bukan belajar sesuatu yang belum diketahui, tapi belajar mengimplementasikan apa yang sudah diketahui, dilihat dan dipelajari. Start with care, end up with welfare.

Karena Satu Ampulnya Begitu Berharga

Pertama kali saya mendengar kata donor darah saat tingkat dua kuliah di STAN. Waktu itu, idealisme sebagai mahasiswa sedang tinggi-tingginya. Kayaknya, keren bangettt nih bisa memberi sesuatu buat kemanusiaan. Walaupun membayangkan jarum akan masuk lamaaaa menembus kulit dan pembuluh darah, lalu darah itu mengalir keluar dari tubuh, sempat membuat lemas sekaligus cemas. Apa gue ga bakal pingsann yaa?

Alhamdulillah, pengalaman pertama (dan ternyata jadi pengalaman terakhir donor di kampus) ga bikin paranoid. Proses pengambilan darah lancar jaya. Sang jarum tidak perlu ditusuk, tapi dicabut lagi, untuk kemudian ditusuk lagi di tempat berbeda, demi mencari pembuluh darah yang bisa lancar mengalirkan darah.

Setelah bekerja, kadang-kadang motivasi donor lebih materialistis. Supaya dapat sarapan gratis lah, suvenir unik lah, atau koleksi penghargaan 10 kali donor, 20 x donor, dst. Anehnya, ketika niat saya bener-bener ingin sarapan gratis atau suvenir, adaaaaa saja halangan sehingga ga jadi donor. Tiba-tiba ketika pemeriksaan Hb, ternyata di bawah ambang batas. Jadinya ga boleh donor kan. Atau, Hb mepfett lolos lewat ambang batas, ternyata tekanan darah terlalu rendah, ga jadi seneng-seneng deh pamer suvenir.

Cita-cita dapat piagam 10 x pun selalu pupus dalam waktu hampir 2 dasawarsa, iya ... 19 tahun. Setelah tercatat dalam kartu sekitar 5 kali donor, tiba-tiba kecopetan, sang kartu turut hilang: 2 kali seperti ini, sebelum PMI mengotomasi sistemnya. Selanjutnya, karena hamil, menyusui, hamil lagi, menyusui lagi, atau jadwal donor di kantor berbenturan dengan periode bulanan perempuan.

Ketika benar-benar vakum mendonor hampir 5 tahun, saya justru baru terusik untuk mencari tahu bagaimana sih hukumnya secara agama kalau darah yang saya sumbangkan masuk ke dalam metabolisme tubuh orang lain. Apa mereka menjadi mahram saya, yang berarti juga bagi anak-anak saya? Alhamdulillah, dengan mengandalkan mbah Google, saya dapat beberapa referensi yang meyakinkan saya, bahwa sebagai pendonor, saya tidak melanggar ketentuan agama, sepanjang tidak membahayakan diri saya. Pun, darah yang didonasikan tidak menyebabkan pendonor jadi mahram bagi penerima. Referensi lengkapnya bisa dilihat, antara lain, di pranala berikut yaa:

https://konsultasisyariah.com/5741-donor-darah.html
https://almanhaj.or.id/2199-kondisi-yang-memperbolehkan-transfusi-darah-hukum-donor-darah.html

Dalam periode bisa-dan-tidak bisa yang tak beraturan itu, sedih juga kalau dapat informasi dari mulai zaman pesan pendek, mailing list (dulu ga ada grup wa), Fb, sampai tiba era nya telegram & whatsap: butuh donor segera, namanya x, golongan darah A, persediaan di PMI habis, yang bersangkutan kecelakaan dalam kondisi kritis. Padahal, zaman belum marak medsos, golongan darah saya, katanya, bisa menyumbang ke semua pemilik golongan darah. Saya jadi membayangkan, bagaimana kalau saya atau salah seorang keluarga dalam kondisi kritis itu, tapi darah tidak tersedia?

Akhirnya, saya menyiasati halangan donor tersebut. Kalau jadwal donor di kantor bersamaan dengan periode bulanan, saya menyingkirkan kemalasan dan, dengan sedikit usaha, pergi ke kantor PMI seminggu setelah haid selesai. Untuk mengatasi Hb dan tekanan darah, saya ikut tips dari om Rumah Kaca untuk minum susu di pagi hari sebelum donor. Tips ini saya tambah dengan makan hati ayam di tukang bubur nasi. Mumpung masih tergolong orang yang boleh donor, karena ternyata ga semua orang boleh mendonor.

Dengan siasat ini, alhamdulillah lama kelamaan kartu donor saya kembali terisi secara beraturan. Kalau sekarang sihh, motivasi saya donor lebih karena mengharap pertolongan ketika suatu saat saya atau keluarga membutuhkan. Na'udzubillah, kalau boleh meminta, jangan sampai mengalami keadaan darurat. Hanya saja, saya termasuk orang yang percaya, apa yang saya tanam sekarang, bisa dituai kemudian hari. Meski bukan untuk saya, bisa jadi untuk suami, anak, cucu, bahkan cucunya cucu saya. Karena satu tetesnya, ehhh satu ampul dinggg, darah begitu berharga buat kehidupan. Iya engga sih? 🌾